Kontributor: Diketik dan ejaan
disempurnakan oleh Jesus S. Anam (Juli 2011)
Beberapa teman mengusulkan, supaya supaya diberikan keterangan tentang
Program Maksimum.
Kami merasa perlu memberikan keterangan itu. Cuma beberapanya keterangan
itu harus diberikan pada tingkat perjuangan kita sekarang.
Benar kita percaya, bahwa menuntut Materialisme dalam sejarah (historical
materialism), maka masyarakat dunia seluruhnya bergerak menuju ke jaman
sosialisme. Kita seterusnya percaya pula, bahwa kalau kelak lantai sosialisme
sudah diletakkan buat seluruhnya dunia (atau sebagaian besarnya dunia kita
ini!) maka masyarakat kita akan bergerak menuju ke jaman Komunisme.
Tetapi beberapa lamanya gerakan masyarakat kita sekarang ke masyarakat
sosialisme itu harus berlaku (apakah lagi beberapa lamanya gerakan masyarakat
sosialisme-komunisme), serta bagaimana bentuk dan corak gerakan itu menurut
tempat dan tempo seorangpun tak dapat meramalkan lebih dulu. Cuma praktek
sejarahlah kelak yang dapat membuktikannya. Yang sudah agak lebih kita ketahui
ialah: bahwa di jaman sosialisme, maka semua sumber penghidupan dalam
masyarakat sudah dimiliki, dikendalikan dan dikerjakan oleh masyarakat pekerja
itu sendiri. Pada tingkat sejarah ini hak milik dan kekuasaan kaum
borjuis-kapitalis sudah dibatalkan. Tetapi dalam masyarakat ini masih berlaku
undang-undang pergaulan yang berbunyi: (1) seorang pekerja menerima upah yang
sama buat hasil kerja yang sama dan (2) siapa yang tiada kerja tiadalah pula
akan diberi makan.
Di jaman komunisme, bilamana sumber penghidupan tetap dimiliki,
dikendalikan dan dikerjakan oleh masyarakat pekerja itu, berlakulah
undang-undang pergaulan: Setiap orang bekerja (sendirinya) menurut kecakapannya
dan setiap orang mempergunakan sesuatu menurut keperluan hidupnya.
Syahdan, maka menurut ajaran Marx dan Lenin, pada permulaan jaman
sosialisme, negara (state) dengan alat pemaksanya, ialah tentara, polisi,
pengadilan dan algojo masih tetap ada. Tetapi di jaman peralihan, yang terletak
antara jaman sosialisme dan komunisme, maka negara dengan alat pemaksanya itu
semakin lama semakin lajur. Di jaman komunisme yang dimulai berhentinya/dengan
berhentinya jaman sosialisme, maka berakhirlah, lenyaplah negara dengan alat
pemaksanya itu.
Urusan pemerintahan dan politik negara di jaman peralihan (sosialisme)
bertukar menjadi urusan tata usaha (administrasi) semata-mata.
Dalam jaman sosialismelah di tatanan pengetahuan, kemauan, perasaan dan
kecakapan yang perlu buat tiap-tiap anggota masyarakat yang makmur, aman dan
merdeka. Dalam jaman sosialisme, ialah jaman peralihan inilah, semua syarat
hidup buat pergaulan yang makmur, aman dan merdeka itu ditanam dan dipelihara
sampai menjadi kebiasaan, menjadi adat dan sifat mausia baru.
Dengan berubah bertukarnya adat – sifat – borjuis sedikit demi sedikit
menjadi adat – sifat – komunis, maka berubahlah bertukarlah pula selangkah demi
selangkah rasa terpaksa mengerjakan sesuatunya bagi keperluan/kepentingan
masyarakat menjadi keikhlasan dan kewajiban mengerjakan sesuatunya itu buat
kemakmuran, keamanan dan kemerdekaan bersama!
Perbedaan kaum sosialis dengan kaum komunis terletak terutama pada
perbedaan paham tentang siasat dan alat mencapai masyarakat sosialistis itu.
Mereka percaya bahwa dengan merebut kursi dalam dewan perwakilan, maka akhirnya
kaum terbanyak dalam masyarakat kapitalis itu, ialah kaum proletar akan dapat
merebut kursi terbanyak dalam parlemen itu, maka percaya sanggup merubah sifat
masyarakat kapitalis menjadi masyarakat sosialis dengan jalan membikin
undang-undang dalam parlemen (dewan perwakilan), jadi dengan damai parlementer.
Kaum komunis tidak percaya, bahwa suatu dewan perwakilan sebagai warisan
borjuis dapat dipakai sebagai alat membentuk masyarakat sosialis. Kaum komunis
berpendapat bahwa kaum borjuis dengan perantaraan bank kapitalisnya mempunyai
banteng yang sangat kuat buat memperlindungi dirinya. Benteng itu ialah
birokrasi yang dikendalikan oleh golongan bankir, ialah pengemudi ekonomi dan
politik negara di belakang layar. Semua undang-undang yang bisa merubah sifat
masyarakat kapitalis dapat disabotir birokrasi itu. Berhubung dengan itu maka
kaum komunis berpendapat, bersama-sama dengan pemindahan kekuasaan dari tangan
borjuis ke tangan kaum proletar, maka birokrasi itu dibinasakan dan diganti
dengan alat revolusinya kaum proletar.
Jadi kaum borjuis bersandar kepada aksi proletar (Murba) teratur untuk
merebut kekuasaan dari tangan kaum borjuis dan untuk menghancurkan birokrasi
borjuis itu. Seterusnya kaum komunis akan mengganti pemerintahan birokratis
dengan pemerintahan Diktator Proletar, ialah alat kaum proletar yang terbanyak
itu buat memaksakan kemauannya atas kaum borjuis yang terkecil. Jaman diktator
itulah, yang oleh kaum komunis dianggap sebagai jaman sosialisme, atau jaman
peralihan, menjelang jaman komunisme.
Pada tingkat permulaan maka Diktator Proletar berlaku waspada terhadap
borjuis dan kaki tangannya yang sudah kalah tetapi belum lagi membatalkan
keinginannya buat kembali menguasai politik dan ekonomi. Kaum komunis juga
mempergunakan tenaga yang bukan proletar tetapi juga yang bersifat netral atau
yang bersimpati dalam semua cabang administrasi, kaum kominis juga insyaf bahwa
di bawah telapaknya kapitalisme tak ada kesempatan bagi kaum proletar untuk
memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang perlu buat mengurus administrasi
negara itu.
Tetapi Diktator Proletar bertindak tegas-tegap terhadap semua percobaan
kontrarevolusi. Dengan pesat timbul tumbuhnya angkatan baru buat administrasi di
antara kaum proletar sendiri dalam suatu negara atau beberapa negara di dunia
yang masih kapitalis ini, maka semakin kuranglah nafsu bekas borjuis itu untuk
kembali menguasai segalanya. Dengan begitu, maka kian besarlah kemungkinan
untuk memperluas demokrasi di kalangan seluruh rakyat dalam negara sosialis
itu.
Demokrasi pada permulaan Diktator Proletar itu, terutama cuma berada dalam
partai kominis sendiri, yakni para anggota Partai Komunis sendiri, yakni di
antara pada anggota Partai Komunis sendiri dan di antara sebagian dari kaum
proletar yang insyaf serta komunis, lama kelamaan bisa diperluas sampai
keseluruha kalangan buruh, terutama ke kalangan tani-proletar dan akhirnya ke
seluruh rakyat.
Cepat lambatnya demokrasi itu mengembang tergantung kepada pelbagai kedaan
di dalam dan di luar negeri itu sendiri. Dengan tinjauan kilat di atas kita
sekarang boleh memandang kepada Program Maksimum: pertama ke seluruh dan
kemudian ke pasal demi pasal. Apakah kelak seluruh Program Maksimum itu dapat
dilaksanakan atau sebagian saja dan bagaimana gerangan cara melaksanakannya,
sebagian besar tergantung kepada hasil perjuangan rakyat murba Indonesia dan
hasil perjuangan rakyat murba Asia-Afrika serta proletar Eropa dan Amerika di
kemudian hari hasil perjuangan tentulah tidak bisa kita pastikan sekarang ini.
Berkenaan dengan ini, maka semua yang berhubungan dengan benar dan lamanya
melaksanakan Program Maksimum itu, terpaksa ditangguhkan pula.
Seandainya besok atau lusa Revolusi Dunia selesai sekaligus, maka tentulah
Program Maksimum ini atau beberapa pasal di antaranya akan mendapat corak yang
baru dan kemungkinan yang lebih luas. Urusan politik, milik dan ekonomi
tentulah akan mendapatkan bahan dan jaminan yang tiada terbatas oleh masih
adanya negara kapitalis dan imperialis. Dalam hal ini, maka Program Maksimum
itu mungkin akan bertukar menjadi Program Minimum, dalam fase sejarah yang
lebih tinggi. Tetapi kalau seandainya pula kapitalisme-imperialisme masih lama
melingkungi Indonesia sekarang, maka mungkin sekali Program Maksimum ini akan
tinggal maksimum dalam arti yang sesungguhnya. Dalam hal ini kita akan terpaksa
bergerak ke jaman sosialisme dengan alat dan kekuatan yang ada pada kita
sendiri.
Sebagaimana keterlaluan pesimisme (selalu memandang gelap di hari depan) bisa
membekukan semua kekuatan, begitulah pula sebaliknya keterlaluan optimisme
(selalu memandang baik saja) bisa menimbulkan kekecewaan yang mematahkan puncak
semangat berjuang. Sebalinya ada perlantunan dan keseimbangan antara pesimisme
dan optimisme dalam taksiran dan tafsiran kita di hari depan. Dipandang dari
sudut inilah kiranya Program Maksimum ini berada dalam titik berat,
kemungkinan, dan boleh dipakai sebagai working-hipothesis yakni membuka jalan atau
jalan pembuka untuk hari depan.
Program Maksimum
1. Pemerintah, untuk dan Oleh rakyat (Murba)
Dunia demokrasi borjuis memang juga sering mempergunakan formula tersebut,
buat merebut hatinya para rakyat dalam pemilihan umum. Prakteknya pemerintah
demokrasi borjuis masih bertentangan dengan isi formula ini. Formula ini memang
berasal dari kalangan borjuis. Tetapi kaum borjuis sendiri tiada bisa dan tiada
mau mempraktekkannya.
Jika di dalam negeri yang “demokratis” seperti Amerika dan Inggris formula
politik ini benar-benar dilaksanakan, tentulah suatu pemilihan umum akan
menaruh pemerintahan negara itu di tangan kaum proletar, ialah kelas terbesar
dalam negara itu.
Formula politik terlaksana menjadi pemerintah dari kaum proletar, untuk
proletar dan oleh proletar. Dengan demikian (seandainya tak ada birokrasi dalam
pemerintahan), maka tiap-tiap pemilihan umum dalam dunia demokrasi akan
menaruhkan kekuasaan pada kaum buruh yang terbanyak jumlahnya itu.
Tetapi dalam prakteknya kaum borjuis itu bisa mengisi dewan perwakilan
dengan wakil dari kelas borjuis sendiri atau dari kelas buruh yang beraliran
kanan (borjuis). Sebabnya maka pemerintahan itu jatuh ke tangan borjuis yang
kecil itu, ialah karena semua alat propaganda, seperti surat kabar, gedung
tempat rapat, radio, bioskop, dan lain-lainnya beserta semua kekuasaan berada
di tangan kaum borjuis-kapitalis. Semua alat propaganda yang bisa menghitamkan
yang putih dan memutihkan yang hitam itu, beserta alat kekuasaannya itu berlaku
sebagai banjir, yang melondong-hanyutkan perasaan dan pikiran si pemilih ke arah
politik yang dipegang oleh suatu partai politik borjuis.
Bagaimana juga nasibnya formula politik tersebut di atas dalam suasana
borjuis-kapitalis, seperti nasibnya yang baik dalam dunia kapitalis itu (ilmu,
teknik dan moral umpanya) formula itu masih banyak mengandung kemungkinan
teristimewa buat masyarakat kita. Dalam masyarakat merdeka 100%, maka formula
itu semestinya akan mendapat tempat lebih baik dari pada di dunia kapitalis
seperti Amerika dan Inggris karena sedikit atau tak adanya kapitalis besar di
Indonesia ini. Jika rakyat insyaf akan artinya pemerintah dari, untuk dan oleh
rakyat itu dan memegang pendiriannya itu dengan konsekuen, maka Indonesia
merdeka 100% dengan cara pemilihan langsung, umum dan rahasia sekali bisa
mendapatkan pemerintahan yang sungguh-sungguh demokratis. Apalagi kalau
demokrasi dalam politik itu disertai pula demokrasi dalam ekonomi, seperti
maksud dari beberapa pasal ekonomi dalam Program Minimum Partai Murba ini.
Teristimewa pula dalam sosialisme dunia dapat mengembangkan sayapnya lebih
lanjut.
Seandainya terus borjuis-kecil dan tengah Indonesia dapat mempelitbelitkan
tafsiran formula pasal ini buat kepentingan mereka sendiri (untuk membangun
kapitalis nasional) atau untuk atau untuk kepentingan kapitalis asing, maka kita
akan terpaksa mengerahkan reserve dan mengemukakan:
Pemerintah dari, untuk dan oleh rakyat murba, (lebih kurang dictator murba)
selama perlunya. Ringkasnya formula pasal 1 pun boleh dipakai buat pembuka,
yang mungkin sekali terhambat atau terbelok-belok ataupun turun naik perginya
ke depan kita.
2. Tentara dari, untuk dan oleh rakyat (Murba)
Penjelasan bagi pasal ini tiadalah perlu dipanjangkan. Dalam Risalah Sang
Gerilya dan Gerpolek rasanya sudah cukup sifat dan sejarah Tentara Rakyat itu
dijelaskan.
Ringkasnya: janganlah hendaknya di hari kemudian hari Tentara Indonesia
menjadi suatu alat kekuasaan, yang berada di atas dan terpisah dari rakyat
murba, tetapi hidup dari hasil keringat rakyat/murba itu untuk diperalatkan
oleh yang berkuasa dengan maksud menetapkan pemerasan dan penindasan atas
rakyat/murba sendiri. Hendaknya Tentara Rakyat itu terdiri dari rakyat/murba
sendiri, dipimpin oleh wakil sebenarnya dari rakyat/murba sendiri untuk
kepentingan rakyat/murba sendiri. Di antara beberapa syarat yang terpenting
untuk menjawab sifat semacam itu, maka haruslah tentara itu berhubungan rapat
dengan penghidupan rakyat dalam politik, ekonomi, sosial dan sebagainya. Apakah
lagi dalam tingkatan gerilya (rombongan yang masih kecil) maka anggota Tentara
Rakyat mempunyai hak memilih yang sempurna. Dengan demikian, maka prajurit
tentara itu memegang senjata politik untuk memilih pemimpin yang cakap dan
dicintai serta memperhentikan pemimpin yang tak cakap dan dibenci. Suasana
mengakui dan menjalankan disiplin (tetapi seperti anak terdapat bapak), inilah
yang dikejar Tentara Rakyat.
Dalam penghidupan sehari-hari janganlah rakyat/murba itu merasa bahwa
tentara itu golongan manusia yang unproductive (tak mengadakan hasil)
yang seperti lintah hidup oleh darah rakyat/murba. Banyak sekali pekerjaan yang
produktif yang dapat dilakukan oleh tentara itu seperti pekerjaan dilakukan
oleh buruh tani biasa dan bermacam-macam pekerjaan otak. Tidaklah sukar
mengimbangkan serta menggabungkan pekerjaan biasa dengan sport dan latihan kemiliteran sehingga sifat prajurit akan
tercapai juga dan tercapai dalam keadaan sehat. Dalam sosial janganlah prajurit
itu dipisahkan dari masyarakat biasa. Janganlah mereka itu dikazernekan atau ditangsikan seperti jaman Belanda. Dengan begini mereka akan memiliki
kebiasaan yang dulu lazim dinamai “adat tangsi”. Hendaknya anggota tentara di
luar dinasnya, yang teristimewa militer itu, dapat juga bergaulan dengan
anggota masyarakat biasa. Cuma buat sementara tempo dan keadaan istimewa
militeris saja (penjagaan pos yang terpencil strategis) bolehlah anggota
Tentara Rakyat terpisah dari masyarakat biasa. Akhirnya tentulah didikan dan
pelajaran keparajuritan Tentara Rakyat itu diselenggarakan cocok dengan
kedudukan anggota kader dalam politik, ekonomi social masyarakat Indonesia di
hari depan.
3. Menetapkan dalam konstitusi kedudukan murba dalam
politik, ekonomi, sosial dan lain-lainnya.
4. Nasionalisasi, mekaninasi, rasionalisasi dan
kolektifisasi dari perusahaan vital, penting (perkebunan, pertembangan, industri
dan transportasi).
5. Menasionalisasi ekspor dan impor.
6. Menasionalisasi bank.
7. Membangun Industri berat.
Lima pasal Program maksimum ini sebaiknya diterangkan sekaligus banyak
seluk beluknya serta kena mengenanya satu pasal dengan lainnya. Demikianlah
pasal 3 tak bisa diatur, ditetapkan dan dilanjutkan, kalau pasal 5 dan 6 tiada
dijalankan sekaligus. Dan pasal 4, 5, 6 dan 7 tiada pula bisa dilaksanakan
dengan berhasil, kalau tiada memakai pasal 3 sebagai pedoman. Teristimewa pasal
3 dan pasdal 7 amat rapat sekali hubungan satu dengan lainnya.
Tegasnya, kaum murba bisa dipastikan kedudukannya dalam UUD tentang
politik, ekonomi dan sosial itu, hanyalah setelah diadakan nasionalisasi dan
kolektifisasi dalam perusahaan vital setelah ekspor, impor serta keuangan
(bank) dinasionalisir sambil mengusahakan berdirinya industri berat. Semua
perusahaan tersebut harus diperbaharui dengan mesin yang paling modern
(mekanisasi), buat mendapatkan hasil kerja yang setinggi-tingginya
(nasionalisasi) dengan cara kerja tolong menolong (kolektifisasi).
Kaum murba tak akan tetap kedudukannya, kalau semua perusahaan penting
ekspor, impor serta keuangan tiada dijadikan hak milik dan urusan rakyat/murba
dan negara (nation) serta pembangunan industri berat tiada dijadikan hak dan
urusan rakyat/ murba dan negara. Seterusnya pula industri berat, yang dalam
masyarakat kapitalisme adalah salah satu banteng terkuat bagi kaum borjuis,
haruslah dibentuk di Indonesia hari ini, untuk dan oleh rakyat murba itu
sendiri. Pembentukan ini akan gagal kalau pasal 4, 5 dan 6 diabaikan saja.
Pemilihan dan pengusahaan atas ekspor-impor dan keuangan (bank) adalah
syarat mutlak buat menguasai penjualan hasil Indonesia ke luar negeri.
Pemasukan mesin di Indonesia ini adalah syarat mutlak bagi industrialisasi dan
mekanisasi di Indonesia.
Maksud rakyat/murba di Indonesia sepanjang Program Maksimum ialah
merubah-menukar Indonesia terutama pertanian ini (industri agraria) menjadi
satu negara masyarakat, di mana ada perimbangan yang sehat antara industri berat
atau industri induk, yakni, mesin pembikin mesin (umpanya mesin pembikin
lokomotif, mesin kapal, mesin pesawat terbang, pembikin mesin auto dan tank,
meriam, roket dan atom) akan memberi jaminan terakhir kepada pembelaan dan
kemakmuran Indonesia.
Perimbangan industri berat, industri ringan dan pertanian modern akan
membangunkan perekonomian yang sehat bagi Indonesia. Bolehlah pula dikatakan,
bahwa tanah, air dan isinya tanah Indonesia ini akan memberi jaminan yang kokoh
buat berdirinya perekonomian yang sehat itu. Bukannya seperti di masa “Hindia
Belanda” bilamana industri berat tak ada. Industri ringan baru timbul dan
sedikit pula sedangkan pertanian modern berlebih-lebihan selain ekspor hasil
perkebunan dan tambang yang jauh melebihi impor dan jauh pula melebihi
keperluan rakyat Indonesia sendiri.
Maksud merubah perekonomian dan masyarakat Indonesia, sebagai warisan
penjajahan Belanda menjadi perekonomian dan masyarakat kemurbaan tiadalah bisa
dipisahkan dari siasat atau politik kemurbaan itu sendiri. Akhirnya kedua
maksud dan siasat itu tiadalah pula bisa dipisahkan dari alat buat mencapai
maksud itu.
Ketiga, ialah maksud, siasat dan alat itu berdasar kepada kaum murba
sebagai benda hidup dan bersandar atas alat produksi sebagai benda mati. Di
sini murba dan alat produksi saling bertukar tempat sebagai sebab dan akibat.
Tetapi dalam hal itu teranglah sudah bahwa murba itu bisa menjadi maksud dan
siasat (politik), kalau murba itu sudah memperalat dirinya sendiri buat
mencapai maksudnya itu dan tiada lagi diperalat oleh kelas lain buat maksud
lain, yakni oleh kaum feudal atau borjuis buat maksud feudal atau maksud
borjuis itu.
Bahwasanya syarat yang terutama sekali, supaya murba Indonesia bisa
mencapai maksud, siasat serta alat bagi dirinya sendiri ialah kemerdekaan 100%
tercapai, untuk, oleh dan dari rakyat/murba barulah kaum murba dapat menguasai
seluruhnya atau sebagaian besar dari pembangunan Indonesia sepanjang Program
Maksimum. barulah kaum murba dapat menguasai seluruhnya atau sebagaian besar
hak milik produksi, distribusi dan social, ini berarti menetapkan dalam UUD
(konstitusi) mendudukkan murba di dalam politik, ekonomi dan sosial.
Buat menjamin tercapainya dan menjamin tetap adanya kedudukan semacam itu
maka seharusnya pula kaum murba mengambil seluruh bagian terbesar dalam
pembelaan kemerdekaan 100% itu, ialah kemerdekaan politik yang penuh disokong
oleh hak ekonomi yang cukup. Pada titik terakhir terasa sekali rapat hubungan
antara program minimum dan maksimum.
8. Pendidikan (pengajaran dan kebudayaan) atas dasar
mekanisasi kolektifisasi.
Dalam garis besarnya pendidikan di atas bumi ini, ialah untuk
mempersiapkan anak dan pemudanya untuk memegang pekerjaan dan ideologi dalam
masyarakat di masa depan. Pendidikan feudal yang mempersiapkan pemudanya
menjalankan pekerjaan dalam masyarakat feudal yang bersifat tinggi rendah
menurut berbagai kasta dalam masyarakat feudal itu. Kapadanya anak pemuda
Brahma (pendeta) dipusatkan didikan kecerdasan dengan mengabaikan samasekali
kerja tangan.
Kepada anak pemuda Kesatria (pahlawan) dipusatkan pendidikan
keberanian yang kesatria dengan memberikan sedikit pendidikan kecerdasan
(sosial) tetapi dengan mengabaikan pula samasekali didikan kerja tangan.
Kasta saudagar mendidik anaknya menjadi orang yang ulung licin dalam hal
jual beli. Kasta Sudra dan parialah yang melatih anaknya buat kerja tangan.
Begitulah kiranya pendidikan hingga di jaman lampau yang juga dikenal di
Indonesia ini. Begitulah pula kurang lebih didikan yang diberikan oleh feudal
Tiongkok kepada golongan yang ada dalam masyarakat (1) Su sama dengan golongan
kesusasteraan (2) Dong sama dengan golongan tani, (3) Kong sama dengan golongan
pekerja, dan (4) Siong sama dengan golongan saudagar. Walaupun golongan
pahlawan tak disebut, tetapi golongan yang melatih diri buat kepahlawanan amat
besar juga di jaman Tiongkok asli. Pendidikan kapitalisme ialah mempersiapkan
kecakapan dan semangat pemerintah dan memimpin bagi anak-anak muda borjuis di
satu pihak serta kacakapan dan ketabahan bekerja tangan buat kaum buruh di lain
pihak.
Didikan yang berdasarkan individualisme, memberi kesempatan kepada pemuda
borjuis buat melalui semua tingkat sekolah, karena kemampuan orangtuanya.
Didikan borjuis tidak memberikan kesempatan itu kepada proletar, karena
kemiskinan, walaupun si anak/pemuda proletar cukup mempunyai kecerdasan untuk
melalui semua tingkatan kesekolahan itu. Buat mencari kesenangan hidup anak
borjuis yang kecerdasannya sedang bisa melalui tingkatan setinggi-tingginya (student) dalam dunia pengajaran. Sedangkan buat mencari nafkah anak proletar yang
cerdas pun terpaksa lekas meninggalkan bangku sekolah. Dengan demikian anak
borjuis mendapatkan pelajaran yang cukup memegang pimpinan politik, ekonomi,
militer dan kebudayaan. Sedangkan anak proletar cuma mendapatkan sekedar
pelajaran saja buat mengerjakan kerja tangan dalam semua cabang pencaharian
hidup (tani, tambang, pabrik, bengkel) dalam masyarakat itu.
Demikianlah sifat tinggi rendah itu kita kenal dalam masyarakat penjajah
“Hindia Belanda” cuma sifat kekastaan itu dipertajam pula oleh perbedaan bangsa
penjajah Belanda dengan bangsa terjajah Indonesia.
Anaknya Inlanders – alat seperti bestuur-ambtenaren mendapat kesempatan yang luas untuk
belajar, sedang anak buruh dan tani Indonesia dibatasi dan ditekan kepintaran,
kemauan dan perasaannya dengan sistem sekolah kolonial (sekolah kelas dua,
sekolah desa dan lain-lain).
Buat menentang sistem feudal sistem kapitalisme dan sistem kolonial dalam
pendidikan itu tak cukup diutamakan didikan yang dipusatkan kepada pembentukan
“watak” dan perasaan “kebangsaan” saja. Praktek hari-hari menunjukkan bahwa
didikan watak (moril) dan kebangsaan itu kandas, kalau berhadapan dengan
kemelaratan.
Pendidikan kemurbaan haruslah didasarkan atas kemauan mengadakan kemakmuran
bersama oleh kerjasama, buka kemakmuran buat perseorangan (individu).
Kemakmuran bersama ialah ialah kemakmuran buat tiap-tiap anggota yang suka
bekerja untuk masyarakat itu (sosialisme). Kemakmuran yang setinggi-tingginya
dapat diperoleh cuma dengan jalan mekanisasi (pemakaian mesin
semodern-modernnya). Pemakaian mesin yang paling efisien cuma dapat diperoleh
dengan kerja gotong-royong yang teratur rapi (kolektifisasi).
Pendidikan, pelajaran dan kebudayaan itu hendaknya dipusatkan kepada
kecerdasan, kemauan dan perasaan untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan
rukun – ikhlas kerja buat kemakmuran, kesehatan dan kebudayaan bersama pula.
Pendidikan haruslah memberikan kesempatan kepada setiap anak-anak anggota
masyarakat buat mempelajari sesuatu yang digemari sampai ke tingkat yang
setinggi-tingginya atas ongkos masyarakat sendidri.
Bukan buat membangunkan kecerdasan, kemauan dan perasaan buat kemegahan
sendiri seperti terdapat di dunia feudal, kapitalisme dan kolonialisme.
Bukan pula buat membangunkan perasaan kebangsaan dan melatih watak saja,
tetapi mengabaikan kemakmuran bersama yang bisa dijalankan dan dipelihara
dengan kecerdasan kemauan dan kebudayaan yang bersandar kepada kenyataan di
dalam teknik dan ilmu bukti.
Cuma masyarakat Indonesia yang makmur yang mempunyai anggota yang haus
teknik dan berbagai ilmu, yang berkenaan dan berperasaan luhur buat bangsa
Indonesia, sendiri dan seluruhnya manusia serta yakin atas kepentingan dan
ikhlas melakukan kerja gotong-royong itu. Cuma masyarakat yang semacam itu sajalah
yang bisa menahan badai penyerbuan yang berkali-kali dilakukan bangsa asing
terhadap bumi dan rakyat Indonesia kita kini dengan segala kejayaannya bagi
mereka itu sendiri.
9. Mengadakan perhubungan dagang luar negeri dan
perhubungan sosial politik dengan kaum murba di luar negeri atas dasar
persamaan status.
10. Berusaha menjadi anggota UNO atau organisasi
internasional yang lain atas dasar persamaan status, demokrasi dan tujuan
kepemerintahan dunia kemurbaan.
Kedua pasal ini bisa dilayani sekaligus dengan serba ringkas pula. Karena
kedua pasal itu, sama melayani perhubungan dengan luar negeri, bedanya cuma
pasal 9 melayani perhubungan (dagang, social dan politik) itu secara informal,
ialah menurut aturan (diplomasi), jadi menurut perhubungan de jure, dan perhubunngan de jure itu tidak bisa pada
sembarang waktu dan sembarang negara bisa dilakukan. Dan bisa dilakukan setelah
persetujuan formal dari kedua belah pihak dan berlakunya setelah persetujuan
itu ditandatangani dan diumumkan.
Tetapi walaupun perhubungan dengan luar negeri itu dilakukan secara
informal menurut de facto atau de jure, bangsa dan negara, masyarakat Indonesia mesti menurut keadaan “duduk sama
rendah dan tegak sama tinggi” dengan negara manapun dan waktu bilapun juga.
Baik dalam perhubungan dagangpun atau sosial politik dengan negara atau
bangsa Asia-Afrika atau Eropa-Amerika, negara kapitalis atau negara sosialis,
baik dalam hubungan diplomasi sekarang atau di masa depan dengan bangsa,
negeri, masyarakat apapun juga kita harus berhadapan satu sama lainnya atas
status (kedudukan) yang sama, 100% samanya. Kita wajib membasmi perasaan inferiority complex atas diri kita sendiri.
Kita insyaf, bahwa sekali kita digendong oleh bangsa, negara, masyarakat
lain dalam hubungan diplomasi itu, atas dasar “kerjasama” dan semua “perjanjian
pincang” maka kita kelak akan tetap “digendong” oleh bangsa, negara, masyarakat
asing itu.
Contoh di sekitar kita amat banyak buat dimajukan di sini. Semua corak
kerjasama dalam hal diplomasi, ekonomi, kemiliteran dan kebudayaan itu baru
bisa memberi keuntungan bagi kita, kalau memang atas dasar persamaan status.
Salah satu dari syarat buat persamaan status itu, ialah melaksanakan
demokrasi (bukan teori atau ucapan “demokrasi” saja). Kasar logisnya: kalau
suatu komite internasional kita masuki maka haruslah kita membawa suara 70 juta
manusia. Artinya itu suara 70 juta manusia itu adalah 10 kali (sepuluh kali)
lebih banyak daripada 7 juta suara manusia (belum lagi kita kemukakan soal
kekayaan Indonesia dan soal pentingnya Indonesia buat strategi dan lain-lain
soal). Seterusnya jika kelak kita memasuki UNO atau organisasi internasional
yang lain-lain, maka haruslah kita membawa suara 70 juta manusia ke dalam UNO
atau organisasi yang lain itu. Kalau kemudian hari dunia sanggup mendirikan
Pemerintah Dunia baik bercorak demokratis atau kemurbaan (keproletaran) maka
kita pun akan membawa suara 70 juta manusia (tentu akan lebih) yang menjadi
warga negara atau masyarakat Indonesia di hari depan denga segala kekayaan, kepentingan
dan kekuatan yang ada di belakang, di bawah atau di atas 70 juta (atau lebih)
manusia itu.
Selanjutnya dalam UNO organisasi internasional atau Pemerintah Dunia itu
kita harus berhak penuh dan menjalankan segala hak yang sudah terkenal sebagai
hak demokrasi, seperti hak mengusulkan (inisiatif), hak bertanya, hak
memutuskan, hak amandemen, hak menyelidiki (enguette), hak menentukan dan hak memeriksa belanja dan lain-lain.
Akhirnya tiada pula kurang pentingnya bahwa kelak kepala negara,
pemimpin-pemimpin suatu partai atau organisasi kita, cuma boleh dipilih dan
dipecat oleh rakyat murba Indonesia sendiri. Janganlah dibiarkan negara asing,
organisasi internasional atau Pemerintah Dunia sendiri memilih dan
memecat/memberhentikan atau menyuruh memberhentikan atau mempengaruhi
rakyat/murba kita supaya diberhentikan.
Dalam tingkat kemajuan internasional pada abad ini, ataupun pada abad
depan, bilamana peleburan dalam perekonomian, sosial, kebudayaan dan kejiwaan (phsychology) itu belum akan sampai ke tingkat yang homogeen (bersatu corak) maka
amat berkuasanya suatu organisasi internasional di pusat itu akan sangat
melemahkan inisiatif dan kemauan suatu bangsa yang mungkin lambat laun akan
melenyapkan kemerdekaan bangsa itu samasekali.
Pemerintah internasional yang bercorak satu, cuma akan boleh terlaksana di
hari depan setelah terdapat “corak yang satu” dalam perekonomian, kebangsaan,
pergaulan, kebudayaan dan kejiwaan di seluruh dunia kita ini. Kita percaya
sungguh bahwa corak satu cuma bisa terdapat pada kasta dan sifat kemurbaan.
Menjelang waktu peleburan dalam perekonomian, kebangsaan, pergaulan,
kebudayaan dan kewajiban itu dan menjamin supaya sampai dengan lekas selamat ke
tempat peleburan itu haruslah lebih dulu diakui perbedaan antara berbagai
tingkat perekonomian, kebangsaan, kebudayaan, kejiwaan itu di muka seluruh
bangsa di bumi ini.
Mendahului peleburan berbagai bangsa di dunia, yang masih mengandung
berbagai corak itu dengan jalan paksa dari atas (bukan dengan jalan damai
demokratis dari bawah) hanya akan menimbulkan kecurigaan dan permusuhan satu
dengan lainnya dan mempelambat datangnya Pemerintah Dunia dan Internasionalisme
yang sesungguhnya.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar