Ditulis oleh Tan Malaka di Surabaya, 24 November 1945
Sumber: Tulisan ini diambil dari
buku Merdeka 100%, cetakan pertama,
Oktober 2005, dengan ijin dari penerbit Marjin Kiri. Buku ini mengandung tiga tulisan Tan
Malaka: Politik, Rencana Ekonomi Berjuang, dan Muslihat.
Transcribed to HTML by Ted Sprague
PENGANTAR
DUA LUSIN TAHUN lamanya saya menunggu-nunggu kejadian yang berlaku dengan
pesat dahsyat di Indonesia sekarang ini. Berbahagialah rasanya hidup saya
karena bisa menyaksikan perjuangan di Surabaya selama satu minggu lamanya (17 -
24 November 1945).
Sikap dan semangat proletar, tani, dan pemuda Indonesia memuncak, sesuai
semua karya dan pengharapan saya selama dalam perantauan. Di Shanghai atau
Berlin, di Mesir atau Moskow, saya tak menjumpai sikap dan semangat yang lebih
tepat-tangkas-tegap.
Tetapi rasanya masih ada kekurangan baik ditilik dari penjuru ideologi
ataupun organisasi.
Pengalaman seminggu lamanya di masa Surabaya dihujani dengan pelor dan bom,
ditambah pula dengan permohonan dari pihak pemuda yang sedang berjuang dengan
hati laksana baja, saya dalam perjalanan ini terpaksa menulis beberapa brosur.
Yang sudah ditulis tergopoh-gopoh dalam perjalanan ini ialah Politik ini,
yang berhubungan dengan kemerdekaan. Brosur yang kedua ialah yang berhubungan
dengan Rencana Ekonomi. Yang ketiga akan berhubungan dengan Muslihat
mempertahankan Republik Indonesia. Kedua buku yang belakangan itu diharap akan
dihabiskan dalam perjalanan pula.
****
Percakapan tentang politik ini terjadi antara MR. APAL (wakil kaum
inteligensia), SI TOKE (wakil pedagang kelas menengah), SI PACUL (wakil kaum
tani), DENMAS (wakil kaum ningrat), dan SI GODAM (wakil buruh besi).
I. ARTINYA “MERDEKA”
A. ARTI SEDERHANA
SI PACUL : Selamat pagi, apa kabar ?
SI TOKE : Terlampau panjang ini Saudara! Sekarang masa perang dan masa berontak,
ucapkan yang pendek dan tepat saja: “Merdeka” begitu. Pendek, tepat,
dimengerti, dan membangunkan perasaan bertarung. Ucapan yang panjang tadi
asalnya dari terjemahan Belanda. Kalau nanti berbaubau Nica, tentu engkau
dicari buat dibawa ke Batalyon X.
SI PACUL : Memang saya tak tahu yang demikian itu. Tetapi sudah jadi
kebiasaan saja. Di sekolah rendah dipelajari dan memang selalu diucapkan
begitu. Tetapi sekarang satu dua kali juga saya ucapkan “MERDEKA” kalau
berjumpa pengawalan di jalan-jalan. Tetapi terus terang saja, saya sendiri juga
belum tahu betul artinya “Merdeka” itu.
SI TOKE : Cul, saya pun tak paham betul akan arti perkataan itu. Tetapi
contoh ini bisa memberi penerangan. Engkau lihat itu burung gelatik. Dia bisa
terbang kesana kemari, dari pohon ke pohon mencari makan. Alangkah senang
hatinya. Di mana ada makanan di sana dia berhenti makan sambil menyanyi. Kalau
hari senja dia pulang ke sarangnya. Itu namanya merdeka. Tak ada kesusahan.
Selalu riang gembira.
SI PACUL : Betul senang kelihatan dari luar. Tetapi kelihatan dari luar
saja. Belum tentu hatinya sang gelatik sendiri selalu senang. Belum tentu pula
burung gelatik itu selalu menyenangkan orang lain. Kemerdekaan semacam itu tak
begitu memuaskan.
SI TOKE : Bagaimana tak memuaskan, Cul? Bukankah merdeka seperti burung di
udara itu selalu dipuji, selalu diambil sebagai contoh?
SI PACUL : Tadi saya bilang belum tentu hatinya sang gelatik itu selalu
senang. Bung Toke memang orang kota, memang punya perusahaan buat hidup
sendiri. Tak perlu banyak takut sama ini atau itu. Tetapi bung Toke jangan
lupa, bahwa sang gelatik selalu diintai musuhnya. Kucing atau berangan ialah
musuh besarnya. Burung elang ialah musuhnya yang lebih besar. Sang manusia pun
bisa sewaktu-waktu menangkapnya atau menembaknya.
SI TOKE : Sang gelatik toh bisa lari terbang?
SI PACUL : Ya, memang dia bisa lari terbang. Cuma kecakapan yang
diperolehnya dari Alam itu saja yang bisa melindungi jiwanya. Tetapi mana ada
adat atas undang-undang masyarakat yang melindunginya? Bahkan, mana
masyarakatnya sang gelatik?
SI TOKE : Benar juga Cul. Engkau memang dari desa, yang masih hidup di
Alam. Memang di Alam itu undang-undang yang berlaku ialah: Besar hendak
melanda. Tetapi dalam masyarakat pun begitu juga, bukan?
SI PACUL : Memang masyarakat kita juga belum sempurna. Tetapi jauh lebih
sempurna dari masyarakat burung atau hewan yang lain. Barangkali kita manusia
pun tak akan sampai kepada masyarakat yang sempurna. Tetapi kita senantiasa,
selangkah demi selangkah bisa menghampiri kesempurnaan ...
SI TOKE : Aku tak sangka kau seorang ahli filsafat, Cul. Rupanya tadi
engkau berlaku pura-pura bodoh saja. Tetapi tunggu dulu! Baik kita kembali ke
pokok perkara. Engkau sudah terangkan bahwa sang gelatik belum tentu selalu
berhati senang, karena musuh selalu mengintai. Tak ada undang-undang atau adat
masyarakat burung yang bisa melindungi masing-masing burung. Tetapi engkau
belum terangkan, bagaimanakah sang gelatik yang hina papa itu bisa tidak
menyenangkan orang lain, bisa mengganggu orang lan?
SI PACUL : Memang rupa sang gelatik itu hina papa. Tetapi kalau satu
rombongan saja gelatik itu sampai ke sawah kami, maka mereka itu merdeka pula
memusnahkan hasil pekerjaan kami. Dari masa meluku sampai masa menanam padi,
dari waktu padi masih hijau kecil sampai kuning matang, kami mengeluarkan jerih
payah dan peluh keringat. Sekarang sesudah jerih payah kami memperlihatkan
hasilnya datanglah rombongan gelatik yang tidak mengeluarkan keringat
setetespun dan susah gelisah sedikit pun atas hasil pekerjaan kami tadi. Tetapi
dengan tidak meminta izin lebih dahulu, dan dengan tak malu-malu mereka bersuka
ria, bersenda gurau di atas tangkai padi, memilih buah yang matang dan bernas.
Bukankah kemerdekaan semacam itu kemerdekaan orang tak berusaha yang merampas
hasil pekerjaan orang lain yang mengeluarkan tenaga? Merdeka semacam itu
berarti merdeka merampas. Inilah sebenarnya akibatnya kemerdekaan liar itu. Apa
gunanya “merdeka” semacam itu buat masyarakat manusia?
SI TOKE : Wah, Cul. Ini gara-gara “selamat pagi” apa kabar tadi. Tetapi
memperbincangkan arti “Merdeka” itu bukan lagi perdamaian yang aku peroleh
dalam hatiku. Memang semua perkara yang engkau kemukakan tadi yang berhubungan
dengan “kemerdekaan” itu benar belaka. Sekarang saya sendiri dalam kekacauan pikiran.
Aku sendiri mau tahu pula “apa merdeka yang sebenarnya”.
SI PACUL : Marilah kita bertanya kepada mereka yang lebih ahli.
B. ARTI LEBIH DALAM (Definisi)
SI TOKE : Sini, Denmas! Denmas, tuan sudah dengar kami belum lagi mendapat
kecocokan tentang arti MERDEKA. Tetapi saya sudah yakin, bahwa MERDEKA itu
tidak berarti boleh menjalankan kemauan diri sendiri saja, dengan tiada
mempedulikan hak dan kemauan orang lain. Bukankah begitu, Cul, sari perundingan
kita tadi.
SI PACUL : Memang begitu. Tetapi siapakah dan bagaimanakah cara membatasi
kemauan masing-masing orang? Cobalah Denmas kasih jawab! DENMAS : Memang
kemauan liar diri sendiri itu mesti dibatasi. Di zaman Majapahit umpamanya
kemauan liar tak terbatas itu dikendalikan ke jalan yang baik oleh raja yang
adil dan bijaksana.
SI TOKE : Belum terang benar perkataan Denmas itu pada saya. DENMAS :
Artinya dikendalikan itu ialah diarahkan ke jurusan yang benar. Kalau seorang
warga negara merusak atau mencuri harta warga yang lain, maka si pencuri tadi
dihukum. Dengan begitu dia sendiri dan warga lainnya terbatas atau hilang
keinginannya merusak atau mencuri harta orang lain. Lagipula, kalau Negara
diserang oleh Negara lain maka raja tadi memerintahkan semua warga yang kuat
sehat mengangkat senjata mengusir musuh. Kalau ada warga negara yang kuat sehat
itu ingkar, maka ia dihukum pula oleh raja.
SI PACUL : Jadi kalau begitu memang kemauan merusak, mencuri, atau lari
kalau musuh datang dibatasi atau dibatalkan oleh raja.
MR. APAL : Tetapi bagaimana kalau raja tadi sendiri mau merusak,
memperkosa, dan lari diserang musuh dengan tiada mengadakan perlawanan suatu
apa? DENMAS : Raja itu mestinya adil, bijaksana, dan berani gagah perkasa.
SI PACUL : Baik kalau kita mendapatkan seorang Raja semacam itu. Selama ada
Raja semacan itu memang negara aman dan makmur. Tetapi bagaimana kalau Raja
semacam itu tak ada? Atau kalau adik seorang Raja atau adiknya sebapak tetapi
tak seibu lebih adil, lebih bijaksana, dan lebih gagah mau menjadi Raja pula?
Tentu timbul perang saudara bukan? Atau kalau Raja itu tak punya keturunan sama
sekali, tetapi di antara keluarganya yang dekat atau jauh ada yang berani
tetapi zalim, atau ada yang adil tetapi lembek penakut? Siapa yang akan menjadi
Raja? Tentu bisa timbul perang saudara pula, bukan?
SI TOKE : Rupanya engkau ini betul seorang ahli filsafat jempolan, Cul.
Sokrates sendiri akan bangkit dalam kuburnya mendengarkan pertanyaanmu semacam
itu. Memang keadaan begitu sering timbul di zaman Sriwijaya ataupun Majapahit.
Di masa itu memang Raja itu seringkali zalim, tetapi tak ada aturan yang
membatasi kezalimannya. Raja zalim itu cuma bisa ditukar dengan jalan
pemberontakan rakyat. Jadi negara pun kacau. Atau kalau ada pertengkaran di
antara para calon Raja, maka masing-masing calon memanggil punakawannya buat
perang saudara. Betul di bawah perintah seorang Raja, negara bisa aman sentosa,
kalau Raja itu sendiri sempurna dalam segala-galanya dan semua Raja
turun-temurun sempurna pula. Jadi keamanan dan kemakmuran negara semacam itu
bergantung kepada satu keluarga saja.
SI PACUL : Memang negara aman sentosa kalau keluarga Raja itu sempurna, tak
ada celanya. Tetapi celakalah Negara kalau keluarga Raja itu tak sempurna atau
jahat.
SI TOKE : Kembali kita sebentar pada pokok perkara. Pertama tadi kita mau
mengendali kemauan liar seorang warga negara. Si Pengendali itu kita namai
Raja. Tetapi di belakangnya kita lihat bahwa Raja itu manusia juga, acapkali
perlu dikendali pula. Memang susah mencari seorang atau serombongan manusia
buat mengendali Si Pengendali itu. Jadi apa mestinya yang mesti mengendali
kemauan warga negara itu, supaya yang dikendali jangan merusak dan Si
Pengendali sendiri jangan merusak pula.
MR. APAL : Sekarang kita sampai ke tingkat yang selama kita berunding ini
saya simpan saja dalam pikiran saya. Jadi Si Pengendali yang amat sentosa itu
ialah aturan atau undangundang. Undang-undang Negara itulah yang menangkap,
memeriksa, atau menghukum seorang warga negara yang dianggap salah. Dengan
aturan yang sudah ditetapkan itulah negara mesti diperintah. Aturan memerintah
negara itu kita namai Undang-Undang Dasar atau konstitusi.
SI TOKE : Jadi kalau begitu Undang-Undang Dasar itulah yang memerintah,
bukan lagi manusia, Undang-Undang Dasar itu lebih tetap dari kemauan seorang
Raja atau kemauan keluarga Raja. Boleh dituliskan dan diterjemahkan lebih
pasti.
SI PACUL : Tetapi siapa yang mesti membikin Undang-Undang Dasar itu?
SI TOKE : Iya, benar, itu kita mau tahu. Siapa yang berkuasa “berdaulat”
buat menentukan Undang-Undang Dasar itu?
MR. APAL : Dengan perkataan lain: di tangan siapakah terletak “kedaulatan”
itu? Tadi sudah dibicarakan, bahwa kedaulatan itu tak aman tak tetap kalau
ditaruhkan di tangan Raja atau satu keluarga Raja. Sekarang marilah kita
periksa di tangan siapa kedaulatan itu harus kita taruh, supaya cara memerintah
itu tetap, tak berubah-ubah menurut perasaan seorang Raja, menurut baik atau
jeleknya hari, menurut suka atau marahnya Raja itu. Buat itu marilah kita
periksa bermacam-macam bentuk Negara. Bentuk yang baiklah yang akan kita pakai.
II. BENTUK NEGARA DAN KEDAULATAN
A. BENTUK NEGARA
MR. APAL : Sebenarnya selama ini sudah kita bicarakan bentuk Negara itu,
pada permulaan. Sendirinya kita sampai kepada kedaulatan. Memang bentuk Negara
itu banyak berhubungan dengan kedaulatan. Sebelum kita selidiki perkara
Kedaulatan lebih baik kita tegaskan dahulu perkara “Bentuk Negara”.
SI TOKE : Saya sering dengar Negara bentuk Kerajaan dan Negara berbentuk
Republik. Dalam perundingan kita tadi sudah saya rasa perbedaan kedua bentuk
itu, tetapi perbedaan yang pasti memang saya minta tegaskan kepada Mr. Apal.
MR. APAL : Dalam suatu kerajaan tulen, Raja itulah yang mempunyai kemauan
tertinggi. Raja itulah yang memberi putusan terakhir. Rajalah yang berdaulat.
Tidakkah sering kita baca atau dengar dalam komedi setambul: “Daulat Tuanku?”
SI PACUL : Memang. “Daulat Tuanku” sering pula ditambahtambah dengan
“digantung tinggi dan dibuang jauh” kalau tuanku menghendaki!
SI TOKE : Tetapi di mana raja Indonesia itu terbatas kekuasaannya oleh
rakyat seperti di Sumatera, maka kita dengar pula: “Raja adil Raja disembah,
Raja zalim Raja disanggah.” Jadi Raja –terutama di Minangkabau—amat terbatas
sekali kekuasaannya.
MR. APAL : Memang kerajaan itu mempunyai beberapa jenis pula. Satu jenis
bernama kerajaan tunggal: absolute monarchie. Dalam kerajaan tunggal itu
kemauan raja itu tak ada batasnya. Andaikata pagi ini raja itu marah atau
cemburu pada seorang gundiknya, maka hari itu juga menterinya dilepas dari
pekerjaannya, karena “whim” (buah hati) saja. Atau karena girang gembira
mendapatkan selir yang cantik molek, maka Fulan yang tak tahu apa-apa tentang
urusan Negara diangkat jadi Menteri, sebab ia sekarang menjadi iparnya Raja.
Kerajaan Tunggal itu mudah sekali bertukar menjadi “Kerajaan sewenang-wenang”.
SI PACUL : Balasannya tak lain pemberontakan buat mencari Raja Adil
Bijaksana.
SI TOKE : Berapa lama Negara itu beruntung mempunyai seorang Ratu Adil?
Seandainya sesudah naik tahta seumur Ratu Adil. Hidup dia terus adil bijaksana,
tetapi bagaimana kalau turunannya seorang bangsat atau bodoh?
MR. APAL : Ada pula jenis kerajaan di mana kekuasaan Raja itu amat dibatasi
oleh undang-undang. Undang-undang itu dibikin oleh rakyat. Undang-undang itu
tak boleh diubahubah oleh siapapun. Jadi Sang Raja berlaku dikendali oleh
undang-undang dasar. Keadaan begitu kita dapati di Inggris sekarang dan dahulu
kala di Minangkabau. Kerajaan semacam itu dinamai Constitutional Monarchy
(Kerajaan terbatas).
SI TOKE : Jadi yang sebenarnya berkuasa pada kerajaan terbatas itu ialah undang-undang
dasar. Raja itu cuma satu lambang persatuan saja. Tetapi lambang itu amat
mahal. Bukankah rakyat mesti memikul semua ongkos raja dan keluarganya yang
sebenarnya kelas nganggur? Apakah tak lebih murah harganya dan tepat-jitu
sifatnya kalau undang-undang dasar saja yang memerintah, mengendali Negara?
MR. APAL : Bentuk semacam inilah yang kita sebut sekarang “REPUBLIK”. Dalan
suatu republik Raja dan keluarganya itu tak ada sama sekali. Dalam suatu
republik Negara itu diperintah menurut undang-undang. Perintah itu terletak di
tangan Presiden dan para Menterinya, beserta Sidang Pusat dan Daerah, dan
sebagian juga di Mahkamah Tertinggi.
SI TOKE : Saya minta sedikit penjelasan tentang kalimat terakhir ini.
MR. APAL : Seorang ahli filsafat Perancis bernama Montesquieu membagi kerja
(function) pemerintahan itu atas tiga bagian : 1. Kekuasaan membikin
undang-undang (Legislative Power). 2. Kekuasaan menjalankan undang-undang
(Executive Power). 3. Kekuasaan mengawasi undang-undang (Judicial Power).
Kekuasaan membikin undang-undang itu ditaruh di tangan sidang perwakilan.
Kekuasaan menjalankan undang- undang itu ditaruh di tangan Sidang Para Menteri.
Akhirnya pengawasan terhadap Negara membikin dan menjalankan undang-undang itu
ditaruh pada Mahkamah Agung.
SI PACUL : Jadi membikin, menjalankan, dan mengawasi undang- undang itu
tidak terletak pada satu orang seperti pada raja. Juga tidak pada satu badan
melainkan pada tiga badan.
MR. APAL : Memang begitu! Dalam undang-undang dasar Amerika ditegaskan
pula, maksudnya tiga pembagian itu ialah buat mengadakan setimbangan (check and
balance) dalam pemerintahan Negara. Tiap-tiap bagian itu ditentukan pula
kekuasaannya dengan undang-undang dan batas kekuasaannya.
SI TOKE : Apakah tiap-tiap bagian tak akan terlampau merdeka
sendiri-sendiri dan menimbulkan kekacauan pula???
MR. APAL : Memang kemungkinan itu ada. Tetapi semua bagian itu dipersatukan
dan dikuasai oleh kelas yang terkuasa dalam Negara Republik itu dengan
perkakasnya yang dinamai birokrasi. Tetapi baiklah kita diamkan saja perkara
ini. Lebih baik kita bicarakan perkara kedaulatan.
B. KEDAULATAN
SI PACUL : Kedaulatan itu sebenarnya apa???
MR. APAL : Kedaulatan itu sebenarnya kekuasaan yang tertinggi, kekuasaan
yang memutuskan suatu persoalan. Sovereignity, namanya dalam bahasa asing.
SI TOKE : Jadi kalau suatu undang-undang atau tindakan menimbulkan
percekcokan dalam satu Negara, maka kekuasaan tertinggi itulah yang akan
menjatuhkan putusan terakhir. Itulah yang terkuasa, yang berdaulat. Memang
perkara ini satu perkara yang penting. Seharusnyalah dalam sesuatu Negara ada
sesuatu yang memberi putusan terakhir. Tetapi tak pula kurang pentingnya, di
tangan siapakah Kedaulatan itu mesti ditaruh?
MR. APAL : Di zaman Kerajaan-Kota memutus itu terletak di tangan raja. Jadi
undang-undang itu terletak di ujung lidahnya raja atau di ujung pedangnya saja.
SI PACUL : Benar sekali, bahwa dalam suatu kerajaan, di mana perkataan raja
itu adalah satu undang-undang, harta gampang dirampas, kemerdekaan orang
gampang diperkosa, dan perempuan orang gampang diambil oleh yang berkuasa.
MR. APAL : Sebab itu menurut dasar republik seharusnyalah kedaulatan itu di
tangan rakyat dan pada undang-undang yang dibikin oleh para wakil rakyat. Kalau
suatu tindakan menimbulkan kesangsian atas benar atau tidaknya tindakan itu,
maka Mahkamah Tertinggi bisa membandingkan tindakan itu dengan Undang-Undang
Dasar. Seandainya sesuatu macam ”pajak” yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat menimbulkan kesangsian itu, maka Mahkamah Agung boleh memutuskan cocok
atau berlawanankah tindakan itu dengan Undang-Undang Dasar.
SI TOKE : Bagaimana kalau putusan Mahkamah Agung itu sendiri menimbulkan
kesangsian pula?
MR. APAL : Dalam hal ini beberapa Negara Republik menaruhkan kedaulatan itu
pada Permusyawaratan Rakyat, umpamanya di Swiss. Suara seluruh rakyat dewasa
dipungut. Ini dinamai referendum rakyat. Suara terbanyak itulah suara putusan.
SI PACUL : Tiga atau empat juta penduduk Swiss saja tiada mungkin berkumpul
pada suatu tempat buat bermusyawarat dan berunding. Apalagi 70 juta rakyat
Indonesia, seandainya bisa mereka meninggalkan kota atau desanya masing-masing.
Jadi bagaimana mempraktikkan kedaulatan rakyat itu???
MR. APAL : Memang bukan perkara mudah menjalankan referendum itu. Tetapi
biasa dijalankan, yakni seperti menjalankan pemilihan juga. Seandainya warga A
dalam Republik itu tak setuju dengan tindakan pajak tadi maka ia catatkan saja
“tidak setuju” dalam kartu resmi. Kartu itu dimasukkan ke dalam peti umum.
Warga B yang setuju, mencatatkan “setuju”. Kalau seandainya di antara 40 juta
warga Negara Indonesia yang berhak bersuara, 30 juta tidak setuju dan cuma 10
juta yang setuju, maka undang-undang yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
tadi jadi “batal”, yaitu tak sah.
SI PACUL : Kalau begitu memang rakyat yang terkuasa karena putusan yang
terakhir betul di tangan Rakyat Jelata. Gampang tetapi jitu dan tepat teknik
memerintah semacam itu.
SI TOKE : Ingin pula saya hendak mengetahui siapa orangnya mengeluarkan
pikiran itu yang bermula sekali? Siapa pemikir besar yang menghasilkan paham
yang begitu yang berfaedah buat masyarakat manusia?
MR. APAL : Amat susah mengatakan siapa yang sebenarnya “pada awalnya”
memikirkan referendum atau “suara Rakyat” itu. Boleh jadi bukan satu orang pada
satu waktu saja yang mendapatkan pikiran itu. Boleh jadi pikiran yang bermula
keluar itu belum nyata benar, tetapi sudah mempunyai garis besar atau sifat
yang pasti. Boleh jadi pula pikiran itu sudah pasti, tetapi cuma pinjaman dari
orang lain atau negara lain. Boleh jadi pula pungutan “Suara Rakyat” itu
dijalankan begitu saja, bukan sebagai pelaksanaan satu teori atau paham
melainkan sebagai “naluri rakyat murba” belaka (political instinct of the
masses).
SI TOKE : Bagaimana juga, tentu “Suara Rakyat” sebagai teknik memerintah
itu sejalan dengan sempurna atau tidaknya Suara Rakyat itu mempunyai sejarah.
Barangkali bukan sejarah menurut kesempurnaannya.
MR. APAL : Memang “Suara Rakyat” itu bukan saja satu teknik yang penting
gampang buat suatu pemerintahan. Tetapi Suara Rakyat itu juga menjadi ukuran
jauhnya kemerdekaan Rakyat dalam suatu Negara.
SI TOKE : Dengan obor semacam itu cobalah tuan cantumkan secara sederhana
“Suara Rakyat” yang berseluk-beluk dengan Kedaulatan Rakyat dan kena mengena
dengan kemerdekaan Rakyat itu.
MR. APAL : Saudara sudahkah mendengar nama Min Tze, artinya guru Ming?
SI TOKE : Belum. Tetapi nama guru Kung Cu, yaitu pemikir Tionghoa memang
sudah saya dengar. Hidup kira-kira 2.500 tahun lampau.
MR. APAL : Nah, Guru Kung memang seorang pembentuk masyarakat Tionghoa yang
terbesar. Negara bentukan Guru Kung berdasarkan kekeluargaan yang dipuncaki
oleh Raja dan keluarganya. Muridnya ialah Guru Ming memberatkan kedaulatan itu
bukan kepada Raja seperti gurunya, tetapi kepada Rakyat Jelata. Maksudnya Guru Ming
lebih kurang, apabila Raja itu zalim maka Rakyat berhak memberontak.
SI TOKE : Jadi bukanlah Rakyat buat Raja, melainkan Raja buat Rakyat.
Seperti pepatah Indonesia di atas: Raja adil Raja disembah, Raja zalim Raja
disanggah.
MR. APAL : Baru saja tahun 1789, jadi lebih kurang 22½ abad di belakang
Guru Ming, Jean Jacques Rousseau, di samping Montesquieu, mengeluarkan pikiran
yang sama artinya dengan pelajaran Guru Ming tadi. Pengaruh Tionghoa memang
terang pada Montesquieu tadi. Dan Rosseau itu dianggap Nabinya Pemberontakan
Perancis.
SI TOKE : Indonesia tak perlu lari ke negara asing saja. Indonesia sendiri
mempunyai “suara rakyat” itu. Di masa luhurnya Minangkabau, abad 14 sampai l6,
Minangkabau berdasarkan kekeluargaan juga: Rakyat ber-raja pada Penghulu
Penghulu ber-raja pada Mufakat Mufakat ber-raja pada alur dan patut. Jadi raja
yang diakui lebih tinggi dari Penghulu sebagai wakil rakyat ialah kata Mufakat.
Tetapi “Kata Mufakat” itu mesti diperoleh dengan perundingan yang merdeka,
tenang, dan luas. Putusan yang diperoleh tiadalah takluk pada Kata Raja atau
laskarnya, melainkan pada Alur (logika) dan Patut (keadilan). Alur dan Patutlah
Raja Tertinggi di Minangkabau pada masa jaya. Maharaja di Minangkabau itu
takluk pada Kata Mufakat, pernah disalahkan oleh Mahkamah Agung Minangkabau.
Disangka kedaulatan Rakyat Minangkabau semacam itu, yang berupa “suara rakyat”
itu diturunkan oleh pemikir “Ketumenggungan”.
III. ISI KEMERDEKAAN
SI TOKE : Kalau sebentar kita meninjau perundingan kita sampai sekarang, nyatalah
sudah bahwa “Bentuk dan Isi Kemerdekaan” itu ada dua perkara yang terpisah.
SI PACUL : Apa yang engkau maksudkan dengan “isi” itu?
SI TOKE : Barangkali saya tak salah, kalau yang isi itu ialah “Kedaulatan”
tersebut. Rupanya Kedaulatan itu berarti “kemauan” atau “kekuasaan”. Dan pada
kekuasaan itulah terletaknya “hak lahir atau batin” dari seseorang atau
golongan orang dalam masyarakat.
SI PACUL : Nah kek, sekarang engkau bawa pulang saya ke tempat yang lebih
kurang saya ketahui. Engkau tadi menerangkan “isi” kemerdekaan dengan kata yang
sudah dikenal seperti kedaulatan, kemauan, dan kekuasaan. Semua perkataan ini
cukup kuketahui tetapi anak kalimat “hak lahir dan batin” itu apa pula
maknanya.
SI TOKE : Hak lahir ialah hak atas keperluan hidup, seperti makanan,
pakaian, perumahan, gaji, dan sebagainya. Hak batin ialah hak buat merdeka
berkumpul, berbicara, menulis, hak buat melindungi harta, kemerdekaan, dan
jiwa, yang di zaman Revolusi Perancis dinamai “hak manusia”.
SI PACUL : Kalau begitu engkau memberi pemandangan baru pada saya, kek. Hak
lahir dan hak batin itu memang tak terlihat pada buntutnya kemerdekaan, yakni
bentuk suatu Negara Merdeka. Dalam negara berbentuk kerajaan boleh jadi lebih
besar golongan yang berhak (lahir dan batin) daripada dalam negara berbentuk
Republik.
SI TOKE : Engkau ini memang cepat memahami suatu paham! Cepat dan tepat
bertanya dan melaksanakan! Sekarang aku sendiri tak cukup mengerti apa yang kau
maksudkan dengan kalimat di belakang ini.
SI GODAM : Memang petani itu sering mempunyai pikiran sehat segar seperti
buah jeruknya.
SI PACUL : Baru sekarang engkau muncul, Godam. Selama ini engkau menonton
saja, diam-diam saja engkau pura-pura tak mengerti! Sekarang sesudah sampai ke
perundingan perkara “isi” kemerdekaan baru engkau muncul.
SI TOKE : Biarkanlah dahulu si Godam ini. Nanti tentu dia akan muncul
terus. Tetapi cobalah tegaskan apa yang engkau katakan tadi, Cul, bahwa dalam
sesuatu kerajaan boleh jadi besar golongan yang berhak (lahir dan batin)
daripada dalam suatu republik.
SI PACUL : Contoh yang segar-bugar gampang kita kemukakan. Lihatlah Jerman
Nazi adalah satu Republik. Tetapi golongan yang paling besar dalam negara
(yakni kaum proletar) digencet sehebat-hebatnya. Gaji buruh diturunkan, lama
kerja diperpanjang buat menghasilkan alat perkakas perang. Gestapo
bermaharajalela buat membasmi kumpulan dan rapat buruh. Cuma sebagian kecil
warga negara Jerman (yakni kaum Fasis) yang mempunyai hak lahir dan batin itu.
Sebaliknya di Inggris, negara merdeka berbentuk kerajaan, besar golongan yang
berhak lahir dan batin itu daripada di Jerman. Gaji lebih tinggi, lama kerja
lebih kurang, dan hak berkumpul, berunding, dan menulis lebih luas.
SI GODAM : Ya benar kalau engkau membandingkan satu kerajaan dengan
republik semacam itu. Memang bentuk itu tak memastikan isi. Jadi tidak dalam
semua kerajaan hak lahir dan batinnya golongan rakyat itu diperkosa. Tidak
dalam semua republik sebaliknya hak lahir dan batinnya golongan terbesar itu
terjamin.
SI TOKE : Sekarang saya sudah mengerti. Jadi besarnya kemerdekaan dalam
suatu negara merdeka itu mesti diukur dengan besarnya golongan orang dalam
negara itu yang mempunyai hak lahir dan batin.
SI PACUL : Kalau begitu dalam Negara Merdeka yang selalu dipuji oleh Denmas
tentulah kaum yang sedikit itu yang sebenarnya merdeka.
SI TOKE : Engkau jangan menyindir-nyindir, Pacul. Denmas toh bukan
absolutis, penganut kerajaan Tunggal. DENMAS : Memang bukan! Tadi si Pacul
sendiri sudah memberi contoh bahwa bentuk itu belum memastikan isinya. Bukankah
dalam negeri merdeka berbentuk kerajaan seperti Inggris golongan yang mempunyai
hak lahir dan batin cukup besar? Pacul sendiri yang memberikan contoh ini!
SI GODAM : Cukup besar tetapi .....................
SI TOKE : Diam dulu, Dam, aku sudah tahu ke mana engkau mau pergi. Cukup
besar, tapi sama sekali belum lagi cukup! Bukankah begitu, Dam?
MR. APAL : Sebenarnya, semenjak ahli pikir Aristoteles sudah banyak
perubahan isi dalam bentuk negara merdeka, baik berupa Kerajaan maupun
Republik. Dalam kitab kuno memang biasa sekali dianggap bahwa dalam satu
kerajaan itu raja dan keluarganya yang berkuasa, berdaulat, jadi berhak lahir
dan batin. Tetapi sekarang Inggris memberi contoh yang aneh.
SI TOKE : Bagaimana pula buku kuno itu menjeniskan Republik?
MR. APAL : Banyak pula jenisnya Republik itu. Republik itu bisa
aristokratis, artinya di sana kaum ningrat yang berkuasa, seperti Republik
Sparta di masa lampau. Republik itu bisa plutokratis Di sana kaum hartawanlah
yang memegang tampuk kekuasaan, yakni yang sebenarnya berdaulat. Ada pula yang
demokratis! Di sini rakyatlah yang berkuasa. Inilah sebenarnya watak Negara
Modern yang besar-besar di zaman sekarang. Contohnya yang nyata ialah Amerika
Serikat. Di sinilah Rakyat yang berdaulat, berkuasa, yang menentukan baik atau
tidaknya Undang-undang, yang memilih dan melepas Presiden, para Menteri, dan
wakil Dewan Negara. Di sinilah hak lahir dan batin hampir seluruh masyarakat
terjamin.
SI PACUL : Bagaimana, Dam?
SI GODAM : Kapitalisme dan Birokratis! Itu yang berdaulat di semua negara
merdeka di dunia ini, berbentuk Kerajaan ataupun Republik, baik plutokratis
ataupun demokratis!
IV. BIROKRASI
SI PACUL : Nah, Dam, sekarang rupanya engkau punya giliran. Lebih dahulu
aku mau tanyakan. Birokrasi itu sebenarnya apa?
SI GODAM : Birokrasi itu adalah seekor ular berkepala 10, tersembunyi
tempatnya dan dengan begitu dia leluasa menyemburkan racunnya ke arah musuhnya.
SI PACUL : Jangan pakai perumpamaan begitu, Dam! Saya mau keterangan yang
pasti. Saya sudah banyak kali mendengar kata birokrasi itu. Tetapi artinya yang
sebenarnya saya sampai sekarang belum tahu.
SI GODAM : Birokrasi ialah perkakas memerintah dan administrasi yang di
zaman kapitalisme menjadi perkakas menindas kaum pekerja. Mulanya biro, kantor
itu memang perlu buat satu pemerintah dan satu administrasi. Tetapi lama
kelamaan oleh pengaruh kapitalisme menjadi badan yang terpisah dari Rakyat
murba dan dipakai sebagai alat penindas semua gerakan murba yang membahayakan
kekayaan dan kekuasaan kaum kapitalis yang di zaman kapitalisme memiliki
birokrasi itu.
SI PACUL : Sedikit terang. Tetapi belum cukup terang. Cobalah lanjutkan.
SI GODAM : Administrasi tentulah perlu buat satu negara. Sedangkan buat
satu perusahaan saja perlu administrasi itu. Dalam satu perusahaan saja, bukankah
perlu dicatatkan keadaan pekerja dalam tiap waktu. Umpamanya perusahaan itu mau
tahu berapa pekerjanya. Pada permulaan bulan 4 tadi umpamanya 100 orang. Kalau
yang masuk di bulan itu 100 orang dan keluar 50 orang, jadi sisa penghabisan
bulan empat itu 150 orang. Nama, bagian pekerjaan, umur, asal, keluarga,
sekolah dll tiap-tiap pekerja mesti didaftarkan supaya jangan mendatangkan
kekacauan. Gajinya berhubung dengan pengalaman, sekolah dan kecakapannya mesti
didaftarkan pula. Buat kesehatan, perpindahan, atau kematian, pekerjaannya
mesti ada pula pendaftaran yang cukup. Belum lagi perkara hasil atau produksi
perusahaan itu: turun naiknya, masuk keluarnya hasil itu. Perkara gaji buruh
halus di kantornya! Perkara keuangan, bahan, penjualan, dan bermacam-macam
perkara lain buat beresnya satu perusahaan itu saja.
SI PACUL : Satu perusahaan saja sudah begitu banyak cabang pekerjaan dan
cabang administrasi. Apa lagi satu negara.
SI GODAM : Apa lagi satu Negara yang mempunyai cacah jiwa sampai puluhan
juta, yang turun naik pula penduduknya, yang mempunyai banyak jabatan dalam
Pemerintahan Negara seperti jabatan politik Negara, Pertahanan Negara,
Perekonomian, Lalu-Lintas, Perhubungan, Keuangan, Penerangan- penerangan,
Pendidikan. Berapa banyaknya cabang pekerjaan dan berapa banyak ranting dan
lain-lain, dan anak ranting pekerjaan. Susahnya pula, semua ranting mesti
dipusatkan ke cabang dan semua cabang dipusatkan kepada bagian dan semua bagian
di pusat, dipusatkan pula ke PUSAT Negara seluruhnya.
SI PACUL : Pusing kepala saya memikirkan. Memang pekerjaan itu menjadi
sulit kalau didengar begitu saja. Tetapi tidak begitu sulit kalau tiap-tiap
ranting cabang dan pusat mengetahui hak dan kewajiban sendiri dan berani
tanggungjawab ke atas dan ke bawah. Salahnya, yang di bawah tak berani tanggung
jawab dan yang di atas mau memungut semua kekuasaan untuk memutuskan, tetapi
sering pula tak berani menanggungjawab putusannya itu. Yang di bawah yang tak
berani tanggung jawab itu menanti-nantikan saja putusan dari Atas, sampai di
atas bertimbun-timbun perkara yang mesti diputuskan.
SI TOKE : Sampai perkara tetek-bengek mesti diputuskan di Atas, karena yang
bawahan tak berani memutus.
SI GODAM : Begitulah administrasi itu menjadi Berat-Kepala (topheady).
Lebih berat kepalanya daripada kakinya. Karena semua putusan mesti datang dari
atas, maka semua putusan itu terlambat datangnya ke bawah. Tindakan yang mesti
dijalankan dengan cepat mesti ditunda karena menunggu putusan atas. Tindakan
itu sering terpaksa ditunda selamanya, karena tidak akan berhasil lagi kalau
dijalankan juga, sudah terlewat.
SI PACUL : Apakah semua tindakan mesti ditunda buat semua orang dan semua
golongan?
SI GODAM : Tentu tidak! Inilah akibat pertentangan dalam dunia kapitalisme.
Kesulitan dalam administrasi itu memberi kesempatan pada kaum hartawan buat
menduduki administrasi itu. Mereka adakan sekolah menengah dan tinggi buat
mendidik anak yang mampu mengadakan dan menjalankan administrasi yang sulit
bertingkat-tingkat (hirarkis).
SI PACUL : Anak yang mampu tentulah anak kaum kapitalis.
SI GODAM : Tepat Cul. Dan anak kapitalislah yang memegang buku, sebagai
pemegang Staat ini dan Staat itu, yang diatur secara akademis, yang cuma bisa
dimonopoli golongan terpelajar, anaknya kapitalis.
SI PACUL : Begitu semua biro, semua kantor itu jatuh ke tangan golongan
kapitalis, sudah tentu kantor itu menjadi perkakasnya golongan kapitalis,
terutama golongan bankir.
SI GODAM : Tepat, Cul. Dan karena keperluan Kapitalis dan Buruh
bertentangan seperti hidup dan mati, sudah tentu semua undang-undang dan
tindakan yang menguntungkan kapitalisme lekas dijalankan oleh birokrasi yang
dikepalai oleh Menteri Negara. Pendeknya, tuntutan si kapitalis biasanya tiada
ditunda. Tetapi semua undang-undang dan tindakan yang merugikan kaum kapitalis
dan menguntungkan kaum pekerja tentulah “gampang disabot”, dimogoki, dimogok
“sit-down” oleb kaum birokrat, ular tersembunyi dalam administrasi Negara itu.
SI PACUL : Aku mengerti, Dam, kenapa tadi birokrasi itu engkau namai ular
berkepala sepuluh. Tetapi saya harap kepalanya bukan 10 melainkan 13.
SI TOKE : Benar, Cul! Memang dia akan celaka 13. Kalau saja kelak wakil
kaum buruh mendapatkan suara lebih dan merebut kursi lebih dalam parlemen. Para
wakil buruh akan bisa bikin undang-undang buat mengadakan tindakan yang akan
melenyapkan, menghancurluluhkan kapitalisme.
SI GODAM : Tunggu dulu Kek! Tunggu dulu! Tak gampang kaum buruh suatu
negara merebut kursi lebih dalam parlemen. Sekalipun dapat, tak bisa ia
menghancurkan kapitalisme kalau tak dengan pemberontakan. Si Pacul : Nah lho!
V. AKSI PARLEMENTER ATAU AKSI MURBA?
A. AKSI PARLEMENTER
SI PACUL : Nah, Godam, masih dalam giliranmu sekarang. Terangkanlah mana
yang baik, aksi parlementer atau aksi murba (aksi massa).
SI GODAM : Saya ulangi sekali lagi. Merebut kursi terbanyak dalam parlemen
itu adalah satu perkara yang amat susah, walaupun mungkin.
SI PACUL : Terangkan dulu, apa maksudnya merebut kursi terbanyak itu!
SI GODAM : Umpamanya Parlemen mempunyai wakil rakyat 600 orang! Kalau kaum
buruh, yang memang terbesar dalam satu negara modern, mendapatkan wakil dalam
pemilihan wakil ke Parlemen umpamanya 301 orang saja dalam teori ia sudah
mendapat suara lebih, ialah 2 orang lebihnya dari semua golongan lain, yang 299
itu. Dalam hakikatnya kaum buruh di Inggris, Amerika, atau Jerman memang bisa
mendapatkan 2/3 atau 3/4 dari seluruh suara, ialah menurut besar kelasnya
proletar, yang ada di negara tersebut.
SI PACUL : Jadi dengan kursi terbanyak itu kaum buruh bisa mengadakan
undang-undang dalam Parlemen, buat melenyapkan hak milik perseorangan atas
industri penting umpamanya. Industri penting bisa dijadikan milik Negara.
Produksi dan distribusi diatur secara kolektif. Semuanya dijalankan secara
mengusul dan memutuskan dengan suara lebih dalam Parlemen.
SI GODAM : Benar begitu, tetapi walaupun kaum buruh lebih banyak orangnya,
ia kalah saja berteriak dalam pemilihan para anggota Parlemen itu.
SI PACUL : Sebab apa, Dam?
SI GODAM : Sebab yang berteriak memajukan dan memuja-muja para calon wakil
itu di zaman kapitalisme ini ialah fulus, uang. Siapakah yang bisa mengirimkan
propagandis ke kota- kota dan semua pelosok?
SI PACUL : Tentu kapitalis.
SI GODAM : Siapa pula yang bisa menyewa gedung besar-besar buat rapat umum?
Mempunyai persuratkabaran, majalah, radio, sandiwara, buat memuja-muji calon
sendiri dan mencemoohkan calon lawan.
SI PACUL : Tentu kaum fulus.
SI GODAM : Kepada kaum mana memihaknya profesor, guru, gereja, dan pujangga
dalam negara kapitalis?
SI PACUL : Ya, ya, Dam. Engkau tak perlu lanjutkan. Sebab itu di Amerika
negara yang modern dan kapitalis tulen itu, sampai sekarang belum pernah kaum
buruh mendapat suara terbanyak dalam parlemen walaupun di Amerika itu sebelum
perang besar tetap 11 juta buruh menganggur.
SI TOKE : Di Inggris, sekarang kaum buruh ke 3 kalinya mendapat kementerian
Negara. Sekarang Partai Buruh mempunyai suara terbanyak pula dalam Parlemen
Inggris.
SI GODAM : Yang ketiga kalinya pula partai kaum buruh Inggris akan
memperlihatkan kepada proletar Inggris dan dunia lain, bahwa mengadakan
undang-undang buat melenyapkan kapitalisme Inggris itu bukanlah perkara
menghitung “suara” atau “kursi” dalam parlemen saja. Memang menurut Karl Marx,
mungkin sosialisme dijalankan di Inggris dengan jalan parlementer itu. Tetapi
di masa Marx, birokrasi Inggris belum begitu kuat, licik, dan ganas seperti di
abad ke 20 ini.
SI TOKE : Kalau undang-undang penghapusan kapitalisme sudah diterima dalam
Parlemen, maka administrasi yang dikepalai Perdana Menteri Sosialis toh boleh
perintahkan kepada administrasi untuk menjalankan penghapusan kapitalisme itu.
SI GODAM : Dalam teori memang begitu. Tetapi jarang manusia yang menghukum
mati dirinya sendiri itu. Administrasi itu seperti sudah dibilang di atas
dipegang oleh keluarga borjuis, pengikut kaum kapitalis. Semua otak hati
jantungnya serta pengalamannya sudah dipusatkan pada Arsip Raja, dalam gedung
administrasi itu. Orang lain dari golongan lain susah memasuki gedung arsip
yang penuh rahasia itu. Berbenteng pada arsip rahasia itu sang jurutulis gampang
mengadakan pemogokan atau sabot terhadap perintah menteri sosialis. Berbenteng
pula pada arsip-gaib-rahasia itu sang jurutulis, sang komis kelas satu, kelas
dua ... sampai tiga belas. Berhubungan pula dengan polisi, kehakiman, tentara,
dan terutama dengan bank negara dan bank partikelir. Di zaman kapitalisme ini
bank itulah yang menjadi bentengnya kapitalisme, bank itulah yang mengendali
perindustrian di dalan negeri dan akhirnya mengendalikan politik negara.
SI PACUL : Jadi sekarang terang kedudukan kekuasaan dalam negara kapitalis
itu buat saya, Dam. Kaum kapitalis yang mempunyai benteng lahir pada golongan
bankir, mempunyai tukang sulap yang tidak kelihatan pula dalam administrasi,
berupa birokrat. Kalau wakil borjuis kalah dalam parlemen ia minta bantuan pada
tukang sulapnya, ialah sang birokrat dalam administrasi. Kalau di sini ia kalah
pula, ia baru minta bantuan pada polisi, yustisi, dan tentara. Mereka opsir
tinggi dari polisi, yustisi, dan tentara itu tentulah anak kaum mampu, yakni
kaum borjuis, maka tentulah pula polisi, yustisi, dan tentara –semua badan
pembela keamanan negara itu—pembela negara kapitalis. Tegasnya dalam
pertentangan Kapitalis-Proletar tentulah polisi, yustisi, dan tentara itu
membantu kapitalis dan membasmi proletar.
SI GODAM : Begitu mestinya, Cul! Pada semua pergerakan murba, maka terang
benar birokrasi menjadi perkakas kapitalis menindas semua gerakan yang
menentang kapitalisme. Begitu di semua negara Eropa. Berhubung dengan itu maka
100 tahun lampau Marx dalam salah satu bukunya yang banyak mengandung sejarah
sudah berkata: “Staat itu tak boleh diambil oper begitu saja oleh kaum buruh
(revolusioner), tetapi mesti dihancurkan dan diganti dengan administrasi kaum
buruh.” Yang dimaksud dengan staat itu, dengan Negara itu, tentulah terutama
juga administrasi dan birokrasi tadi.
SI PACUL : Kalau parlemen dan aksi parlementer itu tak boleh dipakai, dan
administrasi bersama birokrasinya tak boleh diambil oper begitu saja, bagaimana
jalan menghapuskan kapitalisme itu??
SI GODAM : Sekarang kita sampai kepada aksi murba. Memang engkau sebagai
wakil proletar tani tertarik ke jalan massa-aksi itu. Tetapi tak mengherankan
pula kalau Denmas, Mr. Apal, dan si Toke, burger kecil ini menguap-nguap saja,
seperti orang tak peduli.
B. AKSI MURBA
SI GODAM : Aksi murba itu tentulah mengandung beberapa syarat yang penting
pula. Sudahlah tentu perkara kalah menang mesti dipikirkan.
SI PACUL : Sudah mestinya kekuatan lahir dan batin yang ada pada lawan kita
mesti dibandingkan dengan kekuatan lahir dan batin yang ada pada kita.
Seharusnya para pemimpin murba itu tak boleh menyia-nyiakan ribuan jiwa yang
diserahkan pada pimpinannya.
SI GODAM : Semestinya kita tidak takut berkorban. Tetapi semestinyalah pula
kita tiada boleh berkorban sia-sia. Tiap-tiap tetes darah mengalir, mestinya
mendapatkan hasil yang seimbang.
SI PACUL : Kemenangan itu tentulah berupa kemenangan politik dan ekonomi.
SI GODAM : Selain perkara perbandingan kekuatan, mesti pula dipikirkan
perkara “tempo dan tempat”. Pada waktu musuh sedang kuat, dan kekuatannya
terpusat pula pada suatu tempat, sudahlah tentu kita bodoh sekali kalau
menyerang dengan kekuatan kurang, pada “tempo dan tempat” yang baik buat musuh
itu.
SI PACUL : Sekurangnya kita mesti tambah tenaga dan susun lebih baik lagi tenaga
yang sudah ada. Selain dari itu kita mesti tunggu pula tenaganya musuh yang
terpusat itu dicerai-beraikan. Atau tunggu temponya musuh sedang lengah.
SI GODAM : Jadinya, pendek kata carilah gelang yang lemah pada rantai
pertahanan musuh. Putuskan rantai itu dan musnahkan tiap-tiap bagian yang lemah
itu!!
SI PACUL : Apa lagi yang mesti diperhatikan?
SI GODAM : Memang banyak lagi. Syarat yang penting buat seorang pemimpin
–pemimpin apapun juga—ialah pemimpin itu pertama mesti mempunyai kecakapan memimpin.
Kedua dia mesti bisa menaksir keadaan sekarang dan besoknya; dan ketiga dia
mesti ulet, tidak lekas patah hati, melainkan mempunyai kemauan baja. Ia tak
boleh diombangambingkan oleh kemenangan dan kekalahan sementara, melainkan
tetap pegang teguh hasratnya berjuang dan kebenaran alasannya buat berjuang.
Ketetapan hati itu mesti tergambar di wajahnya kalau berhadapan dengan pengikut
dan teman seperjuangannya, apalagi dalam marabahaya.
SI PACUL : Memang pemimpin yang tak melihat garis besar gerakan politik,
tak mempunyai hasrat, kemauan, dan iman teguh tak akan bisa mengendalikan
pengikutnya, apalagi mengendalikan keadaan.
SI GODAM : Pimpinan mesti mempunyai sumber yang terus mengalir. Artinya itu
ia tak boleh pegang satu teori saja kalau menyerang atau mempertahankan. Dia
mesti cakap mengadakan muslihat baru pada keadaan baru. Pelajaran yang
dihafalkan dari buku saja tiada cukup.
SI PACUL : Jadi engkau sudah majukan: 1. Perkara perhitungan kalah-menang
(perbandingan kekuatan), 2. Perkara tempo dan tempat, 3. Syarat pemimpin dan
pimpinan, 4. Sumber yang terus mengalir di pihak pimpinan. Apakah persatuan
tidak penting???
SI GODAM : Penting sekali, Cul. Itulah jiwanya suatu perjuangan. Walaupun
syarat yang empat tadi ada, tetapi kalau persatuan dalam barisan yaag
dikerahkan itu lemah atau tak ada sama sekali, sudahlah tentu tak ada harapan
buat menang, kecuali kalau lawan itu lebih lemah lagi dalam segala-galanya.
Tetapi persatuan itu mesti mempunyai dasar yang teguh.
SI PACUL : Bukannya disiplin dasar yang teguh itu?
SI GODAM : Betul, disiplin adalah satu syarat atau dasar persatuan itu,
tetapi disiplin itu sendiri mesti berdasar pula.
SI PACUL : Apakah pula dasarnya disiplin itu?
SI GODAM : Inilah perkara yang penting dalam Aksi Murba. Dalam aksi militer,
disiplin itu semata-mata berdasar atas perintah yang kuasa saja. Tetapi dalam
Aksi Murba, disiplin itu mesti dimengerti dan dirasa. Jadi dasarnya ialah
keperluan bersama, kepentingan bersama di pihak murba. Atas keinsyafan sama
kepentingan, sama tujuan, dan sama berjuang itulah dirasa perlunya disiplin.
Artinya disiplin dalam aksi murba ialah dengan sejujur-jujurnya dan
sebaik-baiknya menjalankan suatu putusan, yang sudah diputuskan bersama-sama
menurut suara yang terbanyak.
SI PACUL : Tetapi toh tidak sama keperluan tani, buruh, saudagar, dan
penduduk kota?
SI GODAM : Tepat perkataanmu itu, Cul. Betul tidak sama tetapi ada
persamaan. Kucing memang tidak sama dengan macan, tetapi banyak persamaannya.
Lebih banyak persamaan kucing dan macan daripada antara kucing dan ikan atau
kucing dan tongkat.
SI PACUL : Jangan filsafat, Dam! Bentangkanlah persamaan yang praktis!
SI GODAM : Persamaan dari masing-masing orang kelas proletar tentulah
nyata. Mereka sama ditindas dengan cara yang sama. Mereka sama-sama menghendaki
perubahan yang sama pula. Lebih mudah mengadakan persatuan dan disiplin di
antara satu kelas manusia itu. Persatuan dan disiplin bisa didasarkan pada
keperluan sama, yakni sama-sama menuntut hak lahir dan batin (gaji, lama kerja,
hak berkumpul dan rapat).
SI PACUL : Tetapi di manakah letaknya persamaan keperluan tani, buruh, dan
penduduk kota?
SI GODAM : Baik, saya ambil contoh yang tepat saja, Cul. Ambil Rusia di
tahun 1917. Susunan masyarakat di masa itu: Di puncak ada Tsar dengan keluarga
ningratnya yang memiliki tanah luas-luas sekali. Yang mengerjakan tanah itu
ialah tani melarat. Tani melarat itu terbagi pula atas 3 golongan. Kesatu yang
hidup memburuh sama sekali; kedua setengah memburuh dan setengah bertani; dan
ketiga tani yang membanting tulang buat hidup cukup saja. Ketiga golongan itu
revolusioner terhadap Tsar. Selain tiga golongan tani melarat ini ada lagi tani
sedang. Tani ini memakai buruh sampai 10 orang. Tetapi masih mau perubahan
demokratis. Begitu juga tani besar. Selain tani, ada lagi kelas borjuis besar,
tengah, dan kecil. Semuanya menghendaki hak demokratis (perwakilan rakyat dsb).
Kelas yang paling terkemuka dalam pemberontakan ialah buruh-industri.
SI PACUL : Bagaimana kaum komunis mengadakan persatuan di antara borjuis,
tani, dan proletar itu?
SI GODAM : Itulah keulungan komunis Rusia. Dia tahu bahwa kaum borjuis
besar revolusioner terhadap feodalisme, keningratan di bawah Tsar. Selama
menentang Tsar dan kaum ningrat itu mereka bikin satu barisan rakyat. Jadi di
masa ini persatuan itu mengikat borjuis besar-tengah-kecil, tani
besar-tengah-kecil, dan proletar, sampai feodalisme terbengkalai. Baru sekarang
ditantang dan dibengkalaikan borjuis besar-tengah-kecil. Akhirnya, tinggalah
persatuan kekal antara proletar mesin dan proletar tanah.
SI PACUL : Jadi pada tiap-tiap tingkat pertarungan itu dicari persamaan
tuntutan berdasarkan persamaan keperluan. Apakah persamaan tuntutan proletar
mesin dan proletar tanah?
SI GODAM : Kedua golongan menghendaki perdamaian. Jadi mereka sama-sama meletakkan
senjata menghentikan berperang dengan Jerman. Selanjutnya para proletar pabrik
merebut pabrik, dan kaum borjuis dan proletar tanah merebut tanah dari kaum
ningrat. Dengan begitu proletar dan tani sama sama menentang
kontra-revolusioner dari pihak borjuis dan ningrat.
SI PACUL : Jadi kalau saya mengerti betul, Dam, Komunis Rusia pada
tiap-tiap tingkat perjuangan memusatkan pukulannya terhadap satu musuh saja.
Dalam hal itu dia menjaga persatuan dalam barisannya sendiri, walaupun terdiri
dari berbagai golongan.
SI GODAM : Itulah keulungan Komunis Rusia, Cul!
VI. MERDEKA 100%
SI TOKE : Apa yang dimaksudkan dengan merdeka 100%? Buat saya merdeka itu
merdeka tak ada batasnya.
SI GODAM : MERDEKA itu memang selalu ada batasnya. Batasnya itu pertama terhadap
ke dalam. Kedua terhadap keluar.
SI TOKE : Apa artinya?
SI GODAM : Terhadap ke dalam! Bukankah tiap-tiap orang dalam negara merdeka
itu mesti menghargai kemerdekaan tiaptiap warga lain? Jadi tiada boleh berbuat
sekehendak hatinya saja terhadap warga sejawatnya. Di sinilah terletak
batasnya.
SI PACUL : Kalau begitu terhadap keluar: tiap-tiap negara merdeka mesti
pula mengakui kemerdekaan tiap-tiap Negara Merdeka yang lain, besar atau kecil.
Berapa pun kuatnya satu negara merdeka tidaklah dia bisa berbuat sekehendak
hatinya saja terhadap negara lain. Dengan begitu maka kemerdekaan satu negara
terletak pula pada kemerdekaan negara lain, jadi arti luasnya pada suasana
kemerdekaan umumnya.
SI GODAM : Tepat, Cul! Kalau suasana kemerdekaan itu dalam arti umum
terganggu, maka lambat laun akan hilang kemerdekaan tiap-tiap negara. Lihatlah
contoh di sekitar kita dan dalam sejarah dunia! Berapapun kuat satu Negara
Merdeka, yang memperkosa kemerdekaan negara lain akhirnya ia jatuh juga!
SI TOKE : Kalau satu negara merdeka mesti menghargai kemerdekaan negara
lain pula tentu satu warga negara merdeka mesti pula menghormati warga negara
lain sebagai tamunya. Bukankah begitu?
SI GODAM : Sebenarnya begitu! Di sana teranglah sudah bahwa kemerdekaan
manusia itu mengandung “perdamaian” buat seluruh manusia. Perdamaian itulah
dasar kemakmuran. Akhirnya kemakmuran itulah pula yang menjadi dasar
kemerdekaan.
SI PACUL : Memang kemerdekaan, perdamaian, kemakmuran itu berseluk-beluk.
Tetapi kalau kubiarkan engkau melanjutkan perundingan tentang kemerdekaan itu
secara begitu, aku takut kita akan selangkah demi selangkah kau bawa ke
‘jurang’ filsafat. Baiklah kita kembali ke tanah yang datar. Berilah contoh
yang pasti (konkret) tentang batas kemerdekaan itu.
SI GODAM : Pertama batas itu boleh berupa daerah. Kemerdekaan Spanyol amat
terbatas karena Inggris menduduki Karangbatu bernama Gibraltar buat dijadikan
benteng. Ini berarti satu pistol mengancam dadanya Spanyol. Begitu pula Terusan
Suez, Tanah-Asing di Shanghai dan lain-lain.
SI PACUL : Walaupun daerah itu kecil, tetapi ia amat menguasai politik ke
dalam dan ke luar Negara yang diduduki. Apalagi batasnya?
SI GODAM : Batas yang terang tentulah berhubung dengan pembatasan
kedaulatan. Tentulah tak ada Negara yang merdeka dalam arti liar. Di atas sudah
disebutkan batas tiap-tiap Negara Merdeka itu ke dalam dan keluar. Tetapi itu
berlaku buat tiap-tiap negara, dimengerti dan dirasa perlunya oleh tiap-tiap
Negara. Tetapi status (kedudukan dalam politik) seperti Dominion Status, Free-State
(Irlandia) atau Gemeenebest yaag didengung-dengungkan oleh Belanda itu adalah
batasan pincang.
SI PACUL : Sebenarnyalah begitu. Karena Indonesia yang digemeenebest- kan
oleh Belanda itu tiadalah meng-gemeene-kan Belanda. Jadi batas itu berlaku buat
Indonesia saja. Seolaholah Indonesia kurang dari Belanda.
SI GODAM : Apalagi kalau suatu Negara Merdeka mencampuri administrasinya
Negara lain. Keadaan ini terjadi pada semua jajahan. Hal ini tak perlu
dilanjutkan. Indonesia sudah tahu bahwa urusan administrasi dari desa sampai ke
daerah, ke pulau, dan akhirnya sampai ke semua kepulauan, hingga 17 Agustus
1945 dicampuri oleh Belanda.
SI PACUL : Jadi batasan pasti yang sudah engkau sebutkan ialah: batasan
daerah, batasan kedaulatan, dan batasan administrasi. Tidakkah ada batas-batas
yang lain-lain?
SI GODAM : Secara lahir tidak-ada lagi. Tetapi secara tertutup ada.
Sudahkah engkau mendengar nama-nama Negara Merdeka seperti Meksiko, Honduras,
Kuba, Peru, Brasil, juga Tiongkok sebelum Perang Dunia kedua ini?
SI TOKE : Semua negara itu memang Merdeka. Semua negara itu mempunyai
Undang-Undang Dasar sendiri dan merdeka memilih dan memecat pemerintahnya
sendiri. Selain itu juga merdeka menentukan politiknya ke luar negeri.
SI GODAM : “Rupanya” begitu dipandang dari luar. Ambil saja Meksiko sebagai
contoh. Selama pemerintah Meksiko mengakui keleluasaan kongsi minyak
Inggris-Amerika di Meksiko, selama itu pula ada pengakuan penuh dari Inggris-
Amerika. Tetapi coba timbul pemerintahan Meksiko yang menentang kongsi minyak itu.
Sebentar saja timbul revolusi dari golongan Meksiko juga, yang disokong oleh
kongsi minyak. Satu jenderal Meksiko diadu dengan jenderal Meksiko yang lain.
Barangkali kedua jenderal itu cinta pada Negara dan Rakyatnya. Tetapi mereka
sadar atau tidak, gampang dibelit oleh “lasso” (tali pengikat) yang ujungnya
berada di kantor pusat kongsi minyak di Amerika yang tentu berhubungan pula
dengan birokrasi Amerika. Demikianlah semua pemberontakan di Amerika Tengah dan
Selatan, seperti juga dahulu di Tiongkok disebabkan oleh pengaruh busuk
kapitalisme asing yang bersarang di Negara yang menurut syarat Undang-Undang
Internasional memang merdeka.
SI PACUL : Jadinya kapital-asing itu kalau ditanam begitu saja dalam suatu
Negara Merdeka bisa mengacaukan politik Negara Merdeka itu. Bisa mengadudomba
sebagian penduduk terhadap bagian lain dari penduduk Negara itu juga.
SI TOKE : Jadinya kita tak perlu kapital-asing? Bukankah Indonesia tak
cukup mempunyai mesin dan uang buat mengganti mesin yang sudah rusak dalam
peperangan sekarang dan buat menambah mesin yang baru???
SI GODAM : Sebenarnya kita membutuhkan mesin, bahkan juga beberapa ahli.
Malah kita membutuhkan berlipat-ganda mesin dan para ahli asing buat mendirikan
perindustrian baru dan memperbaiki yang lama. Berapa puluh lokomotif, mesin
kapal dan kapal terbang kita butuhkan. Lebih dari itu, tidak saja mesin yang
sedia buat dipakai kita perlukan. Tetapi juga mesin yang membikin mesin. Kita
perlukan mesin yang akan membikin mesinnya oto, membikin lokomotif, membikin mesin
kapal air dan udara, membikin meriam, tank, bom-atom dll, pendeknya
“mesin-induk”. Berhubung dengan itu kita perlukan pula para ahli yang kita
belum punya.
SI TOKE : Bingung aku mendengarnya. Tetapi di samping itu bukan main girang
hatiku mengelamunkan “Indonesia punya atas Mesin-Induk” itu, mempunyai
“Industri Berat” itu. Tetapi uangnya???
SI GODAM : Uang tak perlu! Tetapi yang perlu ialah KEMERDEKAAN 100%. Sekali
lagi! Uang sebagai kapital-asing tak perlu. Malah membahayakan dan tidak
membawa Indonesia ke arah yang kita tuju.
SI TOKE : Sekarang saya bertambah pusing Dam. Membahayakan bagaimana? Tidak
membawa kita ke tempat yang kita tuju bagaimana?
SI GODAM : Membahayakan dan tiada menyampaikan maksud, seperti terjadi di
Amerika Tengah dan Selatan, Kek. Sekarang Amerika Tengah dan Selatan tak bisa
bikin mesin apalagi bikin mesin-induk. Pengaruh kapital-asing di Amerika Tengah
dan Selatan tak membenarkan sekalian Republik Merdeka itu mempunyai dan
menyelenggarakan sendiri Industri Berat. Sebab kapital-asing itu takut akan
persaingan. Takut kalau-kalau kelak industri berat di Amerika Tengah dan
Selatan menyaingi atau membunuh industri berat atau ringan negara yang
meminjamkan modal. Karena pemerintah Negara di Amerika Tengah dan Selatan
terikat oleh uang pinjaman dari Inggris-Amerika, dia tak bisa mengambil
tindakan yang tepat buat mendirikan Industri Berat Nasional.
SI TOKE : Baiklah kita tinggalkan dahulu Amerika Tengah dan Selatan itu.
Kau bilang tak baik kalau kita menerima modal asing. Baik! Kita butuhkan
Industri Berat. Tetapi uang dari mana kita ambil? Para ahli ke mana kita cari
di antara bangsa Indonesia?
SI GODAM : Uang? Bukankah minyak tanah kita, arang kita, timah kita,
aluminium kita, intan-mas kita, perak-mutiara kita semuanya uang??? Engkau ini
seorang toke. Apakah kertas yang kau lipat-lipat itu yang dicetak oleh Jepang
sampai 40.000.000.000 dalam 3 tahun itu yang uang??? Bukankah beras, intan
berlian, dan mesin yang diangkutnya ke Tokyo dulu yang sebenarnya uang???
Kertas itu cuma wakil dari barang. Kertas itu sendirinya hampir tidak ada
harganya. Belum lagi kusebut barang yang berharga seperti teh, kopi, kina,
kelapa, gula, getah, dan banyak lagi yang tidak dipunyai Negara lain dan amat
dibutuhkan Negara lain.
SI PACUL : Aku tahu maksudmu, Dam! Semua hasil dari dalam dan atas tanah
Indonesia ditambah pula dengan hasil lautnya yang kaya raya itu akan kau
kirimkan keluar negeri buat “ditukarkan” dengan mesin dan para ahli, dan kalau
perlu tentu juga dengan “uang asing”.
SI GODAM : Tepat, Cul! Para ahli itu tidak berada di Amerika saja. Atau di
Inggris saja. Di Swedia, Swiss, atau Jerman juga ada. Mereka akan ingin
bekerja-sama dengan Republik Indonesia Merdeka. Bukan seperti tuan besar,
melainkan sebagai pegawai yang menerima perintah.
SI TOKE : Tetapi kalau engkau membikin industri baru seperti tambang besi,
pabrik besi baja dan mesin industri muda, barangkali layu dan mati kalau kelak
disaingi oleh barang besi-baja dan mesin dari Eropa dan Amerika. Mereka
bermodal besar, tahan bersaing. Mereka berpengalaman. Barangnya murah dan baik!
SI GODAM : Itulah dia Kek! Bayi manusia, walaupun tegap-kokoh mesti
dilindungi dahulu dalam beberapa tempo. Begitu pun tumbuhan dan hewan. Itu
sudah hukum alam. Pun dalam ekonomi, undang-undang itu berlaku. Dalam ilmu
ekonomi namanya itu “perlindungan industri bayi” (protection on
infant-industry). Amerika sendiri masih mempunyai cabangindustri yang
dilindungi.
SI TOKE : Bagaimana melindungi industri bayi kita itu?
SI GODAM : Mesin atau barang yang sedang kita bikin itu mesti kita batasi
masuknya dari luar negeri atau kalau perlu larang sama sekali masuknya. Tentu
pada permulaan kita belum bisa membikin semua mesin atau baja yang kita
butuhkan. Jadi barang ini masih perlu dimasukkan dari luar. Tetapi dibatasi
banyaknya. Cuma buat menambah yang masih kurang saja. Supaya yang perlu
dimasukkan itu jangan menjadi saingan buat industri bayi kita, maka mesin atau
besi yang masuk itu mesti dipajaki sampai tak bisa merusakkan kemajuan industri
kita. Kalau perlu dilarang sama sekali masuknya.
SI PACUL : Buat membatasi masuknya barang asing itu atau melarang masuknya
sama sekali kita mesti 100% merdeka buat menguasai keluar-masuknya barang di
Indonesia (ekspor dan impor).
SI GODAM : Tepat, Cul! Merdeka 100%! Kalau kita sudah merdeka 100% buat
menguasai keluar masuknya barang asing itu, maka barulah kita bisa merdeka 100%
menentukan “ARAH” industrialisasi di Indonesia, yakni menuju ke INDUSTRI BERAT
seperti kilat. Baru sesudah kita mempunyai dan sanggup menyelenggarakan
industri berat, baru kita bisa membikin sendiri alat kemakmuran dan alat
pertahanan (seperti meriam, tank, kapal selam - terbang dsb). Barulah pula bisa
dijamin Kemerdekaan Indonesia. Selama Indonesia belum mempunyai Industri Berat,
selama itu pula INDONESIA MERDEKA terancam sangat Jiwa Kemerdekaannya.
SI TOKE : Rupanya engkau tak mengizinkan sama sekali masuknya kapital-asing
dan barang asing?
SI GODAM : Barang asing bisa masuk dan akan tetap bisa masuk. Harapanku
sampai hari kiamat kita makin makmur, makin membutuhkan barang asing yakni
hasil istimewa di negara asing. Malah modal asing bisa ditanam di sini buat
membikin barang yang belum bisa kita bikin sendiri dan tak membahayakan
perindustrian, kemakmuran, dan pertahanan Kemerdekaan kita.
SI PACUL : Apa salahnya kalau Tionghoa membuka toko menjual sutera Shantung
yang halus yang tak ada pada kita itu. Apa salahnya Tionghoa membuka pabrik
sutera di samping pabrik sutera Indonesia? Apa salahnya Tionghoa memasukkan
uangnya, sebagai andil dalam perusahaan Indonesia, asal saja terbatas
banyaknya? Apa salahnya Jerman mendirikan pabrik Pilsener Bier yang lezat-sehat
itu? Atau apa salahnya kawan kita dari Rusia membuka toko menjual kaviar yang
sedap sehat itu?
SI GODAM : Yang menjadi ukuran buat semua-mua itu ialah: Rakyat Indonesia
jangan terancam kemerdekaan dan kemakmurannya. Bangsa tamu tetap aman dan
makmur. Lama kelamaan dengan jalan yang cocok dengan undang-undang dan adat
istiadat Indonesia bangsa tamu lebur menjadi rakyat Indonesia yang taat setia
kepada Negara Rakyat dan Undang-Undang Indonesia.
SI TOKE : Kaubilang tadi kalau Indonesia Merdeka 100% maka secepat kilat
kita bisa menuju ke arah Industri Berat. Bukankah majunya industri itu tak bisa
kita perkosa?
SI GODAM : Tak ada sesuatu yang akan kita perkosa, Kek! Kita cuma
percepatkan jalannya sesuatu yang bergerak menurut kodratnya sendiri. Kita tahu
air itu baru mendidih kalau panasnya sudah sampai kurang lebih 100 derajat.
Tetapi derajat setinggi itu baru kita peroleh sesudah dimasak satu jam
umpamanya kalau apinya lemah. Tetapi dengan listrik yang tinggi derajatnya bisa
kita peroleh dalam beberapa menit saja.
SI PACUL : Perbandingan lagi, Dam! Langsung tepat saja, Dam!
SI GODAM : Kembali pada perindustrian kita! Memang kalau kita biarkan
“perseorangan” bermaharajalela dalam perekonomian kita, barangkali 100, 200,
atau 500 tahun pun kita takkan sampai ke tingkat Industri Berat Nasional.
Tetapi dengan “Rencana” menurut “HUKUM EKONOMI TERATUR” dalam sepuluh tahun
saja kita bisa sampai ke tingkat yang mengagumkan.
SI PACUL : Asal pemerintah tetap Merdeka 100% dan rakyat bersatu! Pimpinan
tetap tegap, percaya atas diri sendiri dan tetap jujur terhadap rakyat jelata.
Pasal bahan memang tak ada yang kurang di Indonesia, baik sebagai “jasmaninya
kemesinan” seperti besi aluminium, bauksit dll, baik sebagai “rohaninya
kemesinan” (seperti arang, listrik, dan minyak). Mengenai bahan, Indonesia ini,
apalagi Indonesia Raya tak kurang dari Negara manapun di bawah kolong langit
ini.
SI TOKE : Dam, coba bentangkan “RENCANA” buat Industrilisasi kilat itu!
SI GODAM : Maaf, Kek! Terlampau panjang dan terlampau sulit, kalau
kubentangkan di sini. Baiklah kubentangkan nanti dalam brosur istimewa pula!
Sekarang baiklah kita meninjau kembali ke belakang, buat membulatkan
perundingan.
VII. KEMERDEKAAN DITINJAU KEMBALI
SI PACUL : Cobalah, Dam, engkau berikan beberapa kesimpulan dari
perundingan kita sampai sekarang.
SI GODAM : Kesimpulan apa yang mesti kuberikan, Cul! Aku sendiri sudah
bingung dibawa ke sana kemari dalam perundingan yang sulit dan panjang itu.
SI TOKE : Seadanya saja. Simpulkan apa yang kau rasa penting saja.
SI GODAM : l) Kemerdekaan itu bukanlah Kemauan Tunggal orang atau negara,
melainkan kemauan Terikat (bukan absolut melainkan relatif). Kemerdekaan itu
sendiri mestinya berdasarkan pengakuan atas kemerdekaan pihak lain. Sebaliknya
kemerdekaan di pihak kita diandaikan atas pengakuan pihak lain terhadap
kemerdekaan sendiri. Apabila berkenaan satu sama lainnya itu terganggu, maka
kemerdekaan itu tak akan kekal adanya. Dengan adanya pengakuan atas terikatnya
kemerdekaan itu satu sama lain, maka kemerdekaan itu menjadi rasional, masuk
diakal, berakal. 2) Sudah berabad-abad pemikir semua bangsa memikirkan bentuk
Negara yang bisa menjamin kemerdekaan itu. Tetapi bentuk saja tiadalah memberi
jaminan kepada kemerdekaan itu. Ada di antara bentuk Republik yang memberi
jaminan kemerdekaan lebih daripada beberapa bentuk kerajaan (Rusia di zaman
Republik Soviet dibanding dengan Rusia Tsar). Tetapi ada pula bentuk kerajaan
yang memberi jaminan kemerdekaan lebih daripada bentuk republik (Kerajaan
Inggris dibandingkan dengan Jerman-Nazi). Tetapi nyata sudah, bahwa Republiklah
bentuk yang lebih cocok buat menjamin kemerdekaan. Kerajaan- terbatas sebagai
bentuk negara adalah keistimewaan sejarah, sebagai sisa yang terpaksa
diteruskan saja. 3) Isi kemerdekaan itu ialah kedaulatan, dan kedaulatan itu
ialah berupa kekuasaan dan kemakmuran. Pertanyaan tentang “siapakah atau
golongan siapakah yang berdaulat pada satu negara merdeka” mesti dilaksanakan atas
pertanyaan “siapakah atau golongan manakah yang sebenarnya memegang kekuasaan
dan mengecap kemakmuran dalam negara itu”. Dipandang dari penjuru ini maka
“demokrasi” yang dibangga-banggakan negara kapitalis itu, kalau diteropong
besarnya golongan atau kelas yang sebenarnya memegang kekuasaan dan merasakan
kemakmuran itu tiadalah sepadan dengan namanya “kedaulatan rakyat”. Yang benar
berkuasa, makmur, dan tenteram kemakmurannya ialah kaum kapitalis, kaki
tangannya akal kaum tengah dan sebagian kecil dari proletar atasan. Sebagian
besar dari mereka yang tak berpunya itu diombang-ambingkan oleh krisis ekonomi
dan peperangan imperialisme. 4) Dalam suasana kemodalan, maka hak pemilihan
secara umum, langsung, dan sama itu, ataupun suara rakyat (referendum) tiadalah
bisa membayangkan kemauan kelas proletar yang terbanyak itu. Kaum borjuis yang
sedikit itu dengan harta perusahaan dan profesor, agamawan dan radionya bisa
menukar yang putih menjadi hitam, yang salah menjadi benar. Kaum borjuis bisa
merebut suara. Seandainya partai proletar bisa merebut kursi terbanyak dalam
parlemen, dan bisa mengadakan undang- undang sosialistis, partai itu akan
tergelincir dalam birokrasi kaum borjuis, atau akan tertumbuk pada polisi,
justisi, dan tentara yang dipimpin oleh borjuis itu, kalau undang-undang itu
dijalankan. 5) Yang berhak menentukan nasib Rakyat Indonesia ialah kemauan,
pelor, atau bambu runcingnya Rakyat Indonesia sendiri. Hak Rakyat Indonesia
atas kemerdekaan itu diambilnya dari alam yang didudukinya. Ia hidup atau tenggelam
dengan alamnya itu. Selama Indonesia-Merdeka tiada mengganggu kemerdekaan
negara lain, selama itulah negara lain tidak berhak mengganggu kemerdekaannya.
Pengakuan Republik Indonesia oleh Negara lain bukanlah menjadi syarat adanya
Republik Indonesia. Pengakuan itu adalah hal tersambil, satu hal di luar hak
Rakyat Indonesia atas kemerdekaannya. Mengambil, merebut, atau melaksanakan
kemerdekaannya itu, bukanlah satu perkara antara rakyat Indonesia dengan negara
lain, melainkan urusan diri sendiri. 6) “MERDEKA 100%” adalah satu jaminan buat
terus merdekanya Indonesia. Tanpa MERDEKA 100% Indonesia takkan bisa mengadakan
kemakmuran cukup buat dirinya sendiri. Juga Indonesia walaupun merdeka tak akan
bisa mempersenjatai dirinya sendiri, karena tak akan diberi kesempatan oleh
kapitalisme asing buat mendirikan “Industri-Berat Nasional”. Kemerdekaan
Indonesia abad ke-20 ini tak bisa dipisahkan dari “Industri-Berat Nasional” dan
“Rencana Ekonomi”. 7) Indonesia tak bisa, tetapi tak pula perlu mempertahankan
kemerdekaanya dengan jalan kemiliteran sejati. Perang kemerdekaan berlainan
wataknya dengan perang imperialisme. Dalam perang imperialisme, kalau semua
keadaan lain-lain bersamaan, maka tekniklah yang akan menentukan
kalah-menangnya. Dalam perang kemerdekaan, kalau syarat teknik sedikit saja
memadai, maka jiwa (psikologi) Murba, dan suara dunia umumnyalah (international
public opinion) yang akan memberi putusan terakhir. Mungkin Inggris - Belanda -
Jepang menjatuhkan Indonesia merdeka, tetapi tak pula mustahil Republik
Indonesia bisa menggulingkan Inggris dan Belanda sebagai negara imperialis.
Dengan begitu maka Indonesia sekarang berjuang bukan saja buat Rakyat Indonesia
sendiri, tetapi juga buat seluruh Rakyat tertindas di dunia.
SI PACUL : Rasanya sudah cukup 7 simpulan itu. Tetapi bagaimanakah muslihat
dan daya upaya mempertahankan Indonesia Merdeka kita sekarang?
SI GODAM : Alamnya Rakyat Indonesia, susunan, watak dan hasrat masyarakat
Indonesia serta organisasi berjuangnya banyak berlainan dengan negara lain.
Muslihat buat mempertahankan dan memperkokoh Republik Indonesia Merdeka
terpaksa pula diadakan pada “Brosur Istimewa”.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar