Undang-Undang dan Peraturan-peraturan pemerintah Tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner, Pemotongan Ternak dan Kesehatan Daging.
- Merupakan landasan hukum bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut dalam kehidupan masyarakat.
- Merupakan pedoman dan semua penduduk harus taat dan tunduk terhadap semua pasal yang tertera di dalamnya.
- Pelanggaran-pelanggaran terhadap hal-hal yang dilarang diberikan sanksi-sanksi/hukuman yang setimpal. Dengan demikian maka kesehatan daging dan kesehatan masyarakat pada umumnya dapat terlaksana secara baik.
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang mengatur hal tersebut adalah:
1. UU No. 6 Tahun 1967: ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan kesehatan hewan.
2. Staatsblad 1936 No. 614: Pemotongan ternak besar Betina Bertanduk.
3. Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian No. 18/1979 dan No. 5/Ins/Um/3/1979: Pencegahan dan pelarangan pemotongan Ternak Sapi/Kerbau betina Bunting dan atau susu Sapi/kerbau Betina Bibit.
4. Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Direktorat Kesehatan Hewan, Departemen Pertanian 1978-1985 Jilid I-VII.
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 1983: Tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner.
- Merupakan landasan hukum bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut dalam kehidupan masyarakat.
- Merupakan pedoman dan semua penduduk harus taat dan tunduk terhadap semua pasal yang tertera di dalamnya.
- Pelanggaran-pelanggaran terhadap hal-hal yang dilarang diberikan sanksi-sanksi/hukuman yang setimpal. Dengan demikian maka kesehatan daging dan kesehatan masyarakat pada umumnya dapat terlaksana secara baik.
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang mengatur hal tersebut adalah:
1. UU No. 6 Tahun 1967: ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan kesehatan hewan.
2. Staatsblad 1936 No. 614: Pemotongan ternak besar Betina Bertanduk.
3. Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian No. 18/1979 dan No. 5/Ins/Um/3/1979: Pencegahan dan pelarangan pemotongan Ternak Sapi/Kerbau betina Bunting dan atau susu Sapi/kerbau Betina Bibit.
4. Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Direktorat Kesehatan Hewan, Departemen Pertanian 1978-1985 Jilid I-VII.
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 1983: Tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner.
A. Undang-Undang No. 6 Tahun 1967: Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan
Undang-undang ini disebut pula sebagai Undang-undang Pokok kehewanan. Undang-undang ini terdiri atas 4 Bab dan 27 Pasal:
Bab I : Ketentuan Umum (Pasal 1-7)
Bab II : Peternakan (Pasal 8-18)
Bab III : Kesehatan Hewan (Pasal 19-23)
Bab IV : Lain-lain (Pasal 24-27)
Pasal yang langsung berkaitan dengan Kesmavet dan kesehatan daging:
1. Pasal 1 butir j, k dan l.
2. Pasal 19 ayat 2.
3. Pasal 21 ayat 1 dan 2.
Pasal 1 butir j:
Kesmavet adalah segala urusan yang berhubungan langsung dengan hewan dan bahan-bahan asal hewan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia.
Pasal 1 butir k:
Anthropozoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia dan sebaliknya.
Pasal 1 butir l:
Penyakit Hewan Menular adalah penyakit hewan yang membahayakan oleh karena secara cepat dapat menjalar dari hewan kepada hewan atau kepada manusia dan disebabkan oleh virus, bakteri, cacing, protozoa dan parasit.
Pasal 19 ayat 2:
Urusan-urusan kesmavet meliputi antara lain: urusan kesehatan bahan makanan asal hewan dan urusan-urusan penyakit-penyakit hewan yang termasuk anthropozoonosis.
Pasal 21:
Untukkepentingan pemeliharaan kesehatan manusia dan ketentraman bathin masyarakat sebagaimana termaksud pada Pasal 19 ayat 2, maka dengan Peraturan Pemerintah diatur ketentuan-ketentuan tentang:
I. a. Pengawasan Pemotongan Hewan.
b. Pengawasan Perusahaan Susu, Perusahaan Unggas dan Perusahaan Babi.
c. Pengawasan dan Pengujian Daging.
d. pengawasan Pengolahan Bahan Makanan yang berasal dari Hewan.
e. Pengawasan dan pengujian Bahan Makanan Asal Hewan yang Diolah.
f. Pengawasan terhadap “Bahan-bahan Hayati” yang ada sangkut pautnya dengan hewan, bahan- bahan pengawetan makanan dan lain-lain.
II. a. Pemberantasan rabies pada anjing, kucing dank era, dan lain-lain anthropozoonosis yang penting.
b. pengawasan terhadap bahan-bahan dari hewan yaitu: kulit, bulu, tulang, kuku, tanduk dan lain-lain.
c. Dalam pengendalian anthropozoonosis diadakan kerjasama yang baik antara instansi-instansi yang langsung atau tidak langsung berkepentingan.
B. STAATSBLAD 1936 No. 614: Pemotongan Ternak Besar Betina Bertanduk
Menurut PP ini, ternak besar betina bertanduk yaitu sapid an kerbau dilarang dipotong.
Sapi dan kerbau betina dapat dipotong bila sudah diafkir oleh petugas Dinas Peternakan. Sapi dan kerbau tersebut diafkir dengan memberikan tanda cap bakar “S” pada salah satu pahanya, karena hal-hal berikut:
1. Ternak tersebut kebetulan memiliki sifat-sifat ras yang tidak sesuai dengan jurusan peternakan yang dituju oleh penduduk di daerah tempat tinggal ternak tersebut.
2. Ternak termaksud mempunyai cacat atau bentuk sedemikian rupa sehingga pada waktu melahirkan kelak akan mengalami kesulitan, hambatan dan sebagainya.
3. Ternak tersebut ternyata majir atau ada kemungkinan besar akan majir.
4. Ternak tersebut mempunyai warna yang menyimpang dari warna ras-nya.
5. Ternak tersebut menurut gigi-geliginya berumur lebih dari 8 tahun.
6. Ternak tersebut menurut lingkaran tanduknya sudah beranak/melahirkan sekurang-kurangnya 5 kali.
7. Ternak tersebut bereksterior jelek.
Kemungkinan lain adalah bila ternak betina tersebut dipotong terpaksa (Noodslacht) karena hal-hal berikut:
1. Mengamuk sehingga membahayakan orang dan barang.
2. Ditimpa kecelakaan berat.
3. Pencegahan kemungkinan meluasnya penyakit hewan menular.
4. Oleh suatu penyakit, jiwa hewan itu terancam.
Hal-hal tersebut di atas dimaksudkan untuk:
a. Melindungi populasi ternak sapid an kerbau.
b. Sedang dari aspek kesehatan, daging tersebut dapat diteruskan kepada masyarakat konsumen bila dapat dipenuhinya syarat-syarat hygiene daging.
C. Instruksi Bersama Mendagri dan Mentan No. 18/1979 dan No. 05/Ins/Um/3/1979
Inti materi Instruksi bersama ini merupakan penegasan hal-hal yang terkandung dalam Staatsblad 1936 No.614.
Penegasan ini dianggap penting karena terjadi kecendrungan penurunan populasi ternak sapid an kerbau periode 10 tahun terakhir.
D. Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular
Pedoman ini dikeluarkan oleh Direktorat Kesehatan Hewan, Departemen Pertanian, Jilid I-VII tahun 1978-1985.
Pedoman ini memuat:
1. Pengenalan penyakit hewan menular
2. Penolakan, pencegahan, pemberantasan, pengobatan dan perlakuan hewan dan daging.
Pedoman ini dimaksudkan sebagai bagian dari peraturan pelaksanaan yang bersumber dari Undang-undang No. 6 tahun 1967.
Khusus bagi hygiene daging: Bab tentang perlakuan pemotongan hewan dan daging merupakan pedoman yang sangat berharga.
E. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 Tahun 1983, tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner
Peraturan Pemerintah ini terdiri atas 8 Bab dan 30 pasal.
Bab I : Ketentuan Umum (Pasal 1)
Bab II : Pengawasan Kesehatan masyarakat Veteriner (Pasal 2-15)
Bab III : Pengujian (Pasal 16-20)
Bab IV : Pemberantasan Rabies (Pasal 21-25)
Bab V : Pengawasan dan Pengendalian Zoonosa lainnya (Pasal 26-27)
Bab VI : Ketentuan Pidana (Pasal 28)
Bab VII : Ketentuan Peralihan (Pasal 29)
Bab VIII : Ketentuan Penutup (Pasal 30)
Bab I: Ketentuan Umum (Pasal 1)
Butir b:
Daging adalah bagian-bagian dari hewan yang disembelih atau dibunuh dan lazim dimakan manusia, kecuali yang telah diawetkan dengan cara lain daripada pendinginan.
Butir d:
Usaha Pemotongan Hewan adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh perseorangan dan/ atau badan yang melaksanakan pemotongan hewan di rumah potong hewan milik sendiri atau milik pihak ketiga atau menjual jasa pemotongan hewan.
Butir f:
Zoonosa adalah penyakit yang dapat berjangkit dari hewan kepada manusia atau sebaliknya.
Bab II : Pengawasan Kesehatan masyarakat Veteriner (Kesmavet) (Pasal 2).
Ayat 1:
Setiap hewan potong yang akan dipotong harus sehat dan telah diperiksa kesehatannya oleh petugas pemeriksa yang berwenang.
Ayat 3:
Pemotongan hewan potong harus dilaksanakan di rumah pemotongan hewan (RPH) atau tempat pemotongan hewan lainnya yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang.
Ayat 4:
Perkecualian dari ayat 3 yaitu pemotongan hewan untuk keperluan: keluarga, upacara adat dan keagamaan serta penyembelihan hewan secara darurat dengan mendapat izin terlebih dahulu dari Bupati/walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan atau pejabat yang ditunjuknya.
Ayat 5:
Syarat-syarat RPH, pekerja, pelaksanaan pemotongan , dan cara pemeriksaan kesehatan dan pemotongan hrus memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 3:
Ayat 1 butir a:
Usaha pemotongan hewan untuk ppenyediaan daging kebutuhan antar propinsi dan ekspor harus memperoleh surat izin usaha pemotongan hewan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.
Ayat 1 butir b:
Antar kabupaten/kotamadya daerah TK.II dalam suatu daerah TK.I: Surat ijin dari Gubernur.
Ayat 1 butir c:
Wilayah kabupaten/Kotamadya daerah TK. II: Surat Ijin dari Bupati/walikota.
Pasal 4:
Ayat 1:
Daging hewan yang telah selesai dipotong harus segera diperiksa kesehatannya oleh petugas pemeriksa yang berwenang.
Ayat 2:
Daging yang lulus dalam pemeriksaan, baru dapat diedarkan setelah terlebih dahulu dibubuhi cap atau stempel oleh petugas pemeriksa yang berwenang.
Ayat 4:
Larangan mengedarkan daging yang tidak berasal dari RPH kecuali pasal 2 ayat 4.
Ayat 5:
Setiap orang atau badan dilarang menjual daging yang tidak sehat.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar