1.
Penyakit Brucellosis (Keluron Menular)
Brucellosis adalah penyakit ternak
menular yang secara primer menyerang sapi, kambing, babi dan sekunder berbagai
jenis ternak lainnya serta manusia. Pada sapi penyakit ini dikenal sebagai
penyakit Kluron atau pemyakit Bang. Sedangkan pada manusia menyebabkan demam
yang bersifat undulans dan disevut Demam Malta. Bruce (1887) telah berhasil
mengisolasi jasad renik penyebab dan ditemukan Micrococcus melitensis
yang selanjutnya disebut pula Brucella melitensis.
Kerugian ekonomi yang diakubatkan
oleh brucellosis sangat besar, walaupun mortalitasnya kecil. Pada ternak
kerugian dapat berupa kluron, anak ternak yang dilahirkan lemah, kemudian mati,
terjadi gangguan alat-alat reproduksi yang mengakibatkan kemajiran temporee
atau permanen. Kerugian pada sapi perah
berupa turunnya produksi air susu.
Brucellosis merupakan penyakit
beresiko sangat tinggi, oleh karena itu alat-alat yang telah tercemar bakteri
brucella sebaiknya tak bersentuhan langsung dengan manusia. Sebab penyakit ini
dapat menular dari ternak ke manusia dan sulit diobati, sehingga brucellosis
merupakan zoonosis yang penting. Tetapi manusia dapat mengkonsumsi daging dari ternak-ternak
yang tertular sebab tidak berbahaya apabila tindakan sanitasi minimum dipatuhi
dan dagingnya dimasak. Demikian pula dengan air susu dapat pula dikonsumsi
tetapi harus dimasak atau dipasteurisasi terlebih dahulu.
Bakteri Brucella untuk
pertama kalinya ditemukan oleh Bruce (1887) pada manusia dan dikenal sebagai Micrococcus
miletensi. Kemudian Bang dan Stribolt (1897) mengisolasi jasad renik yang
serupa dari sapi yang menderita kluron menular. Jasad renik tersebut diberi
nama Bacillus abortus bovis. Bakteri Brucella bersifat gram
negatif, berbentuk batang halus, mempunyai ukuran 0,2 - 0,5 mikron dan lebar
0,4 - 0,8 mikron, tidak bergerak, tidak berspora dan aerobik. Brucella
merupakan parasit intraseluler dan
dapat diwarnai dengan metode Stamp atau Koster.
Brucellosis yang menimbulkan masalah
pada ternak terutama disebabkan oleh 3 spesies, yaitu Brucella melitensis,
yang menyerang pada kambing, Brucella
abortus, yang menyerang pada sapi dan Brucella suis, yang menyerang
pada babi dan sapi.
Brucella memiliki 2 macam antigen,
antigen M dan antigen a. Brucella melitensis memiliki lebih banyak
antigen M dibandingkan antigen A, sedangkan Brucella abortus dan Brucella
suis sebaliknya. Daya pengebalan akibat infeksi Brucella adalah rendah
karena antibodi tidak begitu berperan.
Pada kambing brucellosis hanya
memperlihatkan gejala yang samar-samar. Kambing kadang-kadang mengalami
keguguran dalam 4 - 6 minggu terakhir dari kebuntingan. Kambing jantan dapat
memperlihatkan kebengkakan pada persendian atau testes.
Pada sapi gejala penyakit brucellosis
yang dapat diamati adalah keguguran, biasanya terjadi pada kebuntingan 5 - 8
bulan, kadang diikuti dengan kemajiran, Cairan janin berwarna keruh pada waktu
terjadi keguguran, kelenjar air susu tidak menunjukkan gejala-gejala klinik,
walaupun di dalam air susu terdapat bakteri Brucella, tetapi hal ini
merupakan sumber penularan terhadap manusia.
Pada ternak jantan terjadi kebengkakan pada testes dan persendian lutut.
Selain gejala utama berupa abortus
dengan atau tanpa retensio secundinae (tertahannya plasenta), pada sapi
betina dapat mempperlihatkan gejala umum berupa lesu, napsu makan menurun dan
kurus. Disamping itu terdapat pengeluaran cairan bernanah dari vagina.
Pada sapi perah, brucellosis dapat
menyebabkan penurunan produksi susu.
Seekor sapi betina setelah keguguran
tersebut masih mungkin bunting kembali, tetapi tingkat kelahirannya akan rendah
dan tidak teratur. Kadang-kadang fetus yang dikandung dapat mencapai tingkatan
atau bentuk yang sempurna tetapi pedet tersebut biasanya labir mati dan plasentanya
tetap tertahan (tidak keluar) serta disertai keadaan metritis (peradangan
uterus).
Pada kenyataannya Brusellosis
merupakan penyakit ekonomi yang merisaukan sehingga peternak harus waspada.
Pada kawanan ternak sapi yang belum pernah terkena Brucellosis penyakit dapat
menulari semua betina yang telah dewasa kelamin dan dapat menyebabkan abortus.
Pada sapi betina bakteri Bang
terdapat pada uterus, terutama pada endometrium dan pada ruang diantara
kotiledon. Pada plasenta, bakteri dapat ditemukan pada vili, ruang diantara
vili dan membran plasenta yang memperlihatkan warna gelap atau merah tua. Pada
fetus, bakteri Brucella dapat ditemukan dalam paru-paru dan dalam cairan
lambung. Pada pejantan bakteri brucella dapat ditemukan dalam epydidymis, vas
deferens dan dalam kelenjar vesicularis, prostata dan bulbourethralis. pada
infeksi berat bakteri dapat berkembang dalam testes, khususnya dalam tubuli
seminiferi.
Perubahan
pasca mati yang terlihat adalah penebalan pada plasenta dengan bercak-bercak
pada permukaan lapisan chorion. cairan janin terlihat keruh berwarna kuning
coklat dan kadang-kadang bercampur nanah. Pada ternak jantan ditemukan proses
pernanahan pada testikelnya yang dapat diikuti dengan nekrose.
Usaha-usaha pencegahan terutama
ditujukan kepada vaksinasi dan tindakan sanitasi dan tata laksana. Tindakan
sanitasi yang bisa dilakukan yaitu (1) sisa-sisa abortusan
yang bersifat infeksius
dihapushamakan. Fetus dan plasenta harus
dibakar dan vagina
apabila mengeluarkan cairan harus diirigasi selama 1 minggu (2) bahan-bahan yang biasa dipakai
didesinfeksi dengan desinfektan, yaitu : phenol, kresol, amonium kwarterner,
biocid dan lisol (3) hindarkan
perkawinan antara pejantan dengan betina yang mengalami kluron. Apabila
seekor ternak pejantan mengawini
ternak betina tersebut, maka
penis dan preputium dicuci dengan cairan pencuci hama (4) anak-anak ternak yang
lahir dari induk yang menderita brucellosis sebaiknya diberi susu dari ternak
lain yang bebas brucellosis (5) kandang-kandang ternak penderita dan
peralatannya harus dicuci dan dihapushamakan serta ternak pengganti jangan
segera dimasukkan.
Pengobatan
:
Belum ada pengobatan yang efektif
terhadap brucellosis.
2.
Penyakit Anthrax (Radang Limpa)
Anthrax adalah penyakit menular yang
biasanya bersifat akut atau perakut pada berbagai jenis ternak (pemamah biak,
kuda, babi dan sebagainya), yang disertai dengan demam tinggi dan disebabkan
oleh Bacillus anthracis. Biasanya ditandai dengan perubahan-perubahan
jaringan bersifat septicemi, timbulnya infiltrasi serohemorrhagi pada
jaringan subkutan dan subserosa dan dengan pembengkakan akut limpa. Pelbagai
jenis ternak liar (rusa, kelinci, babi hutan dan sebagainya) dapat pula
terserang.
Manusia juga rentan terhadap infeksi
bakteri ini, meskipun tidak serentan ternak pemamah biak. Anthrax merupakan
salah satu zoonosis yang penting dan sering menyebabkan kematian pada manusia.
Di Indonesia anthrax menyebabkan
banyak kematian pada ternak. Kerugian dapat berupa kehilangan tenaga kerja di
sawah dan tenaga tarik, serta kehilangan daging dan kulit karena ternak tidak
boleh dipotong.
Penyakit anthrax
di Indonesia ditemukan sejak tahun 1884. Sejak itu Pemerintah baik pada masa
kolonial Belanda sampai Pemerintah RI telah berupaya untuk menurunkan kasus-kasus
penyakit bakterial ini.
Namun pada awal tahun 1990 tiba-tiba
masyarakat peternakan Indonesia dikejutkan dengan wabah anthrax yang menyerang
sapi-sapi perah di Boyolali. peristiwa ini menyebabkan jumlah ternak yang
terjangkiti penyakit anthrax mencapai 3600 ekor sapi dan 1406 ekor sapi mati.
Penyebab
Penyebab penyakit anthrax adalah
bakteri Bacillus anthracis. Faktor-faktor seperti hawa dingin,
kekurangan makanan dan keletihan dapat mempermudah timbulnya penyakit pada
ternak-ternak yang mengandung spora yang bersifat laten.
Bacillus anthracis berbentuk
batang, lurus dengan ujung siku-siku. dalam biakan membentuk rantai panjang.
dalam jaringan tubuh tidak pernah terlihat rantai panjang, biasanya tersusun
secara tunggal atau dalam rantai pendek dari 2 - 6 organisme. Dalam jaringan
tubuh selalu berselubung (berkapsel). kadang-kadang satu kapsel melingkupi
beberapa organisme.
Bakteri Bacillus anthracis
bersifat gram positif, berukuran besar dan tidak dapat bergerak. Bakteri yang
sedang menghasilkan spora memiliki garis tengah 1 mikron atau lebih dan panjang
3 mikron atau lebih.
Basil anthrax bersifat aerob dan
akan membentuk spora yang letaknya di tengah bila cukup oksigen. Spora tersebut
mampu hidup di tanah sampai puluhan tahun. Bentuk spora lebih tahan terhadap
suhu pasteurisasi, oleh macam-macam desinfektan atau proses pembusukan dibandingkan bentuk
vegetatif B. antracis.
Pemusnahan spora B. anthracis
dapat dicapai dengan uap basah bersuhu 900C selama 45 menit, air
mendidih atau uap basah bersuhu 1000C selama 10 menit, dan panas
kering pada suhu 1200C selama satu jam.
Penularan
Anthrax tidak
lazim ditularkan dari ternak yang satu ke ternak yang lain secara langsung.
Wabah anthrax pada umumnya ada hubungannya dengan tanah netral atau berkapur
yang alkalis yang menjadi daerah inkubator bakteri tersebut.
Bila penderita anthrax mati kemudian
diseksi atau termakan burung-burung atau ternak pemakan bangkai, maka sporanya
akan dengan cepat terbentuk dan mencemari tanah sekitarnya. Bila terjadi
demikian, maka menjadi sulit untuk memusnahkannya. Hal tersebut menjadi lebih
sulit lagi, bila spora yang terbentuk itu tersebar angin. air pengolahan tanah,
rumput makanan ternak dan sebagainya. Di daerah iklim panas lalat penghisap
darah antara lain jenis Tabanus dapat bertindak sebagai pemindah
penyakit.
Rumput pada lahan yang tercemari
penyakit ini dapat ditempati spora. Apabila rumput ini dimakan sapi perah
maupun ternak lainnya, mereka akan tertulari.
Penyebaran penyakit ini umumnya
dapat berkaitan dengan pakan yang kasar atau ranting-ranting yang tumbuh di
wilayah yang terjangkit penyakit anthrax. bahan pakan yang kasar kadangkala
menusuk membran di dalam mulut atau saluran pencernaan dan masuklah bakteri Bacillus
anthracis tersebut melalui luka-luka itu. jadi melalui luka-luka kecil
tersebut maka terjadi infeksi spora.
Penularan dapat terjadi karena
ternak menelan tepung tulang atau pakan lain atau air yang sudah terkontaminasi
spora. Selain itu gigitan serangga pada ternak penderita di daerah wabah yang
kemudian serangga tersebut menggigit ternak lain yang peka di daerah yang masih
bebas merupakan cara penularan juga.
Pada manusia, biasanya infeksi
berasal dari ternak melalui permukaan kulit terluka, terutama pada orang-orang
yang banyak berhubungan dengan ternak.
Infeksi melalui pernafasan mungkin
terjadi pada pekerja-pekerja penyortir bulu domba (wool-sarter’s disease),
sedangkan infeksi melalui pencernaan terjadi pada orang-orang yang makan daging
asal ternak penderita anthrax.
Gejala
Klinis pada Ternak
Pada ternak terdapat tiga bentuk
penyakit anthrax, yaitu perakut, akut dan kronis. Kondisi perakut mempunyai
gejala penyakit yang sangat mendadak dan segera terjadi kematian karena
perdarahan di otak. Gejala tersebut berupa sesak napas, gemetar kemudian ternak
rebah. Pada beberapa kasus ternak menunjukkan gejala kejang-kejang. Kematian
dapat terjadi hanya dalam waktu 2 - 6 jam saja.
Pada kondisi akut, mula-mula terjadi
panas tubuh yang meningkat (demam), kemudian penderita menjadi gelisah, depresi
dengan pernafasan susah. Gejala ini diikuti dengan jantung cepat dan lemah,
kejang dan penderita segera mati. Selama penyakit berlangsung, demamnya
mencapai 41,50C. Produksi susu berkurang dan susu yang dihasilkan
berwarna sangat kuning atau kemerahan. Pembengkakan pada tenggorok dan lidah
adalah salah satu gejala umum yang tampak.
Pada bentuk perakut kematian dapat
mencapai 100% sedangkan dalam bentuk yang akut kematian dapat mencapai 90%
meski telah dilakukan pengobatan.
Sedangkan anthrax bentuk kronis umumnya
terdapat pada babi, tetapi juga terdapat pada ternak lainnya. gejalanya
ditandai dengan adanya lepuh lokal terbatas pada lidah dan tenggorokan.
Gejala
Klinis pada Manusia
Gejala-gejala
klinis penyakit anthrax pada manusia dapat dikategorikan ke dalam beberapa
bentuk, sebagaimana secara rinci dijelaskan di bawah ini.
·
Bentuk pustula maligna
Penularan terjadi melalui
kulit/luka/lecet. Tanda-tanda : dalam waktu 2-3 hari timbul bentol
kemerahan, dikelilingi tanda erythema. Apabila cairan serous dipupuk akan
terlihat bacillus anthracis setelah 24 - 48 jam pemupukan. Tanda-tanda klinis
semakin jelas di tengah-tengah terjadi infiltrasi dan berwarna merah tua,
bertambah lama warna jadi hitam dan sekelilingnya bersifat oedematous, yang
kemudian mengeras, apabila ditekan terasa sakit dan apabila meletus terjadi
ulcus dengan dinding curam, kerak warna coklat tua. Apabila tidak segera
diobati maka akan menyebar secara cepat melalui saluran lymphe ke peredaran
darah.
·
Bentuk sepsis
Bentuk ini ditandai dengan demam, suhu sekitar 400C,
sakit kepala, rasa nyeri di daerah lumbar dan epigastrium, mual tanpa muntah.
Sering ada diarrhe campur darah. Beberapa waktu kemudian menurun tetapi
disertai tymphani di daerah epigastrium. Meskipun tanda-tanda sakit berkurang
dan si penderita tenang, bisa terjadi kematian mendadak. Beberapa menit sebelum
mati, cyanotis kuku dan seluruh tubuh jadi biru, sepuluh jam setelah mati,
darah belum beku dan berwarna hitam. Pijat ujung jari keluar darah. Bentuk ini
bisa terjadi pada orang sepulang dari sawah, orang tersebut tiba-tiba merasa sakit dan beberapa jam
kemudian mati
·
Bentuk gastro enteritis
Penularan
terjadi secara peroral, demam tidak begitu tinggi apabila dibandingkan dengan
bentuk sepsis. Tanda-tanda, seperti rasa sakit di perut, menggigil, dalam waktu
singkat bisa meninggal. Bisa disertai sesak nafas, daerah limfa dan hati terasa
sangat sakit dan meninggal dalam waktu 2 - 4 hari. Ada pula yang memperlihatkan kebengkakan di
daerah dada dan leher.
·
Bentuk pulmonair
Penularan terjadi secara inhalasi, Tanda -tanda :
mula-mula mempunyai tanda-tanda infeksi ringan pada alat pernapasan bagian
atas. kira-kira 3,5 hari kemudian memperlihatkan gejala-gejala sesak nafas akut
dan shock, kemudian meninggal. Kadang-kadang ada juga yang memperlihatkan
gejala meningitis dan hyperemia akut.
Perubahan Pasca Mati
Bangkai ternak yang mati karena anthrax dilarang keras
untuk diseksi. Bangkai tersebut cepat membusuk karena sepsis dan sangat
menggembung. Kekakuan bangkai (rigormortis) biasanya tidak ada atau tidak
sempurna. Darah yang berwarna hitam seperti ter mungkin keluar dari lubang
hidung dan dubur yang bengkak dan lekas membusuk. Selaput lendir kebiruan,
sering terdapat penyembulan rektum disertai perdarahan.
Pencegahan
Tindakan pencegahan
yang bisa diupayakan adalah (1) bagi daerah yang masih bebas anthrax, tindakan
pencegahan didasarkan pada pengaturan yang ketat terhadap pemasukan ternak ke
daerah tersebut (2) pada daerah enzootik anthrax, anthrax pada ternak ternak
dapat dicegah dengan vaksinasi yang dilakukan setiap tahun. Pada sapi dan
kerbau dosis 1 cc, pada kambing, domba, babi dan kuda dosis sebesar 0,5 cc.
Vaksin diberikan secara injeksi subkutan.. Membuat preparat apus darah yang
diambil dari telinga pada ternak yang mati secara tiba-tiba (3) jika ternak
mati karena anthrax, maka tidak boleh dibuka bangkainya, tetapi diambil salah
satu daun telinga dan masukkan ke dalam kantong plastik serta didinginkan jika
mungkin, selanjutnya di bawa ke laboratorium untuk didiagnosis. Bangkai
langsung dibakar atau dikubur sedalam 2 meter dan ditutup kapur, kulit dan bulu
penderita dimusnahkan.
Pengobatan
Pengobatan umumnya dilakukan dengan
menggunakan kombinasi antara antiserum dan antibiotika. Antibiotika yang
dipakai antara lain Procain Penisilin G, Streptomisin atau kombinasi antara
Penisilin dan Streptomisin.
Kesmavet
Anthrax bersifat
zoonosis dan merupakan penyakit yang menimbulkan keresahan bagi masyarakat.
Pada manusia, biasanya infeksi berasal dari ternak melalui permukaan kulit
terluka, terutama pada orang-orang yang banyak berhubungan dengan ternak.
Infeksi melalui pernafasan mungkin
terjadi pada pekerja-pekerja penyortir bulu domba (wool-sarter’s disease),
sedangkan infeksi melalui pencernaan terjadi pada orang-orang yang makan daging
asal ternak penderita anthrax.
Guna mencegah penularan penyakit
anthrax dari ternak ke manusia, maka peran Rumah Potong Ternak (RPH) sebagai
unit pelayanan masyarakat dalam menyediakan daging yang higienis perlu
ditingkatkan.
Pemeriksaan ante mortem yang
dilanjutkan dengan pemeriksaan post mortem dan uji- uji laboratorium harus
dilakukan secara hati-hati oleh tenaga ahli yang profesional, sehingga adanya
penyakit anthrax secara dini segera dapat terdiagnosis dan penularannya ke
konsumen dapat dicegah.
Peristiwa baru-baru ini yang terjadi
di Purwakarta, dimana penduduk mengambil daging burung unta tanpa adanya rasa
khawatir tertular anthrax menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat akan
penyakit zoonosis seperti anthrax masih sangat minim. Oleh karena itu perlu
adanya upaya meningkatkan pengetahuan mereka melalui penyuluhan terpadu antara
instansi terkait, termasuk Dinas
Peternakan, Dinas Kesehatan dan Pemerintah Daerah setempat.
Tindakan pencegahan yang perlu
dilakukan oleh masyarakat adalah hindari kontak langsung (bersentuhan) dan
makan daging atau jerohan serta memakai/ menggunakan bahan-bahan yang berasal
dari ternak yang terkena anthrax. Mencuci sayur dan buah-buahan secara bersih
serta memasak bahan makanan yang berasal dari ternak sampai matang sempurna.
Pengadaan vaksin anthrax untuk
ternak harus ditingkatkan dan vaksinasi harus tetap dilakukan secara terencana
dan teratur meskipun penyakit anthrax tidak ditemukan dalam waktu puluhan
tahun. Mengingat perkembang biakan Bacillus anthracis sebelum
menginfeksi ternak terjadi pada musim kemarau maka vaksinasi bisa dilakukan
pada awal musim kemarau.
Perlu secara ketat dilakukan
penutupan daerah endemik anthrax bagi keluar masuknya ternak ternak dan
peternakan.
3.
Radang Ambing ( Mastitis)
Mastitis adalah istilah yang digunakan untuk radang yang terjadi pada
ambing, baik bersifat akut, subakut ataupun kronis, dengan kenaikan sel di
dalam air susu dan perubahan fisik
maupun susunan air susu, disertai atau tanpa adanya perubahan patologis pada
kelenjar (Subronto, 2003). Akoso (1996) menyatakan bahwa pada sapi, mastitis
sering terjadi pada sapi perah dan disebabkan oleh berbagai jenis bakteri.
Sori et al (2005) menyatakan bahwa
kerugian kasus mastitis antara lain : kehilangan produksi susu, kualitas dan
kuantitas susu berkurang, banyak sapi yang diculling. Penurunan produksi
susu per kuartir bisa mencapai 30% atau 15% per sapi per laktasi, sehingga
menjadi permasalahan besar dalam industri sapi perah.
Faktor
Penyebab Mastitis
Resistensi atau kepekaan terhadap mastitis pada sapi, kambing atau domba
bersifat menurun. Gen- gen yang menurun akan menentukan ukuran dan struktur puting
Saat periode kering adalah saat awal
bakteri penyebab mastitis menginfeksi, karena pada saat itu terjadi
hambatan aksi fagositosis dari neutrofil pada ambing. Berbagai jenis bakteri
telah diketahui sebagai agen penyebab penyakit mastitis, antara lain Streptococcus
agalactiae, Str. Disgalactiae, Str. Uberis, Str.zooepedermicus, Staphylococcus
aureus, Escherichia coli, Enterobacter aerogenees dan Pseudomonas aeroginosa. Dilaporkan
juga bahwa yeast dan fungi juga
sering menginfeksi ambing, namun biasanya menyebabkan mastitis subklinis.
Hasil penelitian di Ethiopia oleh Sori et al (2005) menunjukkan bahwa hasil
pemeriksaan susu dengan metode CMTdari 180 ekor
sapi perah lokal Zebu dan persilangan,
prevalensi mastitis mencapai 52,78%, dengan 47 ekor (16,11%) merupakan
mastitis klinis dan 87 ekor (36,67%), merupakan mastitis subklinis.
Staphylococcus aureus merupakan salah satu penyebab utama
mastitis pada sapi perah yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar
akibat turunnya produksi susu. Dilaporkan oleh peneliti yang sama bahwa dari
134 isolat yang diuji, maka persentase terbesar mikroorganisme penyebab
mastitis adalah Staphylococcus aureus.
Disamping faktor –faktor mikroorganisme yang meliputi berbagai jenis,
jumlah dan virulensinya, faktor ternak dan lingkungannya juga menentukan mudah
tidaknya terjadi radang ambing dalam suatu peternakan. Faktor predisposisi
radang ambing dilihat dari segi ternak,
meliputi bentuk ambing, misalnya
ambing yang sangat menggantung, atau ambing dengan lubang puting terlalu lebar.
Bentuk puting, ada dan tidaknya lesi pada puting
mempengaruhi kejadian mastitis. Hasil penelitian Sori et al (2005) menunjukkan bahwa prevalensi mastitis pada
puting pendulous mencapai 77,78%, sedangkan pada puting non pendulous mencapai
50%. Puting yang lesi memungkinkan prevalensi mastitis sebesar 84%, sedangkan
pada puting normal sebesar 47,74%. Letak kuartir juga mempengaruhi kejadian
mastitis. Kuartir kiri, belakang dan kanan, depan lebih sering mengalami
mastitis daripada kedua puting lainnya.
Pada kiri belakang, mastitis mencapai 34,3%, sedangkan kanan, depan
mencapai 30,06%.
Faktor umur dan tingkat produksi susu sapi juga mempengaruhi kejadian
mastitis. Semakin tua umur sapi dan semakin tinggi produksi susu, maka semakin
mengendur pula spinchter putingnya. Puting dengan spincter yang kendor
memungkinkan sapi mudah terinfekesi oleh mikroorganisme, karena fungsi
spinchter adalah menahan infeksi mikroorganisme. Semakin tinggi produksi susu
seekor sapi betina, maka semakin lama waktu yang diperlukan spinchter untuk
menutup sempurna. Faktor bangsa sapi juga mempengaruhi kejadian mastitis. Dilaporkan
bahwa kejadian mastitis pada sapi persilangan (Crossbreed) lebih besar
daripada sapi lokal.
Faktor lingkungan dan pengelolaan peternakan yang banyak mempengaruhi
terjadinya radang ambing meliputi pakan,
perkandangan, banyaknya sapi dalam satu kandang, ventilasi, sanitasi kandang
dan cara pemerahan susu. Dilaporkan bahwa pada ventilasi jelek, mastitis bisa
mencapai 87,5% dan pada ventilasi yang baik mencapai 49,39%.
Gejala-gejala
Secara klinis radang ambing dapat berlangsung secara akut, subakut dan
kronik. Radang dikatakan bersifat subklinis apabila gejala-gejala klinis radang
tidak ditemukan saat pemeriksaan ambing. Pada proses radang yang bersifat akut,
tanda-tanda radang jelas ditemukan, seperti : kebengkakan ambing, panas saat diraba,
rasa sakit, warna kemerahan dan terganggunya fungsi. Air susu berubah sifat, menjadi
pecah, bercampur endapan atau jonjot fibrin, reruntuhan sel maupun gumpalan
protein. Proses yang berlangsung secara subakut ditandai dengan gejala
sebagaimana di atas, namun derajatnya lebih ringan, ternak masih mau makan dan
suhu tubuh masih dalam batas normal. Proses berlangsung kronis apabila infeksi
dalam suatu ambing berlangsung lama, dari suatu periode laktasi ke periode
berikutnya. Proses kronis biasanya berakhir dengan atropi kelenjar mammae.
Cara
penularan
Penularan
mastitis dari seekor sapi ke sapi lain dan dari
quarter terinfeksi ke quarter normal bisa melalui tangan pemerah, kain
pembersih, mesin pemerah dan lalat.
Diagnosis
Pengamatan secara klinis adanya
peradangan ambing dan puting susu, perubahan warna air susu yang dihasilkan.
Uji lapang dapat dilakukan dengan menggunakan California Mastitis Test
(CMT), yaitu dengan suatu reagen khusus, diagnosis juga bisa dilakukan dengan Whiteside Test.
Kontrol
Untuk mencegah
infeksi baru oleh bakteri penyebab mastitis, maka perlu beberapa upaya, antara
lain (1) meminimalisasi kondisi-kondisi yang mendukung penyebaran infeksi dari
satu sapi ke sapi lain dan kondisi-kondisi yang memudahkan kontaminasi bakteri dan
penetrasi bakteri ke saluran puting. Air susu pancaran pertama saat pemerahan
hendaknya ditampung di strip cup dan diamati terhadap ada tidaknya
mastitis. Perlu pencelupan atau diping puting dalam biosid 3000 IU (3,3
mililiter/liter air). Penggunaan lap yang berbeda disarankan untuk setiap ekor
sapi, dan pastikan lap tersebut telah dicuci dan didesinfektan sebelum
digunakan. (2) Pemberian nutrisi yang berkualitas, sehingga meningkatkan
resistensi ternak terhadap infeksi bakteri penyebab mastitis. Suplementasi
vitamin E, A dan β-karoten serta imbangan antara Co
(Cobalt) dan Zn (Seng) perlu diupayakan untuk menekan kejadian mastitis.
Pengobatan
Sebelum
menjalankan pengobatan sebaiknya dilakukan uji sensitifitas. Resistensi
Staphylococcus aureus terhadap penicillin disebabkan oleh adanya β-
laktamase yang akan menguraikan cincin β- laktam
yang ditemukan pada kelompok penicillin. Pengobatan mastitis sebaiknya
menggunakan Lincomycin, Erytromycin dan
Chloramphenicol.
Disinfeksi puting dengan alkohol dan
infusi antibiotik intra mamaria bisa mengatasi mastitis. Injeksi kombinasi
penicillin, dihydrostreptomycin, dexamethasone dan antihistamin dianjurkan
juga. Antibiotik akan menekan pertumbuhan bakteri penyebab mastitis, sedangkan
dexamethasone dan antihistamin akan menurunkan peradangan. Mastitis yang
disebabkan oleh Streptococcus sp masih bisa diatasi dengan penicillin,
karena streptococcus sp masih peka terhadap penicillin.
Strategi efektif untuk mencegah dan
mengatasi mastitis yang disebabkan oleh Staphilococcus aureus masih
sukar dipahami. Dilaporkan bahwa bakteri Staphylococcus sp dan Streptococcus
sp yang diisolasi dari kasus mastitis sapi telah banyak yang multi resisten
terhadap beberapa antibakterial. Penggunaan antibiotik untuk mengatasi mastitis
juga telah banyak merugikan masyarakat konsumen, karena susu mengandung residu
antibiotik bisa menimbulkan gangguan kesehatan.
Akibat penggunaan antibiotik pada
setiap kasus mastitis, yang mungkin tidak selalu tepat, maka timbul masalah
baru yaitu adanya residu antibiotika dalam susu, alergi, resistensi serta
mempengaruhi pengolahan susu. Mastitis subklinis yang disebabkan oleh bakteri
gram positif juga makin sulit ditangani dengan antibiotik, karena bakteri ini
sudah banyak yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotik. Diperlukan upaya
pencegahan dengan melakukan blocking tahap awal terjadinya infeksi bakteri.
Hasil penelitian Wall (2006)
menunjukkan bahwa efikasi pirlymycin sebagai antibiotik untuk mengatasi mastitis yang disebabkan Staphylococcus
aureus hanya bisa mencapai 13% dengan masa terapi dua hari, dan mencapai
31% apabila terapi diperpanjang sampai 5 hari. Jika diperhitungkan antara
produksi susu dengan biaya terapi, ongkos bahan bakar dan adanya kandungan
sel-sel somatik dalam air susu, maka masih dibawah Break Even Point.
Selanjutnya Middleton dan Foxt
(2001) melaporkan bahwa penggunaan infus intramammaria dengan 120 ml,
5% Povidone-Iodine (0,5%
Iodine) setelah susu diperah habis pada 7 ekor penderita mastitis akibat Staphylococcus
aureus menunjukkan hasil yang sangat memuaskan, karena 100% (7 ekor)
penderita bisa memproduksi susu kembali pada laktasi berikutnya. Sedangkan
terapi mastitis dengan infus Chlorhexidine, hanya menghasilkan 71% (5
ekor). Mean milk Weight (kg) pada terapi Iodine lebih besar daripada terapi
dengan Chlorhexidine. Sekresi susu dari kuartir yang diberi Iodine tidak
mengandung residu pada pemeriksaan 35 hari post infusi, sedangkan pada infusi
dengan Chlorhexidine ternyata mengandung
residu antibiotik.
Wall (2006) melaporkan bahwa enzim
protepolitik yang dikenal dengan Lysotaphin, yang dihasilkan oleh Staphylococcus simulans bisa memotong
ikatan –ikatan spesifik dalam komponen dinding sel, yaitu peptidoglycan dari Staphylococcus
aureus. Efikasi Lysotaphin untuk terapi mastitis yang disebabkan oleh
Staphylococcus aureus telah dievaluasi pada beberapa jenis ternak, antara
lain : tikus, kambing dan sapi. Infusi Lysotaphin ke dalam kelenjar mammae yang
terinfeksi memberikan respon perbaikan produksi pada laktasi berikut sebesar
20%. Transgene Lysotaphin memberikan
pertahanan kuat melawan berbagai bakteri penyebab mastitis. Susu transgenik
juga mengandung agen-agen yang menghambat pertumbuhan mikroba lain yang tidak
diinginkan, sehingga susu dan produk susu lebih panjang daya simpannya.
Dalam pengobatan mastitis dengan
menggunakan antibiotik, sehingga pengobatan bisa efektif, diperlukan uji
sensitifitas antibiotik tersebut terhadap bakteri penyebab mastitis,
terutama Staphylococcus aureus. Perlu
diketahui bahwa Staphylococcus aureus
telah menunjukkan sifat resistensi terhadap antibiotik. Berdasarkan sifat
resistensinya, maka Staphylococcus aureus dikelompokkan dalam beberapa
golongan, antara lain (1) Staphylococcus aureus yang menghasilkan enzim β-laktamase,
yang berada di bawah kontrol plasmid, dan membuat organisme resisten terhadap
beberapa penisilin, antara lain
penisilin G, ampisilin, piperasilin, tikarsilin dan obat-obat yang
sejenis (2) Staphylococcus aureus yang resisten terhadap nafsilin,
oksasilin, metisilin, yang tidak tergantung pada produksi β-laktamase.
Gen mecA untuk resistensi terhadap nafsilin terletak di kromosom. Resistensi
ini berkaitan dengan kekurangan PBP (Penicillin Binding Protein) (3) Staphylococcus aureus yang memiliki kerentanan menengah terhadap
vankomisin.
4.
SEPTICEMIA EPIZOOTICA (SE)/Ngorok
Penyakit SE adalah penyakit menular
terutama pada kerbau, sapi, babi dan kadang-kadang pada domba, kambing dan kuda
yang disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida tipe tertentu. Penyakit
biasanya berjalan secara akut , dengan angka kematian yang tinggi, terutama
pada penderita yang telah menunjukkan tanda-tanda klinik yang jelas. Sesuai
dengan namanya, pada kerbau dalam stadium terminal akan menunjukkan
gejala-gejala ngorok (mendengkur), disamping adanya kebengkakan busung pada daerah-daerah
submandibula dan leher bagian bawah. Gambaran seksi pada ternak memamah biak
menunjukkan perubahan-perubahan sepsis.
Penyakit SE menyebabkan kematian,
napsu makan berkurang, penurunan berat badan serta kehilangan tenaga kerja
pembantu pertanian dan pengangkutan.
Di Indonesia, karena program
vaksinasi SE dilakukan secara rutin, maka kejadian penyakit SE di Indonesia
saat ini hanya bersifat sporadik. Namun wabah SE dalam jumlah cukup
besar masih sering ditemukan, misalnya di daerah-daerah Nusatenggara, seperti Sumba,Timor, Sumbawa
dan daerah-daerah lain. Pada umumnya wabah itu terjadi pada permulaan musim
hujan. Hal ini biasanya disebabkan karena tidak tervaksinnya ternak-ternak di
daerah itu. Keadaan ini mungkin karena vaksin tidak tersedia atau lapangan di
mana ternak merumput secara liar sangat sulit terjangkau oleh vaksinator.
Penyebab
Penyebab penyakit SE adalah bakteri Pasteurella
multocida yang berbentuk cocobacillus yang mempunyai ukuran yang sangat
halus dan bersifat bipoler.
Secara serologik
dikenal beberapa tipe dan penyebab SE di
Indonesia, antara lain adalah
Pasteurella multocida tipe 6B.
Bakteri yang bersifat gram negatif
ini tidak membentuk spora, bersifat non motil dan berselubung yang lama
kelamaan dapat hilang karena penyimpanan yang terlalu lama.
Cara
Penularan
Faktor-faktor predisposisi , seperti
: kelelahan, kedinginan, pengangkutan, anemia dan sebagainya mempermudah
timbulnya penyakit.
Penyakit ngorok biasanya menyerang
sapi umur 6 – 24 bulan dan sering terjadi pada musim hujan yang dingin. Sapi
yang belum divaksinasi SE lebih banyak terserang. Kondisi stress dalam
pengangkutan merupakan penyebab utama terjadinya penyakit ini, sehingga
penyakit ini disebut pula shipping fever.
Diduga pintu gerbang infeksi bakteri
ke dalam tubuh penderita adalah daerah tenggorokan. Ternak sehat akan tertular
oleh ternak sakit atau pembawa melalui kontak atau melalui makanan, minuman dan
alat-alat yang tercemar. Ekskreta ternak penderita (ludah, kemih,
dan tinja) juga mengandung bakteri.
Bakteri yang jatuh di tanah apabila
keadaan serasi untuk pertumbuhan bakteri (lembab, hangat, teduh), maka akan
tahan kurang lebih satu minggu dan dapat menulari ternak-ternak yang
digembalakan di tempat tersebut.
Sapi yang menderita penyakit SE
harus diisolasi pada tempat yang terpisah. Apabila sapi itu mati ataupun dapat
sembuh kembali, kandang dan peralatan yang digunakan untuk perawatan sapi itu
harus dihapushamakan. Jangan gunakan kandang tersebut sebagai tempat sapi
sebelum lewat minimal 2 minggu.
Gejala
Klinis
Masa tunas SE adalah 1 – 2 hari.
Penderita lesu, suhu tubuh naik dengan cepat sampai 410C atau lebih.
Gemetar, mata sayu dan berair. Selaput lendir mata hiperemik. Napsu makan,
memamah biak, gerak rumen dan usus menurun sampai hilang, disertai konstipasi.
Mungkin pula gangguan pencernaan berupa kolik, peristaltik usus naik, dengan
tinja yang konsistensinya agak cair dan kadang-kadang disertai titik-titik
darah. Sekali-sekali ditemukan juga epistaksis, hematuria dan urtikaria yang
dapat melanjut ke nekrose kulit.
Pada SE dikenal tiga bentuk, yaitu
bentuk busung, pektoral dan intestinal. Pada bentuk busung ditemukan adanya
busung pada kepala, tenggorokan, leher bagian bawah, gelambir dan kadang-kadang
pada kaki muka. Tidak jarang pula dubur dan alat kelamin juga mengalami
busung. Derajat kematian bentuk ini tinggi, sampai 90% dan berlangsung cepat, hanya
3 hari, kadang-kadang sampai 1 minggu. Sebelum mati, terutama pada kerbau
gangguan pernafasan akan nampak sebagai sesak nafas (dyspnoe) dan suara
ngorok, merintih dengan gigi gemeretak.
Pada bentuk pektoral, tanda-tanda
bronchopneumonia lebih menonjol, yang dimulai dengan batuk kering dan nyeri,
yang kemudian diikuti dengan keluarnya ingus hidung, pernafasan cepat dan
susah. Gejala-gejala tersebut biasanya berlangsung lebih lama, yaitu antara 1 –
3 minggu.
Kadang-kadang penyakit dapat
berjalan kronis, ternak menjadi kurus dan sering batuk, napsu makan terganggu,
terus menerus mengeluarkan air mata. Suhu tidak berubah, tetapi terjadi mencret
degil (sulit disembuhkan) yang bercampur darah.
Perubahan
Pasca Mati
Secara anatomi patologi dikenal
bentunk bususng, pektoral dan intestinal. Yang paling banyak ditemukan adalah
kombinasi dua atau tiga bentuk , meskipun bentuk busung lebih menonjol.
Pada bentuk busung terlihat busung gelatin
disertai perdarahan di bawah kulit di bagian kepala, leher, dada dan
sekali-sekali meluas sampai bagian belakang perut. Cairan busung bersifat
bening, putih kekuningan atau kadang-kadang kemerahan. Sering kali infiltrasi
cairan serum terlihat sampai lapisan dalam otot. Busung gelatin juga ditemukan
di sekitar faring, epiglotis dan pita suara. Lidah sering kali membengkak dan
berwarna coklat kemerahan atau kebiruan dan kadang-kadang menjulur keluar.
Selaput lendir saluran pernapasan umumnya membengkak dan kadang-kadang disertai
selaput fibrin. Kelenjar limfa retropharingeal dan cervical membengkak. Rongga
perut kadang-kadang berisi beberapa liter cairan bening berwarna kekuningan
atau kemerahan. Tanda-tanda peradanagn akut hemorrhagik bisa ditemukan di
abomasum dan usus halkus dan sekali-sekali di bagian colon. Isi rumen umumnya
kering, sedangkan isi abomasum seperti bubur. Isi usus cair berwarna kelabu
kekuningan atau kemerahan tercampur darah. Sering kali di dapati gastroenteritis
bersifat hemorrhagik. Limpa jarang mengalami perubahan. Proses degenerasi
umumnya ditemukan pada alat-alat parenkim (jantung, hati dan buah pinggang).
Pada bentuk pektoral terlihat
pembendungan kapiler dan perdarahan di bawah kulit dan di bawah selaput lendir.
Pada pleura terlihat peradangan dengan perdarahan titik (petechiae) dan selaput
fibrin tampak pada permukaan alat-alat viseral dalam rongga dada. Juga terlihat
gejala busung berbentuk hidrothorak, hidropericard dengan cairan yang kering.,
berfibrin. Paru-paru menderita bronchopneumoni berfibrin atau fibrinonekrotik.
Bagian paru-paru mengalami hepatisasi dan kadang-kadang konsistensi agak rapuh.
Hepatisasi umumnya terdapat secara seragam dalam satu stadium, berupa
hepatisasi merah dalam keadaan akut, hepatisasi kelabu atau kuning dalam stadium yang lebih lanjut.
Bidang sayatan paru-paru beraneka warna karena adanya pneumonia berfibrin,
bagian-bagian nekrotik, sekat interlobuler berbusung dan bagian-bagian yang
normal. Bagian paru-paru yang tidak meradang tampak hiperemik dan berbusung.
Kelenjar limfa peribronchial membengkak. Kadang-kadang ada tanda-tanda
enteritis akut sedangkan limfa umumnya normal.
Pada bentuk intestinal biasanya
mengiringi kedua bentuk tersebut di atas, terlihat gastroenteritis kataralis
hingga hemorrhagik.
Pencegahan
Untuk daerah-daerah tertular, ternak-ternak
sehat divaksin dengan vaksin oil adjuvant, sedikitnya setahun sekali dengan
dosis 3 ml secara intra muskuler. Vaksinasi dilakukan pada saat tidak ada
kejadian penyakit.
Pada
ternak tersangka sakit dapat dipilih salah satu dari
perlakuan penyuntikan antiserum dengan dosis pencegahan,
penyuntikan antibiotika, penyuntikan kemoterapetika, kombinasi penyuntikan
antiserum dengan antibiotika atau kombinasi antiserum dengan kemoterapetika.
Dosis pencegahan antiserum untuk ternak
besar adalah 20 – 30 ml dan untuk ternak kecil adalah 10 – 20 ml.
Antiserum heterolog disuntikkan
secara subkutan (SC) dan antiserum homolog disuntikkan secara intravena (IV)
atau SC. Dua minggu kemudian bila tidak timbul penyakit disusul dengan
vaksinasi.
Pengobatan
Pengobatan terhadap penyakit SE
dapat dilakukan sebagai berikut (1) Seroterapi dengan serum kebal homolog
dengan dosis 100 – 150 ml untuk ternak besar dan 50 – 100 untuk ternak kecil. Antiserum
homolog diberikan secara IV atau SC. Sedangkan antiserum heterolog diberikan
secara SC. Penyuntikan dengan antiserum ini memberikan kekebalan selama 2
sampai 3 minggu dan hanya baik bila dilakukan pada stadium awal penyakit. Sebaiknya
pemberian seroterapi dikombinasikan dengan pemberian antibiotika atau
kemoterapetika (2) Seandainya antiserum tidak tersedia, pengobatan dapat dicoba
dengan preparat antibiotika, kemoterapetika atau gabungan kedua preparat
tersebut (3) Sulphadimidine (suphamezathine) sebanyak 1 gram tiap 15 lb bw.
5. Penyakit Pink Eye.
Pink Eye merupakan penyakit mata akut yang menular pada
sapi, domba maupun kambing, biasanya bersifat epizootik dan ditandai dengan
memerahnya conjunctiva dan kekeruhan mata.
Penyakit ini tidak sampai
menimbulkan kematian, akan tetapi dapat menyebabkan kerugian yang cukup besar
bagi peternak, karena akan menyebabkan kebutaan , penurunan berat badan dan
biaya pengobatan yang mahal.
Etiologi
Pink Eye disebabkan oleh bakteri, virus, rikketsia maupun
chlamydia, namun yang paling sering ditemukan adalah akaibat bakteri Maraxella
bovis.
Cara Penularan
Mikrorganisme penyebab
ditularkan lewat kontak antara ternak peka dengan ternak penderita atau oleh
serangga yang bisa memindahkan mikroorganisme atau bisa juga lewat iritasi debu
atau sumber-sumber lain yang dapat
menyebabkan goresan atau luka mata.
Gejala Klinis
Mata berair, kemerahan
pada bagian mata yang putih dan kelopaknya, bengkak pada kelopak mata dan
cenderum menjulingkan mata untuk menghindari sinar matahari. Selanjutnya
selaput bening mata/kornea menjadi keruh dan pembuluh darah tampak
menyilanginya. Kadang-kadang terjadi borok atau lubang pada selaput bening
mata. Borok dapat pecah dan mengakibatkan kebutaan. Mata akan sembuh dalam
waktu 1 – 4 minggu, tergantung kepada penyebabnya dan keganasan penyakitnya.
Pengobatan
Suntikan antibiotik,
seperti tetracyclin atau tylosin dan penggunaan salep mata dapat membantu
kesembuhan penyakit. Menempatkan ternak
pada tempat yang teduh atau menempelkan kain di mata dapat mengurangi rasa
sakit mata akibat silaunya matahari.
Pencegahan
Memisahkan ternak yang
sakit dari ternak-ternak sehat merupakan cara terbaik untuk pencegahan terhadap
pinx eye. Tidak tersedia vaksin untuk penyakit ini.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar