Kontributor: Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Feb 2008)
1. MANUSIA MONYET
Puluhan ribu tahun lalu, dimasa yang masih gelap gulita untuk ingatan kita
sekarang, ketika mungkin kepulauan Indonesia masih besartu antara satu dengan
lainnya, juga dengan Filipina dan benua Asia bahwa mungkin juga dengan
Australia, menurut seorang ahli hiduplah disini, dekat desa Trinil, makhluk
setengah hewan setengah manusia, yang oleh ilmu dinamakan pithecantropus erectus, manusia monyet. Di belahan bumi lain seperi di Tiongkok Utara, Afrika
Selatan, serta Eropa Selatan dan Tengah ditemukan juga mahluk semacam itu.
Semenjak Charles Darwin, banyak sekali para ahli biologi (ilmu hayat)
mendapatkan pandangan dan kesimpulan baru yang bertentangan dengan kepercayaan
yang ditaati oleh agama selama ini tentang asal-usul dan hari akhir manusia di
bumi kita yang kecil dan sama sekali tak berarti, kalau dibandingkan dengan
besarnya pelbagai bintang diantara jutaan bintang di alam raya kita ini, di Universe kita ini.
2. INDONESIA SEDERHANA
Kita kembali kepada alam kita di Indonesia tadi serta kembali mengamati
penghuninya! Maka sekarang pun Indonesia masih dapat menyaksikan manusia pada
tingkat yang serendah-rendahnya, yang berada di antara jenis hewan yang paling
tinggi derajatnya, seperti orang utan, dengan pelbagai penduduk manusia di
gunung serta hutan rimba raya Indonesia.
Orang Kubu yang masih berkeliaran di hutan rimba Sumatera Selatan, orang
Semang di Malaya dan banyak orang Dayak di hutan Kalimantan seperti banyak
orang Irian (Papua) masih bisa mendapatkan semua keperluan hidupnya daripada
Alam sekitarnya. Mereka belum lagi terpaksa mengerahkan otaknya dan tenaga
untuk bertanam, bertukang atau berdagang, untuk mendapatkan makanan dan pakaian
yang diperlukannya atau untuk memperoleh senjata buat membela diri mereka
terhadap hewan atau pun manusia buas yang lainnya. Buah dari pohon di berlainan
tempat dan musim, binatang liar dan ikan yang terdapat di sana-sini cukup untuk
menjamin hidup mereka. Kulit dan daun kayu cukup untuk menutupi bagian badan
yang perlu mereka tutupi. Dahan, ranting, dan daun kayu yang dibikin seperti
sarang, tinggi di atas pohon, cukup pula untuk memberi sekedar perlindungan
terhadap hujan, panas dan bahaya musuh.
Gambaran di atas kurang lebih memang masih terdapat pada beberapa bagian di
kepulauan Indonesia. Ini saya majukan untuk memberi penjelasan, betapa dekat
dan eratnya hubungan alam dan manusia. Alam Indonesia yang kaya raya ini
tidaklah mendorong manusianya membanting tulang serta memutar otak
terus-menerus untuk mendapatkan makanan dan pakaian serta memperoleh senjata
dan perlindungan untuk membela diri terhadap binatang buas atau alam yang
kejam. Di mana keadaan alam belum lagi memaksa, maka tenaga, kepandaian dan
pengetahuan manusia itu tinggal tetap seperti awalnya. Tetapi dimana keadaan
alam dan masyarakatnya mengalami perubahan, disana tenaga dan otak penduduk
Indonesia menunjukkan juga kesanggupan penuh terhadap segala macam kemajuan
jasmani dan rohani yang dikehendaki oleh alam dan masyarakat yang berubah itu.
Sungguh besar perbedaan alam jiwanya orang Indonesia asli, seperti orang Kubu,
Semang, Dayak, dan Irian seperti tergambar di atas tadi dengan alam-jiwanya
seorang Indonesia desa kota seperti tani, buruh, doker, insinyur, atau
pengacara. Tetapi dengan tiada sangsi dan bukan pula dengan maksud memuji atau
menghina, saya berani mengatakan bahwa orang Dayak atau Irian pun jika berada
dalam keadaan sama akan sanggup belajar sampai mencapai apa yang bisa dicapai
oleh suku bangsanya yang berada di desa dan kota. Perbedaan orang Indonesia
berada dengan yang sederhana (primitive) bukanlah disebabkan oleh perbedaan sifat
dan kesanggupan sebagai manusia, melainkan disebabkan oleh perbedaan sekitar
dan keadaan. Dengan kata lain, disebabkan oleh kodrat pendorong.
3. ANIMISME.
Rupanya perbedaan alam sekitar kita itulah yang menjadi alat adanya
perbedaan Pandangan Hidup (Weltanschauung) Indonesia beradab dengan Indonesia primitif itu. Buat mengerti hal ini,
maka sebaiknya sekejap kita mengandaikan berada di tengah-tengah hutan rimba
Sumatera, Kalimantan, atau Irian! Bagi penduduk kota, ataupun hampir buat
seluruh penduduk pulau Jawa, agak susah mengerti betapa dahsyatnya suasana
hutan rimba yang sesungguhnya itu menekan jiwa kita.
Pohon yang besar tinggi menjulang ke angkasa; cuaca yang selalu
gelap-gulita karena sang matahari tak sanggup menembus dinding daun kayu yang
rindang itu; suara hewan yang mempengaruhi jiwa kita; kecurigaan kepada semua
semak dan belukar, karena mungkin menyembunyikan biantang buas atau berbisa,
semua itu menimbulkan perasaan kecil, hina tak berdaya sebagai manusia
menghadapi kebesaran dan kedahsyatan alam.
Bagi manusia yang sejak awal berpikir, yang sejak awal sekali mencerminkan
alam-luar itu kepada alam-dalamnya, kepada jiwanya, cocok benarlah paham bahwa
tekanan atas jiwa dalam dirinya disebabkan olah jiwa yang berada di Alam-Luar,
yakni yang berada dalam hutan rimba raya itu. Buat pikiran orang serba
sederhana itu jiwa cuma bisa dipatahkan karena ditimpa oleh pohon besar.
Demikianlah di mata orang sederhana itu, semua benda yang dahsyat di sekitarnya
dianggap mengandung jiwa seperti dirinya sendiri. Pohon besar yang rindang
dahsyat, air mancur yang bergemuruh; binatang buas yang berbahaya; bahkan batu
dan kayu pun dianggapnya berjiwa, bernyawa.
Sesungguhnya anti tesis antara buruk dan baik, yang terpendam dalam
pengalamannya sehari-hari belum lagi begitu terpisah dalam pandangannya. orang
sederhana memuja bukan yang baik asal baik saja, tetapi juga yang jahat. Mereka
memberikan korban kepada keduanya, yang baik maupun yang jahat. Hantu yang
jahat tak kurang menerima pujaan atau korban orang sederhana daripada hantu
yang baik, yakni hantu kawan manusia. tentulah di mana alam sangat dahsyat di
sanalah hantu jahat, harimau si raja hutan atau sang buaya mendapat perhatian
lebih dari pada yang baik.
Teranglah sudah bahwa zaman serba permulaan itu pandangan bangsa Indonesia,
dalam keadaan serba-serbi itu pula, berdasarkan paham yang oleh para ahli
dinamai kepercayaan animisme. Semua yang ada di alam ini dianggapnya berjiwa,
bernyawa.
Berkenaan dengan manusia sederhana bangsa kita tadi dengan alamnya di mana
mansuia itu berlaku pasif, menerima, bahkan menderita ketakutan saja, di masa
inipun berlakulah hukum dialektika, yakni perubahan bilangan sedikit demi
sedikit, lama-kelamaan menjadi pertukaran sifat (quantity into quality).
Dalam pencarian hidupnya sehari-hari menghadapi pelbagai bahaya di hutan,
di gunung, di air dan menderita bermacam-macam penyakit, lama kelamaan
tahu-tahu tertumpahlah segala pengorbanan dan pemujaan kepada salah satu yang
paling ditakuti di antara banyak-yang-ditakuti. Di antara macan, buaya, hantu
pohon, hantu air, atau hantu pemburu, akhirnya jatuhlah Maha-Pujuaan kepada Maha-Hantu,
yang paling penting-cocok dengan penghidupan dan pengalaman sehari-hari. Dimana
pencarian dan pekerjaan berburu sangat dipentingkan, maka hantu pemburulah yang
sengat dipuja. Di sinilah hantu-pemburu akhirnya mendapat kehormatan sebagai
Maha-Hantu.
Dimana pergaulan sudah agak maju, dan alam-sekitar sudah agak ramah-tamah,
maka yang baik mendapat perhatian agak lebih dari yang jahat. Konon kabarnya
ada satu suku bangsa Irian yang menganggap pohon aren atau enau sebagai Tuhan
dalam arti Maha-Dewa. Bukankah pohon aren juga antara segala pohon dan segala
yang ada di alam sekitar mereka yang telah memberikan segala-galanya yang
diperlukan buat kehidupan mereka? Sagu dari pohon Aren adalah makanan yang
sehat dan mengandung banyak kegunaan. Ijuknya dapat dipakai buat atap rumah.
Batangnya bsia juga dipakai sebagai tombak penangkap ikan dan alat membela diri
terhadap musuh.
Seorang Irian asli cuma membutuhkan tujuh pohon Aren yang berurutan dari
satu sampai tujuh tahun. Tebanglah pohon ketujuh yang berumur tujuh tahun, yang
sudah masak itu. Tanamlah satu pohon penggantinya. Inilah pekerjaan yang perlu
dilakukan seorang anggota, yakni memotong sepohon sagu sekali satun dan menanam
sepohon sagu sekali setahu. Selainnya itu dia boleh memancing atau berburu, berkelahi
atau bersuka ria. Dalam pergaulan semacam itu Dewi Sagu-lah yang dianggapnya
pencipta segala-galanya dan yang berkuasa dalam segala-galanya. Demikianlah
dalam Swarga-Loka di Irian.
Sederhana, Dewi Sagu menjunjung segala kemegahannya ke angkasa sambil
memberi bahagia kepada makhluk manusia di sekelilingnya.
4. KEPERCAYAAN INDIA.
Melompat kita sekarang ke bagian lain di bumi kita ini, ke masyarakat lain,
yakni India! Salah satu kesimpulan yang kita peroleh setelah membaca buku suci
Mahabarat, Ramayan, dan Upanishad, serta tulisan tentang hidupnya Sidharta
Gautama, Sang Budha, dan agama Budha, yakni bahwa pertama kali India mempunyai
penduduk asli dan penduduknya terdiri dari bermacam-macam bangsa yang masuk
menyerbu dari Utara dan mungkin pula dari Timur atau Selatan!
Kedua, bahwa mayarakat India di masa semua buku tersebut dikarang sudah
mengenal alat perkakas produksi yang dibuat dari logam.
Ketiga, bahwa masyarakat India sudah meningkat dari komunis asli ke tingkat
feodal yang mengenal beberapa raja dan maharaja, sedangkan aturan desanya
berdasarkan komunis asli.
Keempat, dan inilah pula yang perlu diperhatikan disini, bahwa kebudayaan
dan agama India yang tertulis itu cukuplah mencerminkan masyarakatnya di masa
itu buat mereka yang berpedoman dialektisme materialistis, jadi bukan dialektisme idealistis.
Memang dalam kitab suci India itu sukar diperoleh fakta sejarahnya (historical facts) dan sukar pula didapat
konsistensinya, yakni persamaan dasar antara bagian dengan bagian dan semua
kecocokan dengan bukti serta hukum Common-Sense. Malah tarikh pun, yakni salah satu
syarat yang penting bagi sejarah, sukar, kalau tak mustahil akan didapat.
Maksudnya di sini tidaklah akan bisa mengambil suatu kesimpulan secara
pasti dari Buku-Suci yang tidak berdasarkan historical facts itu. Cuma sekedar
menimbulkan kesamaan petunjuk buat ahli pemeriksa.
Berhubungan dengan dongeng Ramayana, maka dengan sendirinya timbul dalam
hati kita pertanyaan, apakah monyet putih atau Hanoman itu benar penjelmaan
manusia, berdasarkan ilmu gaib ataukah tiada lebih tepat bahwa Hanoman si
Monyet Putih itu adalah seorang Panglima Aria, yakni bangsa Kaukasia yang
berkulit putih? Tidakkah mungkin pula bahwa perkataan monyet itu adalah satu
ejekan dari bangsa India asli, yang berkulit hitam, seperti bangsa Keling? Kita
pun di Indonesia ini mengenal kata ejekan terhadap orang asing-putih, penjajah,
yakni kebo bule, siwer matan.
Namun bagaimanapun juga, bagi saya dongeng Monyet Putih itu adalah suatu
petunjuk buat memeriksa sejarah India yang sebenarnya. Tetapi pegangan yang
sedikit kuat, yang kita peroleh dari dongengan Monyet itu ialah: India terdiri
dari bermacam-macam bangsa, baik yang asli atau pun yang masuk menyerbu.
Mungkin sekali perbedaan kasta itu – yang belum pasti terbentuk dalam kitab
suci itu, tetapi terlaksana sampai menjadi kurang lebih 3000 kasta pokok,
cabang, dan ranting di masa imperialisme Inggris – bersandar mulanya kepada
perbedaan bangsa.
Yang tiada pula kurang memberi sugesti kepada saya ialah adanya Trimurti,
adanya tiga Mahadewa Hindu, yakni Wisnu Sang Pembangun, Shiwa Sang Perusak, dan
Brahma Sang Pemelihara.
Banyak orang yang melihat pelaksanaan dialektika dalam kepercayaan Hindu
Asli itu. Memang banyak ahli dialektika yang memandang semangat Hindu berdasar
atas dialektika idealistik, bukan dialektika materialistik, meskipun Hegel
menganggap dialektika Hindu itu kurang kaitannya antara satu faktor dengan
faktor yang lain, yakni antara tesis dan anti tesis. Bagaimanapun juga Trimurti
dari mahadewa Pembangun, Perusak dan Pemelihara, itu cocok sekali dengan
Pandangan Hidup yang menyelami proses dalam segala yang ada baik lahir ataupun
batin. Tidak sukar membelokkan proses tersebut kepada trimurti Hegel, yakni
tesis, anti tesis, sintesis. Cuma buat Hegel, seorang ahli dalam ilmu filsafat,
proses itu berlaku dalam otak manusia. sedangkan buat orang Hidnu, Trimurti itu
adalah Mahadewa yang menguasai seluruhnya alam raya kita termasuk juga hidup
dan matinya manusia.
Bagi saya asal-usul, serta sifat ketiga Mahadewa Hindu itu cukup tergambar
dalam masyarakat Hindu yang kabur dan tiada logis-kronologis tercantum dalam
Kitab Suci Hindu.
Tiada sukar bagi kita menggambarkan Hindustan yang pada mulanya terdiri
dari berbagai-bagai kerajaan kecil, yang setelah lama bertempur satu sama lain
akhirnya mendapatkan tiga maharaja atau pun satu maharaja yang terutama.
Terhadap tiga mahadewa itu pun ada tingkat kekuasaan dan kehormatan yang
diterima oleh ketiganya atau masing-masingnya yang berbeda dari tempo ke tempo
dan tempat ke tempat.
Demikianlah di Hindustan sendiri pada satu tempo dan satu tempat Wisnu-lah
yang dipuja. Pada lain tempo dan lain tempat Syiwa-lah yang diutamakan.
Tidak saja pelbagai dewa dan mahadewanya Hindu di dunia gaib itu
mendapatkan penyesuaian pada pelbagai raja dan maharaja di dunia lahir, yakni
dunia politik, tetapi juga mendapatkan penyesuaian penuh pada dunia-sosial
Hindu. Pelbagai kasta dalam masyarkat Hindu itu berpuncak pula pada tiga kasta
pokok, yakni Kasta Brahma, Kasta Satria, dan Kasta Waisya, atau Kasta Pendeta,
Kasta Ningrat, dan Kasta Saudagar. Semua kasta itu berpuncak kepada Kasta
Brahma. Jikalau sesudah mati, kembali ke dunia ini dan mendapatkan kemajuan,
maka menurut hukum karma dan reinkarnasi seseorang harus melalui kasta dari
bawah ke atas, setingkat demi setingkat. Dalam hal itu seorang Kasta Brahma
sajalah yang berhak masuk ke dalam surga, sedangkan Kasta Sudra dan Paria
(kelas rendah) mendengarkan bacaan kitab suci pun di dunia fana ini tiada
diizinkan.
Masyarakat Hindu, terutama di bawah imperialisme Inggris, menjadi pecah
belah dan beku, terpaku pada ribuan Kasta yang tiada boleh bercampur gaul satu
dengan lainnya. Lama sebelum Masehi rupanya pemisahan masyarakat Hindu dalam
beberapa kasta itu sudah menggelisahkan para ahli pemikirnya yang jujur dan
mengandung pri-kemanusiaan.
Reaksi terhadap masyarakat berkasta-kasta itu datang dari pemikir besar
Sidharta Gautama, putera mahkota dari raja Kapilawastu. Sidharta Gautama atau
Budha membantah keras pembagian manusia ke dalam beberapa kasta itu dan
mempropagandakan bahwa bukan anggota Brahmana saja yang dapat memasuki Nirwana
sesudah mati, tetapi siapa saja yang menjalankan agamanya dengan
sungguh-sungguh.
Proses untuk mendemokratisasi masyarakat Hindu yang dimulai pada kurang
lebih 500 tauhn sebelum Masehi itu berakhir dengan kemenangan Agama Budha pada
kurang lebih 500 tahun pula sesudahnya Nabi Isa, yakni dibawah pemerintah
Ashoka. Tetapi aksi yang dilakukan oleh Sidahrta Gautama beserta para
pengikutnya yang berakhir dengan kemenangan sesudahnya 500 tahun itu diikuti
pula oleh reaksi dari pihak Hindu. Reaksi itupun memperoleh kemenangan penuh
dan sampai sekarang Hinduisme masih bersimaharajalela di dalam masyarakat
Hindu.
Setelah abad ke-14 masuklah dari jurusan Utara, agama baru yang terkenal
sebagai agama Islam, yang lahir di antara masyarakat Arab di Arabia. Agama
Islam segera mendapatkan penganut di Hindustan baik dengan propaganda secara
damai ataupun dengan jalan peperangan. Sebelum imperialisme Eropa memasuki
India, orang Islam-lain yang menjadi Maharaja di Hindustan.
5. INDONESIA-INDIA
Gerakan Pandangan-Hidup di India sepeti ditinjau selayang pandang di atas
itu, menjalankan lakonnya pula di Indonesia kita ini. Di sini pun kita mengenal
berlakunya diberlainan tempat dan diberlainan tempo Trimurti, Mahadewa Brahma,
Wisnu, dan Shiwa. Kita pun mengenal pengembangan dan perluasan agama Islam.
Dengan berkembang dan berkuasanya perdagangan Hindu di Indonesia setahun
demi setahun, berkembang dan berkuasa pula bansga Hindu (dibelakang hari juga
bangsa Arab) atas masyarakat dan politik bangsa Indonesia asli. Dengan begitu
berkembang dan berkuasalah pula semua agama Hindu dan Arab (Islam) itu dalam
masyarakat Indonesia.
Dalam hal itu pada puncak kekuasaan masing-masing agama, Hindu ataupun Arab
(Islam), kepercayaan Indonesia asli, kepercayaan yang timbul dari alam
Indonesia sendiri, yakni animisme, tak pernah dapat dilenyapkan dari hati dan
otaknya sebagian besar bangsa Indonesia. Sekarang pun para Hantu yang
bersemayam di pohon besar, di hutan rimba atau air terjun yang terus-menerus
menuangkan airnya itu masih menekan jiwa orang Indonesia yang melihat dan
mendekatinya.
Perbandingan dalam dunia kepercayaan di zaman Hindu itu sesuai pula dengan
perbandingan yang terdapat dalam dunia perekonomian bangsa Indonesia di zaman
tersebut. Perdagangan dan perusahaan asing walaupun berkembang dan berkuasa
dalam masyarakat Indonesia, belumlah pernah Indonesia lepas dari tangannya.
Tegasnya, sawah, ladang, serta hutan, sungai dan lautan, ringkasnya tanah, air,
dan udara masih tetap di dalam genggaman bangsa Indonesia asli. Dengan demikian
masih terjamin bagi bangsa Indonesia asli hari depan yang lebih baik dan lebih
gemilang daripada di waktu yang telah lampau.
Mata pencaharian yang masih erat pada genggamannya, tanah, air, udara yang
teristimewa kaya-pemurah yang bagaimanapun juga hebatnya perasaan dan
penindasan asing dan bangsa sendiri, di zaman Hindu itu, masih bisa menjamin
kehidupan, walaupun sederhana sekali.
Seperti halnya dengan kekayaan dan kemurahan alam yang tiada memaksakan
umat manusianya berebut-rebutan dan bunuh membunuh untuk mendapatkan nafkah,
para arca dari bermacam-macam Mahadewa pun bisa duduk dalam satu gedung
berhala.
Berbeda dengan keadaan di negara asalnya sendiri maka di Jawa-Swarga-Loka,
kita dapat menyaksikan Arca Perusak, Shiwa, berdekatan dengan Arca Pembangun,
Wishnu, sambil bersenyum-senyuman.
6. DI SEKITAR NABI MUSA.
Marilah kita sekarang melayangkan pikiran kita ke arah sungai Nil di Mesir,
ketika di bawah pemerintahan Maharaja Fir’aun.
Di sekitar bagian bumi sanalah kita mendapatkan bukti sejarah yang banyak
sekali dan paling tua sekali di antara bukti sejarah yang sudah diperoleh di
bagian bumi mana pun juga.
Egypt alias Mesir di zaman ribuan tahun yang lampau itu mengenal
bermacam-macam dewa pula. Di antara berbagai Dewa itu maka Dewa Rah, yakni Dewa
Matahari yang mendapatkan kehormatan dan pujaan sebagai Mahadewa.
Maka menurut kepercayaan bangsa asli di Mesir itu Dewa Rah-lah yang
memfirmankan bumi, langit, sungai Nil dan gurun pasir beserta hewan dan
manusia. Semua itu terbentuk sekaligus dengan mengucapkan sepatah kata saja,
yakni Ptah. Jadi berlainan dengan pandangan Kant, Laplace atau Darwin, maka menurut
kepercayaan di Mesir dahulu kala itu dunia dengan isinya ini menjelma dalam
kurang sekejap mata lamanya dari dunia kosong, oleh ucapan Ptah.
Demikian pengertian Mahakuasa, yang sanggup menciptakan Yang Ada, atau
benda dari Yang Tak Ada atau kosong, sudah tersebar pada masa hidupnya Nabi
Musa.
Pengertian Mahakuasa ini pun sudah termasuk ke dalam kepercayaan bangsa
Yahudi, yang pada zaman Fir’aun itu adalah bangsa budak terhina, berhijrah di
kerajaan Fir’aun.
Karena tiada tahan lagi menderita pemerasan, penindasan serta penghinaan
sebagai bangsa asing di tengah-tengah bangsa Mesir asli itu, maka suatu waktu
bangsa Yahudi itu memutuskan, hendak pindah ke “Tanah susu dan madu” yang
menurut kepercayaan yahudi sudah dijanjikan oleh Tuhan kepada bangsa Yahudi
itu. Tanah makmur penuh dengan susu dan madu yang dimaksudkan itu, ialah tanah
Palestina yang sekarang menjadi tanah-rebutan antara Yahudi dan Arab itu.
Buat bangsa budak, yang penghidupannya bergembala dalam suasana kemelaratan
dan penghinaan terus menerus, maka satu daerah bumi dimana “susu dan madu
berlimpahan” serta kemerdekaan penuh dijanjikan kepadanya, tentulah satu besi
berani yang mengandung kekuatan penarik yang sangat besar.
Orang yang memimpin pemindahan besar-besaran (exodus) ke Palestina itu yang
dilakukan secara ilegal dan rahasia sekali, dalam pengembaraan yang dijalankan
dengan mengandung bahaya kemusnahan sebagai bangsa, karena dikejar oleh tentara
Maharaja Fir’aun yang bersenjata lengkap patutlah disebut seorang pemimpin
dalam arti kata sesungguhnya. Bangsa Yahudi akan musnah atau akan terpaksa
kembali ke bawah penindasan Fir’aun, kalau yang memimpinnya bukanlah seorang
pemimpin seperti Nabi Musa.
Walaupun sudah berumur tinggi sekali, menghadapi pelbagai bahaya yang oleh
orang biasa dianggap suatu yang mustahil akan dapat diatasi oleh jenis manusia;
memimpin rombongan yang terdiri dari orang tua-muda, bayi, lelaki, perempuan,
sehat dan sakit yang sering bercecok satu sama lainnya lantaran 1001 macam
kesulitan; membimbing rombongan yang sebagian terdiri dari mereka yang sudah
patah hati dan mau kembali menyerah kepada Maharaja Fir’aun, yang dengan
tentara berkudanya sudah dekat mengejar di belakang, dalam keadaan demikian
cuma seorang pemimpin yang lahir sekali dalam 1001 tahun pula yang dapat terus
memegang pimpinannya.
Pengetahuan yang luar biasa tentang sifatnya manusia serta keadaan alam
sekitarnya, yang dimiliki oleh Nabi Musa. Pandangan tepat tentang kejadian yang
mungkin terjadi di hari depan. Kebijaksanaan, kesabaran dan kecerdikan Nabi
Musa melayani rombongan manusia yang terdiri dari pelbagai umur, pelbagai
pengalaman dan keinginan, serta akhirnya tetapi tidak kurang artinya,
kepercayaan yang tidak dapat dilunturkan oleh bahaya dan pertolongan yang
dijanjikan oleh Jehovah kepada leluhur bangsa Yahudi dalam menuju ke “Tanah
susu dan madu” yang dijanjikan itu. Semua syarat penting bagi seorang pemimpin
dalam keadaan demikian yang terdapat pada Nabi Musa dapat mengatasi segala
kesulitan, dan membawa bangsanya ke tempat yang aman dan bahagia, dengan tidak
berkompromi sedikit pun dengan musuhnya yang 1001 kali lebih kuat.
Pimpinan ulung dari satu orang yang cuma mempunyai satu tujuan dan satu
tekad, sebagaimana menurut kepercayaan Yahudi, Nabi Musa dalam keadaan
kesusahan dan bahaya sering sendiri saja menjumpai Tuhan Yang Maha-Esa,
pimpinan satu orang, yang berkeyakinan atas adanya satu Tuhan itu, …pimpinan
yang membawa bangsa Yahudi ke zaman kejayaan itu, memperdalam kepercayaan
Yahudi kepada keesaan dan kemahakuasaan Tuhan itu lebih daripada yang
sudah-sudah. Bagi bangsa Yahudi di zaman itu, benar-benar the proof of the pudding is the eating (bukti enak atau tidaknya kue itu baru terbukti setelah dimakan).
Dengan sempurna jayanya pimpinan satu orang atau beberapa suku Yahudi, yang
dahulu kala juga mengenal beberapa dewa, menurut sukunya, maka sempurna jayalah
pula kepercayaan monotheisme, percaya kepada ke-esaan Tuhan di antara semua
suku bangsa Yahudi.
7. DI SEKITAR NABI ISA.
Inkonsistensi, kontradiksi logika, pertentangan bagian dengan bagian,
pertentangan dalam hal tarikh, pertentangan kejadian dengan hukum alam dan common sense, yang ditemukan oleh para ahli dan saya sendiri dalam kedua kitab suci,
yakni kitab Injil Tua dan Injil Baru, tidak menjadi pusat perhatian saya di
sini. Saya pikir dalam tingkat pengetahuan teknik dan ilmu, bukti di masa Nabi
Isa itu, semua kegaiban alam dan kesaktian manusia seperti tertulis dalam kitab
sudah pada tempat dan temponya. Yang menjadi pusat perhatian saya di sini ialah
moral (kesusilaan) dan ketuhanan yang termaktub dalam kitab suci itu.
Pertentangan arti dalam hal susila dan ketuhanan, yang saya rasa terdapat dalam
kitab suci itupun dapat disesuaikan dengan pikiran kita, kalau kita
berpendirian seperti ahli, bahwa kitab suci tertulis lama sesudahnya Nabi Isa
wafat dan banyak mengandung faham yang sudah diucapkan oleh para pujangga
Yunani lama sebelum Nabi Isa lahir ke dunia.
Bagaimanakah bisa dipersatukan dalil pokok dari agama Kristen yang berbunyi
: “Kalau pipi kirimu dipukul orang berikanlah pipi kananmu kepadanya buat
dipukul pula” dengan ucapan Nabi Isa yang berbunyi : “Saya tidak datang untuk
berdamai, melainkan untuk berperang”.
Itu dalam hal kesusilaan. Dalam hal ketuhanan pun bagaimana pula bisa
menyesuaikan Yang Maha-Esa, yang diutamakan Injil-Lama dan oleh nabi seperti
kita bentangkan di atas dengan Trinitas-nya, dengan Trimurti-nya, karena
Katholik, ialah kesatuan Yang Tiga, kesatuan Bapa (Tuhan), Anak (Yesus) dan Roh
Suci.
Buat saya sendiri semuanya itu sudah semestinya, kalau diseluk-belukkan
dengan tempo dan tempat. Dengan demikian maka kuranglah pula penting buat saya
apakah pernah hidup seorang Yahudi, yang menamai dirinya Anak Tuhan. Buat saya
sudahlah cukup jelas pelajaran yang diberikan oleh agama Kristen dan Ideal
Keluruhan Jiwa yang dijunjungnya, seperti tergambar pada Nabi Isa. Sudah pula memuaskan
pikiran saya, kalau ada para ahli sejarah, yang mendapatkan kesimpulan bahwa di
mana bangsa Yahudi di bawah penjajahan bangsa Romawi, maka bangkitlah soerang
pemberontak dari daerah Galilea, bernama Yesus dan terang-terangan membela kaum
Murba menghadapi kaum pendeta (Rabbi) Yahudi, yang menjadi kaki tangannya
kekuasaan Romawi di masa itu. Pemimpin pemberontak dari Galilea itu menamai
dirinya raja Yahudi, Mahdi, Yezus Nazarenus Rex Judiorum!
Jika dipandang dari sudut ini, maka hilanglah sudah semua pertentangan di
dalam pikiran kita. Nabi Isa melimpahkan segala kasih sayang serta mengorbankan
jiwanya terhadap kaum Murba, yang memang melarat hidupnya di masa itu dan
memang bersemangat pemberontak, terutama di daerah Galilea. Kalau dia
menganjurkan sikap bermaaf-maafan menganjurkan sikap “pipi kiri dipukul,
berikanlah pipi kanan” maka sikap itu terutama dimaksudkan bagi segenap Murba.
Terhadap kaum pendeta dengan jelas Nabi Isa memajukan sikap menentang, yakni
kalau perlu dengan senjata di tangan menghancurkan kaum Rabbi, penindas bangsa
Yahudi dan kaki tangannya penjajah Romawi di masa itu.
Tentulah ada tafsiran lain yang rasional tentang dua susila yang
bertentangan itu. Salah satunya dikatakan bahwa kaum Murba Yahudi di masa itu
tidak berdaya pula menghadapi kaum Rabbi, penindas dan pemeras yang langsung
berurusan dengan Murba Yahudi.
Jadi menurut tafsiran itu sikap pasif, sikap menerima yang dianjurkan oleh
nabi Isa itu berasal dari perasaan tidak berdaya menghadapi kekuasaan Romawi
serta para Pendeta (Rabbi) kaki-tangannya, “inlanders-alatnya” kekuasaan Romawi itu.
Bagi saya tafsiran yang belakangan ini memang, mengandung alasan tetapi
kurang sempurna. Bangsa Yahudi, terutama kaum Murba-nya, dibelakang kota
seperti di Yerussalem dan teristimewa pula di daerah Galilea, daerah asal Nabi
Isa sendiri, jauh daripada sikap pasif atau nrimo. Pemberontakan besar dan kecil untuk
melepaskan diri dari pemerasan dan penindasan Romawi dengan kaki tangannya acap
kali terjadi. Jadi cocok pula dengan Nabi Isa sendiri ketika berhadapan dengan
para Rabbi, para inlanders-alat itu, seperti di atas tadi.
Di masa “hidupnya” Nabi Isa sendiri tak tampak perbedaan dengan Tuhan Nabi
Musa. Tuhan di masa Nabi Isa itu tetap Yang Maha Esa. Filsafat ketuhanan, bahwa
1+1+1=3 itu timbul dan tumbuh lama setelah Nabi Isa meninggalkan dunia fana.
Tentulah banyak persoalan duniawi yang memungkinkan timbul dan tumbuhnya 3=1
itu. Dibelakang harinya di masa Revolusi Perancis banyak pula anasir masyarakat
manusia ini yang menumbangkan filsafat 3=1 itu! Tetapi bagi saya filsafat
semacam ini tidak menjadi soal pokok.
8. DI SEKITAR NABI MUHAMMAD.
Yang lebih menarik hati saya ialah ketika 600 tahun lebih setelah Nabi Isa,
maka kembalilah 1=1 itu. Bersamaan dengan itu kembalilah pula susila yang
biasa, yang praktis, bagi masyarakat manusia, yakni yang salah dihukum setimpal
dengan kesalahannya, dimaafkan salah seorang yang mengakui kesalahannya dan
mengubah tingkah lakunya di hari depan dengan sungguh dan jujur. Yang
mengembalikan itu ialah Muhammad bin Abdullah, seorang Arab dari suku Qurays.
Karena bangsa Arab dan Yahudi tiada berapa bedanya menurut ilmu kebangsaan, dan
kedua bangsa itu disebutkan bangsa Semit, maka sebetulnya ketiga nabi besar
itu, yakni Nabi Musa, Isa dan Muhammad itu sebangsa dan seketurunan pula. Dalam
kitab Injil sendiri disebutkan, bahwa bangsa Yahudi dan Arab turun temurun dari
Nabi Ibrahim.
Jika kita melayangkan pandangan kita pada keseluruhan muka bumi yang kita
kenal, pada permulaan abad ketujuh itu, maka yang kelihatan pada kita ialah
cuma keruntuhan dalam hal politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Sebaik-baiknya kita hanya dapat menyaksikan stagnasi, malaise, madegnya,
tergenang-mogoknya masyarakat dalam semua hal.
Romawi Barat dengan jajahannya di Eropa Barat dan Utara, di Afrika Utara
dan Asia Barat sedang menderita keruntuhan akibat desakan dan serangan pelbagai
bangsa Jermania dari Utara. Romawi Timur hanya dapat melayani bangsa baru yang
perkasa (Bulgaria dan lain-lain) yang menyerbu ke dalam daerahnya itu, sebagai
tamu yang terpaksa diterima dan dijadikan anggota keluarga sendiri. Dalam hal
kebudayaan, Romawi Timur hanya sanggup memamah-mamah pengetahuan yang
dipusakakan oleh Yunani dan Romawi almarhum.
Mesir, Syria, Persia, Judea dan lain-lain negara bekas penguasa di sekitar
Semenanjung Arabia, semuanya berada dalam keadaan hidup enggan mati tak mau.
Sedangkan semenanjung Arabia yang mungkin sudah mempunyai cacah jiwa, lima
juta, yang boleh dianggap tinggi di masa itu; sudah mencapai kemakmuran, karena
perdagangan dengan negara luar, dengan perantaraan para saudagar yang pintar,
berani dan bersandar pada kalifah yang kuat bersenjata, tersusun sebagai laskar
teristimewa pula, belumlah pernah Semenanjung Arabia menderita penindasan dari
bangsa asing. Dengan demikian maka bangsa Arab masih bersemangat tegak gagah
perkasa dan percaya atas kekuatan diri sendiri. Cuma antar suku masih
bertentangan dan perang memerangi. Sejajah dengan pertentangan dalam pergaulan
itu, maka kepercayaan pun belumlah lagi bersatu, melainkan terpecah belah dalam
pelbagai kepercayaan, yang setelah Nabi Muhammad dinamai Kafir-Jahiliyah.
Mempersatukan pelbagai kepercayaan Jahiliyah yang tergambar pada pelbagai
patung di masa itu; mempersatukan ideologi sebagai sintesis dari pertentangan
pelbagai ideologi yang ada di masa itu, inilah usaha yang pertama sekali dan
terutama sekali dilakukan oleh Nabi Muhammad menjelang persatuan bangsa,
politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
Persatuan itu tidak terdapat pada satu maha-patung, di antara beberapa patung
yang ada di Arabia dan berpusat di Mekkah di masa itu melainkan pada ke-Esaan
Tuhan dan Kemahakuasaan-Nya, yang tiada lagi takluk kepada tempat dan tempo,
seperti patung dimanapun juga, yang dibikin oleh tangan manusia dari benda
apapun juga di dunia ini.
Buta huruf bukanlah berarti buta kecerdasan, buta keberanian ataupun buta
kejujuran. Sebaliknya pula, pendidikan pun tidaklah menjamin keberanian,
keuletan, kejujuran, kecakapan memimpin, ketangkasan memandang ke hari depan
dan mengambil sesuatu putusan dengan cepat serta tepat. (resourcefulness)
Sungguh banyak kebenaran yang terkandung dalam pepatah Indonesia “jauh
berjalan banyak dilihat, lama hidup banyak dirasai”. Perjalanan yang dilakukan
oleh Muhammad bin Abdullah ke negara-negara di sekitar Arab, bersama-sama
dengan kafilah memberikan semua pengalaman dan pengetahuan yang cukup buat
seorang pemimpin, jenderal, pujangga dan Nabi di hari depan, saat Semenanjung
Arabia dan sekitarnya kelak akan sangat membutuhkan pemimpin semacam itu.
Nafsu ingin tahu, yang meluap dalam otak pemuda Muhammad bin Abdullah, yang
ingin mengetahui asal-usul semua yang ada di alam dan masyarakat itu dapat
dipenuhi oleh masyarakat di sekitar Arabia, yang sudah mencapai kebudayaan
tinggi di masa lampau. Pendeta dan Rabbi dapat memberikan petunjuk ataupun cara
berpikir beserta bahan berpikir buat menjawab semua soal yang timbul dalam otak
yang ingin tahu dalam segala-galanya.
Bumi dan langit Semenanjung Arabia yang memberi kesan yang tidak dapat
dilupakan oleh seorang yang mengamatinya akan menyempurnakan pengetahuan yang
diperoleh dengan percakapan dalam pulang pergi dari Mekah ke luar negeri itu.
Pengalaman yang diperoleh ketika mengikuti kafilah, yang acap kali menghadapi
pelbagai musuh telah mendidik, melatih semua sifat pemimpin yang terpendam
dalam jiwa Muhammad bin Abdullah.
Terlatih tergembleng dalam “University of Life” (Universitas hidup) itu, maka apa bila
Semenanjung Arabia membutuhkan persatuan dalam segala-galanya maka tampillah
Muhammad bin Abdullah ke depan masyarakatnya, mengambil pimpinan sebagai
propagandis, jenderal, pembesar negara, pemimpin masyarakat dan Nabi.
Tempo dan tempat amat sesuai dengan keesaan dan kemahakuasaan pada
permulaan abad ketujuh itu. Perhatikanlah sekali lagi Semenanjung Arabia dan sekitarnya
di masa itu.
Masyarakat di Semenanjung Arabia sangat membutuhkan kesatuan dalam
pimpinan, yang sanggup menjalankan kekuasaannya, di atas pelbagai kekuasaan
dari pelbagai suku. Lagi pula masyarakat itu memerlukan adanya satu kaum, yakni
kaum Muslimin, yang berdiri di atas segala bangsa di Dunia. Semua keperluan itu
sungguh dapat dipenuhi oleh kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Yang
Maha Kuasa, yang menguasai serba sekalian alam dan manusia, bidadari dan
malaikatnya.
Semangat Islam, yakni semangat menyerah kepada Kodrat Tuhan, semangat
menerima putusan Tuhan itu dengan suka cita, semangat Islam itu sebagai pusat,
jiwa dan filsafat serta prakteknya suatu kepercayaan, memang belum lagi dikenal
dalam sejarah manusia. Agama baru yang bertentangan dengan kepercayaan pelbagai
suku Arabia itu tidaklah akan dibatalkan ataupun disembunyikan oleh Nabi
Muhammad. Apabila dalam suatu hari keluarga Nabi Muhammad meminta dalam satu
rapat, supaya propaganda Islam itu dihentikan saja, karena sangat menimbulkan
pertengkaran, dan sangat mengancam jiwa Nabi Muhammad, maka Nabi Muhammad
menjawab : Bahwa walaupun matahari di kiri dan bulan di kanan melarang yang
sedemikian, larangan itu tak akan diindahkan.
Syahdan, dengan semangat bersatu padu di antara kaum Muslimin yang kian
hari kian bertambah banyak juga anggotanya; dengan semangat bertawakal
menyerahkan jiwa raganya kepada Yang Maha Kuasa, dengan semangat tak mengenal
damai dengan kepercayaan Kafir Jahiliyah, maka dibawah pimpinan Nabi Muhammad
akhirnya setelah kira-kira dua puluh tahun berjalan propaganda Islam, persiapan
dan pertempuran sengit berulang-ulang, maka tercapailah persatuan seluruh
Semenanjung Arabia.
Dengan persatuan yang kuat-kokoh di antara semua suku Arab, dengan semangat
pantang menyerah, Islam, zonder (tanpa) janji kepada takdir Tuhan, seimbang dengan semangat menyerang
zonder mengenal damai terhadap negara dan rakyat di sekitar Arabia, untuk
memperoleh kemenangan lahir dan batin, maka dalam kurang lebih 100 tahun
dapatlah bangsa Arab menguasai hampir seluruh Laut tengah di Asia, Afrika dan
Eropa.
Seharusnya lebih daripada penghargaan resmi, yang diberikan oleh dunia
Kristen kepada Arab Islam, di Abad Pertengahan sampai sekarang pun, jasa
Arab-Islam, tentang filsafat dan ilmu pengetahuan empirik, sesungguhnya belum
mendapatkan penghargaan yang sepatutnya!
Dengan bangsa Arab, maka selesailah sudah circle edaran dialektika! Dengan Nabi Musa
majulah ke depan filsafat ketuhanan 1=1 sebagai tesis. Setelah Nabi Isa, maka
timbullah tentangan berupa 3=1, sebagai anti-tesis. Dengan Nabi Muhammad
terbentuklah sintesis, yakni kembalinya filsafat 1=1 dengan lebih sempurna dan
lebih kaya isinya daripada semula.
Sedikit saja filsafat Ketuhanan Islam yang tercantum dalam takdir, kemauan
Tuhan, yang tak dapat dielakkan itu menoleh ke dunia lama, yakni masyarakat
Yunani, maka filsafat Islam mendapatkan bahan serta petunjuk yang berharga.
Filsafat Islam dapat mengangkat kembali filsafat Yunani yang ratusan tahun
terpendam di bawah haribaan kerajaan Romawi. Filsafat Islam dapat memisahkan
padi yang berisi dari padi yang hampa, menanam yang berisi sampai tumbuhnya di
Abad Pertengahan.
Dengan demikian sepatutnyalah kita menoleh ratusan tahun ke belakang
masyarakat Islam yang jaya-mulia-makmur di Spanyol, Mesir, dan Bagdad dan
kembali sebentar menoleh ke masyarakat Yunani asli.
9. YUNANI ASLI.
Bagi kebudayaan Eropa-Amerika modern, maka kebudayaan Yunani asli masih
dianggap Kebudayaan Ibu. Plato, sebagai ahli filsafat, masih menjadi sumber
bagi filsafat Idealisme. Filsafat Heraklitos masih dianggap uratnya
materialisme dan dialektika. Aristoteles masih dianggap moyang pelbagai ahli
ilmu pengetahuan empirik (scientis dalam sudut pandang positivisme) modern.
Demikianlah bermacam cabang kebudayaan modern dapat dicari uratnya pada
Kebudayaan Yunani asli. Tidaklah mengherankan, kalau bahasa Yunani asli itu
sampai sekarang masih perlu diajarkan kepada mahasiswa yang harus menyelami
semua ilmu modern itu lebih dengan dalam, sampai keuratnya.
10. AGAMA, FILSAFAT DAN ILMU PENGETAHUAN
EMPIRIK.
Kalau sekarang kita memusatkan perhatian kepada dunia Barat, yakni Eropa
dan Amerika, maka tampaklah di mata kita tiga garis pokok kebudayaan. Semenjak
2500 tahun sejarah Dunia Barat, yakni dari kurang lebih tahun 500 SM sampai sekarang
tiga garis pokok itu adalah garis agama, garis filsafat dan garis ilmu
pengetahuan empirik. Semua cabang kebudayaan yang lain termasuk ke dalam atau
bersandar kepada tiga garis pokok itu.
Syahdan, tiga garis pokok dalam sejarah dunia barat yang 2500 tahun itu,
banyak sekali mengalami kemajuan, kemunduran serta pertukaran nilai dan
kedudukan.
Dalam garis besarnya, maka dari tahun 500 SM sampai tahun 1500 M, agama
memperoleh nilai kedudukan tertinggi. Di masa itu maka ilmu filsafat cuma
mengabdi kepada agama serta ilmu pengetahuan empirik boleh dianggap melalaikan
otak dan pikiran belaka. Saat itu meliputi zaman Yunani, Romawi dan Abad
Pertengahan, yang dikuasai oleh masyarakat Islam dan masyarkaat Nasrani. Pada
zaman Yunani dan Romawi ahli filsafat sudah mengambil bagian terkemuka dalam
masyarakat dan negara.
Boleh dikatakan pula, dalam garis besarnya maka dari tahun 1500 sampai 1850
masehi, ilmu filsafatlah yang memperoleh nilai dan kedudukan yang tertinggi
dalam masyarakat Barat tadi. Di masa ini maka mulailah agama terdesak ke
belakang. Bahkan pada masa Revolusi Perancis agama mendapat perlawanan yang
sekeras-kerasnya.
Sedangkan ilmu pengetahuan empirik makin mendesak dan sudah menjadi
sandaran utama bagi ilmu filsafat. Pada saat itu, bukan lagi kaum pendeta yang
memegang pimpinan masyarakat dan negara, melainkan mereka yang mempunyai
pengetahuan filsafat dan ilmu pengetahuan empirik, ilmu nyata.
Akhirnya kira-kira dari tahun 1850 sampai sekarang, maka ilmu pengetahuan
empirik (science)-lah yang memperoleh nilai dan kedudukan tertinggi dalam masyarakat serta
negara Eropa dan Amerika modern itu. Agama yang di masa Revolusi Perancis
mendapat tentangan yang sekeras-kerasnya bisa bangun kembali, tetapi tidak lagi
mendapatkan nilai dan kedudukan seperti sebelum Revolusi Perancis.
Pada pertengahan abad ke-19 ilmu filsafat dalam arti aslinya mulai turun
dari singgasananya seperti terdapat di zaman sebelumnya. Satu golongan ahli
filsafat, yakni filsafat materialisme dialektis, di bawah pimpinan Marx dan
Engels memproklamirkan : “Hari Akhir Filsafat”. Semenjak itu ilmu
kemasyarakatan pun sudah didasarkan atas hukum ilmu pengetahuan empirik. Ilmu
pengetahuan empirik dalam pelbagai pokok, cabang dan ranting sudah mengambil
nilai serat kedudukan yang tertinggi sampai sekarang.
Ahli ilmu pengetahuan empirik memakai perkataan filsfat tetapi artinya
berlainan dari semula. Artinya sekarang, terutama ialah weaving up general principles(penyusupan prinsip umum), seperti dikatakan Francis Bacon, salah seorang
ahli ilmu pengetahuan empirik besar.
Jelas kiranya bahwa dalam tiga zaman yang kita kemukakan buat Dunia Barat
seperti tersebut di atas salaing beralihan nilai dan kedudukan yang diambil
oleh tiga garis pokok kebudayan itu: agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan
empirik. Adapun peralihan ketiga garis pokok yang sejajar pula dengan peralihan
kedudukan yang dialami oleh para penguasa masyarakat dan negara (Social-political regime) adalah berurat pada peralihan yang dialami oleh sistem produksi yang
berdasarkan teknik yang ada.
11. PERALIHAN SISTEM PRODUKSI.
Pada masa pendeta dan ningrat memegang tampuk pimpinan masyarakat dan
negara baik di Yunani, Romawi maupun di Eropa Barat di zaman pertengahan
(kurang lebih tahun 1500 sampai 1850 M), produksi sudah lebih dipusatkan pada
manufaktur. Di akhir masa itu, pengoperasian pabrik sudah mulai dijalankan
dengan mesin uap.
Pada masa borjuis (yang dibantu atau ditentang oleh kaum sosialis) di mana
kaum borjuis memegang tampuk pimpinan masyarakat dan negara di Eropa-Barat dan
Amerika, (berkisar sejak tahun 1850 sampai 1948), produksi sudah dikuasai finance capital (modal bank) dan monopoli. Tekonologi maju cepat, dari tenaga uap sampai
tenaga listrik, minyak dan sekarang tenaga atom.
12. SOAL AGAMA.
Adapun soal agama, kita semua kurang lebih sudah mengetahuinya. Soal itu
berpusat kepada : Dari mana asalnya dan bagaimana akhirnya Bumi, Bintang, dan
langit pendeknya alam raya ini?
Dari mana asal dan bagaimana akhirnya manusia? Tiga agama ketuhanan, yakni
agama Yahudi, Nasrani, dan Islam mendasarkan semua asal dan akhir itu kepada
kodrat Tuhan. Alam raya itu sekaligus difirmankan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Manusia adalah ciptaan Tuhan. Nasib manusia oleh tiga agama diserahkan kepada
kemauan Tuhan. Nasib itu dipertimbangkan pula oleh amal dan ibadahnya. Amal dan
ibadahnya itulah setelah hari kiamat yang akan ikut menentukan, apakah pahala
atau hukuman yang akan diterimanya di akhirat. Yang beribadah dan bernasib baik
akan diampuni dosanya dan masuk surga. Yang bersalah atau bernasib malang akan
dimasukkan ke dalam neraka. Ringkasnya ketiga agama itu tidak saja menetapkan
awal dan akhir manusia tetapi juga menetapkan jalan buat mendapatkan surga dan
menghindarkan neraka.
Agama Hindu dan Budha mempunyai pengertian lain tentang awal dan akhir
manusia itu. Budha, Sidharta Gautama, mengemukakan lima jalan untuk mendapatkan
surga. Berbeda daripada tiga agama tersebut diatas, agama Budha lebih
menggantungkan akhir manusia itu kepada tanggung jawab diri sendiri dan
perbuatan diri sendiri.
Semua itu sudah kita ketahui. Mana yang betul tentulah terserah kepada
masing-masing penganut agama itu sendiri. Yang benar menurut satu belum tentu
benar menurut yang lain. Bagi saya agama itu tetap “eine Privatsache” atau kepercayaan
masing-masing orang. Dengan majunya ilmu filsafat, logika, dan matematika maka
ahli agama pun memakai ilmu ini buat menjelaskan sendi agamanya. Tetapi, yang
jelas bagi penganut satu agama belum tentu jelas bagi penganut agama lain.
Agama tinggal tetap sesuatu kepercayaan bagi masing-masing orang.
13. FILSAFAT
Seperti soal agama, maka soal filsafat juga banyak tergantung kepada sudut
pandangnya. Tetapi bagi kami sudut pandang yang bisa berhasil memuaskan dan
yang tepat, yang bsia memberi penyelesaian ialah soal yang sudah dimajukan oleh
Fredrich Engels pada abad lampau. Menurut Engels, ahli filsafat bisa dibagi dua
golongan, yakni golongan materialis dan golongan idealis. Di antara dua
golongan besar yang merupakan dua-kutub yang saling bertentangan itu
terdapatlah pelbagai golongan, yang kalau dikupas lebih dalam sebenarnya
termasuk ke dalam salah satu golongan, materialis atau idealis. Ahli-ahli
filsafat itu terpecah dua sebagai akibat pertentangan jawaban yang diberikan
oleh mereka atas soal filsafat, yang berbunyi : “Manakah yang asal (primus) dan manakah yang
turunan (derivative) diantara benda (matter) dan paham (idea)? Di alam raya terdapat soal benda dan kodrat yang menggerakkan benda itu.
Di dalam jenis hewan soal itu berubah menjadi soal badan dan jiwa
(nyawa-naluri). Di dalam jenis manusia, soal itu berubah-bertukar menjadi soal
jasmani dan rohani-pikiran. Ahli filsafat bertanya, manakah yang asal, benda
atau kodrat, badan atau jiwa, dan jasmani atau rohani?
14. KAUM MATERIALIS DAN IDEALIS
Kaum materialis menjawab bahwa benda dan jasmani itulah yang asal, yang
pokok : “Tak ada kodrat zonder benda. Manusia haruslah dapat makan,
supaya dapat berpikir”. Syahdan sebelum manusia itu ada di bumi ini, maka bumi
dan bintang itu sudah ada, kata kaum filsafat materialis.
Menurut kaum idealis, maka ide, kodrat atau rohani itulah yang asal (primus) dan benda jasmani
itulah yang turunan (derivative). Kata idealis ekstrem, maka yang ada di alam raya ini cuma ide saja,
yakni ide yang ada dalam otaknya ahli filsafat itu sendiri. Memang paham ini
ada hubungannya dengan kekuasaan mahadewa Rah, yang mengisi dunia-kosong pada
awal dunia ini dengan binatang, bumi, langit, sungai, tumbuh-tumbuhan, hewan,
dan manusia dalam sekejap mata setelah kata “Ptah” difirmankan (lihat Madilog)
Bagaimanapun juga perbedaan paham itu, teranglah sudah bahwa ejekan yang
ditujukan oleh kaum idealis kepada kaum materialis, bahwa kaum materialis cuma
memikirkan makan-minum serta kesenangan hidup saja, tidaklah pada tempatnya
sama sekali.
15. AHLI FILSAFAT YUNANI
Bahwasanya setelah para ahli pikir Yunani mulai melepaskan diri dari tali
pusat kepercayaan yang bersandar kepada dogma semata-mata, dan mulai kritis
menghadapi alam raya kita ini, kita mengenal juga jawab yang diberikan oleh
mereka itu. Mereka sampai kepada empat anasir asli, yakni tanah, air, udara dan
api. Terkurung dalam rohaninya sendiri sebagai penyelidik alam raya ini serta
terganggu oleh benda dan gerakan benda di luar pikirannya sendiri, maka Zeno,
idealis Yunani, mengambil kesimpulan bahwa: “Gerakan (benda) itu cuma bayangan
panca indera manusia saja (illusion of the sense)."
Pemikir ulung masyhur dari bangsa Yunani juga, yakni Plato setelah memakai
cara berpikir yang memisahkan benda dengan kodrat, serta memisahkan jasmani
dengan rohani, mendapat kesimpulan bahwa yang asal itu ialah ide-mutlak (absolute idea). Dengan cara berpikir
yang abstrak, pilah-memilah (analisis), dia sampai kepada Dunia Logos, Dunia
Roh. Banyak persamaan Logos Plato itu dengan Atma-nya Hindu.
Sebaliknya, seorang pemikir tandingannya yang dengan dua kakinya bersandar
atas benda yang nyata, serta gerakan benda, yakni Heraklitos, mengucapkan
kesimpulan yang sampai sekarang masih besar artinya bagi kita, yaitu :”Sesuatu
itu ada dan tak ada karena semua itu cair, luntur, senantiasa berubah, selalu
timbul dan lenyap”. Heraklitos mengakui adanya benda, bahkan memajukan
hipotesis molekul, yang lebih dari dua ribu tahun kemudian baru dibenarkan oleh
ilmu pengetahuan empirik. Lagi pula dalam pertentangannya dengan Zeno,
Heraklitos mengemukakan bahwa gerakan, sebagai sifat benda dan yang menyebabkan
benda, senantiasa mengalami perubahan (Nich ist, alles wird) menurut hukum gerakan, yakni Hukum
Dialektika.
Di antara kaum di samping kedua golongan ahli filsfaat tersebut hidup
raksasa pemikir Yunani, yakni Aristoteles. Sebagai seorang tabib yang
senantiasa mengenal adanya benda dan jiwa, sebagai bapak dari beberapa ilmu,
terutama ilmu hayat (biologi), maka Aristoteles memusatkan perhatiannya kepada
suatu susunan, suatu sistem. Aristoteles lebih daripada Zeno dan Plato dalam
memperhatikan benda. Tetapi hukum berpikir yang diutamakannya ialah hukum
logika dan hukum dialektika yang dikemukakannya tidak sama dengan hukum
dialektika yang dipakai oleh Heraklitos dan Demokritos.
16. AHLI FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN
Besar sekali pengaruh para ahli filsafat Yunani pada umumnya, serta
pengaruh Aristoteles dan Plato khususnya terhadap masyarakat di zaman
pertengahan, yakni masyarakat Islam dan Nasrani. Dunia filsafat Barat
memuncakkan pujiannya pada Ibnu Rusyd, yang terkenal sebagai Averoes, atau
Ariestoteles-nya bangsa Arab. Dan memang bendera filsafat Ariestoteles yang
sudah terbenam ratusan tahun itu diangkat kembali oleh Ibnu Rusyd, diperbarui
dan diserahkannya sebagai warisan masyarakat Yunani. Plato pun banyak mendapat
penghargaan di masyarakat Islam dan Nasrani di zaman pertengahan. Pada kedua
masyarakat itu kita kurang mendengar nama Heraklitos dan Demokritos. Tetapi
mungkin pengaruhnya juga cukup besar atau lebih besar daripada keterangan
sejarah yang diwariskan kepada kita.
Masyarakat Islam di Abad Pertengahan mengenal satu golongan pemikir yang
dinamai Mu’tazilah. Mereka terdapat di kota-kota besar kerajaan Islam dan
dianggap ilegal sebagai pemberontak, sebagai anarkis dan ateis. Keterangan
lebih lanjut tentang paham dan kehidupan mereka tidaklah sampai kepada kita,
selain daripada bahwa mereka itu dianggap murtad oleh agama resmi. Ibnu Rusyd
sendiri, kalau saya tidak salah adalah seorang Mu’tazilah dan kebebasan
pahamnya itu sangat ditakuti oleh para pendeta di Eropa, sehingga para murid
Eropa (Nasrani) yang kembali dari Spanyol Islam ke Eropa itu sangat diawasi
gerak-geriknya. Tetapi tidak mengherankan kalau mereka kaum Mu’tazilah adalah
Murba-Kota yang berpaham revolusioner dan penganut materialisme dialektis
walaupun masih serba sederhana (rudimentary).
Tidaklah mengherankan kalau di Eropa Barat di zaman pertengahan itu, kita
sedikit sekali mendengar nama Heraklitos dan lebih banyak mendengar nama Plato
dan Ariestoteles.
Hidup amat sukar sekali bagi kaum budak-serf di zaman pertengahan Eropa Barat itu. Hawa yang
dingin, kabut yang tebal, alat yang serba sederhana, ringkasnya kesengsaraan
hidup lantaran pemerasan dan tindasan yang kejam atas budak-serf oleh kaum ningrat dan
pendeta, tidaklah memberikan kesempatan mereka memikirkan soal filsafat. Soal
ini diserahkan kepada para pendeta yang tinggal di pekarangan gereja yang
besar, dikelilingi oleh pohon dan dilayani oleh rakyat budak disekitarnya.
Terpisah dari masyarakat pekerja seperti Logosnya Plato, terpisah dari benda
yang kasar fana itu, maka para rahib dan pendeta mendapat kesempatan penuh
untuk menguji filsafat Plato dan Ariestoteles. Logos dan rohani mutlak Plato
cocok benar dengan sifatnya God (Tuhan) yang berada lepas dari segala-galanya dan berada di atas segala
itu. Paham mereka, para rahib dan pendeta, merupakan pelaksanaan Logos dan God itu di duniawi ini.
Klasifikasi Ariestoteles, tentang tumbuhan, hewan dan lain-lain yang
terpisah dari tumbuhan dan hewan yang sesungguhnya sangat digemari oleh schoolmen, scholasticus, ahli buku, di Abad Pertengahan. Karena ahli buku yang memang hidup
terpisah dari Murba itu, memisahkan diri pula dari hewan dan tumbuhan yang
sesungguhnya! Demikianlah pengetahuan buku ahli filsafat di Abad Pertengahan itu
tergantung di awang-awang saja, seperti hidupnya sendiri terpisah dari rakyat
Murba yang sesungguhnya, yang menghasilkan semua kebutuhan hidup para ahli
filsfaat di Abad Pertengahan itu.
Dari tahun 500 SM sampai tahun 1500 M, maka filsafat masih bersandar kepada
agama dan ilmu pengetahuan empirik yang sederhana. Kaum idealis masih memakai
kepercayaan agama sebagai premis (bukti-dasar) dalam pembentukan sistem
(karangannya). Tetapi kaum materialis tidak lagi memakai anasir kepercayaan
agama itu sebagai premis. Mereka ini memakai bukti yang nyata saja sebagai
premis.
Keduanya, idealis dan materialis mempergunakan matematika, ilmu alam dan
ilmu hayat yang sederhana sekali dalam penjelasannya. Dengan semakin majunya
ilmu pengetahuan empirik, maka kian ditinggalkan penjelasan yang berdasarkan
kepercayaan yang tak dapat dibuktikan itu (petitio principi).
17. AHLI FILSFAT DI SEKITAR REVOLUSI PERANCIS.
Di sekitar zaman Revolusi Perancis, maka ilmu pengetahuan empirik sudah
jauh sekali mendapat kemajuan, kalau dibandingkan dengan zaman Plato,
Heraklitos dan Aristoteles. Di Perancis kita mengenal raksasa matematika dan
ilmu-ilmu alam (physic) serta mekanika seperti Maupertuis, Clairut, D’Alembert, Lagrage, Laplace,
Fourier, Carnot, Pascal dan lain-lain. Di Inggris bangkit seorang raksasa
matematika ilmu alam dan fisika, yakni Isaac Newton. Dalam dunia ilmu Kimia
hadirlah seorang berkebangsaan Perancis bernama Lavoiser yang menyusun secara
sistematis ilmu kimia, yang merupakan pengembangan lebih lanjut dari pemikiran
Ibnu Sina, ahli kimia Arab!
Sedangkan Cuvier mengembangkan pemikiran Aristoteles. Perbandingan
Phytagoras dilanjutkan oleh Newton, begitu juga pemikiran Archimedes oleh
Pascal. Masih banyak yang bisa disebut, namun itu semua ibarat memperbandingkan
anak bayi dengan orang dewasa.
Tidaklah mengherankan kalau kemajuan ilmu pengetahuan empirik, yang telah
membikin jarak zaman kuno dan Abad Pertengahan seolah-olah puluhan ribu tahun
lamanya itu memberikan bahan yang tidak ternilai pada ahli filsafat. Tetapi para
ahli filsfaat tetap terpecah dua, yakni golongan idealis dan materialis. Bahkan
masing-masing golongan itu mempergunakan kemajuan ilmu pengetahuan empirik itu
sebagai penjelasan (proof) kebenaran masing-masing teori mereka.
Di Inggris muncul dua ahli filsafat yang terkemuka, yakni pendeta Berkeley
dan David Hume. Berdasarkan atas kerohanian si pemandang, maka David Hume
dengan tekad konsekuensi seorang ahli filsafat berkata bahwa setelah final analysis (kupasan terakhir) maka segala yang ada dalam alam raya ini tidak lain
hanyalah a bundle of
conceptions (gabungan paham) tentang alam raya itu.
Bahkan Hume mengatakan bahwa “kamu-pun” buat dia (Hume) hanyalah satu
“gambaran” dalam otak Hume semata-mata. Sesungguhnya dengan begitu maka Hume
meniadakan dirinya sendiri. Karena kalau Hume mengatakan bahwa orang lain, buat
dia cuma satu “gambaran” dalam otak Hume saja, maka orang lain itu pun bisa
berakat bahwa Hume sendiri tidak akan ada bagi orang lain itu saja, selain
daripada satu gambaran dalam otak orang lain itu saja. “Kamu” buat Hume adalah
“saya” buat orang lain itu. Sebaliknya “saya” buat Hume adalah “kamu” buat
orang lain itu.
Imanuel Kant ahli filsafat Jerman yang banyak dipengaruhi oleh David Hume
tidak berani menarik kesimpulan nekat layaknya David Hume itu. Kant berdiri
ditengah-tengah! Dia tidak bisa meniadakan yang ada di alam raya ini. Tetapi
selain mengakui yang ada itu, dia lari pula kepada “Ding An Sich” “benda pada dirinya
sendiri”, yang belum diketahuinya. Dengan hadirnya Imanuel Kant di Jerman, maka
timbul-tumbuhlah juga filsafat idealisme yang kemudian diteruskan oleh para
ahli seperti Fichte dan Hegel.
Berkeley dan Hume, kedua ahli filsafat idealis Inggris di sekitar revolusi
borjuis itu mendapat kritikan yang keras sekali dari ahli filsafat materialis
Perancis yang termashur seperti Diderot dan Lamartine. Bersandarkan matematika,
ilmu alam dan fisika yang maju pesat pada masa itu, maka mereka meniadakan
kemahakuasaan kerohanian di alam raya ini. Tenggelam pada paham sebaliknya,
maka mereka mengakui kemahakuasaan kerohanian di alam raya ini. Tenggelam pada
paham sebaliknya, maka mereka mengakui kemahakuasaan Matter in move, benda bergerak. Seolah-olah manusia tak memiliki daya berhadapan dengan
benda dan hukum gerakan benda di alam raya ini. Manusia itu adalah mesin yang
pasif, menerima saja. Kalau ada kodrat penggerak bergeraklah dia, kalau tidak
berhentilah dia. Jadi seperti mesin yang pasif, penerima itu, demikianlah pula
manusia itu takluk tanpa syarat apa-apa kepada alam disekitarnya. Materialisme
yang semacam ini kami namaiMechanical-matterialism, yakni materialisme yang menganggap manusia itu seperti mesin yang
menerima nasibnya dari kodrat yang ada di luar dirinya saja. Seolah-olah
manusia itu tidak berdaya untuk mengubah suasana dan keadaan alam disekitarnya.
Rupanya masih ada sisa semangat lama yang melekat pada semangat kaum
materialisme mekanis itu. Seperti manusia sederhana merasa tak berdaya terhadap
takdir Tuhan, demikian pula kaum materialis di masa Revolusi Perancis merasa tidak
berdaya terhadap kebendaan itu (mechanism of matter).
18. MATERIALISME DIALEKTIS.
Suara ahli filsafat materialisme, seperti juga suara ahli filsafat
idealisme bisa diterima dengan baik di kalangan pemikir Jerman. Ludwig
Feurbach, seorang profesor Jerman, mengadopsi filsafat materialisme dari
Perancis, tetapi terutama yang menyangkut pada apa yang dinamakan menschalische taotigkeit (perbuatan manusia). Marx dalam 11 tesis bantahan terhadap Feurbach,
menyatakan bahwa pemikiran Feurbach itu menyangkut “Perbuatan manusia itu pada
idealisme”, sedangkan bagi Marx “Perbuatan manusia masuk ke dalam golongan
kebendaan”. Setelah Feurbach dipecat oleh kaum borjuis dari pekerjaanya sebagai
mahaguru lantaran dianggap terlampau radikal, maka feurbach terpaksa hidup
terpisah di desa Jerman dan kian hari kian luntur dalam pandangan revolusioner
dan dalam cara berpikir menurut cara dialektika materialistis.
Pemikiran yang bersandar kepada dialektika dilanjutkan oleh Marx dan teman
sezamannya, yakni Frederich Engels. Di samping pujangga, kedua orang ini adalah
ahli dan penggemar matematika yang kerap mempergunakan utopis sosialisme
Perancis dan Inggris. mereka juga memanfaatkan teori Evolusi dari Charles
Darwin, serta teori ekonomi Adam Smith dan David Ricardo dalam pembentukan
teori mereka. Dengan mendapatkan cause atau lebih tepat condition (keadaan), yakni sebab kemajuan masyarakat itu, maka sosialisme, yang
berdasarkan impian (utopia) seperti dicetak oleh Thomas Moore, Saint Simon,
Fourir, dan Robert Owen, berubah menjadi scientific socialism, yakni sosialisme
ilmiah. Adapun yang dianggap menjadi sebab (cause) perubahan, termasuk perubahan masyarakat, dari
tingkat ke tingkat itu ialah perubahan sistem produksi ilmu sejarah yang
didasarkan pada benda yang nyata dinamai historical materialism (materialisme sejarah),
yakni teori materialisme tentang sejarah. Pandangan hidupnya yang berkenan
dengan kebendaan yang bergerak itu dinamai juga Materialisme Dialektis.
Disebut materialisme karena matter, bendalah yang dianggap primus, pokok, asal di alam raya ini. Disebut pula
dialektis karena cara menghampiri soal benda serta kejadian di alam raya ialah
dalam keadaan bertentangan dan bergerak, yakni dalam keadaan timbul, tumbuh,
dan tumbang.
Setelah Marx dan Engels mendapatkan cause atau condition, sebabnya dari perubahan dan pertukaran
sesuatu masyarakat manusia itu, maka berubah-bertukarlah pula sejarah manusia,
dari satu kebetulan, dari satu nasib yang tiada bersebab dan tiada pula
mengakibatkan sesuatu yang nyata, menjadi sesuatu peristiwa yang berpangkal,
berujung, bersebab dan berakibat. Dengan begitu, maka berpindahlah pula ilmu
sejarah itu dari dunia-gaib ke dunia nyata. Demikianlah asal dan tujuan, serta
lakonnya suatu masyarakat itu mulai dapat diselami oleh akal. Setelah segala
kebendaan dan semua gerakannya dalam alam raya ini dipecah-pecah, dikupas,
diselidiki, dan dipastikan hukumnya semenjak ahli filsafat Yunani, maka berubah
bertukarlah pula filsafat, yang berbunyi what does this all mean (apakah arti semuanya
ini), menjadi soal kaum ahli ilmu pengetahuan empirik yang mengupas,
menyelidiki serta membentuk pelbagai ilmu pengetahuan empirik.
19. ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK.
Tepat juga kesimpulan Engels yang mengatakan bahwa dalam perkembangan
ratusan tahun itu, maka ilmu filsafat sudah berpecahan dan berpisahan menjadi
ilmu pengetahuan empirik, Wissenschafft, Science, yakni pelbagai ilmu tentang sejarah dan pelbagai ilmu tentang alam raya
(natura). Sisa dari filsafat itu menurut Engels, ialah logika dan dialektika.
Kembali lagi kita kepada ilmu pengetahuan empirik awalnya, ke zaman Yunani
dan dari sini secepat kilat kita berlari ke zaman modern. Kemudian dapatlah
kita menoleh sebentar kepada logika dan dialektika yang oleh Engels disebut
sebagai sisanya filsafat itu.
Syahdan, dalam kurang lebih 2500 tahun perantauannya, maka sains, ilmu
pengetahuan empirik, yang dianggap sebagai anak dari filsafat dan cucu dari
agama, yang sampai sekarang sebagian besarnya belum lagi lepas dari ari-ari
(tali pusat) ibu dan neneknya, ilmu pengetahuan empirik tentang alam raya
–dunia terbesar yang tidak tampak semuanya karena besarnya itu- sudah sampai ke
dunai terkecil yang tidak tampak oleh mata, karena kecilnya. Satu ‘universe’ (alam) yang dapat ‘universe’. Kini kita mengenal adanya planet-planet dan
tatasurya lain. Kita juga mengenal alam molekul dan atom Molekul dan atom yang
tercipta dalam hipotesis atau dugaan kedua materialis dialektis, Heraklitos dan
Demokritos itu sekarang bisa dibuktikan oleh mata dengan bantuan teropong.
Bahkan ilmu pengetahuan empirik sudah sampai kepada benda yang lebih kecil
lagi. Atom yang semula diduga tak dapat dibagi-bagi lagi itu ternyata masih
bisa dibagi menjadi dua, yakni proton dan elektron. Seperti bumi dan matahari;
seperti satu tatasurya lainnya; seperti universe dengan universe lain di alam
raya ini diikat oleh kodrat Tolak dan Tarik (repultion dan atraction), yang boleh dikatakan masih termasuk jenisnya kodrat tesis dan anti tesis
dalam dialektika, maka demikian juga dua dunia terkecil tadi, yaitu proton dan
elektron tadi, diikat oleh kodrat Tolak dan Tarik menjadi satu atom satu
sintesis atom. Ringkasnya sintesis dari proton dan elektron adalah atom;
sintesis atom dan atom ialah molekul; sintesis molekul dan molekul yakni badan;
sintesis dari bumi dan matahari ialah tatasurya, sintesis dari satu tatasurya
dengan tatasurya lainnya serta akhirnya satu‘universe’ dengan ‘universe’ lainnya, ialah alam raya kita ini.
Dalam 2500 tahun ini, menurut dialektika dan hukumnya tesis, anti tesis,
dan sintesis, maka otak manusia sudah mengenal alam terbesar, yakni alam raya
kita dan alam terkecil ialah elektron dan proton tadi.
20. CABANG-CABANG ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK
Entah sampai mana ilmu pengetahuan empirik bakal bercabang lagi!
Kalau kita pergunakan logical
division (pembagian logika) atas ilmu pengetahuan
empirik, maka kita memperoleh dua kelas, yakni yang masuk kelas sejarah dan
yang masuk kelas alam. Maka ilmu pengetahuan empirik mengenai sejarah manusia
itu sudah terpecah-pecah pula menjadi ilmu kemasyarakatan (sosiologi) dan
sejarahnya, ilmu politik, ilmu hukum, ilmu ekonomi, ilmu kesusasteraan dan
lain-lain. Ilmu pengetahuan empirik yang mengenai alam raya ini sudah terbagi
sudah menjadi ilmu bintang, ilmu alam (phisic), ilmu kimia, ilmu listrik dan lain-lain. Disamping
itu kita kenal pula ilmu matematika yang bukti dasarnya berlandaskan barang
ciptaan seperti angka (number) dan huruf (letter). Kita kenal ilmu ukur, ilmu hitung, aljabar, trigonometri dan sebagainya.
Perpecahan ini tidak hanya dalam cabang besarnya saja, tiap-tiap cabang itu
sudah terpecah-pecah juga. Cermati saja berapa banyak ahli yang sudah terdapat
dalam ilmu kedokteran. Kita mengenal ahli gigi, ahli telinga, ahli hidung, ahli
rambut dan lain-lain. Ambillah juga contoh dari cabang ilmu hukum yang sudah
terbagi juga atas beberapa ranting seperti ilmu hukum undang-undang dasar (constitutional laws), ilmu hukum tata
negara (laws of nation) hukum sipil (civil laws) dan hukum kejahatan (criminal laws).
Besar sekali bahayanya kalau orang yang ahli dalam suatu cabang ilmu
pengetahuan empirik tidak lagi mengenal hubungan ilmunya dengan berlusin-lusin
ilmu lain sehingga dia hidup terpisah oleh keahliannya itu. Tegasnya adalah
bahaya kalau seorang dokter ahli rambut hilang lenyap dalam haarklovery-nya saja dan melupakan
hubungan rambut itu dengan seluruh bagian tubuh yang lain dan seluruhnya
kesehatan manusia. Tak kurang juga besar bahaya kalau seorang ahli kejahatan,
kriminolog, memandang kejahatan dari sudut tingkah laku seseorang saja,
seolah-olah dia lupa bahwa perbuatan orang yang hidup dalam masyarakat itu conditioned tergantung pada pelbagai keadaan di dalam dan luar dirinya sendiri;
tergantung kepada gerakan jiwa yang berseluk-beluk dan berkenaan pula dengan
keadaan ekonomi-politik, sosial dan kebudayaan dalam masyarakat itu sendiri.
Berhubung dengan bahaya keterpecahan, keterpisahan, keterasingan itulah
maka kuat sekali arusnya satu aliran dalam dunia ilmu pengetahuan empirik untuk
mengkoordinasi, menghubungkan kembali pelbagai ilmu pengetahuan empirik untuk
mengkoordinasi, menghubungkan kembali pelbagai ilmu yang terpecah-belah karena
kemajuannya sendiri itu! Seperti sudah lebih dahulu saya sebutkan, inilah
rupanya yang dimaksudkan seorang scientis ternama dengan weaving up general principles sebagai tafsiran dari filsafat modern.
21. MAKSUD, CARA, BAHAN DAN SEMANGAT ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK.
Tidaklah mungkin, tetapi tidak juga perlu disini kita menghampiri dan
menafsirkan isi semua atau sebagian pun dari pelbagai cabang pengetahuan itu.
Sudahlah cukup kepentingan kita disini, mencoba menafsirkan maksud ilmu
pengetahuan empirik, cara ilmu pengetahuan empirik memperoleh maksudnya. Serta
bahan yang dipakainya dan akhirnya semangat yang dikandungnya buat mencapai
maksudnya itu.
Salah satu kalimat yang lazim dipakai buat mendefinisikan (menetapkan)
maksud ilmu pengetahuan empirik ialah : simplification by generalization atau mempermudah dengan memasukkan sesuatu yang dipelajari itu ke dalam
sesuatu yang sudah lebih dikenal atau memasukkan yang belum dikenal itu ke
dalam yang sudah lebih dikenal.
Kalimat lain yang juga biasa digunakan untuk mendefinisikan maksud ilmu
pengetahuan empirik berbunyi : the
organization of facts (menyusun segala bukti). Formula ini saya
rasa amat praktis. Berhubung dengan inilah pula, maka sains itu saya
terjemahkan dengan ‘ilmu bukti’.
Tetapi tidak pula kurang praktisnya formula yang lain, yang juga
dipublikasikan di dunia ilmu sebagai maksud sains, yaitu to estabish laws and system, untuk membentuk hukum dan sistem.
Sekian tentang maksud ilmu pengetahuan empirik.
Tentang caranya mendapatkan maksud itu, ialah dengan cara logika,
klasifikasi, statistik dan ukur-mengukur serta timbang-menimbang. Sering juga
dipakai cara dialektis. Dalam logika kita berurusan dengan apa yang dinamakan
induksi, deduksi dan verifikasi. Dalam matematika kita berurusan dengan apa
yang disebut metode sintetik, analitik dan reductio ad absurdum. Kedua ragam cara
berpikir dalam logika dan matematika itu tiada berapa bedanya. Di tempat lain
saya sudah uraikan perkara itu lebih lanjut, yaitu dalam buku Madilog. Di sini saya cuma hendak menyebutkan sambil lalu saja caranya kaum scientis itu mendapatkan maksudnya, yaitu mendapatkan hukum dan sistem itu (laws and
systems).
Bahan atau bukti yang dipergunakan oleh kaum ahli ilmu pengetahuan empirik
itu diperoleh dengan jalan observation (pengamatan) atau experiment (praktek). Jalan experiment lebih banyak mendapatkan hasil. Karena dengan
jalan pengamatan penyelidik cuma pasif, berdiam diri dan mengamati saja,
sedangkan dengan jalan praktek si penyelidik boleh memindahkan barang dari
tempat ke tempat dan mencampurkan pelbagai benda menurut maksud yang dituju.
Sedangkan si pengamat cuma bisa mengamati hidup dan sifatnya masing-masing
tumbuhan atau hewan di masing-masing tempatnya, tetapi si pelaksana praktek
dapat mengawinkan tumbuhan maupun hewan untuk mendapatkan jenis yang baru, yang
lebih besar, lebih kuat dan lebih sehat.
Alangkah pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan empirik semenjak Galileo. Pada permulaan
abad ke-17 Galileo mengadakan experiment-nya di menara kota Pisa. Boleh dikata experiment itu telah membuka pintu
untuk mendapatkan kekayaan alam yang tak ada batasnya bagi umat manusia. Dari
empat anasir yang dikenal oleh Yunani asli, yakni tanah, air, udara, dan api
maka ilmu kimia sekarang saja sudah mengenal 92 elements (anasir)
Akhirnya, dan tidak juga kurang pentingnya maka semangat objectivity (tidak melibatkan subyektivitas, termasuk emosi dan kepentingan) di samping
semangat adventure, dalam arti sanggup meloncat dari dunia bukti ke dunia
hipotesis dan teori adalah satu sine qua non bagi seorang sciencetis. Seorang ahli yang cuma tetap berada dalam dunia bukti saja dan tak
sanggup melepaskan bukti-bukti itu supaya bsia melayang ke dunia hipotesis dan
teori, tidaklah akan sanggup membentuk laws and systems seperti maksud science. Mereka akan tetap
tinggal pada dunia bukti saja.
22. MASYARAKAT TIMUR DAN ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK.
Kurang tepat kalau dikatakan bahwa masyarakat Timur, di luar Arab tidak
mengenal ilmu pengetahuan empirik. Kurang tepat jika disebut bahwa India,
Tiongkok dan lain-lainnya cuma mengenal agama dan filsafat saja dan tidak
mengenal science, ilmu pengetahuan empirik. Konon kabarnya bapak ilmu ukur (geometri) itu
adalah seorang Hindu asal Birma dan katanya juga India lama sudah mengenal
aljabar. Juga Tiongkok sudah mengetahui bagaimana membuat lingkaran, walaupun
tidak memkai rumus P.R yang kita kenal. Tak ada yang tak akan terkagum-kagum
dan terpengaruhi oleh logikanya mahaguru Kung (Confucius) kalau membaca sistem
kekeluargaan dalam empat bukunya. Tak ada pula orang yang tak akan terpesona
mengikuti cara dialektis yang dipergunakan oleh mistikus maha guru Lao Tze, apa
bila dia menjelaskan pahamnya. Saya sendiri berkali-kali mengagumi kemajuan
obat orang Tionghoa. Bahkan dalam meramalkan hari depan, sehubungan dengan
hujan, panas, angin ribut dan topan sering kali saya menyaksikan keulungan
pawang Tionghoa (biasanya para rahib) di atas ilmu pengetahuan empirik Barat
dengan weather forecast, weerbericht atau ramalan cuacanya. Dan bukankah
pengetahuan percetakan, bubuk mesiu dan kompas diwariskan oleh Tiongkok ke
dunia Barat melalui Arab?
Namun semua yang disebut itu tidak lantas menyatakan bahwa masyarakat
Tiongkok asli sudah sampai ke tingkat science, seperti masyarakat Yunani 500 tahun SM.
Mahaguru Kung walaupun logis berpikir belum sampai kepada tingkat membentuk
logika sendiri, yakni memisahkan hukum berpikir itu dari process (lakonnya) berpikir itu sendiri. Mahaguru Lao belum pula dapat menarik
hukum dialektika dari proses berpikir, yang memang dialektis. Demikian juga
tukang ukur, ahli kedokteran, dan ahli cuaca di Tiongkok belumlah sampai ke
tingkat memisahkan, hukum ilmu ukur, hukum kedokteran dan kimia dari proses ukur-mengukur,
obat mengobat dan memisahkan hukum gerakan udara daripada proses yang berlaku
di udara. Kung tzu memakai logika itu cuma menurut nalurinya (instinct) saja! Begitu juga Lao
tze mempergunakan dialektikanya. Dan cara mencatatnya pun itu semua dalam
bentuk ingatan analogi saja. Demikianlah tukang ukur, ahli obat dan ahli
keadaan cuaca di Tiongkok menjalankan prakteknya. Mereka tak pernah lepas dan
melompat lalu melambung ke dunia hukum. Di sinilah kelebihan hukum dan
pengetahuan yunani daripada dunia India dan Tiongkok. Rupanya kodrat pendorong
di India dan Tiongkok berupa sistem produksi, cara menghasilkan dan membagikan
hasil, tiada berapa majunya semenjak kurang lebih empat ribu tahun! India
terpaku pada sistem kastanya. Tiongkok terpaku pada dunia feodal yang mengakar
kepada sistem kekeluargaan. Terpaku kepada teknik, sosial, ekonomi, politik
serta kebudayaan yang berlainan coraknya dengan sistem yang ada di Eropa Barat,
seperti huruf alfabet (a,b,c) belum lagi lepas dari gambaran suatu pengertian
menurut sistem menulis di Tiongkok (Han-dji). Begitulah juga hukum ilmu pengetahuan
empirik belum lagi lepas-terpisah, melompat-melambung keluar dari bukti itu
sendiri.
23. YUNANI SEBAGAI PELOPOR ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK.
Dengan demikian maka patutlah kita memberikan piala kehormatan ke tangan
bangsa Yunani sebagai pelopor ilmu pengetahuan empirik modern. Dalam arti
tulisan dan lisan memang Archimedes melompat dan melambung dari dunia bukti
nyata ke dunia hukum atas bukti yang nyata.
Sekian lama Archimedes bertanya kepada dirinya sendiri tentang mengapa dan
bagaimana badannya bisa melambung ke atas, kalau dia mencemplungkan dirinya ke
dalam air, ke dalam sembarang air di sembarang tempat. Akhirnya dia mendapatkan
ilham dan pertama kali menetapkan, sebab dan akibat, yang dicarinya itu.
Archimedes mendapat hukum, tentang benda yang terbenam, melayang dan mengapung
dalam air, yang sekarang kita jadikan pelajaran di sekolah. Dalam
kegembiraannya Archimedes tidak saja melompat keluar dari air dan berteriak-teriak Eureka, Eureka (saya dapat) ke sana kemari melupakan pakaian tetapi ia sudah melompat
melambung dari dunia benda ke dunia hukum. Hukum yang pertama sekali ditetapkan
itu kian tahun kian mengembang dan melambung. Hukum tadi dilaksanakan pada
semua tempat dan semua waktu, sampai salah seorang pengikutnya menemukan air
raksa (kwik). Barang biasa seperti kayu tidak terbenam di dalam air raksa melainkan
terapung. Nyatalah di belakang hari, bahwa bukan Hukum Archimedes yang salah
melainkan formulanya masih kurang luas. Hukum Achimedes bahkan mendapatkan verification (pembuktian), lantaran bukti baru (air raksa) tadi. Kini air diperluas
daerahnya, yakni mengenai minyak, air raksa dan lain-lain atau mengenai semua
yang cair. Orang atau kayu diperluas pula daerahnya menjadi semua benda. Hukum
Archimedes tumbuh dengan subur sampai kepada Gay Lusac dan lain-lain. Sampai
dilanjutkan ke udara, ke strastosphere, ke mana Prof. Piccard melambung mencari
pengesahan alam. Merantaulah Piccard ke dunia yang belum di alami, ke dunia
yang cuma dianggap benar menurut hipotesis saja! Merantau berpetualang dari
alam terkenal ke alam yang belum di kenal, seperti Columbus, Ronald Amunsen dan
lain-lain para ahli penjelajah samudra!
Dengan begitu sempurnalah cara induksi, deduksi, verifikasi yang diutamakan
oleh logika dan ilmu pengetahuan empirik itu. Dan lebih sempurnalah pula
mencari sebab, yakni dengan lima jalan yang sudah dikenal :
1.
Method of agreement (cara persamaan).
2.
Method of Difference (cara pembedaan).
3.
Joint Method (cara paduan).
4.
Concomitant Variation (cara perubahan serempak).
5.
Mehtod of Residue (cara sisa).
Sejarah menceritakan kepada kita bahwa Pytahogras tidak tinggal menguji (to prove) sudut siku yang kita
kenal. Selain pertama sekali menegakkan teori dan cara menguji teori,
Pythagoras pun cocok dengan suasana zamannya mengangkat angka dan teorinya itu
ke dunia gaib. Banyak angka yang dianggap sakti oleh mahaguru Pythagoras.
Dengan demikian maka Pythagoras mempengaruhi dunia keagamaan, dunia filsafat
dan yang berkenaan dengan uraian kita disini, yakni dunia matematika.
Dipelopori oleh Pythagoras, kita setelah 2500 tahun ini sampai kepada pelbagai
teori matematika yang sulit seperti teori relativitas Einstein, melalui para
ahli matematika raksasa seperti Fermat, Laplace, Newton dan lain-lain. Dan
dalam semua kebesaran dan jasa para ahli matematika itu, sekali-kali tidak
dapat kita lupakan kebesaran dan jasa para ahli Islam yang melakukan pemilahan
(abstraction) yang lebih tinggi. Angka yang dipakai sebagai simbol (lambang) benda
sudah dipisahkan dari sembarang benda. Angka 3 boleh menjadi lambang dari tiga
prajurit, tiga bomber ataupun tiga bambu runcing. Tetapi Aljabar naik setingkat
lagi mengangkat huruf menjadi lambang. Huruf X umpamanya boleh mewakili angka
1,2,3 dan seterusnya. Tanpa Aljabar tidaklah mungkin kita sampai kepada teori
trigonometri dan relativitas Einstein. Teknik Aljabar memungkinkan atau
sekurangnya sangat memudahkan kemajuan matematika. Pelambungan benda ke angka
dan pelambungan angka ke huruflah yang memberi pesawat kepada Einstein dan
Newton supaya mudah melambung ke dunia bintang di langit dan mengukur segala
kodrat yang bergerak di alam raya ini, dari gerakan pasir, batu, bumi, matahari
sampai ke gerakan atom dan sinar matahari yang laju 300.000 km dalam sedetik!
Dikatakan oleh beberapa ahli bahwa klasifikasi yang dilakukan Ariestoteles
dibekukan oleh pengetahuan di Abad Pertengahan. Ucapan semacam itu tidak boleh
diterima begitu saja. Haruslah diperiksa bagaimana keadaan produksi dan
masyarakat di Abad Pertengahan itu membekukan klasifikasinya Aristoteles.
Tetapi yang nyata ialah klasifikasi yang banyak dipergunakan oleh Aristoteles
dalam ilmu hayat (biologi) itu menjadi perkakas yang penting, disamping
dialektika, bagi pelopor biologi modern, yakni Charles Darwin. Di masa Darwin
bertualang dengan kapal Beagle-nya mempelajari jenisnya (species) tumbuhan dan
hewan, di daratan, lautan dan udara Darwin tak lepas dari cara klasifikasi,
induksi, deduksi dan cara menetapkan sebab yang dibentuk oleh Aristoteles dalam
logikanya. Memang permulaan abad ke-19 adalah abad yang sanggup mengangkat
kembali ilmu yang hidup yang sudah dipelopori oleh Aristoteles. Ilmu yang
dirintis oleh raksasa pemikir Yunani itu sempat terhenti di zaman tengah dan di
belakangnya, karena produksi, teknik dan ilmu umumnya belum lagi mengizinkan
kebangkitannya kembali untuk maju dengan pesat cepat, seperti setelah sampai ke
tangannya Charles Darwin yang hidup dalam kandungan masyarakat kapitalisme
modern.
Demikian juga lebih dari 2000 tahun teori molekul dan atom serta tafsiran
materialisme dan cara berpikir dialektis dari Heraklitos, Demokritos dan
Epicurus harus beku terpendam menunggu masyarakat dan produksi yang cocok serta
para ahli yang pantas seperti Marx, Engels, dan Lenin yang sanggup
membangkitkan teori, tafsiran dan cara yang telah lama beku terpendam itu buat
dilanjutkan dan disempurnakan.
Sekianlah di sini tentang ilmu pengetahuan empirik!
24. LOGIKA DAN DIALEKTIKA.
Serba sedikit juga di sini akan diuraikan tentang logika dan dialektika.
Isi, bagian, sifat, sejarah, daerah serta batas logika, seperti juga isi,
bagian, sifat, sejarah, daerah dan jenisnya dialektika, sudah kami uraikan juga
dengan panjang lebiar dalam buku Madilog. Di sini akan kami bentangkan perbedaan
dan daerah masing-masing dari kedua cara berpikir itu secara garis besarnya
saja. Lagi akan kami singgung pula dua jenis dialektika, yakni dialektika
idealistis dan dialektika materialistis.
Dunia mengakui Aristoteles sebagai bapak logika. Dialah yang pertama kali
membentuk logika, yakni cara berpikir sebagai suatu ilmu yang terpisah.
Pembentukan itu sudah sampai begitu sempurna, sehingga bolehlah dikatakan bahwa
dari zaman Aristoteles sampai ke zaman John Stuart Mill dan Ueberweg, logika
itu tidak banyak lagi mengalami perubahan penting. Boleh dikatakan bahwa dalam
segala cabang ilmu pengetahuan maka logika itu tidak dapat disingkirkan ataupun
diabaikan zondermenderita kegagalan atau kekurangan di pihak ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dialektika di tangan Heraklitos dan demokritos sudah sanggup menyelami
dunia benda sampai ke molekul dan atom yang tidak kasat mata dan baru bisa
dilihat dengan mikroskop di zaman modern. Tetapi dengan majunya pengetahuan
tentang semua benda dan gerakan benda maka dialektika sebagai hukum berpikir
yang berdasarkan benda dan gerakannya mendapat dorongan yang belum pernah
dialaminya di dunia lampau, di dunia statis, berhenti dan pasif tadi.
Di tangan Hegel, pemimpin aliran borjuis demokratis Jerman yang menentang
feodal-autokratis, maka dialektika idealistis melambung setinggi-tingginya. Di
tangan Marx dan Engels sebagai pemimpin aliran proletaris-komunis Eropa Barat
yang menentang kapitalis demokratis, dialektika materialistis menjadi perkakas
berpikir kaum revolusioner-proletaris bagi seluruh dunia.
Di tangan kaum Bolsyewik Rusia cara berpikir dialektika materialis dapat
membentuk satu partai Murba yang sanggup menghancur leburkan feodal borjuis
Rusia dan mendirikan diktatornya kaum Murba Rusia.
Syahdan logika itu sering juga ditafsirkan sebagai hukum berpikir, atau
cara berpikir. Itu tafsiran yang sah.
Adakah perbedaan dan apakah perbedaan kedua hukum berpikir itu? Sepintas
lalu saja, saya pikir, perbedaan antara kedua hukum berpikir itu, terutama
sekali terletak pada cara menempatkan (barang) yang diselidiki oleh penyelidik.
Pemakai logika menempatkan sesuatu yang diperiksa itu dalam keadaan
berhenti (static), terpisah (distinct), tak berubah-ubah (unchangable) dan kekal. Sesuatu itu
harus diselidiki satu persatu, terpisah-pisah dan dianggap tak berhubungan dan
berkenaan satu dengan lainnya sesuai waktu dan tempat.
Pemakai dialektika menempatkan sesuatu yang diselidiki itu dalam keadaan
bergerak (movement), berhubungan (connection), berubah-berubah (change) dan bertentangan. Sesuatu itu harus diselidiki dalam gerakan,
pertentangan, timbul-tumbuh dan tumbangnya dalam suatu waktu pula.
Bagi seorang pemakai logika dalam menghadapi suatu soal dalam keadaan itu,
maka dalam jawabannya, “ya itu adalah ya dan tidak itu tidak. Ya itu tidak
boleh tidak dan tidak itu tidak boleh ya”. Satu sama lainnya bertentangan, tak
bisa liput-meliputi. Seperti kata Ueberweg :”Pertanyaan yang pasti dalam arti
yang pasti pula, yakni apakah suatu sifat tertentu dimiliki oleh suatu barang,
harus dijawab dengan ya atau tidak. Tidak boleh dijawab dengan ya dan tidak”.
Tiga premis pokok bagi logika adalah : Pertama A itu = A; kedua A itu bukannya
Non A; dan ketiga tak ada jembatan antara A dan Non-A (tiga premis pokok ini
disebut juga ‘prinsip identitas’).
Berhubung dengan tiga premis pokok tersebut maka sesuatu (barang) itu masuk
jenis A atau masuk jenis Non-A. Dan suatu kesimpulan yang satu dengan yang
lainnya bertentangan, tak bisa benar kedua-duannya.
Contoh :
Apakah warna sapi itu hitum atau putih jika dipandang dari sebelah kiri
ini?
Memang jika hanya satu atau terbatas warna yang dimiliki oleh benda yang
tak bergerak, pertanyaan semacam itu dapat dijawab dengan hitam atau putih
saja. Umpamanya sebagian dari sapi itu dipandang dari kiri putih, bukannya
hitam. Dan kalau dipandang dari sebelah kanan maka sapi itu sebaliknya, yakni
hitam bukannya putih.
Jadi jawabannya boleh cocok A=A itu bukannya Non-A.
Tetapi apakah jawabannya, kalau orang bertanya :
Apakah warna sapi itu seluruhnya hitam atau putih?
Pertanyaan itu sudah tak dapat lagi dijawab dengan putih saja atau dengan
hitam saja.
Tetapi disini dialektika bisa melangkah masuk dan ikut campur memberi
jawaban sebagai berikut :
Seluruh sapi itu ya putih ya hitam. Atau dengan perkataan lain :
Sapi itu belang.
Belum lagi sapi itu menjalani sepanjang umurnya, yakni sejak masa bayi
sampai ia menjadi dewasa, ketika warnanya sering mengalami perubahan. Dan belum
lagi sapi itu digerakkan dengan kecepatan sinar, yaitu 300.000 km sedetik.
Dalam hal ini, maka belum tentu warna belang itu bisa memadai. Bukankah pada
masa perang dunia kedua penipuan warna (aberation, aberratie) itu, (ialah lantaran pertukaran warna
berkenaan dengan sinar, gerakan dan antara), dipakai oleh armada Amerika buat
menipu musuhnya?
Demikianlah, maka sehubungan dengan sesuatu yang sulit (complex) tetapi masih dalam
keadaan tak bergerak saja, logika sudah terpaksa meminta bantuan kepada
dialektika. Apalagi dalam keadaan bergerak!
Memang suatu pertanyaan seperti : “ Apakah bola yang bergulir cepat ini pada
detik ini berada di titik ini atau tidak lagi? Ini tidak dapat lagi dijawab ya
atau tidak saja. Kalau dijawab tidak, maka jawaban itu salah, karena memangnya
bola itu pernah berada pada titik yang dimaksudkan itu. Kalau dijawab ya, maka
jawaban ini pun salah karena belum lagi si penjawab selesai mengucapkan ya,
bola itu sudah melewati titik itu. Jadi logika tak berdaya apa-apa dalam hal
ini, logika harus meminta pertolongan kepada dialektika untuk memberi jawaban
ya dan tidak sekaligus.”
Bahwa sesungguhnya, maka semenjak abad yang lalu ilmu pengetahuan empirik
sudah mengakui bahwa :
1.
Semua Kodrat di alam raya ini (Force,
Energy), yang terlaksana pada cahaya, panas dan sinar (light, heat dan
ray) beserta cadangannya yang tersembunyi seperti magnetisme, listrik dan
kodrat-kimia, semuanya itu adalah bentuk gerakan di alam raya, yang beralih
dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Dengan demikian maka dengan timbulnya
satu bentuk kodrat maka lenyaplah bentuk yang lain, sehingga semua gerakan di
alam raya berada dalam peralihan dari bentuk ke bentuk, dengan tiada
henti-hentinya. Kant-Laplace menjelaskan peralihan molten mess (benda
cair) di alam raya pada permulaan dini sampai menjadi alam raya sekarang dengan
bumi, bintang dan kometnya.
2.
Adanya sel sebagai satuan dalam badan
tumbuhan dan hewan! Karena pelipatgandaan (multiplication) dan perbedaan
(variation), ketika turun temurun sel, maka terciptalah dunia tumbuhan dan
hewan yang dikenal di masa sekarang ini.
Oleh Charles Darwin dijelaskan bahwa semua tumbuhan, hewan dan manusia yang
sekarang ada di atas bumi kita ini adalah hasil dari kemajuan ratusan-ribu
tahun dari beberapa sel-tunggal dalam suasana struggle for existence
(perjuangan hidup) suasana survival of the fittest (kejayaan yang kuat) dan
adaptability (kemampuan menyesuaikan diri). Beberapa sel-tunggal ini muncul
dari putih telur dan protoplasma menurut hukumnya ilmu kimia.
Joule dan Mayer menunjukkan bahwa panas bisa beralih menjadi listrik.
Memang selama masih berada dalam jenis panas dan listrik kita bisa menjawab
semua pertanyaan menurut logika, statistik, dan ukuran. Dengan pasti bisa
dijawab, berapa derajatkah tingginya panas dan berapa satuan tenaga kudakah
listrik. Juga bisa kita jawab pertanyaan Ueberweg, apakah ini panas atau
listrik, dengan ya atau tidak. Tetapi apabila panas bukan lagi panas, namun
belum lagi menjadi listrik, maka pertanyaan tadi tidak lagi dapat dijawab
dengan ya atau tidak saja. Pertanyaan itu harus dijawab dengan ya dan tidak
sekaligus.
Demikian pula dalam keadaan di mana satu kodrat sedang mengalami satu
peralihan : seperti air sedang berubah menjadi uap, kodrat bergerak sedang
beralih menjadi dinamo (listrik) dan sebagainya, atau satu zat sedang mengalami
peralihan juga : atom beralih menjadi molekul, putih telur beralih menjadi
benda hidup, tumbuhan beralih menjadi hewan dan 1001 contoh lainnya…., maka
logika statika dan ukur-mengukur secara matematika itu tidak berdaya lagi.
Dalam hal ini maka dialektikalah yang sanggup memberi jawaban.
Apabila kepastian dalam peralihan itu sudah terampil (air sudah menjadi
uap, magnetisme sudah menjadi listrik, matahari sudah menjadi bumi, tumbuhan
sudah menjadi hewan) maka dalam hal itu dapatlah juga dipergunakan logika,
statika, matematika, dan ilmu ukur-mengukur serta timbang-menimbang! Di
belakang hari Ueberweg juga mengambil kesimpulan seperti berikut : Dalam soal
yang gampang (simple) boleh dipakai logika. Tetapi dalam berurusan dengan
pelbagai barang yang mengandung pelbagai sifat yang bertentangan, maka kita
harus mengakui coincidence of
oposites (perjumpaan beberapa pertentangan).
Jadinya dalam hal ini boleh dipergunakan ya dan tidak sekaligus!
Dalam salah satu halaman buku karangannya yang berjudul logik, Hegel seorang raksasa
filsafat Jerman berkata kurang lebih begini, “dialektik nennen wir solche geistlische Bewegung, bei denen das getrennt
scheinenden durch ischselbst, d.h ducrh das, was sie sind in einander
uebergehen, und so des getrent scheinenden aufheben”.
(saya tepaksa mencatat di luar kepala pula!)
Artinya kurang lebih :”Yang kita namakan dialektika ialah gerakan pikiran
(rohani), ketika yang berbentuk saling terpisah itu, olehnya sendiri artinya
terbawa oleh sifatnya sendiri saling berpindahan, dan dengan begitu, maka yang
berbentuk keterpisahan itu ditiadakan (artinya bersatu kembali).”
Banyak persamaan antara Hegel dengan bekas muridnya Marx! Tetapi besar pula
perbedaan di antara guru dan murid, setelah pikiran murid keluar dari kandungan
pikiran gurunya.
Persamaan pertama :
Kedua jenis pemikiran itu sama-sama mempergunakan cara dialektik, yakni
menyelidiki sesuatu dalam keadaan bergerak, bertentangan timbul, tumbuh dan
tumbang.
Persamaan kedua :
Keduanya sama-sama menolak pemisahan kekal antara ya dan tidak itu. Dalam
gerakan tesis, antitesis, dan sintesis, maka akhirnya ya itu bisa menjadi tidak
dan sebaliknya. Dalam gerakan itu maka perubahan quantity (jumlah) lambat laun beralih menjadi
perubahan quality (sifat). Dengan demikian tercapailah Negation der Negation (peniadaan ketiadaan).
Syahdan menurut ilmu logika dan matematika, maka dua barang yang
masing-masingnya bersamaan dengan barang ketiga, kedua barang itu bersamaan
pula satu dengan lainnya. Tetapi dua barang yang masing-masing berbeda dengan
barang ketiga belumlah tentu bersamaan satu dengan lainnya.
Di atas sudah kita tunjukkan, bahwa dua pemikir besar, yakni Hegel dan Marx
kedunya sama berbeda sikapnya soal logika.
Mereka sama-sama tidak setuju dengan pemisahan kekal dan pertentangan kekal
antara ya dan tidak itu. Mereka sama-sama juga menyelidiki sesuatu itu dalam
suasana dialektika (gerakan pertentangan). Tetapi ada juga perbedaan besar
antara kedua penganut dialektika itu.
Adapun Hegel menyandarkan dialektika itu kepada tafsiran dan teori
idealisme. Sedangkan Marx mendasarkan dialektika itu atas teori dan tafsiran
materialisme. Hegel adalah penganut dialektika idealistik. Marx dan teman
pembentuknya Engels, adalah penganut dialektika materialistik.
Dalam “Dialektika dan Logika” maka Plekanov mengikhtiarkan perbedaan
dialektika materialstik dan dialektika idealistik sebagai berikut :
Dalam sistem Hegel, maka dialektika sama diri dengan metafisika. Buat kami
maka dialektika bersendi atas ilmu ke-alam-an (hukum alam).
Dalam sistem Hegel, maka demiurge,
creator atau pembikin yang nyata (reality), ialah absolute idea (akal atau ide mutlak). Buat kami, ide mutlak itu, cuma satu pemisahan (abstraction) dari gerakan. Dan oleh
gerakan itu terjadilah semua perpaduan dari keadaan semua benda.
Menurut Hegel, maka paham itu maju disebabkan oleh keinsyafan dan
penyelesaian beberapa pertentangan yang berada di dalam pikiran (concept). Menurut teori
materialis kami, maka semua pertentangan yang ada dalam pikiran oleh dunia
pikiran, atas pelbagai pertentangan yang ada itu adalah bayangan di otak
manusia; adalah satu tafsiran pada dunia nyata (fenomena), sebagai akibat dari
pertentangan yang terdapat pada dasarnya-bersama, yakni gerakan.
Menurut Hegel, maka semua kemajuan yang nyata, itu ditetapkan oleh kemajuan
pikiran (idea). Menurut paham kami, maka kemajuan pikiran itu dapat dijelaskan oleh
kemajuan yang nyata, kemajuan paham oleh kemajuan hidup (manusia).
Demikianlah Marx dan Engels membalikkan kembali yang di udara itu ke tanah
dan kepada yang oleh Hegel ditaruh di tanah kembali ke udara dan membuka kudung
kegaiban yang dikenal oleh Hegel kepada dialektika itu. Dengan begitu, maka di
tangan Marx dan Engels dialektika menjadi senjata revolusi semata-mata.
Diselimuti oleh kudung gaib, maka dialektika menjadi senjata kaum
reaksioner di Jerman. Buat Hegel maka dialektika adalah senjata revolusi
terhadap kaum feodal tetapi berubah menjadi senjata reaksioner terhadap kaum
proletar. Buat Marx dan Engels sebagai para pembela kaum proletar, maka
dialektika yang bersandar pada materialismelah senjata yang tepat, tetap, dan
sempurna terhadap kaum feodal dan kaum borjuis.
Akan terlampau panjang kalau kita mengupas lebih dalam persamaan dan
perbedaan, cara dan teori berpikir antara Hegel dan Marx dalam karangan yang
dimaksudkan cuma sebagai satu tujuan singkat saja ini. Di lain tempat tinjauan
yang lebih luas dan lebih dalam sudah saya kerjakan agak lebih lanjut. cuma
sebagai penguji, ingin saya menyinggung lagi sedikit persamaan dan perbedaan
itu, serta menyinggung pula persamaan dan perbedaan materialisme mekanik dengan
materialisme dialektik!
Janganlah hendaknya kita menyangka bahwa Hegel terus melayang-layang di
dunia pikiran saja dengan tak pernah menginjakkan kakinya ke tanah-bukti (reality). Sebaliknya pula
jangan dikira bahwa Marx dan Engels tak pernah melepaskan kakinya dari tanah-bukti
dan tak pernah memasuki dunia cita-cita, pikiran, ide itu!
Kedua jenis pemikiran tadi maju berpikir dengan berpegangan kepada kedua
dunia pikiran dan bumi-bukti. Tetapi Hegel berpangkalan kepada dunia pikiran
dan Marx-Engels berpangkalan kepada bumi-bukti. Dengan demikian, maka hasil
yang diperoleh Marx dan Engels juga jauh lebih kaya daripada hasil yang
diperoleh Hegel.
Demikian Hegel pernah mengucapkan, bahwa rohani (spirit) itu adalah dasar
pendorong (motive-principle) sejarah. Tetapi disamping itu, diucapkan pula bahwa keadaan-ekonomi pada
satu tingkat menjadi kodrat, yang berlaku dengan perantaraan (instrumentality) rohani.
Marx, walaupun pada titik terakhir berpangkalan pada kebendaan ada juga
mengucapkan pada suatu tingkat, maka rohani itu bisa pula menjadi kodrat yang
arahnya ditentukan oleh keadaan ekonomi.
Dengan demikian, maka akhirnya jelas juga bagi kita persamaan dan perbedaan
antara materialisme mekanik dan materialisme dialektik. Keduanya sama-sama
bersandar kepada kebendaan. Tetapi bagi pengikut materialisme mekanik, maka
manusia dengan pikiran, perasaan, dan kemauannya (ringkasnya manusia dengan
jiwanya) seolah-olah tidak berdaya menghadapi alam raya dan hukumnya.
Sebaliknya bagi Marx dan Engels serta para pengikutnya, dalam wilayah yang
dibatasi oleh keadaan masyarakat sendiri, manusia dengan jiwanya bukanlah benda
yang pasif, nrimo, seperti mesin saja. Beberapa ayat dari tulisan Marx yang memperlihatkan
perlantunan (interaction, wissel
werking) antara manusia dan alam di sekitarnya berbunyi,
kurang lerbih :
“Bumi sekeliling (geographical environment) mempengaruhi manusia dengan perantaraan kemajuan ekonomi, pada salah satu
daerah, atas salah satu kodrat-produksi (force of production) yang sifatnya ditentukan pula oleh bumi
sekelilingnya itu”.
“Kodrat produksi (uap, listrik, atom dan lain-lain) mempertinggi kekuasaan
manusia atas alam sekelilingnya. Keadaan ini membentuk hubungan baru antara
manusia dan alam-sekitarnya”.
“Manusia sambil bertindak terhadap alam sekitarnya, mengubah sekitarnya itu
dan dengan begitu mengubah diri (jiwanya) sendiri”.
Akhirnya, sambil menghadapi kaum ahli filsafat, dalam 11 tesis Marx
mengucapkan :
”Die Filosopen hebben die
Welt nu verschieden interpretiert. Es Kommt aber daraufan, die welt zu aendern” (Kaum ahli filsafat cuma berbeda dalam menafsirkan dunia ini, yang
terpenting ialah mengubah dunia, yakni alam dan masyarakat kita ini).
Dari beberapa catatan tersebut di atas nyatalah sudah salah benar mereka
yang mengatakan bahwa kaum materialis itu cuma orang fatalis, penerima kodrat
alam saja, dan cuma memikirkan makan-minum dan kepelesiran hidup semata-mata.
Sebaliknya bukan juga hasil pelaksanaan kemauan manusia itu tak terbatas!
Melainkan dibatasi oleh keadaan lahir dan batin yang telah dicapai oleh suatu masyarakat
itu sendiri (ilmu, teknik, produksi, sosial, politik, kebudayaan, sejarah dan
lain-lain).
Terbatas oleh alam dan masyarakat yang ada di Indonesia ini, maka bagi
saya, menafsirkan materialisme dialektik itu dipandang dari salah satu sudut
ialah :
1.
Alam dan masyarakat Indonesia, dengan
perantaraan bangsa barat, ilmu teknik dan organisasi modern, sebelum Proklamasi
sudah membentuk sistem masyarakat produksi-distribusi, sosial-politik yang
ringkasnya boleh disebut sebagai masyarakat kapitalisme-jajahan Belanda
(tesis).
2.
Dalam kandungan imperialisme Belanda itu,
di antara yang lain-lain, timbul dan tumbuhlah paham yang bertentangan dengan
paham masyarakat-kapitalisme-jajahan tersebut yang pada hakekatnya bermaksud
mendirikan satu masyarakat baru yang memakai semua alat teknik dan ilmu Barat
itu di dalam suatu produksi berdasarkan tolong menolong dan distribusi
berdasarkan “pada waktu yang memberikan keuntungan hati gajah sama dilapah,
hati tungau sama dicacah dan di waktu bahaya terlentang sama minum air,
terlungkup sama makan tanah,” berdasarkan kemerdekaan dan persamaan di
antara manusia dan manusia serta bangsa dan bangsa di dunia ini (anti-tesis).
3.
Dengan proklamasi 17 Agustus, maka rakyat
pemuda mulai bertindak melaksanakan paham pembentukan alam dan masyarakat baru
tadi di bagian bumi kita ini.
KONSEP NEGARA
1. NEGARA (STATE).
Sebagai hasil dari cara berpikir berdasarkan logika yang mengesampingkan
pertentangan, maka ahli borjuis seperti Kranenburg dan Krabbe (Belanda),
Blackstone (Inggris) dan lain-lainnya mendefinisikan negara itu, kurang lebih
sebagai berikut :
“Negara adalah wilayah tertentu, didiami oleh rakyat (bangsa asli dan warga
baru) tertentu di bawah kekuasaan (authority) yang syah dan tertentu pula”.
Ayat ilmu politik yang lazim dikemukakan di Amerika ialah : Wilayah yang
tertentu untuk menyusun suatu pemerintahan (for the sake of organizing a government).
Sebagai hasil cara berpikir dialektika yang melaksanakan pertentangan atas
paham (teori) idealisme, maka Hegel mendefinisikan negara itu, sebagai
“Pernyataan paham kesusilaan (moral) ….atau gambaran dan kenyataannya akal,
atau ……kerajaan Tuhan di dunia, dimana hakekat dan keadilan yang abadi
dilaksanakan”.
Sebagai hasilnya cara berpikir dialektik, yakni logika-pertentangan yang
diselenggarakan atas paham (teori) materialisme, maka Marx mendefinisikan itu
dengan kalimat yang terkenal : “Negara itu adalah hasil dan pernyataan
perjuangan kelas yang tidak bisa didamaikan” (The state is the product and the manifestation of the irreconcilability of
class-antagonism”).
Dalam buku karangan Engels judul Der Uspung der Familie, der Privateigentums und des State (1894) tertulis di antara lain-lainnya " ….(negara) adalah hasil
masyarakat pada suatu tingkat kemajuannya, dia (negara) adalah suatu pengakuan
bahwa masayrakat ini sudah terlibat dalam pertentangan dengan dirinya sendiri
sehingga tak dapat diselesaikan lagi; sampai (negara) itu terbelah dua dalam
pertentangan dendam dan kesumat yang tidak dapat disingkirkan lagi”.
“Supaya pertentangan ini, (yaitu pertentangan) dua kelas yang berdasarkan
pertentangan kepentingan ekonomi ini, jangan melenyapkan diri dan masyarakat
sendiri oleh perjuangan sia-sia, maka perlu ada sesuatu kekuasaan yang rupanya
seolah-olah berdiri di atas masyarakat untuk menjabarkan perjuangan dan
membatasi perjuangan itu dalam daerah ketentraman; dan kekuasaan ini yang
timbul dalam masyarakat, tetapi menempatkan dirinya di atas masyarakat dan
makin lama makin mengasingkan dirinya dari masyarakat, yakni negara”.
“Kekuasaan umum itu ada pada tiap-tiap negara; kekuasaan itu tidak saja
terdiri dari orang bersenjata, tetapi juga disertai oleh badan seperi penjara
dan berbagai rupa alat pemaksa, yang semuanya tidak dikenal dalam suatu
masyarakat kekeluargaan.”
Lenin dalam brosur “Negara dan Revolusi” (State and Revolution) berkata : "Dua badan yang
teristimewa menjadi syarat mutlak mesin negara ialah birokrasi dan tentara”.
“Birokrasi dan tentara adalah lintah darat yang melekat pada badan
masyarakat borjuis, lintah darat yang timbul dari pertentangan yang membela dua
masyarakat itu, tetapi lambat laun yang menghisap semua lubang hidup
masyarakat”.
Sekianlah dahulu catatan saya tentang negara itu yang saya rasa perlu
sebelum saya memulai uraian saya.
Karena berlainan cara berpikir, berlainan bahan-berpikir dan berlainan pula
semangat berpikir, maka ketiga jenis ahli pikir tersebut di atas mendapatkan
hasil pikiran yang berbeda pula bentuk dan isinya.
Dengan cara berpikir logika, maka seorang profesor borjuis tidak mengemukakan
pertentangan kelas dengan kelas dalam masyarakat yang diliputi oleh negara itu.
Hegel memang guru Marx dalam hal ilmu berpikir secara dialektik, yakni cara
berpikir yang berdasarkan pertentangan. Tetapi ia mempergunakan dialektika itu
atas pengertian-tafsiran dan teori idealisme. Marx, Engels, dan Lenin tidak
saja berpikir secara dialektik, tetapi mereka memakai dialektika itu atas teori
kebendaan, kenyataan (materialisme).
Bahan berpikir yang diutamakan oleh ahli borjuis ialah wilayah (territory), rakyat (people), dan kekuasaan (authority). Dalam definisi
tersebut di atas Hegel tidak mengacuhkan daerah dan rakyat itu. Dia
mengemukakan kesusilaan (moral), atau akal (Rede) atau paham (Idea). Pun Marx, Engels, dan Lenin tidak memasukkan wilayah ke dalam
definisinya. Tetapi mereka mengutamakan perpecahan kelas di antara rakyat itu
dan mengemukakan kekuasaan yang dipakai oleh salah satu kelas dalam rakyat itu
untuk menindas kelas yang lain dengan alat kekuasaan negara itu.
Tentang semangat menghampiri persoalan kenegaraan pun ketiga jenis ahli di
atas tadi berlainan satu sama lainnya. Ahli borjuis bersemangat menyebarkan dan
membatasi perjuangan. Sebaliknya Marx, Engels, dan Lenin mempertajam dan
memperluas perjuangan kelas dari lingkup nasional ke lingkup international.
Sedangkan Hegel bersemangat revolusioner terhadap sistem negara feodal tetapi
bersemangat reaksioner terhadap gerakan proletar!
Meskipun Marx, Engels, dan Lenin tidak memasukkan wilayah dan rakyat ke
dalam definisi negara itu, walaupun ketiga pemikir proletar ini lahir-batin
adalah internationalis, tetapi hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak
memperdulikan soal kebangsaan (nasional-question). Jauh dari pada itu!
Semua persoalan yang berhubungan dengan kemegahan dan kebangsaan (nasional-question), seperti soal bentuk
suatu negara, yakni bentuk kesatuan (unitary) atau bentuk gabungan (federation); soal bentuk
pemerintahan; yakni bentuk kerajaan (monarchy) atau republik; soal yang berhubungan
dengan iklim, bahasa, kebudayaan, dan sejarah semua yang mengenai masing-masing
negara tidak luput dari perhatian, penyelidikan, dan pertimbangan Marx, Engels,
Lenin, Stalin. Dalam pemecahan persoalan kebangsaan dan kenegaraan itu, maka
sampai sekarang di antara beberapa negara raksasa, maka Soviet Rusia banyak
sekali mendapat hasil segala usahanya (tahun 1947).
Internationalisme adalah wujud yang terakhir dan semboyan “kaum buruh sedunia bersatulah” adalah pekik proletar kepada kelas sejawatnya di seluruh dunia untuk
melaksanakan internasionalisme itu. Internasionalisme bukanlah berarti menyuruh
kaum buruh di dunia berpangku tangan saja mengharapkan datanganya
internasionalisme itu sebagai keajaiban yang jatuh dari langit. Tiap-tiap
negara masih mempunyai wilayah sendiri, rakyat sendiri dan kekuasaan sendiri
sebagai hasil perjuangan kelas lawan kelas dalam negara itu dengan negara lain.
Tiap-tiap proletar di masing-masing negara masih harus berjuang memperluas
wilayahnya, atau harus menerobos batas negara yang terbawa oleh sistem
kapitalisme untuk berjabat tangan dengan proletariat dunia menghancurkan
kapitalisme dunia.
Negara sosialis terbesar seperti Uni Soviet yang berdiri sejak Perang Dunia
I (1914-1918) bersama dengan beberapa negara sosialis lain di sekitarnya,
Polandia, Ceko-Slowakia, Hongaria, Rumania, Bulgaria, Yugoslavia dan lainnya
yang berdiri sejak akhir Perang Dunia II (1935-1945). Uni Soviet dan sekitarnya
itu sekarang (tahun 1947), yakni tepat 100 tahun semenjak Manifesto Komunis dikeluarkan (yakni tahun 1847) masih memperjuangkan batas wilayah
negaranya, dan membela rakyat (kewargaan) yang termasuk ke dalam negara
sosialis itu.
Bukankah sekarang (Desember 1947) soal wilayah dan rakyat yang kita anggap
harus masuk ke bawah kekuasaan Republik Indonesia, serta soal kebudayaan yang
kita anggap terutama adalah urusan bangsa Indonesia sendiri itu juga yang
menjadi persoalan yang kita rasa penting dan hangat, soal yang bisa
menggagalkan atau melanggengkan, dengan langsung atau tidak, semua daya upaya
menegakkan kemerdekaan 100 %.
2. TIMBUL TUMBANGNYA NEGARA.
Dimana dan kapan, dalam
suatu masyarakat timbul dua kelas yang bertentangan ekonominya, tak dapat
didamaikan, maka disana dan pada saat itu juga dalam masyarakat itu timbul satu
kekuasaan untuk membatasi dan menempatkan pertentangan itu dalam suatu
ketentraman umum.
Kekuasan ini, yang timbul dalam masyarakat itu sendiri, yang semakin
mengasingkan dirinya dari masyarakat dan berada di atas masyarakat itu sendiri,
oleh Marx dan Engels kekuasaan ini dinamakan sebagai negara. Kekuasaan yang secara
telanjang bulat berupa birokrasi, tentara, pengadilan, polisi, dan penjara pada
awalnya berdiri di tengah-tengah, sebagai wasit tetapi dalam batinnya dia
adalah alat kaum berpunya untuk menindas kaum tak berpunya. Semakin keras
pemerasan kelas berpunya atau kelas tak berpunya, maka semakin tajamlah juga
pertentangan di antara kedua kelas itu. Dengan bertambah tajamnya pertentangan
itu, maka bertambah terang pula sifat negara itu, sebagai suatu alat penindas
kaum berpunya atas kelas tak berpunya.
Di mana dan kapan tak ada pertentangan kelas dalam masyarakat itu kerena
tak adanya pertentangan ekonomi di situ, maka di sana dan pada saat itu
masyarakat tidak memerlukan satu kekuasan yang teristimewa dan terpisah dari
masyarakat itu, serta berdiri di atas masyarakat itu sendiri. Dengan perkataan
lain, masyarakat semacam itu tidaklah memerlukan negara (state), tidak memerlukan alat
penindas seperti birokrasi, tentara, pengadilan, polisi, penjara dan algojo.
Selama pertentangan ekonomi antar kelas dan kelas manusia dalam masyarakat itu
belum ada maka selama itu pula masyarakat itu bsia berdamai antar sesama dengan
mudahnya. Semua urusan perekonomian, sosial, dan kebudayaan di dalam masyarakat
itu dan semua urusan pembelian ke luar masyarakat diurus dengan dasar
kemerdekaan, persamaan, persaudaraan, dan permufakatan. Paksaan dengan alat
penindas oleh satu kelas yang lain tidak diperlukan dan tidak timbul. Dalam
menghadapi semua persoalan, semua anggota masyarakat berunding atas dasar sama
rata, untuk mendapatkan putusan yang dimufakati bersama dan akhirnya untuk
bertindak bersama. Keadaan masyarakat yang semacam itu rupanya yang oleh Engels
di namai “Masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri” (Self acting armed organisation of the population). Masyarakat yang begini adalah masyarakat bersenjata yang bertindak
sendiri, ia terdapat pada masyarakat yang berdasarkan Komunisme asli (Oer-kominisme).
Banyak sekali pelajaran yang kita peroleh dari buku kecil karangan Engels
tersebut diatas. Semakin dalam kita kaji pendapat Engels tentang masyarakat
dahulu kala di Amerika (Masyarakat Indian) yang diterima oleh Engels sebagai
hasil penelitian seorang pengarang Amerika, bernama Lewis H. Mergand dalam buku Ancient Society, semakin mengerti pula kita akan seluk beluk masyarakat kita sendiri.
Saya sendiri, ketika membaca buku Engels itu, acap kali merasa ada beberapa
persamaan di antara masyarakat Amerika asli (Indian) dengan masyarakat beberapa
daerah di Indonesia. Sebagai contoh, rasanya tidak banyak bedanya keadaan masyarakat
Minangkabau lampau, di waktu luhurnya, dengan keadaan “Masyarakat bersenjata
yang bertindak sendiri itu”! Dasar seia-sekata menurut pepatah Minangkabau
bukanlah satu perhiasan kata saja. Seia-sekata itu adalah dasar yang dipegang
teguh dalam suatu rapat umum. Rapat umum ini pun adalah satu kata yang kosong
isinya. Laki-perempuan, tua dan muda boleh hadir dan berhak penuh untuk
berbicara dalam suatu rapat umum, yang acapkali disebut : “bersuluh bulan dan
matahari, bergelangkan mata orang banyak”, artinya berterang-terangan. Ada pun
permusyawaratan itu adalah wajib dilakukan untuk mendapatakan sia-sekata atau
kebulatan pikiran. Kata pepatah : bulat air dek
(oleh) pembuluh, bulat kata dek mufakat. Azasnya suatu
permusyawaratan itu ialah kemerdekaan berbicara bagi tiap-tiap orang laki,
perempuan, tua dan muda. Suatu permusyawaratan harus jauh dari kekerasan dan
paksaan. Yang menjadi dasar perundingan itu adalah alur (penjelasan yang logis
menurut adat dan undang-undang) dan yang ditujukan kepada yang patut (adil).
Bunyi pepatah: "mufakat beraja kepada
alur dan patut”. Setelah seia dan sekata atau kebulatan
kata itu diperoleh dengan cara permusyawaratan yang bebas dari segala macam
kekerasan dan paksaan, maka barulah masyarakat itu boleh bertindak bersama,
cocok dengan dasarnya "Masyarakat bersenjata yang bertindak sendiri"
ke dalam dan ke luar.
Satu misal saja! Perkara bunuh-membunuh harus diperiksa di depan umum,
dimana si tertuduh dan si penuduh di depan para hakim dan khalayak, berhak
membela perkaranya sepuas-puasnya. Mereka diperbolehkan memajukan keterangan
dan saksi selengkap-lengkapnya. Kalau perlu mereka boleh memakai pertolongan
seorang cerdik-pandai sebagai pembela. Suatu hukum atas pelanggaran sepanjang
adat, harus terlebih dahulu disetujui oleh kedua belah pihak sebelum hukuman
itu dijalankan.
Kata mufakat pula menetapkan beratnya pihak yang bersalah membayar denda
(bangun!), yakni hukuman yang seberat-beratnya menurut sistem Datuk Perpatih,
walaupun dalam perkara bunuh membunuh. Dalam hal ini, oleh permufakatan, pihak
yang bersalah diwajibkan memotong sekian banyak kerbau, untuk satu selamatan,
dimana kedua belah pihak yang disaksikan oleh pihak ketiga, bermaaf-maafan
(Acapkali terjadi pembunuhan, sesudah bermaaf-maafan itu lari ke negeri asing,
membuang diri sendiri atau bahkan bunuh diri, karena malu). Demikian pula dalam
hal menentukan sikap berdamai atau berperang, kebulatan kata diperoleh dengan
jalan permufakatan.
Barulah seluruhnya daerah dan seluruhnya masyarakat Minangkabau bertindak,
cocok dengan dasar “Rakyat bersenjata bertindak sendiri”.
Pepatah : Tegak (tinggal)
di kampung pagar kampung, tinggal di alam (Minangkabau) pagar (nya) alam. Dan : Melompatlah
sama pata, menuruk (sembunyi) sama hilang.
Keadaan di atas terdapat di Minangkabau ketika perekonomian masih belum
atau sedikit sekali dipengaruhi uang. Harta benda, sebagian besar masih berada
di tangan suku (keluarga). Harta pusaka, seperti sawah dan rumah sekali-kali
tidak boleh dijual ataupun digadaikan, kalau dalam permusyawaratan keluarga
ternyata bahwa ada seorang saja anggota, laki atau perempuan (biasanya
perempuan) yang tidak setuju. Kemakmuran masih merata di antara semua suku.
Pekerjaan penting seperti bersawah dan mendirikan rumah adat, apalagi balai
masih berdasarkan pertobohan atau tolong-menolong.
Sambil lalu saja saya hendak mengemukakan di sini bahwa menurut bukti yang
saya peroleh, maka masyarakat Arab, di masa Nabi Muhammad dan tiga khalifah
berikutnya, yakni Abu Bakar, Umar dan Usman, juga berada dalam tingkat dasar “Masyarakat
bersenjata yang bertindak sendiri”. Setelah kaum Muslimin menaklukkan beberapa
negara yang kaya raya seperti Syiria, dan lain-lain, maka barulah masyarakat
Muslimin terbelah dua, yang berpunya dan tak berpunya. Pertentangan antara yang
berpunya dengan yang tak berpunya kian hari kian tajam dan tak dapat
didamaikan. Seiring dengan berlanjut dan kian tajam pertentangan itu, maka kian
terpusatlah kekuasaan pada khalifah dan keluarga serta pembantunya. “Masyarakat
Bersenjata yang bertindak sendiri” yang berdasarkan permusyawaratan di masa
Nabi dan tiga khalifah yang mengikuti, lama kelamaan beralih menjadi satu
negara, satu kerajaan (monarchy). Negara (kerajaan) Islam itu sering mengenal kemakmuran-umum dan
keadilan, seperti kerajaan Spanyol Islam di bawah pemerintahan Abdur-Rahman;
kerajaan Baghdad dibawah Khalifah Harun al-Rasyid dan kerajaan Hindustan Islam
dibawah Sultan Akbar. Tetapi sering pula negara (kerajaan) Islam menderita
kemelaratan dan kedzaliman, saat khalifah, tentara, polisi, hakim dan algojo
bertindak sewenang-wenang.
Syahdan Benua Eropa sampai sekarang sudah mengenal lima tingkat kemajuan
masyarakat: 1)Masyarat komunisme asli; 2) Masyarakat budak (slave); 3)
Masyarakat feodal (budak, serf); 4) Masyarakat kapitalis; 5) Masyarakat sosialis
(Rusia, Polandia, Cheko-Slowakia, Hongaria, Rumania, Yugo-Slavia dan
Bulgaria!).
Pada tingkat pertama (masyarakat komunisme-asli) maka state, negara sebagai alat
penindas satu kelas atas kelas lain belum dikenal. Setelah masyarakat di sana
pecah menjadi kelas berpunya dan kelas budak (tingkat 2) seperti Yunani-Kuno
dan Romawi, maka barulah diperlukan negara, sebagai alat kaum berpunya untuk
menindas budak, yang boleh dijual-berlikan dan dibunuh.
Konon kabarnya kurang lebih 25.000 antara keluarga yang berpunya, yang
berdemokrasi, “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah” memeras dan menindas
kurang lebih 500.000 (setengah juta) kaum Budak. Semakin keras pemerasan,
semakin kejamlah pula penindasan; jadi semakin kejam pula tindakan alat-alat
negara itu, yakni militer, polisi, penjara, dan algojo.
Pada tingkat ke-3 (masyarakat feodal), maka negara serta alat penindasanya
dipegang oleh keluarga raja dan ningrat untuk memeras dan menindas kaum budak (serf) yang terikat kepada
tanahnya yang boleh dijual belikan tetapi tidak boleh dibunuh semau-maunya oleh
yang punya.
Pada tingkat ke-4 (masyarakat kapitalis), maka negara serta alat
penindasnya dipegang oleh kaum kapitalis dan tuan tanah untuk memeras
proletariat melalui mesin dan tanah. Di samping birokrasi, militer, polisi,
mahkamah, penjara dan algojo maka kaum borjuis mempunyai pula alat batin untuk
menindas mental kaum proletariat, yakni surat kabar, gambar hidup, sekolah dan
gereja.
Akhirnya pada tingkat ke-5 (masyarakat sosialis) negara itu sebagai alat
penindas belum juga hilang. Negara pada tingkat ini berupa diktator
proletariat, yakni kaum proletariat, sebagai kelas yang berkuasa. Ditaktor
proletariat mendiktekan kemauannya atas masyarakat baru (sosialis): Membangun
dasar untuk tumbuhnya komunisme; menindas sisa kapitalisme dan feodalisme di
dalam negara, serta mempertahankan negara proletar itu dari serangan
kapitalisme-imperialisme luar.
3. TUMBANG TIMBULNYA NEGARA.
Suatu negara bisa tumbuh untuk jangka yang lama, yakni selama kaum yang
berpunya dan berkuasa masih sanggup mengadakan kemajuan (teknik-sosial,
politik, dan budaya). Negara yang lama tumbang dan negara yang baru timbul
kalau yang lama itu tak sanggup lagi memberi kemajuan, dan kelas baru dalam
masyarkat, yakni yang selama ini tertindas, sanggup berorganisasi, berjuang dan
menggantikan yang lama, serta mengadakan kemajuan dalam semua lapangan
masyarakat.
Demikianlah di benua Eropa, negara budak bertukar menjadi negara feodal
seterusnya negara feodal di Perancis bertukar menjadi negara kapitalis
(Revolusi Borjuis tahun 1789) dan negara feodalis-kapitalis di Rusia bertukar
menjadi negara sosialis (Revolusi Proletar 1917).
Pertukaran bentuk demi bentuk negara didahului dan didorong oleh perubahan
ekonomi, yakni perubahan produksi (penghasilan), distribusi (pembagian hasil),
pertukaran barang dan pengangkutan serta keuangan, sedikit demi sedikit, dari
tahun ke tahun, berubah sampai satu ketika berubah bilangan (quantity) berubah menjadi
peralihan sifat (quality), sesuai dengan hukum dialektika.
Perubahan peraturan ekonomi dalam masyarakat komunisme asli, sedikti demi
sedikit berganti menjadi peralihan besar dan cepat, melompat atau meletus
menjadi perekonomian feodal. Selanjutnya sepanjang hukum dialektika itu juga
perekonomian sosialis di antara lebih dari pada tiga ratus juta (300.000.000)
manusia yang mendiami Uni Soviet dan beberapa negara sekitarnya (belum termasuk
Tiongkok dan Korea).
Perubahan dan peralihan ekonomi dari sistem ekonomi komunis asli menjadi
perekonmian budak itu mendorong perubahan masyarakat komunis asli menjadi
negara budak. Seterusnya perubahan dan perubahan ekonomi yang terjadi
berturut-turut dari perekonomian budak ke perekonomian feodal, dari
perekonomian-feodal ke perekonomian kapitalis, dan dari perekonomian kapitalis
ke perekonomian sosialis mendorong pula kepada perubahan bentuk negara budak
berturut-turut kepada bentuk negara feodal, negara kapitalis, dan negara
sosialis (ditaktor proletariat).
Ringkasnya gerakan bentuk negara, dari sesuatu bentuk ke bentuk lainnya,
didorong oleh gerakan perekonomian yang sesuai.
Apa pula yang menjadi kodrat pendorong (moving forces)-nya perekonomian itu? Marx dan Engels
menjelaskan semua bukti yang dikemukakan oleh para ahli sejarah di masa
mereka hidup, bahwa perekonomian (produksi, distribusi dan lainnya) itu
digerakkan oleh kekuatan produksi (forces of production), yakni oleh tenaga (manusia), alat, dan
mesin. Dengan perubahan dan beralihnya kekuatan produksi ini, maka
berubah-beralih pula perekonomian itu.
Entah di abad ke berapa dan di tahun berapa pula, maka manusia itu pada
tingkat masyarakatnya yang pertama sekali cuma mengenal batu sebagai alat.
Kemudian mereka mendapatkan panah. Dengan tenaga (manusia), batu dan panah,
maka mereka mencari hasil buat hidup serta membela diri terhadap musuh yang
berupa manusia biadab dan binatang buas. Makanan yang utama adalah buah-buahan
dan binatang liar. Pekerjaan seperti itu cuma dapat dijalankan bersama-sama
atas dasar tolong-menolong dan gotong royong. Orang tak bisa hidup dan bertindak
sendiri-sendiri di zaman manusia dan hewan serba liar serta ganas itu.
Kerja bersama untuk mencari makan dan membela diri itu dengan sendirinya
mendorong kepada pemilikan bersama atas alat dan senjata (kecuali dalam satu
dua hal!). Pemilikan bersama berlaku pula atas hasil produksi atau hasil kerja
bersama itu. Di sini dan di zaman ini tak ada pemerasan manusia atas manusia
atau satu kelas atas kelas lainnya. Semua anggota masyarakat bersama-sama
memiliki alat dan hasil produksi. Tak ada yang tak berpunya. Tak ada pula
pertentangan antara kelas yang berpunya dengan kelas yang tak berpunya. Jadi
masyarakat semacam itu tak memerlukan negara sebagai alat penindas yang
istimewa, “yang menempatkan dirinya dalam masyarakat itu”. Masyarakat semacam
ini adalah masyarakat komunis asli.
Pada tingkat ke-2, masyarakat budak, alat (produksi) itu bukan lagi batu
melainkan logam, yakni tembaga, besi dan baja. Kaum yang berpunya memiliki
tenaga (manusia) dan alat untuk produksi. Budak dan tenaganya boleh
dijual-belikan dan boleh pula dibunuh. Masyarakat manusia bukan lagi masyarakat
pemburu yang belum mengenal pertanian seperti pada zaman batu. Masyarakat di
zaman logam sudah mengenal peternakan, pertanian (meskipun masih dalam keadaan
sederhana) dan sudah mengenal pertukaran barang. Pada masa ini juga sudah
timbul pembagian pekerjaan (division of labour) antara golongan peternak, petani, dan tukang. Seorang anggota masyarakat
di zaman itu tidak lagi seperti sebelumnya, misalnya pagi berburu, petang
mengembala, sore bertani dan malam bertukang atau bertenun, sehingga tak ada
satu pekerjaan yang mahir dikerjakannya. Manusia dalam masyarakat itu sudah
terpisah-pisah dalam golongan menggembala, pemburu, petani, dan tukang,
masing-masing golongan melakukan pekerjaan sendiri-sendiri. Dengan begitu,
kepandaian dan keahlian kerja kian bertambah. Hasil pun terus bertambah. Dalam
keadaan demikian, lahirlah pertukaran barang antara orang dan orang, antara
golongan dengan golongan dalam masyarakat itu sendiri kemudian antara satu masyarakat
dengan masyarakat lainnya. Yang membutuhkan pakaian, tetapi mempunyai makanan
berlebih menukarkan makanannya (misalnya: gandum) dengan yang mempunyai pakaian
berlebih tetapi membutuhkan makanan.
Pada masa ini mulailah timbul kaum saudagar dan timbul pula kemungkinan
bahwa semua kodrat penghasil, yakni kaum budak serta alat, jatuh terkumpul di
tangan beberapa orang yang berpunya.
Kerja bersama atas dasar kemerdekaan dan kekeluargaan hilang lenyap.
Timbullah kerja-paksa oleh kelas orang berpunya atas kelas budak yang
kebanyakan adalah tawanan perang atau keturunan tawanan itu atau orang yang
berhutang tetapi tidak sanggup lagi melunasi. Milik bersama atas alat dan hasil
seperti pada zaman komunis asli beralih menjadi milik perseorangan (private ownership) atas alat, tenaga, dan
hasil. Kelas yang kecil, yakni kelas yang berpunya, memeras dan menindas kelas
yang besar tetapi tidak memiliki apa-apa. Pertentangan yang sering beralih
menjadi perjuangan semakin menghebat dengan bertambah tajamnya pertentangan dalam
memenuhi kebutuhan hidup.
Disinilah timbul alat penindas yang istimewa “yang menempatkan dirinya
diatas masyarakat dan makin lama makin mengasingkan dirinya dari masyarakat
itu”. Timbul dan tumbuh tentara dan polisi, yakni “alat utama untuk mempertahankan
kekuasaan negara.” Beralih masyarakat komunis asli, dari “satu masyarakat
bersenjata yang bertindak sendiri” menjadi negara budak, dengan serdadu,
reserse, polisi, jaksa, penjara, dan algojonya.
Pada tingkat ke-3, masyarakat feodal, maka pemakaian besi bertambah baik.
Bajak besi dan jentera buat menenun berkembang. Peternakan, pertanian, dan
pengusaha susu buat membikin keju dan mentega (dairying) sedang maju. Mulai
timbul manufacturies (parik atas dasar kerja tangan) disamping pertukangan. Keluarga raja dan
ningrat memiliki alat produksi (tanah dan perkakas). Budak yang di zaman Yunani
boleh dibunuh dan diperjualbelikan, tidak boleh lagi dibunuh, tetapi masih
boleh diperjualbelikan. Budak-slave bertukar menjadi budak-serf (lijfeigene). Produksi di zaman feodal menghendaki
sedikit perhatian serta initiatif dalam pekerjaannya. Budak-slave sama sekali tidak mempunyai kedua sifat itu karena
memang badan dan jiwanya sendiri bukan milik mereka, apa lagi alat dan hasil.
Budak-serf diizinkan sedikit mempunyai tanah (husbandry) dan perkakas (implements) untuk digarap. Dengan
demikian mereka sanggup membayarkan sebagian hasilnya kepada ningrat dan
sanggup memegang sisa pajak itu buat hidupnya sendiri beserta keluarganya.
Sebab itu pula maka mereka sekedarnya menaruh perhatian terhadap dan
menunjukkan initiatif dalam pekerjaannya. Disamping milik feodal ada juga milik
perseorangan oleh petani dan tukang alat beserta hasilnya yang berdasarkan
kerja perseorangan. Milik perseorangan itu bertambah maju dalam zaman feodal
ini. Umumnya pemerasan di zaman budak-serf hampir tidak beda dengan zaman budak-slave. Demikian juga pertentangan dan perjuangan antara
kelas ningrat dengan kelas budak-serf bersama-sama dengan pertentangan serta
perjuangan antarabaas dengan knecht (majikan dan pembantu) pada suatu usaha
manufaktur tidak pula berkurang dibandingkan di zaman budak-slave. Di zaman feodal ini
negara dengan perlengkapannya seperti serdadu, polisi, jaksa, penjara, dan
algojo disertai gereja sebagai penekan mental, jelas sekali sifat dan coraknya
sabagai alat penindasnya satu kelas atas kelas yang lain.
Tingkat ke 4 adalah zaman kapitalisme yang sudah lebih kita kenal. Perkakas
digerakkan dengan tangan di masa manufaktur dahulu, sekarang digerakkan dengan
uap dan listrik. Godam yang beratnya ½ kg di zaman manufaktur yang sukar buat
diayunkan oleh seorang pekerja, maka 500.0000 kg dengan mudah bisa diayunkan
oleh kekuatan listrik. Sedangkan satu pabrik dizaman manufaktur cuma bisa
memusatkan 1000 orang kaum pekerja, maka pabrik mesin sekarang sanggup
pemusatkan 30.000 pekerja dalam satu pabrik dan ratusan ribu dalam satu
perusahaan (tambang dan kereta). Menjalankan dan mengawasi satu mesin
memerlukan latihan dan kepintaran. Budak-slave ataupun serf yang bodoh itu tak dapat lagi dipakai oleh kapitalisme zaman sekarang.
Proletar mesin harus disekolahkan lebih dahulu. Di sinilah awalnya
undang-undang demokratis (compulsory education). Seandainya saja tiap-tiap warga negara mempunyai sebidang tanah atau
satu pertukangan, maka tak akan bisa atau susah sekali buat seorang kapitalis
mendapatkan buruh buat dipekerjakan. Namun hal itu tidak terjadi.
Pada zaman kapitalis ini suatu perusahaan besar menindas dan melenyapkan
perusahaan kecil. Karena penindasan dan pelenyapan itu, tidak setiap warga
memiliki hak milik sendiri. Dalam satu persaingan ekonomi yang tajam kejam itu,
maka pabrik melenyapkan kebanyakan perusahaan tangan yang kecil, perkebunan
besar melenyapkan atau mendesak sawah dan ladang. Sebagian besar penduduk
menjadi melarat atau menjadi proletar (tak berpunya) karena didesak oleh
perusahaan besar itu, mereka, proletar, terpaksa menjual tenaganya kepada
kapitalis. Mereka “merdeka” karena “dimerdekakan” oleh revolusi borjuis dari
tanahnya ningrat dan kaum tukang yang kecil “dimerdekakan” dari alatnya karena
disaingi dan dilenyapkan oleh mesin pabriknya kaum kapitalis. Mereka “merdeka”
juga menjual tenaganya kepada kapitalis. Tetapi karena mereka terikat oleh
bahaya kelaparan, maka mereka terpaksa menjual tenaganya kepada kapitalis itu dengan
harga semurah-murahnya, lantaran persaingan yang tajam antara seorang proletar
dengan proletar lainnya. Dengan terpukulnya perusahaan kecil oleh perusahaan
besar, maka harta benda dalam negara terpusat pada yang berpunya. Yang miskin
bertambah miskin di samping yang kaya bertambah kaya. Yang miskin bertambah
besar jumlahnya dan yang kaya bertambah kecil jumlahnya.
Syahdan di dunia kapitalis modern tulen seperti Amerika, dua lusin orang
memiliki hampir semua mata pencarian hidup, seperti pabrik, kebun, tambang,
kereta, kapal, bank dan sebagainya. Dengan begitu, hasil produksi jatuh ke
tangan yang memiliki faktor produksi juga. Sebagian besar rakyat tak mempunyai
apa-apa, tetapi merekalah yang memproduksi dengan cara kerja bersama.
Pertentangan selusin dua lusin orang yang tidak bekerja tetapi memiliki alat
dan hasil produksi dengan sebagian besar rakyat yang bekerja membantung tulang
tetapi tidak memiliki alat produksi dan hasil produksi. Pertentangan ini sangat
berbahaya di masa krisis ekonomi. Di masa inilah negara kapitalis beserta
birokrasi, militer, polisi, kejaksaan, penjara, algojo, pendeta, dan
profesornya bertindak mencegah pecahnya pemogokan atau revolusi proletar. Di
masa krisis inilah negara borjuis bertelanjang bulat mempertontonkan dirinya
sebagai alat penindas kaum borjuis atas kaum proletar dan melemparkan topengnya
sebagai “wasit” yang berdiri di tengah-tengah, yang adil tidak memihak ke sana
atau ke sini.
Revolusi proletar yang melenyapkan pertentangan dalam dunia kapitalisme dan
membawa masyarakat ke tingkat ke-5 yakni ke tingkat sosialisme, gagal di
Perancis pada tahun 1871 dan jaya di Rusia pada tahun 1917. Di Rusia tak ada
lagi pertentangan antara hak milik pribadi dan hak milik bersama atas alat dan
hasil produksi penting. Di negeri ini rakyatnya hidup dengan cara kerja yang
berdasarkan kolektivitas (sosial) sejak Perang Dunia Pertama. Di sana sekitar
150 juta manusia pada masa Perang Dunia I dan lebih dari 300 juta manusia sejak
Perang Dunia II, dijauhkan dari pertentangan antara kelas yang berpunya dengan
kelas yang tak berpunya. Alat produksi penting dan hasilnya dimiliki secara
bersama-sama juga dibagi-bagi (masih) menurut aturan :”Siapa yang tidak bekerja
tidak akan dapat makan”. Dengan adanya revolusi di Rusia, timbullah kekuasaan
baru, negara baru, yakni diktator proletariat, yakni kaum proletar sebagai
kelas yang menumbangkan negara feodal kapitalis. Tumbuhlah Soviet, tentara,
polisi, mahkamah dan penjara proletar buat menumbangkan dan menjaga tetap
lenyapnya birokrasi, tentara, polisi dan penjara Tsar, kapitalis Rusia serta
semua bantuan-bantuan konco-konco kaum kapitalis dan imperialis di luar Rusia.
4. TESIS, ANTI TESIS DAN SINTESIS.
Dalam garis besarnya sudah hampir nyata berlaku hukum-dialektika yang
berupa tesis, anti tesis dan sintesis dalam perjalanan ribuan tahun kemajuan
masyarakat di dunia.
Sebagai tesis maka masyarakat itu berada atas dasar kerja bersama dan milik
bersama atas alat dan hasil. Keadaan semacam ini didapati hampir di seluruh
dunia pada zaman komunis asli.
Sebagai anti tesis maka masyarakat komunisme asli terpecah dua dan
menimbulkan pertentangan antara dasar milik bersama terhadap milik perorangan,
antara kelas tak berpunya tetapi bekerja melawan kelas berpunya tetapi tidak
bekerja. Keadaan begini terdapat di tiga tingkat masyarakat Eropa, yaitu 1)
Tingkat masyarakat Budak-Slave 2). Masyarakat Feodal; dan 3) Masyarakat
Kapitalisme.
Sebagai sintesis, maka masyarakat manusia di seluruh dunia sekarang sedang
menuju kepada masyarakat komunis modern. Disini pertentangan di dalam
masyarakat kapitalis, yakni pertentangan antara kerja bersama oleh yang tak
berpunya melawan milik perseorangan oleh yang berpunya tetapi tidak bekerja
akan hilang lenyap. Kita sedang menuju kepada masyarakat komunis modern yang (seperti
masyarakat sosialisme) berdasarkan atas kerja bersama dan milik bersama atas
alat dan hasil produksi.
Dipandang dari sudut pemerintahan, sejajar dengan cara produksi dan cara
memiliki hasil itu tadi, pada zaman komunis asli “rakyat bersenjata itu bertindak
sendiri” (untuk menentang musuhnya). Pada zaman berkelas, kelas dalam
masyarakat memaksakan kemauannya atas kelas yang lain dalam masyarakat itu
sendiri. Akhirnya kelak – pada zaman komunisme modern – seluruh manusia akan
menjadi pekerja masyarakat yang merundingkan semua persoalan masyarakat,
melaksanakan keputusan bersama, dan dengan sendirinya bertindak untuk menjaga
kelancaran jalannya semua urusan masyarakat (pada awal komunisme masih perlu
bertindak dengan keras).
Pada tingkat komunisme yang terakhir (fase yang tertinggi) negara (state), sebagai alat penindas
bagi satu kelas atas kelas lainnya, hilang lenyap (withering away) karena tak ada lagi
pertentangan dalam masyarakat. Tak ada lagi kelas yang akan ditindas. Perilaku
memerintah sudah beralih menjadi perilaku mengatur dan mengawasi pekerjaan
masyarakat, oleh, dari, dan untuk masyarakat itu sendiri atas dasar kemerdekaan
persamaan dan persaudaraan yang sesungguhnya. Di masa ini semua kebiasaan yang
diperlukan oleh fase komunisme yang tertinggi sudah ditanam dan tumbuh dalam
fase komunisme yang pertama, yakni fase sosialisme yang didiktatori oleh kaum
pekerja.
Proses (yang berupa ½ komunis asli) peralihan dari masyarakat berkelas ke
komunisme modern itu bukanlah siklus dalam suatu lingkungan yang tertutup (circle), melainkan satu siklus
dalam lingkungan yang terbuka dan terus naik (spiral). Komunisme modern sebagai
puncak proses (sintesis) yang mungkin sekali akan mengalami gerakan dialektika
pula (dalam badannya sendiri!) akan mempunyai sifat yang lebih banyak dan lebih
baik daripada segala sifat yang terdapat pada komunisme asli (pada tesis!).
Kerja bersama pada komunisme modern adalah kerja bersama yang lebih
rasional (teratur) dengan alat (mesin, listrik, dan energi kimia) yang semuanya
jauh lebih maju daripada alat dari batu dan tenaga manusia di zaman komunisme
asli. Milik bersama atas hasil produksi adalah milik bersama atas hasil yang
berjuta-juta kali lipat ganda banyak sifat serta nilainya daripada hasil yang
diperoleh dengan tangan dan alat dari batu di zaman komunisme asli. Hubungan
antara manusia dengan manusia di zaman komunisme modern adalah hubungan yang
tidak memandang kulit, darah, dan keluarga (suku) lagi seperti pada zaman
komunisme asli, melainkan hubungan yang luas berdasarkan prikemanusiaan yang
sejati.
Ringkasnya masyarakat baru itu akan mempunyai pengetahuan, pengalaman, dan
perbendaharaan yang diperoleh seluruh manusia dari berbagai bentuk dan warna
selama sejarah seluruh manusia dalam puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun.
Syahdan seperti dibayangkan di atas, maka zaman diktator proletariat itu
bukanlah zaman komunisme modern. Bolehlah diktator proletariat itu dikatakan
sebagai zaman peralihan yang menyambungkan dunia kapitalisme dengan komunisme
modern. Pada permulaan zaman peralihan itu, masyarakat yang didiktatori oleh
kaum proletar itu meninggalkan masyarakat kapitalisme dan menginjak masyarakat
komunisme modern. Pada akhir zaman peralihan itulah terletak masyarakat
komunisme modern, masyarakat pada tingkat tertinggi.
Adapun diktator proletariat itu masih mengandung sifat kenegaraan, yakni
alat penindas yang diadakan oleh kaum proletar untuk kaum proletar itu sendiri
sebagai alat untuk menumbangkan alat penindas milik kaum borjuis. Tetapi
pemerintah proletar, yang bersifat memaksa terhadap bekas borjuis itu sedang
menanam semua bibit yang akan tumbuh menjadi pohon komunisme. Setelah semua
alat produksi yang penting dijadikan milik masyarakat pekerja, maka semua
sistem perekonomian, sosial, dan kebudayaan didasarkan atas maksud menanam
semua kebiasaan yang diperlukan oleh masyarakat komunis, masyarakat fase
tertinggi. Semua pekerjaan dilakukan menurut rencana, yang ditentukan oleh kaum
pekerja sendiri, dijalankan dan diawasi jalannya oleh kaum pekerja untuk
seluruh masyarakat pekerja.
Tetapi pada zaman peralihan, yakni zaman sosialisme atau zaman diktator
proletariat itu distribusi (pembagian hasil) masih dijalankan menurut hukum
borjuis, yaitu pertama: siapa yang tidak bekerja tidak akan makan, dan kedua
“Seorang mengeluarkan tenaga yang sama untuk mendapatkan hasil yang sama.”
Kedua hukum tersebut masih bersifat borjuis, sebab seperti juga diakui oleh
Marx, orang memang tidak sama satu dengan lainnya. Yang satu kuat dan yang lain
lemah, yang satu kawin dan yang lain tidak, yang satu beranak banyak yang lain
tidak beranak. Oleh sebab itu, tidak adil sama sekali kalau yang lemah
diharuskan mengeluarkan tenaga yang sama banyak dengan yang kuat. Begitu juga
sebaliknya, yang kuat menghasilkan lebih banyak dari pada yang lemah (dalam
tempo yang sama) menerima upah yang sama dengan yang lemah itu; atau yang
beranak-istri harus mendapat sama banyak dengan yang tidak; atau yang beranak
banyak mendapat sama pula dengan yang tidak beranak. Persamaan macam itu adalah
persamaan untuk semua orang yang tidak sama satu dengan lainnya atau persamaan
yang palsu.
Tetapi Marx, Engels, Lenin, dan Soviet Rusia merasa terpaksa mempergunakan
dasar tersebut sebagai titik melangkah ke dunia komunisme. Manusia yang baru
keluar dari dunia kapitalisme itu haruslah mempunyai suatu pegangan buat
melangkah. Masyarakat baru itu terpaksa terkait dengan masyarakat lama, seperti
seorang bayi lahir masih disambungkan oleh ari-ari dengan ibunya. Kelak,
setelah kelas dan ideologi borjuis lenyap dan kebiasaan serta kemauan bekerja
sudah merata di seluruh masyarakat, di samping produksi yang dijalankan menurut
rencana dan pemakaian teknik dan ilmu, maka hasil masyarakat itu akan berlipat
ganda. Dengan produksi yang melimpah-limpah itu, maka dengan sendirinya berlaku
dasar komunisme yakni : "Seorang bekerja menurut kecakapannya dan menerima
hasil menurut kebutuhannya”.
Sebanding dengan majunya kebiasaan bekerja dan naiknya produksi maka
lenyaplah kelas dan ideologi borjuis. Akhirnya, akan lenyap pulalah diktator
proletariat tadi (withering away) sebagai alat penindas kaum pekerja terhadap kaum borjuis. Bersama dengan
lenyapnya diktator proletariat, timbullah komunisme, fase tertinggi. Zaman yang
di sebut belakangan itu tidak lagi mengenal negara besarta alat penindasnya,
melainkan merupakan satu masyarakat yang makmur, rasional, adil, serta penuh
perikemanusiaan.
Kaum anarko-sindikalis (bukan yang berlagak-lagak anarkis!) yang seharusnya
cukup kita hormati, tidaklah memikirkan apakah yang selanjutnya akan terjadi,
kalau negara borjuis sudah diruntuhkan. Mereka seakan-akan percaya bahwa
apabila semua orang yang memegang kekuasaan itu (raja, menteri, jendral dan
lainnya) dibunuh saja di mana pun dijumpai, maka keadaan seperti dalam
komunisme – fase tertinggi – akan tumbuh dengan sendirinya. Mereka melupakan
bahwa semua sifat borjuis dari kelas borjuis yang juga meresap ke dalam kelas
proletar itu tidak akan lenyap begitu saja dengan terbunuhnya semua orang yang
memegang kekuasaan negara.
Kaum sosialis berkeyakinan bahwa kekuasaan kaum borjuis akan bisa direbut
dengan merebut kursi dalam parlemen saja. Dengan jalan membuat undang-undang
oleh para wakilnya kaum terbesar dalam parlemen, yakni para wakilnya kaum
pekerja, maka mereka percaya bahwa alat produksi bisa dijadikan milik bersama
oleh negara. Mereka lupa bahwa negara itu ialah “suatu negara”, sebagai alat
penindas yang kaya atas yang miskin. Mereka lupa bahwa dalam badan
pemerintahan, seperti dalam tentara, polisi, kehakiman, administrasi dan
sebagainya, kaum intelek borjuislah yang menjadi pemimpin. Mereka ini dapat
melakukan sabotase terhadap undang-undang yang menguntungkan kaum proletar dan
merugikan kaum borjuis yang sudah diterima oleh parlemen, yang setelah itu
harus dijalankan oleh berbagai alat negara. Dalam prakteknya sabotase itu
selalu dilakukan oleh negara. Pengalaman kaum sosialis di Jerman yang memegang
kekuasaan sesudah Perang Dunia I (pemerintah Ebort, Noske, dan Sheidemann)
serta 3 kali masa pemerintahan sosialis di Inggris membuktikan bahwa kaum buruh
tidak dibolehkan dengan bulat begitu saja mewarisi alat pemerintahan negara
borjuis. Baik pemerintahan sosialis Jerman maupun pemerintah sosialis Inggris
tidak berdaya menjalankan undang-undang sosialis yang bisa memotong akar-akar
kapitalisme yang terpenting.
Mengambil pelajaran dari Revolusi Proletar di Perancis yang didirikan
Comune Kota Paris (pemerintah kota Paris) pada tahun 1870, Marx dalam bukunya
“Peperangan Saudara di Perancis” menyatakan bahwa kaum proletar tak boleh
begitu saja mewarisi bulat-bulat negara (state) kaum borjuis, melainkan harus menghancurkan alat
perlengkapan negara (birokrasi, tentara, polisi, mahkamah, dan lainnya) dan
menukar alat negara itu dengan alat negara kaum proletar. Dari sinilah asalnya
pengertian diktator proletariat yang oleh kaum Bolshewyk di Rusia di bawah
pimpinan Lenin dilaksanakan dan oleh pihak internasional kedua dibawah pimpinan
Karl Kautzky selalu dilupakan atau pura-pura dilupakan.
Lenin dalam State and
Revolution, halaman 30-31 sepakat dengan Marx yang
berpendapat bahwa pada tahun 1871 – ketika Inggris masih “sebagai contoh satu
negara kapitalis tulen, tetapi tidak mempunyai unsur militerisme dan juga
hampir tidak mengenal birokrasi” – adalah masa revolusi. Malah satu revolusi
rakyat bisa dimengerti dan boleh jadi berlaku tanpa memerlukan satu jaminan,
yakni lebih dahulu alat negara yang sudah siap itu harus dihancurkan. Tetapi,
menurut Lenin, pada tahun 1917 dalam masa perang besar imperialis, paham Marx
tadi tidak tepat lagi. Inggris dan Amerika sebagai buah kemerdekaan (liberty) Anglo-Saxon yang
terbesar dan terakhir tanpa militerisme dan birokrasi, sebaliknya sekarang
sudah terjun ke dalam lumpur perlengkapan birokrasi militerisme yang kotor
berlumuran darah itu, yang menguasai dan menginjak-injak segalanya. Saat ini,
baik di Inggris maupun di Amerika, bagi Lenin, hal terpenting sebagai syarat
terjadinya revolusi rakyat yang sejati adalah memecahkan dan menghancurkan alat
negara yang sduah siap itu (ready made state machine yang dimasukkan ke dalam
ke dua negara itu antara tahun 1914 dan 1917). Selanjutnya menurut Lenin yang
kini harus dilakukan adalah memberi perhatian istimewa kepada peringatan Marx
bahwa penghancuran alat negara yang berupa birokrasi dan militerisme itu adalah
syarat terpenting penjamin tiap-tiap revolusi rakyat yang sesungguhnya.
Sistem ditaktor proletariat bukanlah satu mimpi atau ciptaan Marx. Sebagai
seorang scientist, Marx tak pernah memimpikan atau menciptakan sesuatu seperti kaum utopis :
Thomas Moore, Saint-Simon, Fourir, dan Robert Owen. Sebagai scientist maka Marx membentuk suatu tesis atau suatu pengalaman, yakni suatu bukti.
Perbuatan kaum proletar para pemimpin Comune di Paris pada tahun 1871 mewarisi
alat negara secara bulat begitu saja. Mereka membiarkan kaum borjuis bersarang
terus dalam semua alat negara dan melakukan perlawanan diam-diam terhadap kaum
proletar, serta mensabotase semua putusan dan undang-undang kaum proletar yang
memegang kekuasaan di masa itu. Para pemimpn proletar tidak menukar alat negara
borjuis dengan alat negara proletar, oleh dan untuk kaum proletar.
Kealpaan kaum proletar Paris itulah yang oleh Marx dianggap menjadi sebab
utama Comune Paris dapat dihancurkan oleh kaum borjuis dari dalam dan dari luar
dalam waktu singkat.
Proletar Rusia di bawah pimpinan Partai Komunis tidak mewarisi bulat-bulat
alat negara yang dipusakakan oleh Tsar, seperti yang berturut-turut diwarisi
oleh kaum borjuis Rusia, di bawah pimpinan profesor Miljukoff dan oleh partai
sosial revolusioner yang mewakili kaum borjuis kecil, di bawah pimpinan
Kerensky dan kawan-kawannya. Kaum komunis menghancurkan alat negara peninggalan
Tsar beserta ningratnya yang diwarisi bulat-bulat oleh borjuis besar dan kecil
itu, sambil menggantinnya dengan alat negara proletar. Pemerintahannya lama
diganti dengan Soviet, tentara feodal borjuis diganti dengan tentara merah,
polisi feodal borjuis di babat dan ditukar dengan polisi proletar, mahkamah
feodal borjuis dihapuskan dengan mahkamah proletar, Pendidikan feodal borjuis
ditukar pendidikan proletar dan sebagainya.
Dengan diktator proletariatnya, maka Soviet Rusia, sudah berdiri lebih
daripada 30 tahun dan sudah sanggup mengganti negara setengah kapitalis dengan
negara industri kelas satu : sudah menang berperang dan sudah saggup memusatkan
tenaga lebih dari pada 300 juta manusia, atau sepertujuh dari jumlah seluruh
manusia, serta menduduki seperlima dari seluruh daratan di dunia.
Tetapi komunisme sejati yang meliputi seluruh dunia haruslah lebih dahulu
melalui zaman peralihan, yakni zaman diktator proletar yang menguasai seluruh
dunia pula. Sekarang manusia yang berpaham komunis, manusia yang berbentuk dan
berwarna bermacam-macam itu, yang mendiami puluhan negara pada pelbagai macam
kondisi geografis serat kebudayaan di lima benua, memang sedang mengorganisasi
dan mengerahkan kaum proletar dunia dengan hasrat menghancurkan kaum
ningrat-borjuis beserta kaki tangannya di seluruh dunia.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar