Sumber: Ditulis oleh Tan Malaka pada bulan Januari 1926 di Tokyo
Kontributor: Naskah ini dikirim oleh "Pacar Merah Indonesia ", diedit supaya
sesuai dengan ejaan baru oleh Ted Sprague (May 2007)
Tulisan ini kembali hadir di tengah-tengah teman-temah pergerakan di
Indonesia setelah 60 tahun hilang dari Indonesia, ditemukan kembali oleh
sebagian kawan-kawan yang masih berusaha mencari tulisan-tulisan klasik dari
jaman kejayaan gerakan buruh di Indonesia era 1920an, diharapkan akan menjadi
tenaga tambahan karena gerakan di Indonesia yang masih kekurangan teori
mengenai ke Indonesiaan walaupun mungkin dalam banyak hal telah berubah apakah
itu sistem kapitalis dan juga mengenai kondisi masyarakat Indonesia. Hidup
persatuan yang teguh dari semua kelompok yang anti Kapitalisme, Imperialisme
dan NeoLiberalisme, Hidup persatuan antara gerakan kiri di Indonesia, hilangkan
konflik lama yang akan merugikan gerakan buruh di Indonesia ......... MERDEKA
100%
Kontributor,
"Pacar Merah Indonesia"
----------------------
Semangat Muda, yang ditulis pada tahun 1926, mengandung buah pemikiran Tan
Malaka tentang bagaimana menjalankan organisasi revolusioner sesuai dengan
kondisi Indonesia saat itu; yaitu dengan menggandeng perjuangan politik (nasional) dengan
perjuangan ekonomi (kelas); dengan menyatukan perjuangan pembebasan nasional
dengan perjuangan pembebasan Kelas Buruh. Terkandung di naskah ini adalah
program nasional yang mengikutsertakan kaum borjuis kecil dan kaum taniIndonesia,
yang notabene saat itu jumlahnya lebih besar dari pada kaum buruh, dengan kaum
buruh sebagai pemimpin gerakan kemerdekaan. Naskah ini sangatlah relevan
sebagai pelajaran sejarah bagi gerakan di Indonesia saat ini, dimana gerakan
anti-imperialis (anti modal asing) harus disatukan dengan gerakan pembebasan
buruh sebagai sebuah kelas. Gerakan nasional dan gerakan kelas tidaklah boleh
dilihat sebagai dua tahap yang terpisah, tetapi sebagai satu kesatuan; ini
benar untukIndonesia pada tahun 1926 dan terlebih benar untuk Indonesia saat ini.
Editor,
Ted Sprague
---------------------
Senjata Feodalisme dan Kapitalisme terutama Peluru dan Pedang.
Senjata Proletar Industri ialah Agitasi, Mogok dan Demonstrasi.
Sebulan Massa-Aksi di Indonesia sekarang lebih berguna dari 4 tahun Dipo
NegoroIsme.
Zaman Baru membawa Senjata Baru !!!!
Dicetak di Tokyo Januari 1926.
ISI BUKU:
I. KE ZAMAN
KOMUNISME.
1. Watak Zaman Bangsawan
2. Watak Zaman
Hartawan
3. Zaman Diktatur Proletar
4. Taktik
5. Rusia
II. KEADAAN INDONESIA
1. Ekonomi
2. Sosial
3. Krisis Ekonomi
4. Krisis Politik
III. PROGRAM
1. Program Nasional PKI & SR
2. Keterangan Program
IV. ORGANISASI
1. Maksud dan Sifat Organisasi
2. Tentara Nasional
V. REVOLUSI
1. Peperangan dan Revolusi
2. Revolusi di Indonesia
3. Taktik di Indonesia
4. Massa Aksi di Indonesia
5. Rapat Rakyat Indonesia
6. Revolusioner Komunis
I.
KE ZAMAN KOMUNISME
Tiap-tiap pergaulan hidup di muka bumi ini, baik di Asia atau Eropa, baik
dulu ataupun sekarang, terdiri oleh klassen atau kasta, yakni kasta tinggi,
rendah. dan tengah.
Menurut pikiran KARL MARX, maka timbulnya kasta tadi, yaitu
disebabkan oleh perkakas mengadakan hasil, seperti cangkul, pahat dan mesin.
Adanya kasta tadi pada sesuatu pergaulan hidup, menyebabkan, maka politik,
Agama dan adat, dalam pergaulan hidup itu bersifat kekastaan atau bertinggi
berendah. Ringkasnya perkara mengadakan hasil, menimbulkan kasta, dan kasta itu
menimbulkan paham politik, agama dan adat yang semuanya bersifat kekastaan.
Oleh sebab itu kata Marx lagi, semua sejarah dari semua bangsa, ialah
pertandingan antara kasta rendah dan tinggi, antara yang terhisap dan yang
menghisap, antara yang terhimpit dan yang menghimpit. Demikianlah pada Zaman Feodalisme
atau Zaman Bangsawan, Kaum Hartawan yang terhimpit itu bertanding dengan kaum
Bangsawan dan Raja yang menghimpitnya. Di Eropa pada tahun 1789 Kaum Hartawan
di Prancis bisa mengalahkan Kaum Bangsawan dan mendirikan Peraturan Kemodalan
seperti macam sekarang.
Dalam hal itu pertandingan belum lagi berhenti. Karena pada Zaman Kemodalan
sekarang, pertentangan kasta makin tajam, ialah antara Kaum Buruh yang
terbanyak dan tertindas itu dengan Kaum Hartawan, yang terkecil, tetapi terkaya
dan terkuasa itu.
Berhubung dengan lebar dan dalamnya pertandingan dalam Zaman Kemodalan ini,
maka kelak Kaum Buruh, kalau menang ia tidak saja akan memerdekakan dirinya
sendiri, seperti dulu Kaum Hartawan, melainkan akan memerdekakan seluruh
pergaulan hidup dan sekalian manusia. Dan oleh sebab Kaum Hartawan di seluruh
dunia bersatu, maka haruslah pula Kaum Buruh seluruh dunia bersatu, buat
manghancurkan musuhnya.
1. Watak Zaman-Bangsawan
Pada Zaman-Bangsawan, maka perkakas di sawah dan ladang, hanyalah cangkul
atau bajak. Di tempat pertukangan, pahat atau ketam yang semuanya diangkat
dengan tangan. Hasil sawah, pertukangan dan pertenunan, cuma buat keperluan
masing-masing orang atau masing-masing famili saja. Kalau ada berlebih dari
keperluan itu, barulah dijual, supaya bisa membeli kain, cangkul atau bajak.
Jadi perniagaan baru mulai timbul.
Ringkasnya pada Zaman-Bangsawan perkakas kecil, hasil sedikit dan buat
keperluan masing-masing famili saja. Sisa keperluan satu-satu famili juga
sedikit, sebab itu perniagaan masih lemah.
Beberapa tani, tukang dan saudagar pada Zaman Bangsawan berkumpullah
mendirikan desa atau kota. Buat menjaga keamanan dalam desa tadi dan
mempertahankan desa tadi pada musuh, maka mereka mendirikan Pemerintah Desa.
Anggota biasanya terdiri dari orang yang tua, yang pandai, cerdik, berani dan
mendapat kepercayaan dari orang banyak. Pangkat memerintah negeri akhirnya jadi
turun menurun dari bapak ke anak. Sekarang penduduk desa sudah mulai terbagi
atas kasta: Tani, Tukang, Saudagar dan kasta-memerintah, yaitu Bangsawan.
Apabila desa tadi banyak berperang-perangan, maka makin besar kuasanya Kaum
Bangsawan dan makin dalam kebangsawanan. Kemudian dua desa atau beberapa desa
mulai mangadakan perserikatan buat mempertahankan diri kepada serangan dari luar.
Urusan negeri dan peperangan sekarang jatuh di tangan seorang Bangsawan yang
tetinggi, yang sekarang berpangkat Raja dan berkuasa lebih dari Bangsawan yang
sudah-sudah. Makin banyak peperangan dan kemenangannya Raja itu, makin besar
kekuasaannya turun menurun.
Negeri bertambah besar, kekuasaan makin tertumpuk kepada Raja dan
Bangsawan, kekayaan makin tertumpuk kepada Kaum Hartawan serta kaum Buruh dan
Tani makin terhisap dan tertindas.
Supaya Buruh dan Tani yang terbanyak itu, takluk saja kepada Kaum Raja dan
Bangsawan, maka harus diadakan Agama, Didikan dan Adat yang bersifat kekastaan
atau kebudakan.
Gereja atau mesjid jatuh di tangan Kaum Bangsawan juga, anaknya Rakyat
diajar jongkok dan menyembah, sedangkan anaknya Raja serta Bangsawan diajar
memukul, memaki dan menerjang.
Demikianlah wataknya Zaman-Bangsawan itu di India, di Jawa atau Tiongkok
dan Jepang.
2. Watak Zaman Hartawan
Kira-kira 200 tahun yang lalu, kaum Hartawan di Eropa makin bertambah kaya.
Pertukangan, dan pertenunan yang dulu kecil-kecil, dan buat keperluan
masing-masing famili saja, sekarang sudah terkumpul pada satu pabrik. yang
memakai beratus-ratus kuli. Perniagaan sudah jauh melewati batas desa atau
negeri. Bank sudah meminjamkan kepada atau menerima uang simpanan dari seluruh
penduduk negeri.
Tetapi, walaupun kekayaan Kaum-Hartawan sangat maju, kekuasaannya masih
tinggal seperti dulu. Raja dan Bangsawan masih bisa ambil pajak sehekendak
hatinya. Kemerdekaan Kaum-Hartawan buat mengirim barang dari satu negeri ke
negeri lain sangat terhambat, karena barang-barangnya acap kali dipajaki oleh
Bangsawan atau Raja. Juga Kaum Pendeta, yakni keturunan Bangsawan tak kecil
keganasannya.
Buat merdeka mendirikan pabrik dan kirim mengirim barang, maka Kaum
Hartawan mesti merdeka dalam urusan politik-Negeri.
Dengan pertolongan Tani dan Buruh, maka Kaum Hartawan pada tahun 1789 bisa
menghancurkan semua kekuasaan Kaum Bangsawan dan Raja Prancis. Sekarang urusan
ekonomi, dan politik luar serta dalam negeri sama sekali jatuh di bawah tangan
Kaum Hartawan dan Wakilnya.
Sekarang Modal bisa tumbuh dan menjalar kiri kanan dengan leluasa. Dalam
satu pabrik tidak seratus atau dua ratus, melainkan sudah sampai 30 ribu orang
kuli kerja (Inggris, Jerman dan Amerika). Hasilnya dalam satu jam saja sudah
beribu-ribu pikul. Mengangkutnya hasil tidak lagi dengan bahu, kerbau atau
kuda, melainkan dengan kereta atau kapal yang cepatnya seperti petir. Dengan
kelingking saja satu sekerup dibuka, mesin yang kuatnya sejuta kuda berputar
dengan sendirinya saja. Kirim mengirim dan pesan memesan barang ke empat
penjuru alam dijalankan dengan kawat atau radio. Dari Asia dan Afrika tiap-tiap
hari diangkut barang-barang yang mesti dikerjakan dalam pabrik di Eropa, dan
dari Eropa atau Amerika tiap-tiap jam berjalan kapal yang mengangkut
barang-barang pabrik ke Asia dan Afrika. Ringkasnya mesin kerja dengan kuat dan
cepat, Kuli terkumpul pada satu pabrik saja sampai beribu-ribu, pekerjaan
teratur dari satu administrasi-pabrik dan dikerjakan bersama-sama, sedangkan
perniagaan sudah internasional.
Tetapi seperti pada Zaman-Bangsawan ada pertentangan antara Kaum Bangsawan
dan Kaum Hartawan, begitulah juga pada Zaman Hartawan atau Kemodalan ada
pertentangan antara Kaum Hartawan dan Kaum Buruh serta Tani. Seperti ZamanBangsawan
mengandung Benih-Hartawan yang kelak akan menghancurkan Kaum-Bangsawan sendiri,
demikianlah pula Zaman-Hartawan kita ini mengandung Benih Buruh yang kelak akan
menghancurkan Kaum Hartawan.
Keyakinan ini kita Kaum Komunis tidak diperoleh dari limau-purut atau ujung
jari, seperti tukang-tukang ramal, tetapi kita peroleh dari bukti yang nyata.
Pertentangan-pertentangan yang nyata dan tak bisa didamaikan pada
Zaman-Kapitalisme atau Hartawan, ialah:
I. Hak-Milik. Pada Zaman-Hartawan, seperti
juga pada Zaman-Bangsawan maka perkakas mengadakan hasil itu berpisah dari
orang yang mengadakan hasil, yakni Kaum-Buruh. Sebab perkakas itu bukan
kepunyaan Kaum-Buruh, melainkan satu atau dua orang Hartawan, maka hasil yang
diadakan oleh Kaum-Buruh tidaklah kepunyaan Kaum-Buruh sendiri, melainkan
kepunyaan yang memiliki perkakas, seperti: tanah, pabrik, kereta, kapal dan
lain-lainnya. Kaum Hartawan tak bekerja, tetapi ia memiliki hasil. Kaum Buruh
membanting tulang, tetapi tak memiliki hasil yang diadakannya sendiri. Sebabnya,
maka dunia sampai terbalik begitu, ialah karena hak-Milik, yang pada semua
negeri Bangsawan diaku sah oleh Wet (Bahasa Belanda untuk hukum - catatan
editor) dan agama, sekarang dalam Zaman-Hartawan menjadi racun. Dengan alasan
hak Milik itu, modal kecil menjadi besar, perusahaan kecil terpukul oleh yang
besar dan tani kecil terpukul oleh tani besar, sehingga tukang-tukang kecil dan
tanitani tidak lagi berpunya apa-apa. Kaum yang tidak berpunya ini, terpaksa
menjual tenaganya pada Kaum Hartawan dengan harga seberapanya saja, asal bisa
menolak bahaya lapar dan mati. Jadi sebab hak Milik tadi pergaulan hidup
terbagi dua: l. Kaum Hartawan Sang tersedikit orangnya, tetapi memiliki
Perkakas dan Hasil, dan 2. Kaum Buruh, yang terbanyak orangnya, yang sungguhpun
mengadakan hasil tak memiliki hasil itu, karena ia orang upahan saja.
II. Anarkisme. Sungguhpun dalam satu pabrik
ada teratur banyak dan caranya mengadakan basil, tetapi satu pabrik
berpukul-pukulan dengan yang lain. Kalau satu negeri mempunyai misalnya 100
pabrik kain, maka tiap-tiap pabrik ada mengatur dan menentukan banyak hasil
yang mau diadakan, buat masing-masingnya, tetapi yang 100 pabrik tadi tidak
mengatur banyak hasil buat seluruh negeri, melainkan masing-masing mengadakan hasil
buat memukul yang lain. Makin banyak hasil dapat makin murah harganya barang,
sehingga lawannya terpukul dan jatuh. Kalau hasil tiba-tiba menjadi terlampau
banyak, harga terlampau murah, dan pabrik tertutup, seperti teh, getah dan
minyak di Indonesia baru-baru ini. Walaupun Rakyat perlu memakai hasil itu,
tetapi yang punya tidak akan membagikan pada Rakyat, malah lebih suka membuang
hasil itu, seperti Kapitalis-Gandum di Amerika pada tahun 1922. Jadi hasil yang
diadakan oleh 100 pabrik tadi bukanlah buat negeri dan penduduknya, melainkan
buat perniagaan dan pukul-memukul dalam perniagaan. Demikianlah Kaum Hartawan
mengadakan hasil tidak rasional, yakni menurut keperluan orang banyak,
melainkan anarkistis, yakni sesukanya saja, buat mencari untung.
III. Mesin.
Buat pukul-memukul dalam perniagaan atau concurrensi, Kaum Hartawan memakai
mesin baru. Dengan jalan begitu hasil dengan cepat menjadi berlipat ganda,
sehingga harganya barang itu bisa murah sekali. Tuan pabrik yang masih memakai
mesin tua, tidak bisa menghasilkan begitu banyak dan begitu cepat. Harga
barangnya tinggal mahal, dan akhirnya ia jatuh. Tetapi mesin baru tadi
mengurangkan tangan yang mengangkatnya, karena mesin itu bisa dijalankan dengan
uap atau listrik saja. Berhubung dengan memakai mesin baru, beribu-ribu buruh
dilepas, karena melimpah. Tiap-tiap negeri di Zaman Hartawan penuh dengan
limpahan Buruh, yakni buruh yang dilemparkan dan tidak bisa dapat kerja.
Limpahan Buruh ini, selalu bertambah-tambah, karena mesin baru tiba-tiba
menaikkan hasil, dan tiba-tiba naiknya hasil tiba-tiba pula mendatangkan krisis
yakni jatuh harga barang. Kalau krisis datang beribu, berjuta buruh dilepas.
Ringkasnya Zaman-Hartawan penuh mempunyai perkakas (mesin), dan penuh mempunyai
hasil, tetapi sebaliknya berjuta manusia tanpa pekerjaan dan hidup dalam
kelaparan. Nyatalah sudah Kaum Hartawan tidak bisa mengurus keperluan Rakyat.
IV.
Kasta. Pada Zaman-Hartawan satu kongsi perniagaan bisa maju dengan dua jalan:
pertama dengan memukul, kedua dengan berkawan. Kalau satu kongsi mempunyai
modal yang besar, tentu ia dengan sementara menurunkan harga barangnya, bisa
menjatuhkan musuhnya. Tetapi kalau mereka sama-sama kuat, maka ia mencoba
berserikat. Dengan perserikatan mereka mudah menaikan harga barang dengan
sekehendak hatinya, karena tak ada persaingan lagi. Yang kerugian tentulah
Rakyat juga, yang terpaksa membayar. Dengan jalan berserikat itu dua atau tiga
maatschappy (perusahaan) menjadi sindikat. Sindikat ini kurang teratur lagi,
karena masih banyak kepala yang mengurus, ialah kepala-kepala dari maatschappy
(perusahaan) yang berserikat. Supaya urusan lekas, maka kepala yang banyak tadi
ditukar jadi satu, sehingga perniagaan bertambah kuat, urusan rapi dan lekas,
karena urusan ge-centraliseerd yakni mempunyai satu kepala saja. Inilah namanya
trust. Trust ini bisa berserikat lagi dengan trust lain, seperti trust besi
dengan trust arang, sehingga harga arang dan besi boleh dibikin sekehendak yang
punya trust. Di Jerman umpamanya Stinnes tidak mempunyai satu, melainkan
bermacam-macam trust, seperti arang, besi, kertas, kereta, kapal, Banken, kayu,
dan sebagainya. Jadi pertama harga grondstof atau barang asli, yang perlu
dikerjakan di pabrik bisa rendah sesuka Stinnes saja. Sebaliknya fabriekswaren
atau barang pabrik boleh dia naikkan sesuka hatinya, karena pabrik, kereta,
kapal dan surat kabar buat advertensi sama sekali jatuh ditangannya. Jadi semua
kongsi, maatschappy (perusahaan) dan Sindikat jatuh di bawah
combinatie-trust-Stinnes. Semua urusan ekonomi di Jerman hampir tergenggam di
tangan satu manusia saja. Juga Bank dari kongsi kecil menjadi Sindikat,
Sindikat menjadi trust dan Trust-Combinaties. Jadi semua urusan Bank jatuh di
bawah kekuasaan satu manusia pula (Stinnes). Bank pada tiap-tiap negeri memberi
pinjaman pada industri. Supaya ia dapat untung tetap, maka ia adakan kontrol
pada industri tadi. Akhirnya industri jatuh di bawah kekuasaan Bank. Bank
memberi pinjam uang pada negeri, sebab itu menteri pada suatu negeri kemodalan
harus cocok dengan Direktur Bank. Begitulah semua menteri di Amerika mesti
tunduk pada Bankir Morgan, Jerman pada Stinnes, Prancis pada lauchuer dan
sebagainya. Bank pada suatu negeri acap memberi pinjaman uang kepada negeri
lain. Supaya bunga terus diterima, Menteri luar harus menjaga keperluan itu,
dan kalau perlu haruslah negeri luar itu dijadikan jajahan. Dengan jalan begitu
barang jajahan bisa tetap masuk (kopi, gula, kapas, dll.) orang jajahan tetap
beli barang pabrik (kain, mesin, dll.) dan bayar hutang. Nyatalah sudah, bahwa
kemajuan kapitalisme mengumpulkan kekuasaan pada satu dua orang. Seorang Bankir
menguasai industri negeri, pemerintah negeri dan koloni. Kaum modal pada
sesuatu negeri semakin hari semakin bertambah kaya dan bertambah sedikit, kaum
buruh bertambah banyak dan bertambah miskin. Pertentangan Hartawan dan Buruh
bertambah tajam, sehingga puteran kasta yakni revolusi sosial tak bisa
dihindarkan. Salah satu Hartawan atau Buruh mesti hancur.
V.
Imperialisme. Anarkisme dalam hal mengadakan
menyebabkan Kaum-Hartawan dalam sesuatu negeri satu dengan lainnya
berpukul-pukulan dan hancur- menghancurkan. Walaupun mereka terhadap kepada
negeri lain ada bersatu, tetapi anarkisme tadi juga menyebabkan beberapa negeri
di atas dunia ini satu sama lainnya berpukul pukulan dan hancur-menghancurkan
pula. Tiadalah satu negeri mengadakan hasil buat keperluan seluruh dunia,
melainan buat perniagaan dan persaingan. Satu negeri yang perlu memakai barang
jajahan buat pabriknya seperti kapas, getah, dan sebagainya mau sendiri saja
memiliki barang asli atau grondstof itu. Ia sendiri saja mau memiliki negeri
jajahan itu sebagai pasar barang pabriknya (besi, mesin, kain-kain, kertas
dll.) dan ia sendiri saja mau meminjamkan uang pada jajahan itu, supaya ia sendiri
saja pula mendapat bunga yang tetap. Berhubung dengan keperluan industri dan
perniagaannya, maka ia sendiri pula mau menggenggam politik negeri jajahan itu.
Politik imperialisme ini menyebabkan yang satu negeri berdengki-dengkian dan
bermusuh-musuhan dengan negeri yang lain Hal ini menaikkan persiapan peperangan
pada tiap-tiap negeri imperialisme dan akhirnya mengadakan peperangan dunia.
Demikianlah peperangan dunia yang baru ini, yang memakan jiwa 10.000.000
manusia dan beribu juta harta disebabkan oleh pertentangan antara imperialisme
Inggris dan Jerman. Sesudah Jerman kalah, maka timbul lagi sekarang
pertentangan antara imperialisme yakni Inggris dan Prancis di Eropa dan lebih
tajam lagi Jepang dan Amerika di Asia Timur. Nyatalah sudah, bahwa imperialisme
tak bisa dibunuh selama kapitalisme dan anarkisme dalam hal mengadakan hasil
masih tetap. Sebab itu peperangan dunia pada tiap-tiap waktu masih mengancam
kita.
Kelima penyakit kemodalan yang kita sebutkan diatas ini tiadalah bisa
sembuh, karena sudah terbawa oleh diri kemodalan sendiri. Penyakit itu lah yang
menyebabkan Kaum Hartawan bertambah penakut dan bertambah sedikit orangnya dan
sebaliknya penyakit itu lah yang menyebabkan Kaum Buruh bertambah miskin,
tetapi bertambah rajin kerja (sebab terpaksa) bertambah tertindas, tetapi
bertambah revolusioner dan bertambah banyak orangnya. Krisis ekonomi dan
politik bertambah dekat, artinya ini cuma revolusi sosial atau putaran-kasta
sajalah yang bisa mengobati krisis itu, dan menghindarkan bala yang bisa menimpa
seluruh manusia diatas dunia ini:
"Kaum Hartawan yang malas dan sedikit itu haruslah turun, serta Kaum
Buruh yang terbanyak dan mengadakan hasil itu, harus memiliki hasil itu dan
membagikan hasil itu buat kastanya sendiri dan sekalian orang yang kerja.
Ringkasnya Kaum Buruh harus merebut kekuasaan ekonomi dan politik dunia".
3. Zaman Diktatur Proletar
Kaum Agama mengambarkan surga persis seperti kehendak nafsunya sendiri.
Begitu juga Kaum Utopis, seperti Thomas More, Saint Simon, Fourier dan Robert
Owen menggambarkan masyarakat yang sempurna di dunia ini persis seperti
nafsunya masing-masing.
Kita Kaum Komunis tidak mengambil gambaran Komunisme itu dari nafsu seorang
tukang mimpi atau ahli nujum saja. Kita tidak disuruh Karl Marx buat
menghapalkan saja sifat-sifat Komunisme dan terus tinggal mendoa saja supaya
Surga Dunia itu datang. Melainkan kita mendapat keterangan yang jelas dari
Marx, bahwa kemajuan Feodalisme di dunia ini membawa kemajuan Kapitalisme, dan
kemajuan Kapitalisme sekarang ini membawa kemajuan Komunisme. Sebagaimana Kaum
Bangsawan sudah terpukul oleh Kaum Hartawan, begitu juga kelak Kaum Hartawan
akan dikalahkan oleh Buruh. Kalahnya itu bukanlah pula oleh sebab-sebab yang
mistik atau gaibgaib melainkan atas sebab-sebab yang nyata, yang bisa dilihat
dan dirasa.
Tidaklah pula datangnya Komunisme itu tiba-tiba saja, seperti surga akan
terkembang sesudah hari kiamat, tetapi berangsur-angsur, yakni seperti Zaman
Kemodalan sendiri yang dulu datangnya juga berangsur-angsur. Dimana
pertentangan sangat dalam, seperti di Rusia, maka putaran kasta Buruh dengan
Hartawan itu akan disertai dengan banjir darah. Dimana pertentangan itu, selalu
dikurang-kurangi, karena Kaum hartawan selalu kasih konsesi atau kemunduran,
seperti bisa terjadi di Inggris, maka putaran kasta tadi, boleh jadi tidak
berapa menuntut jiwa. Tetapi buat seluruh dunia putaran-kasta itu tiada akan
terjadi dengan damai, seperti juga putaran kasta Bangsawan dengan Hartawan
dulunya tiadalah terjadi dengan damai.
Tingkat yang mula-mula mesti kita tempuh di atas Zaman-Kemodalan ini ialah
Dictaturnya-Proletar. Bukanlah pada satu negeri saja seperti Rusia, tetapi buat
di seluruh dunia. Pada tingkat Diktator-Proletar ini, semua Perkakas Hasil,
seperti Pabrik Tambang, Tanah, Kereta, Kapal, Gudang-Gudang dll. dimiliki oleh
Kaum-Buruh dan diserahkan pada negaranya Kaum Buruh. Semua urusan buat
mengadakan hasil, jatuh di bawah pimpinan Kaum-Buruh sendiri, yang di jalankan
oleh Wakil-Wakil yang dipilih oleh Kaum Buruh itu tidak lagi ditetapkan buat perniagaan
dan mencari untung saja, tetapi terutama buat keperluan Rakyat. Anarkisme dalam
hal mengadakan hasil akan hilang dan berganti dengan rasionalisme, yakni
mengadakan hasil menurut keperluan Rakyat. Kaum buruh berhenti menjadi orang
upahan yang dibayar sebagaimana suka si Kapitalis saja, karena Buruh sekarang
sudah memiliki perkakas hasil yang diadakannya sendiri. Sepadan dengan itu
Kasta-Buruh, sebagai Kasta upahan atau budak hilang dan berganti dengan Kasta
Pekerja yang campur mengurus pekerjaannya dan memiliki hasil yang
dikerjakannya. Oleh karena sekarang mengadakan hasil tidak lagi dengan
sesukanya seorang Kapitalis buat perniagaan saja, maka hasil tak akan melimpah
lagi, sehingga bisa mendatangkan krisis atau mesti menimbulkan politik merebut
jajahan buat pasarnya barang limpahan itu. Jadi politik imperialisme akan
hilang dan berganti dengan tukar-menukar barang, seperti barang Eropa dengan
Afrika atau Asia, satu negeri dengan yang lain. Berhubung dengan hilangnya
politik imperialisme, maka akan hilang pula militarisme dan hilang pula
peperangan dunia buat merebut jajahan dan pasar.
Supaya Kaum Buruh aman dan sentosa memiliki perusahaan dan semua hasilnya
perusahaan, maka haruslah ia merebut politik-negeri. Kaum-Hartawan dan budaknya
dari Kasta Tengah atau Kaum Sosial-Demokrat haruslah diusir dari pemerintahan
negeri. Kalau tidak begitu ia akan memogoki (saboteeren) semua peraturan yang
baik buat Kaum-Buruh dan menunggu waktu yang baik, dimana ia bisa memakai
laskar, armada, justisi, polisi dan bui buat menindas peraturan ekonomi kaum
buruh, seperti yang kita rancangkan diatas. Bersama dengan Pemerintah-negeri,
haruslah dengan sekejap Laskar, Armada, Justisi, Polisi dan Didikan dijadikan
merah. Artinya itu, semua anggota ini, haruslah jatuh di bawah kekuasaan
Kaum-Buruh dan seberapa bisa diisi dengan Kasta Kaum Buruh sendiri.
Dengan Pemerintah Merah, Tentara Merah, Polisi Merah, dan Didikan Merah,
maka Kaum Buruh bisa menjaga peraturan mengadakan hasil dan haknya atas hasil
itu, terhadap kepada musuh baik di dalam atau pun di luar negeri, yang tak
putus akan mencoba merebut kembali kekuasaannya yang hilang itu.
Apabila sesudah bertahun-tahun Kaum Hartawan sama sekali hancur, seperti
dulu juga Kaum Bangsawan sama sekali hancur, maka barulah lambat laum
anggota-anggota Ekonomi Merah, Politik Merah, Didikan Merah dan Justisi Merah
berhenti menjadi perkakas penginjak Kemodalan dan Kaum Hartawan, dan menjadi
perkakas buat mendatangkan Komunisme. Pada Zaman Komunisme, kasta akan hilang,
tindasan dan isapan akan hilang, kekayaan, kepintaran, pengetahuan, kesenian,
dan literatur akan menjadi miliknya orang bersama.
Jadi Komunisme itu bukanlah ilmu batin, yang datangnya sesudah habis
dibakar kemenyan sepikul, melainkan suatu peraturan buat pergaulan hidup yang sudah
terkandung sendiri oleh pergaulan hidup yang sekarang ini. Lekas datangnya itu
bergantung sebagian besar dari cakap dan kuatnya Kaum-Buruh Dunia, mendatangkan
Diktatur Proletar, yakni memerahkan peraturan ekonomi dan politiknya Kaum
Hartawan yang ada sekarang.
4. Taktik
Pada Zaman-Feodalisme, maka Taktik buat mendatangkan pemerintah baru itu,
yakni dengan ramal dan kemenyan. Seorang guru atau Kiyai, tahu membaca dalam
buku atau di ujung jarinya, kapan Ratu Adil atau Imam Madhi akan datang. Dengan
jimat dan kemenyan, maka Kaum Revolusioner-feodal bisa mengalahkan musuh.
Psikologi atau semangat semacam ini lahir dari keadaan cara mengadakan hasil
juga. Pada Zaman-Feodalisme itu mengadakan hasil terutama dengan cangkul. Kalau
tanahpun subur, si Tani rajin mencangkul, tetapi hujan tak turun-turun tentu
padi tak dapat. Apa itu hujan, buat si Tani, yang belum pernah dengar
Natuurkunde atau ilmu-alam adalah perkara kasih atau bencinya Tuhan. Dia
bergantung kepada Tuhan itu, dan cara mendapatkan hujan tidak lain dari
membakar kemenyan. Bukanlah seperti buruh-pabrik, yang sama sekali tak
tergantung pada alam, malah memakai alam itu uap dan elektris kapan ia suka dan
berapa ia suka. Sebab itu si Tani pasif atau penerima dan si Buruh aktif atau
jalan. Sifat itu terbawa-bawa dan juga buat mendatangkan pemerintah baru, tak
lain akal buat si Tani melainkan nujjum, jimat dan kemenyan.
Di antara Kaum-Buruh industri adalah tiga taktik yang terutama dimajukan:
Anarkisme, Reformisme dan Revolusioner.
Taktik Anarkisme lahirnya pada pertengahan Abad yang lalu. Kaum Anarkis,
percaya, bahwa kalau tiap-tiap pembesar Kaum-Hartawan di bom, diracun atau
ditikam, maka mereka akan takut memerintah. Si Penindas akan hilang, dan
Komunisme akan datang sendirinya saja. Jadi mereka tidak memakai tingkat
Diktatur Proletar seperti kaum Komunis, dan.tidak memperdulikan organisasi
massa-aksi atau aksi ramai-ramai yang teratur. Bahwa semuanya itu mimpi tak
perlu dibentangkan disini. Kaum Hartawan dengan polisi, justisi dan tentaranya
adalah sangat teratur dan mempunyai disiplin yang sangat keras. Dan kalau satu
pembesar terbunuh, maka seribu lagi gantinya. Sebab itu, kalau Kaum-Buruh tak
berkelahi teratur dan mempunyai disiplin yang keras ia mesti kalah. Anarkisme
belum pernah menang. Cuma pada waktu Bakunin masih ada, disana sini di negeri
yang achterlyk atau mundur kapitalismenya seperti di Selatan Jerman, di Balkan
ia bisa bikin huru hara. Tetapi di negeri yang sudah maju kapitalismenya pada
masa itu (tahun 1850) seperti Inggris, Bakuninisme sama sekali tak bisa
dijalankan. Di Rusia sendiri pada tahun 1917 dan sekarang di Jerman Anarkisme
sama sekali tak berarti. Sebab kaum anarkis tak mau mengakui aturan dan
disiplin itu, maka ia tak bisa membikin perserikatan, malah mudah berpecah-pecahan,
dan bertengkar-tengkaran. Sebab ia mengukur kemarahan Rakyat yang tertindas itu
kepada yang menindas bukan dengan alasan ekonomi, melainkan dengan kemarahannya
personal, maka ia mudah kena provokasi, dan terdorong, sehingga ia terisolasi
dari orang banyak, dan akhirnya kalah.
Taktik Kaum Sindikalis, yang juga beralaskan Anarckisme yang terutama
berpengaruh di sebelah Selatan Eropa dan Amerika Selatan pun tak bisa mencukupi
kekuatan buat memerangi kemodalan zaman sekarang. Kaum Syndicalist itu
anti-parlemen dan anti-politik. Sebab itu Kaum Syndicalist tak mau mengirim
wakil ke parlemennya kaum Hartawan. Sebaliknya ia menyangka, bahwa Serikat
Buruh itulah yang tertinggi. Sudahlah tentu dasar anti-politik dan
anti-parlemen itu salah sekali. Dengan sikap begitu, Kaum-Buruh tak tahu akan
politiknya Kaum-hartawan, sedangkan politik dan ekonomi itu bersanak sudara.
Politik tidak lain dari geconcentreerde ekonomi, artinya itu, politik ialah
pusatnya urusan ekonomi. Apabila Kaum-Buruh akan menyia‑nyiakan politik, yakni
pusatnya ekonomi kaum Hartawan itu, mereka akan mudah terjerat kaki dan
lehernya.
Taktik Kaum Sosial Demokrat tak perlu kita uraikan di sini dengan panjang
lebar. Mereka itu percaya bahwa Modal dan Tenaga (Arbeid) tak bertentangan.
Begitu juga Hartawan dan Buruh bisa sama-sama jalan. Sebab itu Kaum Sosial
Demokrat memasuki Parlemennya Kaum Hartawan. Mereka percaya, bahwa kalau kelak
dengan jalam damai mereka bisa mengadakan wakil lebih banyak dari Hartawan,
maka Hartawan akan kalah suara dan akan mundur saja. Sesudahnya itu perusahaan
ekonomi boleh dijatuhkan ke tangan Buruh. Berhubungan dengan itu, maka Kaum
Sosial Demokrat anti-revolusioner dan aksinya ialah merebut bangku Parlemen
saja. Sepadan dengan keyakinan ini, maka Kaum Sosial Demokrat, dimana-mana
sudah menjadi Kaum Penghianat. Pembunuhan jiwa Buruh yang 10.000.000 dalam
peperangan besar baru lalu, ialah terjadi dengan bantuan Sosial Demokrat, yang
selalu bantu Begrooting Kaum Hartawan dimana-mana. Di sekalian jajahan, Sosial
Demokrat membantu politiknya Kaum Imperialist buat menindas bangsa Timur. Di
Jerman, Ebert, Noske dan Scheidemann sudah merasakan, bahwa Parlemen itu tak
mudah dijadikan anggota Kaum Buruh. Dimana dulu, Sosial Demokrat mendapat
Meerderheid atau Suara Kelebihan dalam Ryksdag (Parlemen), sekarang mereka jadi
boneka saja, dan pemerintah sama sekali jatuh di tangan Fasis. Oleh karena
Sosial Demokrat pada tahun 1918-1923 tidak memerahkan Justisi, Kementerian,
Laskar dan Polisi, maka anggota-anggota ini dengan rahasia mengumpulkan
kekuatannya di bawah selimutnya Sosial-Demokrat. Oleh karena kaum reaksi Jerman
sekarang di bawah Presiden Jendral bisa sembelih semua Sosial Demokrat, yang
dulu tuannya itu.
Taktik Merah, atau taktik revolusioner tidak saja di Rusia sudah
menjatuhkan kemodalan, dan bisa mempertahankan Soviet sudah lebih dari 8 tahun,
tetapi dimana-mana di dunia, Eropa Barat, Amerika, Tiongkok, Jepang, India dan
Indonesia sedang membingungkan yang berkuasa. Taktik merah tidak bersarang di
jimat atau kemenyan, melainkan berurat pada keadaan hidupnya Rakyat yang
tertindas. Kita tidak anti-parlemen seperti Kaum Syndicalist, tetapi tidak pula
parlemener seperti si Pengkhianat Sosial Demokrat. Kita masuki Parlemen, buat
membuka topengnya Kaum Hartawan dan Sosial Demokrat, tetapi sama sekali tiada
mengharapkan hasilnya yang konkrit atau nyata dari aksi di Parlemen itu. Kita
tahu, bahwa sebagian besar dari Buruh masih mengikut Sosial Demokrat dan
percaya pada Parlementarisme. Sebab itu kita masuki Parlemen itu buat
memecahkan dari dalam. Dalam pada itu kita lebih pentingkan mengatur kekuatan
Buruh, Tani dan sekalian Rakyat yang tertindas di luar Parlemen. Semuanya aksi
dan pertarungannya Buruh, Tani dan penduduk kota, baik ekonomi ataupun politik
mesti kita campuri. Bukan buat menipu mereka dan memperdamaikan dengan Hartawan
seperti laku Sosial Demokrat, melainkan buat membantu mendorong, dan kalau bisa
menghancurkan Hartawan dan budakbudaknya. Menurut kekuatan kita dan Rakyat
yang percaya pada kita, maka kalau bisa semua aksi ekonomi kita besarkan jadi
mogok umum, kalau perlu ditambah dengan boikot dan demonstrasi. Dari mogok
umum, boikot dan demonstrasi yang dilakukan di seluruh negeri itulah bisa lahir
pemberontakan buat merebut politik negeri dan mendirikan Diktatornya Proletar.
5. Rusia
Seperti Pemberontakan Hartawan kepada Bangsawan di buka oleh Hartawan
Prancis pada tahun 1789, begitulah Pemberontakan Buruh kepada Hartawan dimulai
oleh Buruh Rusia kepada Hartawan disana. Seperti Revolusi 1789 di Perancis
didahului oleh revolusi kecil di Inggris pada tahun 1650 (Cromwell), begitu
pula diktatur proletar di Rusia tidak sama sekali baru, karena sudah didahului
oleh Komune Paris pada tahun 1870, pada percobaan 1870 Karl Marx, dan Lenin
banyak mendapat pelajaran buat menyempurnakan diktaturnya Proletar.
Pada Revolusi Prancis kita bisa mempelajari, bahwa kemenangan Kaum Hartawan
yang masih revolusioner itu turun naik. Republik-Hartawan yang didirikan pada
tahun 1789 cuma bisa berdiri 5 tahun saja. Kemudian datang Napoleon yang akhirnya
jadi Kaisar dan sesudahnya Napoleon jatuh maka berturut turut Raja keturunan
Lodewyk XVI, (yang dipancung kepalanya oleh kaum pada revolusioner) bisa
kembali memerintah. Barulah pada tahun 1849, maka Republik Hartawan bisa
kembali lagi, yang walaupun sementara disambung oleh Napoleon III, sampai
sekarang bisa terus berdiri. Jadi tidak kurang dari 60 tahun Prancis berkelahi
dengan kalah menang buat demokrasi dan Parlemenarisme cara kemodalan. Dalam
waktu Prancis berjuang dengan Bangsawan itu, maka berturut-turut negeri
menjatuhkan Raja dan Bangsawannya seperti Belanda dan dimana-mana kekuasaan
Bangsawan dan Raja di potong-potong seperti Jerman, Italia, Spanyol, dll.
Ringkasnya berpuluh tahun Hartawan di seluruh dunia mesti berperang dengan
kalah dan menang baru bisa menghancurkan Raja dan Bangsawannya sama sekali.
Ini pengajaran yang dalam artinya buat kita. Dunia Hartawan yang
berpuluh-puluh kali lebih kukuh dari dunia Bangsawan tentulah takkan bisa kita
hancurkan dalam satu hari.
Kita tahu, bahwa reaksi di seluruh dunia sekarang bertambah hebat. Karena
kaum Sosial Demokrat pada tahun 1917-1923 berkhianat, maka Revolusi Rusia tak
diikuti oleh negeri lain-lain. Kaum Reaksi di belakang baju Sosial Demokrat,
yang dikemukakan di Jerman buat melindungi Kaum Hartawan bisa bernapas kembali
dan mengumpulkan semua senjatanya, yang pada tahun 1918-1923 hampir sama sekali
hilang dari tangannya. Sekarang di Jerman Kaum Reaksi sudah mengancam dengan
pemerintah Fasis, yakni diktaturnya Kaum Hartawan. Kaum Hartawan tidak akan
memakai Parlemen lagi melainkan tangan besi, seperti Mussolini di Italia.
Hartawan akan lemparkan demokrasi, dan atur ekonomi dengan memaksa kaum buruh
kerja, dengan gaji sedikit, dan waktu yang lama, dan menghancurkan semua
pergerakan revolusioner, dengan jalan kasar. Begitu juga di Prancis, dimana
ekonomi kusut, Fasis sudah siap. Di Inggris, dimana pada 2 atau 3 bulan lagi
disangka akan datang frisis sekarang Fasis sudah mengasah-asah pedang kiri
kanan dan mengumpulkan uang dan senjata. Di Amerika, dimana Kaum Komunis mulai
maju, Klu Klux Klan, sudah jadi Fasis, dan selalu sedia akan menghancurkan
pergerakan merah. Tentulah Fasis dapat sokongan dari Kaum Hartawan baik lahir
ataupun batin.
Tetapi makin gelap jalan di muka, makin terang buat kita suluh yang di
belakang. Sejarah menyaksikan kita, bahwa pertandingan kasta itu, bukanlah
permainan, melainkan suatu kemestian pergaulan hidup dan suatu kewajiban
sebagai manusia. Kalau musuh kita mengasah-asah pedang, maka jawab kita lain
tidak hanyalah menegapkan barisan dan mempertajam senjata lahir dan batin.
Pekerjaan yang sudah dimulai oleh Rusia dengan korban beribu-ribu jiwa,
tiadalah boleh kita khianati dengan kelembekan atau dengan meninggalkan dasar
yang sudah kita peluk.
Walaupun di kiri kanan ada reaksi, kita mesti terus menyusun tentara yang
ada di negeri kita. Kalau kawan kita pada waktu yang di muka ini, baik di Rusia
ataupun Eropa Barat dan Amerika dapat serangan, maka kita harus tidak mundur
malah merebut kemenangan pada barisan yang kita duduki, yakni: di muka Rakyat
Indonesia.
II.
KEADAAN INDONESIA
1. Ekonomi
Adapun sifat kapitalisme di jajahan, seperti Indonesia dan Asia lain,
adalah berlainan sekali dengan kapitalisme di Belanda dan Eropa lain. Disana
lahir dan majunya kapitalisme itu terbawa oleh keperluan negeri sendiri,
sedangkan di sini lahir dan majunya kemodalan itu terbawa oleh keperluan bangsa
asing. Sebab itu di Eropa majunya kapitalisme itu dengan jalan menurut alam
atau Organisch, sedangkan di Indonesia kunstamatig atau bikinan. Berpadan
dengan hal itu, Kapitalisme di Eropa ada sehat dan sempurna, sedangkan yang di
Indonesia verkracht atau terperkosa, seolah-olah sepokok kayu yang kena
kelindungan.
Kapitalisme di Eropa membagi negeri atas kota dan desa. Di kota terdapat
perusahaan atau industri dari kain, besi, batu, kertas dll. Sedangkan di desa
terdapat gandum, sayur, sapi, domba dan hasil buat lain-lain makanan. Jadi
dipukul rata kota memperusahakan barang pabrik dan desa mengadakan hasil tanah
dan ternak. Bagian pekerjaan di kota dengan desa itu bertambah terang sekali
pada negeri yang sangat maju permodalannya
Tentulah hasil pabrik di kota itu, gunanya, terutama buat penduduk kota
sendiri. Sisanya itu ditukarkan dengan makanan yang dihasilkan oleh desa.
Begitulah kain, pisau, perkakas rumah, baja, dll yang dibikin di kota ditukar
dengan gandum, sayur, daging, dll yang dihasilkan di desa, yakni dengan sisa
yang dimakan oleh penduduk desa. Pada negeri kemodalan yang belum terang
imperialistis, dan sehat ekonominya seperti Amerika sebelum perang 1914-1918,
maka jumlah harga sisa barang kota itu hampir sama dengan harga sisa hasil
tanah di desa. Begitulah asal majunya kemodalan dan perusahaan, yakni dari
pertukaran barang pabrik di kota-kota dan hasil tanah di desa-desa. Makin maju perusahaan
di kota, makin banyak penduduk desa lari ke kota mencari pekerjaan, kepandaian
atau kepalsiran, karena di kota terkumpul, pabrik, sekolah, bioskop, rumah
komedi, dll.
Di Indonesia juga akan bisa begitu, kalau Belanda tak datang dan membunuh
perusahaan kecil-kecil, buat membikin kapal, kain, barang-barang besi, seperti
sudah ada di Tuban, Gresik, dll. Perusahaan kecil-kecil itu juga akan jadi
besar, memakai uap dan listrik seperti di Eropa dan Amerika. Kota-kota
Indonesia juga akan menarik penduduk desa dengan lekas dan bertambah hari
bertambah maju penduduk, pabrik dan kaum buruhnya. Juga di kota Indonesia akan
diadakan kain, bajak buat desa, dan desa-desa terutama hasilnya buat penduduk
kota-kota Indonesia sendiri.
Tetapi sebab Belanda dengan hukum melarang membuat kapal dan membunuh
perusahaan anak negeri dengan memasukkan barang pabrik yang murah harganya,
maka kota dan desa kita jadi lain sifatnya dari kota di Eropa. Kota kita tidak
ada yang menghasilkan, kain, bajak dan perkakas lain buat desa-desa, karena
semua barang, ini dimonopoli atau diborong oleh Belanda. Desa kita tidak buat
mengadakan hasil untuk penduduk kota, melainkan terutama buat tebu, teh, kopi,
getah d. s. g. bukan buat keperluan negeri dan Bumiputera, melainkan buat
untung si Pengisap yang tidur di Belanda. Sebab itu desa dan kota kita satu
dengan lainnya tidak bergandengan dan tali bertali seperti pada suatu negeri
yang sehat ekonominya, melainkan keduanya buat pengisi perut besar si Lintah
Darat yang tidur di Belanda itu saja. Berhubung dengan hal ini, maka majunya
kapitalisme di negeri kita jadi kunstmatig atau tak sehat.
Sebab perusahaan di negeri kita tidak buat keperluan anak bumi putera
sendiri, maka barang yang perlu buat hidup kita, harus dibeli dari negeri lain
dengan harga sesukanya orang lain itu saja. Dan oleh karena tanah di Jawa
terdesak oleh kebun-kebun besar, maka beras, yakni nyawa kita, mesti datang
dari negeri lain.
Demikianlah pada tahun 1922 Rakyat membeli barang kain yang masuk ada
kira-kira F. 182.531.000. Di jajahan lain seperti India, Tiongkok dan Filipina
barang pakaian sudah bisa dibikin dinegeri sendiri. Jadi disana uang Rakyat
bayaran kain itu tinggal di negeri sendiri, sedangkan di Indonesia terbang
kesakunya Lintah Darat Belanda. Harga beras masuk, walaupun beras Jawa nomor 1
kualitasnya di dunia dan bangsa Jawa memang pintar bertani pada tahun 1922 juga
ada F. 74.947.000. Karena di Jawa hampir tak ada kapital dan saudagar anak
negeri, seperti di jajahan maka untung perniagaan beras ini tidak satu peser
jatuh di tangan anak negeri. Demikianlah untung perniagaan berhubung dengan
import (barang masuk) yang pada tahun 1922 banyaknya ada F 696.300.000 itu
hampir semuanya mengalir ke saku Lintah Darat Bangsa Asing.
Sudahlah terang, bahwa total export (harga barang keluar) yang pada tahun
1922 ada F.1.142.400.000 sama sekali dimakan oleh Lintah Darat Belanda yang
memonopoli sekalian perusahaan besar-besar di Indonesia ini. Sedangkan di
jajahan lain untung dari import dan export itu ada sebagian jatuh di tangan
anak negeri, maka di Indonesia yang sangat subur dan kaya ini, semuanya
keuntungan perniagaan dan hasilnya perusahaan dan tanah sama sekali terbang ke
perutnya Lintah Darat yang tidur, palsir atau mondar-mandir di Belanda. Sisanya
yang terlempar kepada bumiputera, gunanya sekedar buat hidup sebentar, seperti
kuda atau kerbau, yang dipakai penarik kereta, juga mesti diberi makan.
Sebab kapitalisme Indonesia gunanya buat memenuhi keperluan bangsa asing,
yang jauh tinggalnya itu, maka keadaan dan majunya kapitalisme Indonesia juga
semata-mata menurut keperluan bangsa asing yang tinggal di negeri asing itu.
Kromo mesti menyewakan tanah buat gula, getah dan teh dan jadi kuli Belanda mau
dapat untung. Rakyat Indonesia tak bisa dapat pabrik kain, pabrik mesin dan
kapal, sebab Belanda takut Twente dan perusahaan kain sana akan jatuh, dan juga
saudagar-saudagar Belanda, pabrik kapal dan perusahaan-perusahaan kapal yang
mengangkut barang import dan export dari Indonesia ke Belanda akan turut jatuh.
Sebab itu Indonesia mesti tinggal jadi landbow-land atau negeri-pertanian tidak
negeri perusahaan atau industri-land. Penduduknya mesti tinggal mundur (pasif)
dan mudah ditindas. Tiadalah seperti pada negeri industri, yang mempunyai buruh
yang lebih maju dan lebih aktif dan tak gampang ditindas. Selama Indonesia
tinggal jadi jajahan, maka ia tak akan bisa memajukan ekonomi dan perusahaannya
sebagaimana yang baik buat dirinya senriri, karena ia terpaut oleh Lintah Darat
Belanda, yang tak memperdulikan nasib Rakyat Indonesia.
2. Sosial
Di negeri-negeri yang sangat maju kemodalannya, seperti Jerman dan Amerika
maka Kaum Buruh itu jumlahnya ada kurang lebih 3/4 bagian dari seluruh penduduk
negeri. Artinya itu ada 3/4 atau 75% dari penduduk yang tak berpunya apa-apa
lain dari tenaganya dan tergantung hidupnya semata-mata dari modal besar.
Sepanjang ada bahwa perhitungan tahun 1905, maka di Jawa saja ada kira-kira
40% dari bumiputera yang proletar atau tak berpunya apa-apa. Kalau kita taksir
sekarang, berhubung dengan bertambah majunya industri, angka itu sudah jadi
50%, maka dari penduduk tanah Jawa yang 36 juta itu ada 18 juta yang hidupnya
tergantung dari perusahaan besar dan kecil. Tetapi di Sumatra, Borneo, Celebes,
Daerah Ternate dan sebagainya yang jumlah jiwa kira-kira 18 juta itu masih
sedikit kaum proletar. Hampir semua penduduk mempunyai tanah, modal kecil,
perusahaan kecil atau perahu penangkap ikan. Kita pikir kita akan tak berapa
salah menaksir (karena statistik yang sah belum ada ), bahwa kaum proletar di
seluruh Indonesia pada masa ini ada kira-kira 18 juta, yakni kira-kira 34% dari
penduduk yang 54 juta itu.
Tetapi di antara yang tak berpunya, Buruh Industri masih sangat sedikit. Di
Jerman umpamanya, yang jumlah isi negeri hampir sama dengan Indonesia, yakni 60
juta ada kira-kira 2 juta buruh-pelikan (buruh pertambangan), sedangkan di
Indonesia tak lebih dari 100.000, yakni seperdua puluhnya. Buruh kereta juga
kira-kira 2 juta, sedangkan di Indonesia tak lebih dari 80,000, jadi kurang
dari seperduapuluhnya di Jerman. Berjuta-juta buruh industri model baru,
seperti pada pabrik membuat kereta, mesin, kapal, kain dll. yang ada di
Jerman, sama sekali tak ada di Indonesia. Jadi perkara banyaknya buruh
industri, maka Indonesia, jauh kalahnya oleh Jerman, Inggris dan Amerika, juga
kalah oleh Jepang dan India, dimana juga sudah terdapat buruh industri model
baru.
Di Eropa, Amerika dan Jepang yang memiliki Pabrik, Tambang, Kereta, Kapal,
Bank dll itu ialah bumiputera juga, Di Jajahan seperti India, Filipina dan
Mesir sudah banyak bumiputera sendiri yang mernpunyai industri model baru,
pertanian dan perniagaan model baru. Tetapi di Indonesia modal besar bumiputera
bolehlah dikatakan tak ada. Betul di Jawa, lebih-lebih Sumatera di antara
bumiputera ada yang mempunyai modal F.100.000 kebawah, tetapi ini masih kecil,
dan urusan perniagaan atau perusahaan yang mempunya F.50.000.000, yang memiliki
tambang, pabrik dan Bank seperti di Tiongkok, India atau Jepang, jadi kasta
Hartawan bumiputera, memang di Indonesia tak ada. Sebabnya ialah karena dulunya
Belanda dengan sengaja membunuh timbulnya modal anak negeri. Di Indonesia
kasta-kasta itu terutama kasta-tani, kasta-buruh dan kasta tengah (ambtenar,
saudagar, tani besar, kaum terpelajar d.s.g.) Di antara kasta-kasta ini, kasta
inilah yang terbanyak dan kasta buruhlah yang terkuat dan makin hari makin
kuat, karena kaum buruhlah yang geconcentreerd atau terkumpul dan ialah yang
menjalankan industri, yakni nyawanya ekonomi, dan kasta buruhlah yang akan
termaju pikiran dan wataknya dalam pergerakan ekonomi dan politik.
Dengan angka-angka saja belum bisa kita dengan sempurna memperbandingkan
majunya buruh Indonesia dengan Eropa. Majunya itu terutama pula tergantung pada
kualitas atau tingginya industri yang ada. Kita sudah terangkan di atas, bahwa
Indonesia bukanlah industri-land melainkan terutama landbow-land, walaupun
landbow atau pertanian di Indonesia dijalankan dengan perkakas yang model baru
sekali.
Berhubung dengan itu, maka buruh Indonesia terutama bukanlah buruh industri
malah buruh tani (gula, teh, getah dan sebagaianya). Yang buruh industri betul
(minyak tanah, kereta, kapal) masih sedikit sekali. Perbedaan buruh pertanian
Indonesia dengan buruh perusahaan di Eropa itu membawa perbedaan lahir batin
pula. Proletar Indonesia masih muda, dan masih ada pertaliannya dengan
familinya di desa-desa, dan acap kali masih mempunyai tanah di desa-desa.
sedangkan proletar-industri Eropa sudah sampai ke nenek moyangnya terikat oleh
pabriknya. Proletar kita masih mundur dalam pekerjaan teknik, masih percaya
sama tahayul dan masih pasif. Proletar industri Barat sigap dan disiplin dalam
pekerjaan, tak terikat oleh tahayul lagi, serta bersikap aktif dalam pikiran
dan pekerjaan.
Begitulah pula kaum-tengah Eropa bersifat lain dari kaum tengah Indonesia. Di
Indonesia sendiripun, berbeda pula satu kasta dengan kasta yang lain dan
berbeda pula satu kasta pada satu pulau dengan kasta itu juga pada pulau lain
di Indonesia. Seorang tani di Jawa umpamanya, yang selalu campur dengan pabrik
gula, yang acap naik kereta tentulah berlainan sekali pikiran dan wataknya
dengan seorang tani pemotong sagu di daerah Ternate, yang belum pernah seumur
hidupnya melihat asap pabrik atau mendengar peluit kereta express. Ringkasnya
perbedaan kemajuan industri pada satu negeri dengan negeri lain membawa
perbedaan kualitas, yakni pikiran dan wataknya kasta-kasta di negeri negeri
itu, seperti Buruh Eropa dengan Buruh Indonesia, Tani Jawa dengan Tani di
daerah Ternate.
3. Krisis-Ekonomi
Walaupun Indonesia sangat kaya, dan pertanian serta perusahaan dijalankan
dengan cara model baru sekali, tetapi bumiputera selalu dalam kemiskinan dan
urusan uang (staatsfinancien) sudah lama selalu dalam krisis. Walaupun pada
waktu perang yang baru lalu, modal-besar mendapat untung berlipat ganda dari waktu
normal atau biasa, tetapi sebab harga barang naik dan gaji tinggal sedikit,
maka kemelaratan Rakyat malah bertambah dari yang sudah-sudah. Pada penghabisan
perang, urusan uang kalang kabut, sehingga hampir mendatangkan bangkrutnya
negeri.
Sebab yang dalam, yang mendatangkan kesengsaraan dan krisis itu, walaupun
kapital-besar mendapat untung berlipat ganda, terutama sekali, karena untung
itu baik langsung atau tak-langsung semuanya mengalir ke Eropa. Langsung karena
tiap-tiap tahun berjuta-juta uang dikirim ke Eropa, buat membauar bunga modal
(dividenten) yang masuk di industri, kereta, pelikan dan kapal tak langsung,
yakni dengan jalan perniagaan (export dan import), yang sama sekali dimiliki
oleh bangsa asing juga.
Walaupun Pemerintah Indonesia sekarang (ambtenar, serdadu, Justisi, armada,
polisi d.s.g.) gunanya bermata-mata buat membantu dan membesarkan modal asing
serta sebaliknya penindas dart, pengisap bumiputera buat modal besar itu,
tetapi uang buat pengisi perutnya Pemerintah itu, yakni pajak, tiadalah dibayar
oleh Kaum-Modal Belanda sendiri, melainkan oleh bumiputera juga. Jadi Rakyat
Indonesia tidak saja membiarkan harta, tenaga dan kemerdekaannya dirampok oleh
Kaum Modal Belanda, tetapi mesti membayar gaji hambanya kaum modal itu, yaitu
Gubernur-jendral, Resident, Regent, Wedono, Commissaris van Politie, Jendral,
Major dan beribu-ribu hamba yang lain-lain.
Sebab Modal-Belanda tak mau membayar gaji hambanya itu dari kantongnya
sendiri, dan buat penambah Modal-Besar di Indonesia, maka Pemerintah Belanda
terpaksa meminjam uang ke lain negeri. Sampai tahun 1923, maka banyaknya uang
pinjaman itu sampai F. 1476.662.000. Dengan bunga 5%, maka saban-saban tahun
mesti dibayar bunga kepada negeri lain F.6.471.641. Bunga itu tentulah tiada
dibayar dari gaji Guberner-Jendral atau untungnya Colijn, melainkan dengan
pendapatan Rakyat juga. (Semua angka-angka ini kita petik dari Handbook of the
Netherlands East-Indie, yang dikeluarkan oleh pemerintah sendiri)
Uang masuk atau inkomsten, yakni terutama buat gaji hambanya pemerintah
pada tahun 1921 ada F.769.700.000 tetapi uang keluar atau uitgaven, yakni yang
dimakan oleh hamba-hamba tadi ada F.1.055.200.000. Jadi dapat kekurangan
F.285.500.000. Kekurangan itu tinggal terus menerus, tiap-tiap tahun.
Buat pengobat krisis ini, maka Kaum-Modal Belanda memilih hambanya
Guberner-Jendral Fock.
Sebab Fock ini dulunya ia mengaku liberal, maka buat penutup malunya
sebagai liberal ia mula-mula pura-pura mau menolong Rakyat Indonesia. Ia
berjanji mau memaksa Modal-Gula memperbaiki nasib buruh dan tani gula dengan
ongkos Modal Gula sendiri. Lagi pula ia mau memaksa Modal Besar menolong Rakyat
membayar pajak yang besar itu, supaya kekurangan pajak tadi bisa tertutup dan
rakyat dapat kelonggaran
Tetapi sesudah Modal Gula menyepak kembali, maka tuan Fock diam saja. Dan
apabila Colijn, yakni Raja Minyak menjawab "Tutup mulutmu, kalau tidak
kamu saja boikot, dan pabrik minyak kami tutup", maka tuan Fock yang
liberal tadi lebih suka memihak kepada gajinya yang beribu-ribu itu, dari pada
memihak kepada Rakyat atau kepada paham liberalismenya. Malah ia lebih menjilat
ke atas dan lebih menendang ke bawah.
Keatas: Gaji ambtenaren yang besar-besar di naikkan, laskar, armada dan
polisi dibesarkan.
Kebawah: Pajak dinaikkan, buruh dilepas dan diturunkan gajinya, uang-keluar
buat pendidikan, dan kesehatan Rakyat diturunkan.
Walaupun Fock sedikit menaikan cukai dari barang masuk dan ke luar tetapi
saudagar Belanda yang mempunyai barang-barang itu dengan mudah bisa menaikkan
harga barang-barangnya, yang mesti dibayar oleh Rakyat yang membelinya juga
(minyak, kain, korek-api d.s.g.)
Rumah-Gadai, yang dipunyai oleh pemerintah sendiri menaikan untungnya pula
dengan jalan menaikan isapan (Renten) pada Rakyat yang miskin juga. Sekarang
ini menurut keterangan buku-buku, Rakyat Indonesialah yang tertinggi sekali
membayar pajak di dunia ini.
Di negeri-negeri lain di Timur seperti India, Filipina dan Tiongkok,
bumiputera sendiri ada mempunyai perusahaan, pertanian dan perniagaan besar,
sehingga untungnya juga tinggal dalam negeri sendiri, dan sebagian dari untung
itu dipakai buat membayar pajak negeri. Tetapi di Indonesia pikulan uang sama
sekali tertimpa pada Rakyat-Melarat, yang makin tahun bertambah miskin, karena
semuanya untung mengalir ke sakunya Lintah Darat yang tidur di Den Haag atau
Zorgvliet.
Makin besar Pemerintah-Indonesia meminjam uang kepada bangsa lain seperti
Amerika dan Inggris, makin berkuasa Modal Asing di Indonesia, makin habis tanah
ditelan oleh Modal-Asing itu, makin besar uang yang mengalir ke negeri sebagai
bunga dan dividen uang pinjaman itu, dan berhubung dengan itu makin dalam
kemelaratan Rakyat dan makin hebat pula krisis ekonomi yang akan datang.
Selama semua untung dari modal-besar, baik langsung atau tak langsung sama
sekali mengalir ke luar negeri, selamanya itu Krisis ekonomi Indonesia tak bisa
diobat. Betul sekarang, Fock hampir bisa mengadakan balans-begrooting atau
sama-berat uang masuk dan uang-keluar, tetapi balance itu semata-mata
memperberat pikulan Rakyat, dan wujudnya langsung akan memperjauhkan yang
memerintah dari yang terperintah dan memperdalam krisis-politik.
4. Krisis Politik
Di Filipina, India dan Mesir, oleh karena adanya Tani-Besar, Kapitalis
besar dan Saudagar Besar dari bumiputera sendiri, maka dalam waktu krisis
politik, kaum imperialist bisa memadamkan atau mengurangkan krisis politik itu,
dengan jalan konsesi, yakni memberikan sebagian dari kekuasaan itu kepada
bumiputera. Disana kaum modal asing mempunyai banyak sama keperluan ekonomi
dengan modal bumiputera. Kalau pada suatu jajahan, dimana Imperialisme itu
masih autokratik (yakni memungut semua kekuasaan) Rakyat bergerak menuntut
kemerdekaan, seperti di India pada tahun 1918-1923, maka kaum imperialis
memukul pergerakan itu dengan konsesi politik. Imperialisme Inggris memberi 1/2
atau 3/4 Parlemen, dimana Kaum-Modal bumiputera boleh mengirimkan wakilnya.
Oleh karena kaum-tengah dan intelektual pada negeri yang ada mempunyai
nasional-capital hampir semuanya memihak pada nasional kapitalis itu, maka
mereka itulah yang terpilih menjadi anggota dari 1/2 atau 3/4 Parlemen tadi.
Oleh karena keperluan Modal-Asing dan Modal Bumiputera banyak bersamaan, maka
buat modal asing itu tak besar bahayanya, kalau sebagian dari politik negeri
terserah pada wakilnya modal kulit hitam. Oleh karena kaum buruh dalam
pertandingan buat keperluannya tak bisa membedakan Modal hitam dan Modal putih,
maka Kaum Tengah dan intelektual, yang mempertahankan modal hitam itu
terbawa-bawa mempertahankan modal putih seperti C. R. Das pemimpin Partai-Swaray
di India. Dengan konsesi politik itulah di India Inggris menarik Kaum
intelektual, yakni pemimpin pergerakan Rakyat ke dalam Parlemen dan dengan
jalan kompromi itulah ia sering-sering mengundurkan revolusi.
Menurut pemandangan kita, atas dasar Marxisme, maka di Indonesia, sebab
tidak ada nasional-kapital, Modal Belanda tak bisa memberi konsesi-politik yang
berarti. Ia harus sendirinya memerintah atau dengan bumiputera yang memang
terang budaknya.
Kaum cap Budi-Utomo (B.O.), Serikat-Islam (S.I.) dan Nasionale Indische
Partij (N.I.P) yang dulu terpikat oleh suara merdunya Van Limburg Stirum,
sekarang kita harap sudah yakin, bahwa mereka yang mau tinggal jadi Wakil
Rakyat Indonesia tak bisa kerja bersama-sama dengan Wakil Modal Belanda di
Volksraad, dan Volksraad tak bisa jadi 1/2 Parlemen, seperti di India atau 3/4
Parlemen seperti di Mesir dan Filipina. Volksraad mesti tinggal semata-mata
buat Kapital-Asing, dan anti seluruh Rakyat. Tetapi oleh karena Nasionalis atau
Islamis dinegeri kita tak sepeser mengerti Marxisme, yakni kea daan dan
kedudukan kasta-kasta di Indonesia dan berhubung dengan itu politiknya kasta,
maka mereka tentu masih bingung, tak mengerti apa-apa, apa sebab Dr. Tjipto,
Tjokro dan Muis disepakkan, sesudah dipakai oleh Limburg Stirum pada waktu
Krisis-politik tahun 1918. Kita kaum Komunis yang memboikot Volksraad pun belum
pernah mengadakan pemandangan kekastaan yang jelas dan terang, kenapa Volksraad
Indonesia tak bisa menjadi Parlemen, selama Keadaan Sosial d inegeri kita masih
tetap seperti sekarang.
Pemandangan kita di negeri jajahan lain, seperti India di atas sudah
sebagian memberi keterangan. Di Indonesia tak ada Kasta-Landlords (Tuan Tanah)
atau Bangsawan yang berarti banyaknya dan kekayaannya. Kasta saudagar-besar dan
Modal-Besar sama sekali tak ada. Sebab itu kaum intelektual, yang di negeri
kita baru mulai timbul belum mempunyai kasta bumiputera tempat mereka
berlindung. Sebab itu kaum intelektual kita masih pasif. Karena didikannya di
sekolah imperialis, mereka tak mengerti, bahwa kasta mereka mesti mencampurkan
diri ke kasta Buruh dan tani, karena kasta-kasta inilah di Indonesia yang bisa
merebut kemerdekaan.
Oleh karena Kasta Modal Bumiputera di indonesia tak ada atau masih sangat
kuno dan lemah serta kasta-intelektualnya pasif, maka kalau Modal Belanda mau
memberi 1/2 atau 3/4 Parlemen, haruslah ia memberi hak-politik dan Suara
Memilih Wakil kepada Buruh dan Tani. Kepada kasta-kasta kedua inilah ia harus
memberi konsesi dan dengan Rakyat melaratlah ia harus membagi kekuasaan
politik.
Ini namanya contradictio determinis, artinya itu membantah diri sendiri.
Masakan yang menindas bisa memberi 1/2 atau 3/4 senjata kepada yang tertindas,
seperti si Penyamun akan memberikan pistolnya kepada yang disamunnya. Dengan
segera yang disamun akan membunuh yang menjamun.
Semua Hukum dan Kekuasaan yang ada di Indonesia sekarang, ialah buat
membantu dan membesarkan Modal Asing dan sebaliknya buat menginjak Rakyat
Indonesia. Kalau Rakyat yang sama sekali terinjak itu diberi hak politik, yakni
senjata buat mengubah, atau menghapuskan Hukum-Negeri tentulah tak satu Hukum
akan tinggal buat mempertahankan Modal Asing itu. Kalau di Indonesia ada kasta
Modal Bumiputera yang kuat, Kasta-Terpelajar yang kuat pula, tentulah
kasta-terpelajar ini bisa ditipu oleh Modal Asing dengan 1/2 atau 3/4 sampai
7/8 Parlemen. Dengan politik menipu kaum-terpelajar (kaum mana terutama di
jajahan sangat dipercayai oleh Rakyat), kaum imperialist. Belanda akan bisa
menipu Rakyat yang mengikut kaum-intelektual itu dan meundurkan revolusi.
Tetapi di Indonesia sebagian besar dari Rakyat ialah Tani, Buruh dan Saudagar
kecil-kecil yang sama sekali tak bersamaan keperluannya dengan Modal Asing,
malah sama sekali bertentangan. Sebab itulah Belanda takkan bisa memberi konsesi-politik
yang berarti kepada Rakyat kita.
Pertanyaan di negeri kita tidaklah revolusioner atau evolusioner, melainkan
bagaimana kita harus mengadakan program-merah, taktik-merah, organisasi-merah,
agitasi-merah dan aksi-merah, supaya Rakyat kita dengan lekas dan dengan
sedikit kerugian jiwa bisa lekas lepas dari tindasan dan isapan Modal Belanda.
Sikap Merah kita ini menjadikan cemas dan ketakutannya Kaum Modal Belanda,
dan kecemasan serta ketakutannya itu membesarkan, laskar, armada, polisi dan
resisir pula. Hal yang terakhir ini seterusnya menaikan pajak pula dan kenaikan
pajak mendalamkan dendam kesumat Rakyat Indonesia pada pemerintah asing ini
pula. Demikianlah satu bersangkutan dengan yang lain dan hasilnya
memperdalamkan krisis ekonomi dan politik juga. Ringkasnya sikap merah kita
tidak saja berguna, buat mendidik Rakyat Indonesia dalam politik, tetapi juga
memperdalam pertentangan antara si Penghisap dan yang Terisap, sebab itulah
mencepatkan datangnya kemerdekaan.
III.
PROGRAM.
Diatas kita sudah mencoba menerangkan, bahwa krisis atau pertentangan
ekonomi & politik di Indonesia sangat tajam. Pertentangan itu, lebih-lebih,
kalau kelak dicampuri oleh hal-hal lain, seperti bahaya kelaparan atau
penyakit, pada tiap-tiap waktu bisa melahirkan revolusi.
Keyakinan ini tiadalah kita peroleh dari satu dalil atau nujum. Juga tidak,
dari ilmu kebangsaan cap N.I.P yakni karena yang memerintah berkulit putih dan
yang terperintah berkulit hitam, yang memerintah berwatak Barat dan yang
terperintah berwatak Timur. Warna, watak atau Agama itu tak perlu mendatangkan
revolusi. Kalau umpamanya di Indonesia ada kastahartawan bumiputera yang kuat,
walaupun kasta ini beragama berkulit putih dan berwatak Timur, tetapi dengan
konsesi 1/2 sampai 7/8 Parlemen, revolusi itu tiap-tiap kali bisa dihindarkan.
Betul warna, agama dan watak itu bisa menambah tajamnya pertentangan yang sudah
ada, tetapi tiada bisa menjadi hoofd-factor atau hal yang terpenting dalam
sesuatu pemberontakan. Yang bisa mendatangkan revolusi di Indonesia kita ini
sewaktu-waktu ialah karena pada krisis ekonomi dan politik, yang dipertajam
oleh perbedaan watak, warna dan agama, tak ada kasta-hartawan bumiputera, yang
bisa memperdamaikan yang memerintah dengan yang terperintah.
Sebab kita tahu, bahwa kemodalan Belanda besok atau lusa mesti jatuh, maka
haruslah kita dari sekarang mengadakan peraturan ekonomi & politik, ialah
program yang cocok dengan kastanya partai kita, yakni partai Rakyat melarat,
yang tergambar pada P.K.I dan S.R.
Betul sesuatu program revolusioner, yakni kehendak sesuatu golongan atau
kasta, tak berarti, kalau tak ada pergerakan revolusioner dari kasta itu
sendiri. Tapi betul pula, bahwa sesuatu pergerakan revolusioner yang tidak
mempunyai basis teori, atau lantai yang berdiri atas teori akan mati sendirinya
saja. Lihatlah Budi Utomo, S.I dan N.I.P. Ketiganya, dulu, mula-mulanya
revolusioner. Tetapi tidak satu yang bisa menggambarkan maksudnya dengan
terang. Betul juga sebab jatuhnya ketiga partai itu karena tak mempunyai
disiplin, tetapi sebab yang terutama sekali ialah mereka tak bisa membuat
program yang kukuh
Juga partai kita, walaupun di sana sini lebih terang melahirkan kehendaknya
dari partai yang lain 2 di Indonesia, belum pernah memformulasi atau menetapkan
program dengan secukupnya. Apabila kita mau tinggal memegang pimpinan
revolusioner atas Rakyat melarat di Indonesia, maka haruslah sekarang kita
memaklumatkan kehendak kita, dalam perkara ekonomi, politik, sosial d.s.g.
Adapun program itu tiadalah bisa kita gali dari dalil yang keluar lebih
dari 1300 tahun dahulu, seperti pahamnya Haji Agust Salim, karena peraturan
negeri pada zaman yang belum mempunyai pabrik, Bank dan kereta api itu berbeda
sekali dengan keadaan negeri kita sekarang. Tiadalah pula bisa program itu kita
timbulkan dari sentimen atau perasaan kebangsaan saja Kaum N.I.P. Akhirnya
tiada pula bisa disalin dari programnya sesuatu partai komunis di Eropa atau
Amerika dimana keadaan ekonomi, politik dan sosial berbeda sekali dengan
keadaan di Indonesia. Melainkan kita harus memakai geest atau semangatnya
Marxisme, buat mendirikan program yang cocok dengan keadaan di negeri kita.
Jadi cuma metode atau cara mendirikan program itu saja bisa Marxis atau Komunis
tetapi material atau perkakas mendirikan itu ialah Indonesia.
Berpadanan dengan itu, maka watak program kita haruslah:
a) Cocok dengan kekuatan kita. Tuntutan kita tak boleh
terlampau jauh, supaya kita jangan lekas dilabrak oleh musuh, baik diluar atau
didalam negeri, Sebaliknya pula kita tak boleh mengadakan peraturan ekonomi
& politik yang mundur, dimana Rakyat akan tinggal terhisap dan tertindas.
Berapa jauhnya tuntutan kita itu, sebagai partai internasional, kita juga mesti
memikirkan keadaan internasional. Artinya itu, revolusi dunia, boleh jadi tiada
lama lagi akan pecah. Tetapi boleh jadi juga lebih lama dari kita kehendaki
sendiri, Kalau revolusi-dunia besok pecah, tentu kita besok pula bisa dapat
pertolongan lahir dan batin (perkakas mesin, kepandaian buat industri d.s.g)
dari buruh Eropa dan Amerika. Kita dalam hal ini tak akan celaka, kalau segera
mendirikan Diktatur-Proletar yang sempurna, yang sepadan dengan keadaan
Kapitalisme Indonesia. Tetapi kalau revolusi dunia lama lagi akan pecah, dan
kita besok mendirikan Soviet-Republik, maka kita yang terletak di antara
imperialisme Inggris, Amerika dan Prancis ini dan terpisah sekali dari kaum
Buruh revolusioner di Rusia, Eropa dan Amerika, dengan lebih lekas dan lebih
kuat dari pada Rusia akan dikepung dan dilabrak oleh imperialisme itu.
Sedangkan Republik biasa saja (demokratis) sudah akan bisa menggojangkan
seluruh Asia, apalagi kalau nama Republik itu dimerahkan pula. Tidak bisa
dibantah lagi bahwa, walaupun Indonesia terutama landbouw-land, tetapi hidup
kita sudah sama dengan industrieel land seperti Eropa. Ekonomi sudah hampir
sama sekali bersifat internasional, karena hasil industri dan landbouw kita
seperti gula, minyak-tanah, karet, kopi, kina, dll sama sekali tergantung dari
perniagaan di luar negeri kita dan pasar-pasar di luar Indonesia. Sebaliknya pula
semua keperluan hidup Rakyat Indonesia seperti kain, perkakas dan beras sama
sekali datang dari negeri lain. Kalau Inggris atau Amerika besok tak mau
mangaku kemerdekaan kita, artinya itu tak mau berniaga dengan kita, maka sehari
kita tak bisa mengurus ekonomi. Berhubung dengan itu sebentar kita akan jatuh.
Jadi jauhnya program kita haruslah sepadan dengan kekuatan kita yang ada dan
cakap menentang musuh lari atau tersembunyi, baik didalam ataupun diluar
negeri. Program itu haruslah satu lantai yang kukuh buat berjalan sendiri
(kalau revolusi dunia belum datang) atau buat berjalan bersama-sama dengan
dunia (kalau revolusi dunia sama datang dengan kemerdekaan Indonesia).
b) Bisa menaikkan derajatnya Rakyat Indonesia. Kaum-Buruh
Indonesia haruslah memiliki perkakas hasil yang besar-besar, seperti pabrik,
ondernemingen (bahasa Belanda untuk ventures atau perusahaan - catatan editor),
tambang, Kereta, Kapal dan Banken. Mereka haruslah betul-betul berkuasa dalam
hal menentukan, membuat dan membagikan (produksi & distribusi) hasil
negeri. Mereka haruslah berkuasa betul dalam hal politik negeri. Perhubungan
antara tuan dan budak, seperti yang masih ada di Eropa (kecuali Rusia) Amerika
dan Jepang, yakni negeri-negeri yang kapitalistis pelan, haruslah dihapuskan. Untung
yang berjuta‑juta yang sekarang tiap-tiap tahun mengalir kesaku Lintah Darat
Belanda, di Den Haag, haruslah tinggal di Indonesia sendiri. Uang, ini boleh
dipakai buat Didikan dan Kesehatan Rakyat, buat membantu Kaum Tani dan saudagar
kecil dan Tukang-Tukang dengan jalan Koperasi dan terutama buat mendirikan
industri model baru di Indonesia, seperti industri pembuat kapal, kereta,
mesin-mesin dan perkakas lain-lain, pabrik kain, kertas dan membangun
electrische-centrale (bahasa Belanda untuk pembangkit tenaga listrik - catatan
editor) dari sungai-sungai dan danau-danau di Indonesia. Dengan perbutan
demikian, maka niscayalah lama lambat seluruh Rakyat Indonesia, Buruh , Tani,
Tukang dan Student akan maju derajatnya dalam hal ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan
atau peradaban.
c) Bisa menarik Indonesia ke zaman industrialisme
model baru. Bahwa perusahaan besar-besar, kepunyaan modal asing perlu dan bisa
dimiliki kaum-Buruh, itu sudahlah terang. Perlu, karena dengan jalan begitu,
hasil boleh diatur dengan rasional, yakni menurut keperluan Rakyat, bukan lagi
buat di Lintah Darat di Eropa. Bisa, karena perusahaan besar-besar itu semuanya
kepunyaan Modal-Asing, yang memperoleh harta itu dari Rakyat Indonesia juga dan
tiadalah ada Kaum-Hartawan bumiputera yang cukup kuat buat melawan politik
nasionalisasi Kaum-Buruh. Dengan pertolongan uang pada tukang, saudagar-kecil
dan tani di Indonesia, dan dengan memberi pertolongan kepada mereka mendirikan
Koperasi Negara, Pemerintah Baru di Indonesia bisa membesarkan dan mengumpulkan
perusahaan kecil-kecil yang terpancir-pancir dan bisa membawa semua perusahaan
kecil-kecil itu ke bawah pimpinannya. Semua perusahaan kecil, lama lambat akan
hilang, sebab terbawa di bawah pengaruh Pemerintah-Baru (Republik-Indonesia), atau
kalah bersaing dengan perusahaan Republik yang besar-besar. Kalau daya upaja
yang tersebut diatas ditambah lagi dengan daya upaja mendirikan perusahaan yang
model baru, maka dengan segera Indonesia, yang begitu mundur sekarang
industrinya, sesudah beberapa lama akan menjadi negeri industri model baru di
dunia penduduknya akan bertambah maju dalam segala hal dan politiknya juga akan
memeluk seluruh alam atau menjadi internasional.
d) Bisa Mengadakan kerukunan seluruh Rakyat melarat.
Kerukunan itu perlu tidak saja buat merebut kemerdekaan dari imperialisme
Belanda, tetapi juga buat mempertahankan kemerdekaan itu keluar negeri
(Inggris, Amerika dan Jepang). Walaupun Kaum-Buruh kita terkuat dari
kasta-kasta lain di Indonesia, tetapi ia sendirinya saja tentu sukar merebut
kemerdekaan buat seluruh Indonesia, seperti juga buat Sumatra, Borneo, Celebes
d.s.g, dimana industri dan kaum buruh baru mulai datang. Di Jawa sendiripun
buruh industri yang betul-betul masih sedikit. Ringkasnya, walaupun buruh bisa
termuka dan bisa memberi pimpinan pada seluruh Rakyat melarat dalam merebut dan
mempertahankan kemerdekaan, tetapi ia mesti mendapat pertolongan dari, tani,
saudagar, student, serdadu dan tukang. Haruslah seluruh Rakyat tertindas di
Indonesia terikat dalam satu "tentara‑kemerdekaan". Tetapi ikatan itu
harus berdasar ekonomi. Tani, atau tukang, tak bisa lama diikat dengan paham
kebangsaan cap N.I.P. atau B.0. atau dengan agama cap S.I. saja. Ikatan semacam
itu tidak bisa kukuh, karena tak mengandung kekuatan lahir melainkan perasaan
saja. Ikatan itu cuma bisa kekal, kalau berdasar ekonomi jani, kalau tani,
tukang dan saudagar dalam persahabatan dengan buruh itu betul‑betul mendapat
keuntungan lahir dan batin (ekonomi, politik dan sosial). N.I.P. dan B.0.
takkan bisa memperbaiki nasib kaum melarat, sebab kalau Indonesia di bawah
pimpinan mereka menjadi merdeka, maka perusahaan besar-besar akan jatuh di
bawah Angenent, Veynschenk, Raden Mas ini, atau Raden itu. Pun S.I tak akan
bisa juga karena sesudah negeri merdeka urusan ekonomi sama sekali akan jatuh
di bawah Kyai, Haji atau Sjech, seperti di Mesir Arab, Turki atau India. Tetapi
kalau P.K.I. dan S.R. yang merebut kekuasaan, ia bisa menaikan derajat si Kecil
karena lebih dulu mereka menghapuskan hak-Milik pada perusahaan besar-besar dan
menghapuskan kasta Hartawan. Sebab kasta-buruh di Indonesia bukan
Kasta-Penghisap, maka ia kelak bisa mengadakan perserikatan yang kukuh dengan
segala golongan yang terhisap dan tertindas oleh imperialisme sekarang.
e) Bisa membangunkan semangat revolusioner seluruh Rakyat
Indonesia, dengan kekal. Betul perasaan kebangsaan dan Agama bisa menbangunkan
kebencian kepada Penindas dan mendatangkan kerukunan pada Rakyat, tetapi
kebencian dan kerukunan semacam, sangat negatif dan sementara. Sebentar menjadi
dingin, seperti pepatah Minangkabau: Panas-panas tahi ayam. Tetapi satu Program
yang mempunyai lantai teori yang kokoh dan mudah dimengertikan pada Rakyat,
bisa mendatangkan keyakinan yang tetap, karena keyakinan semacam ini berhubung betul
dengan hidup dan pikirannya hari-hari, dan bisa memberi jawab pada soal-soal
ekonomi, politik dan sosial. Dari keyakinan semacam itulah saja bisa timbul
kemauan yang keras buat mempraktikkan cita-cita yang terpeluk oleh Program itu.
Sebab itu Program yang kukuh itulah saja yang bisa membangunkan dan menetapkan
semangat revolusioner dari seluruh Rakyat Indonesia sampai maksudnya sampai.
III.
PROGRAM
1. Program Nasional P.K.I & S.R.
A. Ekonomis
1. Nasionalisasi atau memindahkan Pabrik dan Tambang (seperti pabrik gula,
kina, kelapa, semen dan tambang arang, emas, timah d.s.g.) ke tangan Pemerintah
Rakyat Indonesia.
2. Nasionalisasi Tanah dan Kebon, seperti Gula, Getah,
Tebu, Kopi, Kina, Kelapa, Indigo d.s.g.
3. Nasionalisasi Transportasi dan Komunikasi (Kereta,
Kapal, Telegraf dan Telepon).
4. Nasionalisasi Bank, Perusahaan dan lain-lain
Anggota-Perniagaan.
5. Electrificatie perusahaan, dan mendirikan industri
model baru dengan pertolongan Negara, seperti buat pakaian, kereta, kapal,
mesin d.s.g.
6. Mendirikan Koperasi-Rakyat dengan pertolongan Negara.
Memberi perkakas dan pertolongan pada Kaum Tani, buat memperbaiki pertanian.
7. Emigrasi atau memindahkan sebagian penduduk Jawa
dengan ongkos Negara, ke pulau-pulau di luar Pulau jawa.
8. Membagikan Tanah-Tanah kosong pada proletar-tani, dan
memberi pertolongan pada Tani itu buat mengerjakannya.
9. Menghapuskan sisanya feudalisme (Yogya, Solo d.s. g)
dan Tanah Partikulier, serta membagikan tanah-tanah ini pada Tani-Tani Miskin
dan Proletar Tani.
B. Politik.
1. Kemerdekaan Indonesia yang sempurna (absolut) pada saat ini juga.
2. Mendirikan Federasi-Republik dari kepulauan Indonesia.
3. Memanggil Rakyat-Rakyat Indonesia yang mewakili seluruh Golongan dan
Rakyat Indonesia pada saat ini juga.
4. Memberi hak-Memilih yang sempurna pada Rakyat Indonesia (lelaki &
perempuan) pada waktu ini juga.
C. Sosial.
1. Gaji minimum.
2. Kerja 7 jam dan memperbaiki nasib kerja dan hidupnya Kaum Buruh.
3. Perlindungan Kerja (Arbeidsbescherming) Kaum Buruh dengan mengakui hak
buat mogok.
4. Mendapat sebagian Untung dari Perusahaan yang besar-besar.
5. Mendirikan Rapat-Buruh (Arbeidersiaden) pada perusahaan besar-besar.
6. Menceraikan Negara dengan Agama, dengan mengakui Kemerdekaan Agama
seluas-luasnya.
7. Memberi hak-hak ekonomi, politik dan Sosial pada semua penduduk
Indonesia lelaki dan perempuan.
8. Nasionalisasi Gedung besar-besar, mendirikan rumah-rumah baru, dan
membagikan tempat tinggal buat Buruh-Negara.
9. Membunuh penyakit menular dengan sekuat-kuatnya.
D. Didikan.
1. Didikan dengan diwajibkan dan ongkosnya Negara buat semua penduduk
Indonesia sampai berumur 17 tahun, didikan mana memakai bahasa Melayu sebagai
bahasa utama dan bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang terpenting.
2. Menghapuskan peraturan dan asas Didikan sekarang dan mendirikan
peraturan dan asas baru, yang praktis, yang langsung berhubung dengan industri
yang ada dan yang akan didirikan.
3. Memperbanyak dan memperbaiki sekolah Pertanian Pertukangan dan
Perniagaan dan menambah serta memperbaiki sekolah tinggi buat Personel Teknik
dan Administrasi yang tinggi.
E. Militer
1. Menghapuskan Laskar yang imperialistis sekarang dan mendirikan Laskar
Rakyat buat mempertahankan Republik Indonesia.
2. Menghapuskan hidup di tangsi dan peraturan yang menghina Kaum-Serdadu,
memberi izin tinggal di kampung dan di rumah yang dibikin buat mereka,
penganggapan yang lebih baik dan menambah gaji Kaum Serdadu Rendah,
3. Memberi hak leluasa buat Organisasi dan Pertemuan kepada Kaum Serdadu.
F. Polisi dan Justisi.
1. Memisahkan Pemerintah dari Polisi dan Justisi.
2. Memberi hak-sempurna kepada tiap-tiap Pesakitan, buat mempertahankan
diri di muka Hakim, dan melepaskan seorang tertuduh dalam 24 jam, apabila
keterangan dan saksi kurang cukup.
3. Semua Perkara, yang wettig (mempunyai cukup dasar hukum) mesti diperiksa
dalam 5 hari pada tempat yang umum, teratur dan patut.
G. Aksi-Program.
1. Menuntut 7 jam kerja.
2. Minimum Gaji dan perbaikan Kerja dan Hidupnya Kaum Buruh.
3. Mengakui Federasi Serikat Buruh dan hak Mogok.
4. Mengatur Tani buat hak-ekonomi dan politik.
5. Menghapuskan Punale Sanctie (pidana terutama atas penolakan untuk
melakukan pekerjaan dan melarikan diri - catatan editor).
6. Menghapuskan hukum-hukum dan peraturan-peraturan buat menghambat
pergerakan politik, seperti Exorbitante-Stakings-Pers (sensor media - catatan
editor) dan Onderwyswetten dan mengaku hak leluasa buat bergerak.
7. Menuntut hak membikin demonstrasi. Massa demonstrasi (ramai-ramai) di
seluruh Indonesia buat melawan Tindasan Bergerak dan Pajak dan buat melepaskan
semua pemimpin Rakyat yang dibui dan mengembalikan semua pemimpin Rakyat yang
dibuang, massa aksi mana harus dikuatkan oleh Mogok-Umum dan
Massa-ongehoorzaamheid (tak menurut perintah pemerintah).
8. Menuntut menghapuskan Volksraad (dewan penasehat untuk Netherlands East
Indie yang dibentuk oleh Belanda - catatan editor), Raad van Indie (Council of
Indies atau Dewan Hindia yang dibentuk untuk mengawasi Gubernur-Jendral VOC -
catatan editor) dan Algemeene Secretarie (Seketratis Jendral - catatan editor)
dan memanggil Rapat Rakyat (Nasional Assembly) dari mana nanti akan dipilih
Anggota Menjalankan Hukum (Komite Eksekutif), yang bertanggungan kepada Rapat
Rakyat.
2. Keterangan Program.
Program diatas, ialah buat seluruh Rakyat Indonesia, yaitu Kasta-Proletar
dan Non-Proletar atau yang tidak Proletar, seperti Kasta Tukang, Saudagar
Kecil, Tani, Student d.s.g yang semuanya menghendaki Kemerdekaan sebagai Bangsa
dan melawan Imperialisme Belanda. Sebab di Indonesia tidak sampai 1% penduduk
yang membenci pada Indonesia Merdeka dan cinta pada Pemerintah Belanda, maka
Program Nasional ini tidak salah namanya, karena betul memeluk hampir semua
penduduk Indonesia.
Oleh karena di Indonesia Kasta Buruhlah yang terkumpul atau geconcentreerd
(terkonsentrasi), maka ia lah pula yang bisa memberi pimpinan pada kasta-kasta
yang lain-lain yang cerai berai itu. Pada Program ini kita melihat, bahwa
Buruhlah yang termuka dalam hal tuntutan. Terutama tuntutan ekonomi (A), Sosial
(C), dan Aksi (G), sebagian besar semata-mata buat keperluan Kaum Proletar.
Tetapi dalam tuntutan Politik (B), Didikan (D), Pengadilan (F), keperluan Buruh
banyak bersamaan dengan non-Proletar, sebab itu bisa dicampurkan. Umpamanya
semua tuntutan politik (B. dari 1-4) sama sekali boleh dipakai buat
non-proletar. Tuntutan ekonomi seperti A. 5, 6, 7 dan 8 bolehlah dikatakan
terutama buat non Proletar. Sedangkan tuntutan F dari 1-3 semata-mata buat
kasta yang tidak boleh kita lupakan dan lengahkan ialah Kaum-Serdadu.
Walaupun pada Program Nasional, yakni buat seluruh Native atau penduduk
Indonesia, semua tuntutan kita jadikan satu, tetapi dalam propaganda dan
agitasi tentulah, tuntutan yang terutama buat Kaum Buruh tidak boleh kita pakai
buat kaum Tani. Umpamanya tututan nasionalisasi pabrik tentulah buat kaum Tani
tidak sepenting perkara pertanian dan koperasi. Jadi dalam agitasi dan
propaganda kita mesti pilih tuntutan yang konkrit atau yang nyata dan dirasa
buat masing-masing kasta. Kadang-kadang kita pentingkan betul tuntutan ekonomi
seperti pada kasta Buruh dan Tani, kadang-kadang kita pentingkan politik
seperti pada penduduk kota dan Kaum Student, kadangkadang perlu kita terangkan
sikap kita terhadap kepada agama, seperti di Solo, Yogya, Aceh, Banjarmasin.
Semua tuntutan yang diatas tentulah yang umumnya saja. Berpuluh-puluh
tuntutan kecil-kecil buat Buruh, Tani dan Student atau Tukang, di Jawa atau
Sumatera d.s.g pada kitab ini tak bisa kita tuliskan. Program Nasional haruslah
pendek dan memeluk dasar dari tuntutan yang terutama saja. Tetapi plaatselyke
Organisaties dan plaatselyk Beleid atau kecakapan pada masing-masing tempat tak
boleh melupakan tuntutan yang plaatselyk dan penting buat satu kasta atau
golongan. Umpamanya buat Kaum Militer boleh lagi ditambah beberapa tuntutan.
Begitu juga buat Buruh Gula, buat Pelabuhan, buat Tani di d jawa, Sumatera dan
Borneo, buat saudagar kecil di mana-mana negeri, buat pemancing ikan di Madura,
Ternate d.s.g, pimpinan pada masing-masing tempat mesti mengadakan tuntutan,
sehingga seluruh penduduk Indonesia mempunyai Program buat mengubah nasib
masing-masing kasta atau golongan.
Semua tuntutan itu haruslah konkrit atau dirasa, pendek dan terang. Dari
tuntutan bersifat semacam inilah bisa datang keyakinan dan bisa lahir aksi
revolusioner.
IV.
ORGANISASI.
Adapun perkara organisasi pada suatu jajahan, seperti Indonesia adalah
suatu perkara yang sangat sukar dan penting sekali. Dari pada kuatnya
organisasi kita itulah bergantungnya, bisa atau tidakkah kita kelak memecahkan
organisasi musuh yang sangat teratur tiu. Berhubung dengan Organisasi kitalah
kelak bergantungnya, bisa apa tidakkah kita merebut Kemerdekaan, baikpun
sebagai Bangsa ataupun sebagai Kasta.
Tiadalah bisa kita putuskan semua persoalan Organisasi itu dengan perkara
Agama, sehingga barang siapa sudah "dikekahkan" dan pandai menyebut
"syahadat" bolehlah diikat di dalam satu perkumpulan. Tiada perduli
apa yang satu Saudagar Besar dan yang lain buruh atau tani melarat. Atau dengan
persoalan Kebangsaan, sehingga barangsiapa mempunyai kulit hitam atau setengah
hitam bisa masuk ke dalam satu Partai politik. Tak perduli apa yang satu Tuan
Tanah dan yang lain tak berpunya apa-apa.
Kita harus menyusun serdadu buat merebut kemerdekaan itu menutut keperluan
masing-masing, yang sama keperluan hidup dalam satu organisasi pula, karena
buat memperbaiki keperluan hidup itulah manusia dari tiap-tiap Sejarah dan
tiap-tiap bangsa bergerak dan mengorbankan nyawanya. Oleh karena si Kapitalis
bertentangan keperluannya dengan si Buruh, baikpun mereka "Indier"
cap N.I.P. ataupun kaum-Islam cap S.I, seperti macan bertentangan keperluannya
dengan sapi, oleh karena itulah mereka dari dua Kasta itu tak boleh disusun
dalam satu barisan. Kalau mereka sementara bisa bekerja bersama-sama buat
menendang musuh, seperti di Indonesia, haruslah mereka disusun dalam
berlain-lain barisan. Oleh karena kita Marxis percaya, bahwa semua pertandingan
di dunia terbawa oleh tindasan dan kemelaratan, maka sebab itulah kita terutama
bersandar atas Kaum Tertindas dan Melarat.
Walaupun kita internasionalistis, tiadalah bisa kita mengambil saja
Organisasi Buruh di Eropa atau Amerika dan tanpa kritik, menanam Organisasi itu
di negeri kita. Organisasi-pindahan semacam itu akan mati sendirinya saja,
seperti gandum Eropa, kalau dipindahkan ke Indonesia niscaya akan mati juga.
Kita harus dengan semangat Marxisme, memeriksa keadaan ekonomi, sosial dan
kebudayaan di negeri kita, memeriksa banyak, kuat dan kualitasnya kasta-kasta
yang ada di Indonesia dan menyusun tiap-tiap Kasta yang terhimpit pada
masing-masing Barisan dan menyusun semuanya Barisan dari semuanya Kasta itu
pada Tentara Nasional, buat memecahkan musuh dari dalam ataupun luar negeri.
1. Maksud dan Sifat-sifat Organisasi
Maksudnya Partai Revolusioner di Indonesia ialah buat menendang Musuh dan
mempraktikkan atau melakukan Programnya. Jadi Cara dan Sifatnya bekerja
haruslah sepadan dengan Maksudnya itu, dan sepadan pula dengan Tempat dan
Keadaannya bekerja. Artinya yang terus ialah sepadan dengan tingkat dan
tajamnya perkelahian dan sepadan dengan pulau, kota atau desa tempat kita
mengadakan aksi. Berhubung dengan itu, maka aksi kita pada waktu reaksi belum
kurang ajar dan Rakyat masih lembek berlainan den gan aksi kita, kalau reaksi
kurang ajar dan Rakyat bangun dan tetap hati. Dan lagi aksi yakni cara dan
sifatnya kerja kita itu di Jawa lain dari di Sumatera atau Ternate, di Surabaya
lain dari di Cicalengka atau Magelang, dimana industri masih lemah.
Makin plastis atau liat seperti rotan Cara dan Sifat kerja kita itu, makin
besar pengaruh Partai kita di seluruh Indonesia dan makin dekat Maksud kita.
Supaya kita bisa memimpin seluruh Rakyat Indonesia yang tertindas itu, haruslah
kita lebih dahulu bisa memimpin Partai kita sendiri yang sebagai Avant-Garde atau
Pasukan Muka dari Rakyat yang Revolusioner itu.
Sebab itulah maksudnya Organisasi kita, terutama buat mengatur pimpinan
yang sempurna, yakni menyusun dan mendidik kekuatan yang bisa memberi pimpinan
kepada seluruh Rakyat.
Pimpinan itu baru bisa sempurna, kalau perhubungan atau kontak dengan
Rakyat sempurna pula. Tanpa kontak satu Partai tak bisa memberi pimpinan,
karena ia terlampau maju di muka atau terlampau tinggal di belakang Rakyat.
Supaya hubungan dengan Rakyat Melarat rapi sekali, maka Organisasi kita
memeluk dasar Demokratis Sentralisme. Artinya ini Sentralisasi Pekerjaan yang
dilakukan dengan semangat demokratis atau sama rata. Jadi semua anggota
Revolusioner dan semua anggota Revolusioner, seperti P.K.I, S.R, Serikat Buruh,
JOI, d.s.g, masing-masingnya harus bekerja menurut kekuatan masing-masing,
pekerjaan mana mesti teratur dan terkumpul. Bedanya Partai kita dengan Partai
Sosial Demokrat, yakni beda bekerja. Pada Partai Sosial Demokrat yang bekerja
itu cuma pemimpinnya, tetapi anggotanya pasif saja. Sebab itulah Partai Sosial
Demokrat sangat birokratis. Semua anggota menurut saja apa perintah
pemimpinnya, sama betul dengan demokratisnya Parlamentarisme Kaum Hartawan,
yang juga terbagi atas Menteri yang aktif dan mengerjakan sekalian pekerjaan
dan anggota Parlemen, yang kerjanya mengomong saja. Pada Partai Komunis
semuanya anggota harus bekerja, kecil atau besar (propaganda, kursus, membagi
surat kabar, buku, mengerjakan administrasi d.s.g menurut kecakapan
masing-masing), sehingga demokrasi atau sama rata kita artinya "sama rata
bekerja." Sifat Demokratis Sentralisme itulah yang bisa menghilangkan
birokratisme, dan ialah yang mendidik pimpinan sampai kuat dan plastis.
Disiplin itu, ialah nyawanya suatu pergerakan revolusioner. Dalam
pergerakan S.I sudahlah cukup kalau seorang bersumpah "demi Allah demi
Qur'an," buat menjadi anggota. Dalam pergerakan N.I.P sudahlah cukup kalau
orang yang mau jadi anggota itu mengaku azas N.I.P. Sesudahnya ia bersumpah,
atau sesudah ia mengaku dasar itu ia boleh tidur nyenyak, dengan tiada dapat
gangguan apa-apa dari partainya. Tetapi buat pergerakan kita "mengaku
Program" itu belum lagi setengah kewajiban seorang anggota.
Partai komunis tiadalah menghendaki "pendeta Komunis" yang hapal
programnya dari muka sampai ke belakang dan dari belakang sampai ke muka.
Partai kita mau aksi atau perbuatan, aksi yang tetap dan benar yang berpadanan
dengan azas dan maksud kita. Kalau pada waktu sebelum revolusi seorang anggota
tiada mengeluarkan aksi apa-apa, maka tiadalah bisa kita harapkan yang dia pada
waktu yang penting tiba tiba saja akan mendapat semangat yang aktif,
seolah-olah mendustakan dirinya sendiri pada waktu biasa. Ringkasnya Partai
kita menuntut aksi yang tetap dan benar, besar atau kecil dari tiap-tiap
anggota. Kalau seorang anggota tiada mencukupi perintah Partai, mengerjakan
pekerjaan yang dikira berpadanan dengan kekuatan anggota itu, maka lebih baik
ia keluar saja dari pada tinggal dalam Partai dan memberi contoh yang buruk
pada kawan‑ kawannya yang lain. Tetapi disiplin kerja atau arbeiddisipline
semacam itu, tentulah pula tidak dalam satu hari saja bisa kita jatuhkan. Kita
periksa dulu keadaan satu Seksi atau Lokal dan perkara menjatuhkan
"disiplin kerja" itu harus ditimbang betul-betul dengan
pemimpin-peminpin yang sudah lama kerja. Tetapi disiplin itu haruslah segera
dijatuhkan pada seorang anggota yang mengkhianati partai, juga pada seorang
anggota yang tiada mempertahankan.
Serdadu revolusioner itu ialah serdadu yang mengerti dan mufakat dengan
Program partainya, yang selalu bekerja sepadan dengan kekuatannya dan selalu
menjaga kesentosaan partainya terhadap kepada musuh di dalam atau di luar
partainya.
Agitasi. Seperti seorang Penambang menceraikan emas itu dari tanah dan
lumpur, maka kita mengeluarkan aksi Kaum Tertindas itu dari peri kehidupan
mereka itu juga. Perkakas kita buat mengeluarkan aksi itu ialah Agitasi. Dari
dalam, betul dan kuatnya Agitasi itulah bergantung datangnya Aksi.
Membuat Agitasi itu tiadalah dengan "Assalamualaikum atau dalil-dalil"
cap Haji Agust de Groote ...... dengan tiada menyelesaikan persoalan hidup si
Kromo hari-hari, atau kalau menyelesaikan ia tiada berani menarik si Kromo
kepada aksi. Juga tiada seperti N.I.P yang agitasinya tiada pula lebih jauh
welsprekendheid (lancar) atau mahirnya bicara tentang darah Indier dan wataknya
Indier. Kita Kaum Komunis tak pula boleh berlaku seperti Kaum Syndicalist, yang
menyangka, bahwa kalau kita campur menuntut hak Kecil-kecil ada berlaku
kompromistis, dan cuma berharap, seperti kaum Utopis, bahwa Aksi Rakyat itu
kelak datangnya akan sama sekali tiba-tiba saja. Tidak pula seperti si
Pengkhianat Kaum Sosial Demokrat yang campur menyelesaikan persoalan si Kecil
itu ialah buat menarik mereka, supaya ia memilih Kaum Sosial Demokrat jadi anggota
Parlamen, atau supaya Kaum Buruh masuk jadi anggota Partai Sosial Demokrat.
Kita Kaum Komunis menyelesaikan persoalan si Kromo, supaya mendapat kepercayaan
dari mereka, bahwa kita betul-betul mau menolong mereka. Begitulah kita
mendapat kontak dengan mereka dan bisa menarik mereka kepada aksi yang teratur.
Agitasi itu haruslah konkrit atau nyata sekali. Haruslah ia bersandar atas
hisapan dan, tindasan si Kecil hari-hari. Di antara Buruh, tentulah perkara
gaji, lama kerja dan penganggapan-lah perkara yang ter penting. Tiadalah
perkara ini boleh kita singkirkan, melainkan kita dengan segala kepintaran
memberi jawab, yang bisa memberi kepercayaan dan menimbulkan aksi kaum Buruh.
Pada penduduk kota-kota, dimana non-proletariers yang terbanyak itu, selalu diojak-ojak
oleh Tuan Tanah, Pemungut Pajak, Tuan Rumah, d.s.g. perkara pajak dan perkara
sewa rumah itulah perkara yang penting buat peri hidupnya Rakyat. Begitulah
pula pada desa-desa, baik di Jawa, Sumatera atau Celebes perkara tanah dan
pajak itulah sangat dirasa oleh penduduk negeri. Dalam hal ini tiadalah boleh
kita memangku tangan dan seperti seorang Pendeta menunjuk ke kitabnya, serta
berkata: "Kalau Komunisme datang semuanya itu akan hilang. Apalkanlah
Komunisme supaya Zaman Keselamatan itu lekas datang. Rajinlah saudara
mengunjungi Kursus kami. Kami tak suka main pakrol-pakrol, karena itu semua
kompromis. Tahanlah lapar dan sakit sampai Komunisme datang." Kita ulang
lagi, apa saja tindasan Rakyat kita mesti memperlihatkan kepintaran buat
memberi oplossing atau jawab, mesti mempunyai keberanian buat berdiri di muka,
menuntut Haknya Rakyat, yang tertindas. Seperti si Penambang akan mendapat emas
dengan memasukan tangannya kedalam lumpur begitulah pula kita harus bisa
membawa Rakyat ke dalam Aksi, kalau kita campuri kesakitan dan siksanya
hari-hari.
Dari aksi kita hari-hari itulah kita bisa memperoleh kepercayaan, pengaruh
dan Contract yang kekal, dan dari aksi kecil-kecil itulah bisa lahirnya aksi
yang besar. Marxisme itu bukanlah ilmu "hapalan" melainkan satu
pedoman buat aksi, atau satu richtsnur tot handelen (guide to action)
Legal atau Illegal yakni Terbuka atau Tertutupnya, kita bekerja semuanya
bergantung kepada keadaan bekerja. Kita suka bekerja legal, karena dengan jalan
umum itu Program dan Taktik kita lekas diketahui oleh seluruh Rakyat. Tetapi
kalau terpaksa, kita mesti teruskan propaganda dan Agitasi kita dengan jalan
tertutup. Walaupun kita dipaksa berjalan tertutup, kita harus memakai dengan
segala kekuatan dan kecakapan segala jalan buat mendapat kontak dengan Rakyat.
Tidak boleh kita geisoleerd (terisolasi) atau terpisah dari Rakyat.
Di Eropa Barat kita melihat pada waktu sebelum perang, Partai yang terbuka
itu, tak bisa sama sekali bekerja tertutup seperti Partai kita di Rusia.
Sebabnya ialah karena di Barat sangat tebal demokratisnya negeri, jadi orang
bisa mendorong kiri kanan dengan mulut. Tetapi di Rusia Partai revolusioner
harus bekerja di bawah tanah. Sebab itulah kalau Revolusi datang dan Partai
revolusioner di Barat itu terpaksa bekerja tertutup ia tidak bisa jalan seperti
Partai kita di Rusia yang tahu kerja, baik terbuka atau pun tertutup.
Partai yang selalu kerja tertutup itu, ada mengandung bahaya, sama sekali
akan kehilangan kontak dengan Rakyat melarat. Sebab itu ia akan tidak tahu,
bagaimana perasaan Rakyat, dan kalau ia tiba-tiba keluar, Rakyat tidak
mengikut, atau kalau Rakyat melarat tiba-tiba memberontak, Partai yang
tersembunyi dan kehilangan kontak tadi, belum lagi siap.
Contoh Partai Konspirasi atau Rahasia, yang tak mempunyai kontak itu banyak
di negeri Timur, seperti. Afdeeling B satu contoh yang baik. Sesudah anggotanya
disumpahi setinggi langit, maka ia boleh kelak menunggu "alamat" dari
Alam dan menunggu perintah dari pimpinan yang tertinggi, kapan mesti keluar.
Alamat buat keluar itu, tiadalah hal yang nyata yang beralasan ekonomi atau
politik melainkan, barang yang gaib-gaib yang kita kaum Komunis pada masa ini
tak bisa mengerti lagi. Anggotanya tak bekerja dengan sadar, memakai anggota
ekonomi dan politik Rakyat yang ada dan diaku sah oleh Pemerintah buat
mendalamkan aksi, melainkan bekerja menambah iman. Tiba-tiba ia ketahuan oleh
pemerintah, dan kalau pemimpinnya di hukum berat, Rakyat tercengang, karena ia
memang tak tahu apa-apa.
Kalau kita mengatakan kita mesti kerja tertutup, maka maksud kita bukanlah
mesti meninggalkan pekerjaan yang praktis hari-hari dan kita lakukan kerja
tertutup itu ialah karena terpaksa, seperti sekarang kita sudah terpaksa
menutup sebagian dari pekerjaan. Bukan karena kita takut melainkan karena kita
tidak bodoh dan mau diprovokasi, yakni berkelahi sebelum siap betul. Pada masa
Afdeeling B tak ada hal yang penting yang menyebabkan anggotanya perlu
bersumpah gelap-gelap, karena S.I mempunyai pengaruh berjuta-juta. Kalau S.I
mempunyai pimpinan yang pantas atau ditolak maju berterang-terangan oleh
Pasukan S.I. sendiri, dan dalam S.I. sendiri, sebagai Linker-Vleugel atau Sayap
Kiri, maka 2 atau 3 biji Belanda, yang tersesak karena ada peperangan
(1914-1918) itu gampang dikirim ke pulau Merak.
Kalau kita Kaum Komunis terpaksa bekerja tertutup, maka kita mesti tetap
tinggal bersambung dengan Rakyat. Anggota kita mesti tinggal mengurus
anggota-anggota yang masih diaku Sah oleh yang berkuasa. Kalau Serikat Buruh
umpamanya tak diaku, maka kita lari ke koperasi, kalau inipun tak diakui kita
lari lagi ke Serikat Kematian, dan seterusnya, sampai "saat" kita
datang, yakni kalau seluruh Rakyat keluar bergerak. Bekerja dalam Organisasi
yang di aku sah oleh pemerintah itu perlunya bukan saja buat mengetahui stemming
atau suaranya Rakyat, tetapi juga buat mendidik pemimpin-pemimpin kita
berbicara dan mengatur Organisasi. Sehingga kalau Pemberontakan datang kita
tidak kekurangan Orator, yakni tukang pidato, Agitator dan Organisator yang
cakap, pemuka-pemuka mana perlu sekali buat merebut dan mempertahankan
Kemerdekaan ke dalam dan ke luar Negeri.
Partai Komunis berdiri atas Massa-Aksi, yakni Aksi beramai-ramai dan
Massa-Aksi ini bersamping kepada demonstrasi. Demonstrasi-politik, dijalankan
dengan tuntutan politik. Kalau yang menuntut cukup kuat dan gembira, maka
hak-politik itu boleh direbut dengan kekarasan.
Pada sesuatu demonstrasi, kontak atau Perhubungan dengan Rakyat (Buruh,
Tani, Tukang, Saudagar dan Student) haruslah teguh betul. Perhubungan itu baru
bisa teguh dan boleh dipercaya, kalau Pimpinan demonstrasi itu ada mempunyai
cukup wakil dari semua Kasta yang tersebut diatas. Suara semua Wakil Kasta itu
mesti didengar betul oleh urusan demonstrasi, kalau tidak demonstrasi itu bisa
terlandpur atau ketinggalan. Sebab di Italia dan Inggris umpamanya pada waktu
sesudah perang Partai kita, yang dikhianati oleh Sosial Demokrat itu tak cukup
mengadakan Wakil dari Serikat Buruh, jadi tak cukup mengadakan kontak dengan
Buruh, maka ia jadi kalah, Di kedua negeri itu kita sudah bisa merebut politik
negeri, sebab Buruh sudah luar biasa kegembiraannya (di Inggris 1-2 juta Buruh
Tambang 3 bulan mogok). Tetapi Partai Politik Komunis disana tak cukup mendapat
Suaranya Kaum Buruh itu, sebab tak cukup Wakil di dalam Partai.
Supaya demonstrasi di Indonesia berhasil, haruslah kelak di Sentral
Pimpinan Revolusioner diadakan Wakil dari semua Pulau dan semua Kasta di
Indonesia. Begitulah suara dari segenap pihak boleh di ukur dan kita tak mudah
ketinggalan seperti di Italia atau Inggris dulu itu dan tak pula mudah
terlanjur seperti pada Aksi bulan Maret di Jerman 1921.
Demonstrasi itu menuntut Pimpinan yang plastis dan Korban yang banyak.
Pimpinan mesti selalu tahu, apa demonstrasi mesti diperkencang lagi dengan
Pemogokan atau Boikot. Dalam masa itu Pimpinan, Surat Kabar, dan Perhubungan
surat menyurat mesti ditempat yang rahasia, yang tak bisa diketahui oleh musuh.
Sebelum demonstrasi keluar, haruslah dibicarakan lebih dahulu tempat
Demonstrator yang keluar dari semua penjuru kota atau desa mesti bertemu, apa
tuntutan yang penting buat masa itu, apa perspektif atau Hasil demonstrasi
kelak, kapan dan bagaimana mesti dibubarkan. Bersama-sama dengan beriburibu
dan berjuta-juta Demonstrator itu ada tersembunyi Pimpinan, sebagai Staff umum
atau Sidang Pimpinan, yang cukup mendapat kabar dari manamana dan pada
tiap-tiap saat bisa memberi perintah kepada pemimpin-pemimpin yang ditaruh
dipenjuru yang penting-penting, buat memimpin sekalian pasukan demonstrasi
tadi.
2.
Tentara Nasional.
Berapa susahnya mengadakan Organisasi yang tetap pada suatu jajahan seperti
Indonesia, sudahlah bisa dibuktikan oleh sejarah pergerakan Indonesia, sendiri
dalam kira-kira 17 tahun yang terakhir ini, Organisasi B.O cuma tergantung
diawang-awang saja, sama sekali tak mempunyai pengaruh diantara Rakyat. N.I.P
dan S.I yang diembus dengan "kebangsaan" dan "Agama"
sekarang sudah kosong karena pompa angin tak bisa kerja begitu lama. Organisasi
itu mesti berurat pada ekonomi dan Kasta, baru ia bisa tumbuh dengan tetap.
Tetapi kita mesti bilang terus terang, bahwa sampai sekarang pada partai kita
sendiripun belumlah jelas dan konsekuen, bahwa "Keadaan ekonomi dan
Keadaan Kasta di Indonesia" itulah yang menjadi kriteria atau ukuran dalam
pertimbangan kita buat mengadakan Organisasi. Di jajahan lain-lain seperti
Mesir, India d.s.g dimana ada Nasional Kapital yang kuat dan pergerakan
Nasionalisme yang revolusioner, maka dalam golongan Kaum Komunis sendiri adalah
timbul pertimbangan, apakah tidak baik, jangan mendirikan Partai Komunis
sendiri, melainkan memasuki Partai Nationalis yang revolusioner yang ada, dan
dari dalam, sebagai Linksche Vleogcl atau Sayap Kiri, menumpu pergerakan
Nasionalisme itu sampai ke Revolusi. Alasan pihak ini, yakni, dimana Buruh
diatur oleh Kaum Komunis berpisah dari Kaum Nasionalis, seperti sudah dilakukan
di Mesir dan India, disana pergerakan Nasionalis jadi mundur. Jadi kata pihak
ini, selama pergerakan Nasionalisme masih revolusioner, biarlah Buruh Industri,
yang menang pada tiap-tiap jajahan jadi pasukan muka pergerakan revolusioner,
diatur oleh Kaum Nasionalis, dan kita Komunis cuma menolong saja dari dalam dan
menjaga supaya pergerakan jangan jadi lembek. Maksud yang pertama toh, kata
pihak ini seterusnya melemparkan "imperialisme."
Disini tak tempatnya buat memeriksa pertimbangan ini lebih jauh. Tetapi
kita boleh mengambil pengajaran dari pertimbangan itu, bahwa pada satu jajahan
pergerakan nasionalisme itu buat melemparkan imperialisme satu faktor atau hal
yang sangat penting, yang tiada boleh kita putuskan dengan dogma atau
"kajian hapalan" saja.
Sebaliknya pula kita tidak boleh menunjuk ke bangkai S.I dan N.I.P dan
berkata : "Nah, kan perlu lagi dihidupkan bangkai bangkai ini."
N.I.P dan S.I mati karena ada mempunyai sebab yang dalam sekali, ialah
karena tak ada Nasional Kapital yang kuat di Indonesia, yang bisa memberi
inspirasi atau semangat buat mendirikan Program yang kokoh, Organisasi yang
teratur serta Taktik yang tetap, seperti di Mesir dan India. Oleh karena
pemimpin-pemimpin B.O, N.I.P, & S.I seperti Dauwes Dekker, Tjipto, Tjokro
Aminoto dan Salim terpaut oleh Kasta dan didikan mereka, ia tak pernah sampai
ke kasta Kaum Buruh. Mereka tak bisa mengerti, bahwa di Indonesia Kasta inilah
yang kuat karena geconcentreerd (terkonsentrasi) dan dari Kasta inilah bisa
datangnya inspirasi dan pimpinan buat merebut kemerdekaan.
Sebaliknya pula kita Komunis tak pula boleh memandang Indonesia sabagai
Negeri industri, seperti Jerman atau Inggris, dan memikir bahwa Kebangsaan dan
Agama dalam pertarungan kemerdekaan sama sekali tak ada artinya. Dan
berhubungan dengan hal ini cukuplah kalau di Indonesia kita adakan Satu Partai
Komunis saja.
Sikap inilah kira-kira yang dipeluk oleh pihak yang mau menghapuskan S.R
pada Konferensi bulan November 1924 di Yogya. Yang dijadikan alasan, ialah :
"Kaum borjuis kecil di Indonesia selalu kalah, juga dalam perjuangan
dengan imperialisme Belanda, yang tergambar pada B.O, N.I.P & S.I. Sebab
itu S.R yang juga kumpulan borjuis kecil tak akan bisa menang."
Demikianlah kira-kira isinya Referaat Hoofdbestir. Kalah atau menangnya
borjuis kecil di Indonesia buat kita pada masa ini perkara "puur
philosophisch" (filosofi murni) artinya perkara timbang menimbang dengan
tiada akan mendapat keputusan. Tetapi bukanlah kesimpulan atau putusan kalah
menangnya itu sekarang yang terpenting buat kita, melainkan akuan, yang tak
dibantah, malah terbawa oleh Referaat tadi sendiri, yakni Kaum borjuis kecil
masih selalu berkelahi, jadi masih revolusioner.
Inilah yang terpenting buat kita, dan hal ini memang apriori atau sudah
termasuk ke dalam pikiran. Kaum Borjuis Kecil, di mana-mana mau menjadi Borjuis
Besar atau Hartawan-Besar. Pada Zaman Bangsawan, Borjuis kecil Indonesia
terhambat oleh Raja dan Bangsawan kita, sebab itu ia acap berperang dengan
Bangsawan itu. Pada Zaman kita mereka terhambat oleh imperialisme Belanda,
sebab itu ia sekarang melawan imperialisme Belanda. Perlawanan ini sudah
terbawa oleh alam dan tak akan habis, selama keadaan kasta-kasta masih tetap.
Ringkasnya sekarang dalam himpitan imperialisme Belanda, borjuis kecil kita
yang kira-kira 70% banyaknya dan tak berapa bedanya tertindas dari Kaum Buruh
Industri akan tinggal revolusioner.
Berhubung dengan akuan diatas ini maka persoalan kita seharusnya, sebelum
imperialisme Belanda belum kalah, ialah:
Bagaimana kita mesti mengatur P.K.I. yang kuat sebagai Avant-Garde atau
Pasukan-Muka dari pergerakan revolusioner Indonesia ?
Bagaimana kita mesti menyusun Kaum Non-Proletar, sebagai Reserve atau
Pasukan Pembantu pergerakan revolusioner ?
Bagaimana kita mesti menarik Landstorm atau Laskar dalam waktu tersesak,
dari seluruh Rakyat Melarat ?
Bagaimana kita mesti mengadakan perhubungan antara P.K.I dan S. R. sebagai
Partai Non-Proletar ?
Inilah persoalan kemerdekaan di Indonesia. Kita mesti mengaku, bahwa
Non-Proletar saja tanpa Kaum Buruh susah mengalahkan Belanda. Sebaliknya pula
Kaum Buruh tanpa pertolongan 70% Non-Proletar tidak pula mudah akan menang.
Sedangkan di Jerman, dimana 75% dari penduduk negeri sama sekali buruh Industri
model baru, pada tahun 1923, yakni waktu yang terpenting sekali buat revolusi,
kita dengan segala daya upaja mendekati Kaum Borjuis Kecil. Juga di Rusia
kemerdekaan kita peroleh dan kita pertahankan dengan Kaum Tani besar kecil yang
banyaknya 80% itu, jadi dengan borjuis kecil juga.
Berhubungan dengan 4 persoalan yang diatas, maka kita sangka pertimbangan
buat mengadakan Satu Partai, yakni P.K.I saja buat seluruh Indonesia ada salah.
Kita pikir di kota besar-besar seperti Betawi, Semarang dan Surabaya pun
sekarang mesti dilakukan Partai Kembar, yakni P.K.I dan S.R. Dengan politik
Satu Partai, baik di seluruh Indonesia ataupun buat kota-kota besar, kita
pikir, pertama kita bisa tinggal kecil (sectarisme) atau kedua besar, seperti
perut kemasukan angin.
Kecil, karena sudah kita terangkan, bahwa Indonesia tidak negeri industri
betul melainkan landbouw-industri. Sudah pula kita perlihatkan, bahwa kota-kota
kita bukan pusatnya industri (kain, besi, mesin, kapal d.s.g). Penduduknya
kota-kota kita, terutama non-proletar, seperti tukang-tukang, dobi, saudagar
kecil-kecil seperti penjual cendol, satai d.s.g. atau Buruh Halus, seperti
guru-guru, jongos, clerk d.s.g. Yang buruh tulen di kota-kota kita masih sangat
sedikit, kalau diperbandingkan dengan jumlah penduduk. Lagi pula mereka bukan
buruh industri produktif yakni buruh yang mengadakan hasil (kain, besi, dll),
melainkan buruh pengangkut, seperti kereta, kapal dan tram, yang kecakapannya
juga kurang dari buruh industri betul. Tiadalah seperti di Berlin, London atau
New York, dimana, kalau tutup pabrik pukul satu berbunyi kita melihat sampai
1.000.000 Buruh Pabrik, yang muka, tangan dan pakaiannya berkilat-kilat dengan
minyak mesin, berduyun-duyun meninggalkan pabrik. Ini belum ada! Malah belum
seperti Bombay, dimana buruh kain saja terkumpul 150.000. Atau di Calcutta yang
mempunyai 300.000 buruh model baru, seperti buruh pelikan (tambang), kain,
mesin, kereta, kapal dll. Betul ada beratus ribu sudah terkumpul di perusahaan
gula, tetapi mereka itu buruh tani. Yang buruh pabriknya baru sedikit, dan
sebab disini ada pabrik gula, disana 50 KM lagi berdiri pabrik lagi, jadi sebab
sangat terpencar-pencar, maka kita susah pula mengatur mereka.
Ringkasnya betul buruh kita (kereta, kapal, gula, minyak d.s.g.) lebih kuat
dari non-proletar, karena mereka menjalankan perusahan negeri, tetapi kita
jangan overschatten (overestimate atau melebih-lebihkan), melebihi perhitungan
kekuatan kita. Kalau kita bersandar semata-mata pada buruh tulen dengan
mengadakan Satu Partai, serta menghilangkan S. R. maka Partai kita akan sangat
kecil.
Kalau ia dijadikan besar, maka terpaksa ia menarik jadi anggotanya
saudagar-saudagar cendol, nasi, rujak d. s. g. Inilah namanya verwatering
(mengencerkan), lebih santan dari pada air dan seperti SI akan segera jatuh
kegemukan saja. Tidak boleh tidak elemen borjuis kecil itu, kalau masuk Partai
Komunis, walaupun ia "menghapalkan" program kita, akan membawa
semangat dan wataknya borjuis kecil (adat, logika, dan sifatnya). Betul kursus
dan didikan bisa membangunkan semangat revolusioner, tetapi sebagai Marxis kita
mesti tahu "bahwa keadaan itulah yang menentukan semangat" atau de
materieele onderbouw bepaalt den geestelyken bovenbouw. Cuma kaum Utopis dan
Dogmatis yang percaya, bahwa dengan "menghapalkan" saja satu ilmu
bisa jadi orang bersifat baru. Betul bisa satu atau dua orang yang bukan
golongan buruh bisa menjadi Komunis, tetapi sebagai kasta, Kaum borjuis kecil
tak bisa dilompatkan menjadi Komunis Revolusioner. Dan sebab di Indonesia borjuis
kecil itu memang masih terpaut oleh semangat revolusioner (sebab belum pernah
menang) sebab itulah kita gampang menyangka, bahwa sebab dia revolusioner itu
ia Komunis. Inilah bahaya yang ada kalanya kelak bisa masuk ke dalam badan PKI
sendiri, yang bisa memecahkan diri dari dalam.
Bagaimana, kalau kita dirikan Satu Partai buat seluruh Indonesia dari kaum
Buruh, dan non-proletar kita susun dalam Serikat Buruh?
Serikat Buruh saja tak cukup buat mereka, karena mereka borjuis kecil di
negeri kita juga mempunyai cita-cita politik. Siapapun di kota-kota atau
desa-desa, apapun juga pekerjaannya ia mau merdeka sebagai bangsa. Jadi kita
harus mengadakan politik yang sepadan dengan kehendak mereka itu. Koperasi,
Serikat Buruh atau Serikat Tani tak mencukupi cita-cita politik, lebih-lebih
dari penduduk kota dan setengah kota.
Lagi pula, kalau kita mau mengadakan Serikat Buruh buat borjuis kecil di
kota besar-besar seperti Betawi, Semarang, Surabaya d.s.g. di kota-kota klas
dua seperti Sumedang, Pekalongan, Palembang, Banjarmasin d.s.g, berapa ribu
Serikat Buruh mesti kita bikin, buat mengikat saudagar kecil-kecil, jongos,
tukang penatu d.s.g, Ini dalam praktiknya mustahil!
Kita tidak saja di desa-desa dan kota-kota klas dua mesti mengadakan
Organisasi politik yang memenuhi cita-cita 70% dari penduduk kita, tetapi juga
di kotakota besar seperti Betawi dan Surabaya, dimana borjusi kecilah yang
terbanyak dan industri produktif sama sekali belum ada. Baru kalau Partai
Komunis bersamping dengan Organisasi, yang memeluk beribu-ribu anggota, yang
pada segenap waktu bisa dijalankan bersama-sama, baru kita bisa mengadakan aksi
politik umpamanya demonstrasi yang berarti. Walaupun kita cuma dua atau tiga
ribu, tetapi kalau kita dalam Aksi politik sebagai Avant-Garde dikelilingi oleh
beribu-ribu Proletar & Non-proletar sebagai reserve, dan disukai oleh
seluruh Rakyat yang tertindas sebagai Landstorm, kita bisa menang.
Berhubung dengan pertimbangan kita diatas, maka buat menjawab 4 pertanyaan
tadi buat Indonesia Organisasi yang berikutlah yang sepadan dengan keadaan kita
1. Diadakan Partai-Kembar (PKI & S. R.), pada pusat
ekonomi, politik dan Pergerakan, seperti di Betawi, Semarang, Surabaya,
Bandung, Padang dan Medan, pada pusat ekonomi (industri) seperti Cepu, Kediri,
Pelaju, Belitung, Pangkalan Brandan, Sawah-Lunto, Balik Papan d.s.g, pada pusat
politik, seperti Palembang, Kota-Raja d.s.g., pada pusat pergerakan, baik
kereta atau kapal, seperti lain yang sudah tersebut diatas juga Banjarmasin,
Makasar, Cilacap, Cirebon d.s.g. yakni menurut pertimbangan yang lain-lain
(seperti di Balik Papan sudah cukup PKI saja).
Anggota PKI terutama mesti dari Buruh industri, seperti dari bengkel, baik
kereta ataupun pelabuhan, Buruh Cetak, Pabrik gula, minyaktanah, tambang
arang, minyak d.s.g. Golongan inilah yang mesti jadi ruggegraat atau tulang
punggungnya P.K.I.
Kursus mesti dikencangkan, tetapi isinya mesti praktis dan berpadan dengan
keadaan dan aksi di Indonesia. Program dan Agitasi, dikencangkan betul, ialah
yang berhubungan dengan industri dan negeri. (Lihat Program Nasional!).
Kontribusi dipertinggi dan disiplin diperkeras. Dalam semua Aksi seperti
Pertemuan, Mogok dan demonstrasi anggota P.K.I mesti dimuka.
2. Diadakan S.R. saja, selainnya dari tempat yang
tersebut diatas (1) di seluruh Indonesia, di kota-kota klas dua, seperti
Sumedang, Magelang, Paja Kumbuh, Pontianak, di pelabuhan klas dua, di desa-desa
dan gunung-gunung sampai masuk ke dalam hutan seperti Puruk Tjau di Borneo. Tak
ada tempat yang boleh di lupakan.
Anggota S.R boleh dari sembarang kasta, asal mengakui dasar revolusioner,
yakni mau mengusir imperialisme Belanda (jadi berbeda dengan N.I.P, B.O &
S.I ). Student, saudagar, tukang, tani dan penjual ini atau itu, beragama
Islam, Kong Hu Tju atau Kristen; yang suka sama kebangsaan, agama atau
anarkisme, pendeknya semua yang benci kepada Tindasan Imperialisme bolehlah
berdiri di bawah bendera S. R.
Kursus haruslah berhubungan betul dengan "keadaan dan cita-cita
mereka. Perkara kemerdekaan sebagai Bangsa Nasional yang merdeka, perkara sewa
rumah, Pajak, pendidikan dan perkara yang lain, yang terasa betul oleh penduduk
kota tak boleh dilupakan. Dalam kesusahan hari-hari, baikpun dengan
pakrol-pakrol si Kecil di kota atau desa yang tak berhak apa-apa itu mesti
ditolong oleh S. R.
Kontribusi mesti serendah-rendahnya, karena maksud kita yang terutama,
supaya menarik mereka ke bawah pengaruh dan ke dalam aksi kita. Juga disiplin
tidak bisa begitu keras, karena hal ini sudah terbawa oleh watak mereka. Jadi
maksud kita yang terutama ialah mengumpulkan semua golongan yang tak senang
hati di bawah Imperialisme Belanda dan memimpin mereka dalam segala aksi.
3. Dengan Perantaraan P.K.I, kalau krisis ekonomi dan
politik datang kita bisa menarik terutama, segala Buruh industri yang ada, baik
yang sudah diatur dalam Serikat Buruh ataupun yang belum di atur. Dalam
Pemogokan atau demonstrasi PKI. akan memberi pimpinan yang langsung atas semua
golongan Kaum Buruh di Indonesia.
Dengan perantaraan S.R, semua penduduk kota, seperti klerk, tukang, penjual
ini atau itu, student d.s.g dan semua penduduk desa dan gunung akan menarik
dengan Tuntutan yang pantas ke dalam Aksi, seperti Boikot dan demonstrasi buat
melawan Krisis ekonomi atau politik dan merebut Kemerdekaan. Jadi P. K. I.
& S. R. keduanya mesti menjadi Organ atau Anggota buat seluruh Rakyat
Indonesia merebut Kemerdekaan.
Teranglah sudah maksud kita bahwa kedudukan P.K.I dan S.R bukan kedudukan
Bovenbouw (atas) dan Onderbouw (bawah), yang di kursus atau tak di kursus atau
tinggi berendah (memang kita dengan semua Rakyat melarat mau ke zaman
persamaan, bukan?), melainkan kedudukan dua kasta tertindas, tetapi berlainan
keperluan dan sifatnya, oleh sebab mana mereka harus di atur dalam dua pasukan.
Sebab Buruhlah yang terkumpul dan memegang perusahaan negeri yang terutama
serta non-proletar terpencar-pencar, maka dari buruhlah bisa datang Aksi yang
tetap, Ideal atau cita-cita yang tetap, Program yang tetap dan Senjata yang
tetap (Mogok). Berhubung dengan itulah ia di Indonesia bisa memberi Pimpinan
yang tetap revolusioner. S.R berdirinya bukanlah karena internasional (memang
ini dulu pelawan semangat N.I.P) atau karena tak beragama (memang ini
mengandung dan melawan semangat S.I) melainkan karena ia berdiri atas kasta
non-proletar yang bersifat revolusioner. Kasta dan semangat revolusioner itulah
yang menjadi kriteria atau ukuran di S.R, dengan tiada melanggar Agama atau
Kebangsaan, malah mufakat, kalau Agama dan Kebangsaan itu ada memperkuat
keyakinan dan semangat Revolusioner.
4. Karena Buruhlah kasta yang terkumpul, dan ialah yang
mempunyai senjata yang tertajam, yakni mogok, maka ialah pula yang mesti
memberi pimpinan politik buat merebut kemerdekaan Indonesia.
Walaupun Seksi atau Lokal diatur dengan Partai Kembar, tetapi Sentral tentu
mesti satu, supaya urusan, agitasi dan aksi bisa satu pula. Supaya semua
golongan di Indonesia bisa diperhatikan keperluannya, maka pada Sentral
Pimpinan Revolusioner di Betawi, seberapa boleh kelak mesti diadakan wakil dari
semua pulau, dan semua kasta yang terutama seperti Buruh, Student, Tani dan
Penduduk kota. Buat memperhatikan kepulauan Indonesia yang begitu besar
tentulah belum cukup 5 atau 6 orang duduk di Sentral Pimpinan.
Supaya agitasi buat seluruh Indonesia dirasa betul oleh semua golongan
haruslah Sentral Pimpinan Revolusioner, membedakan agitasi buat satu negeri
dengan yang lain (Jawa dengan Sumatera atau Celebes, Padang dengan Jambi); dan
satu golongan dengan golongan lain (Buruh dan Tani atau Student dengan Penduduk
kota). Berhubung dengan hal ini pekerjaan di Sentral pimpinan haruslah
dibagi-bagi (verdeling en specialiseeren van arbeid) (partisi dan spesialisi
kerja).
Supaya pimpinan tinggal revolusioner, jangan seperti S.I atau N.I.P,
haruslah baik di Sentral Pimpinan ataupun di Seksi atau Lokal, S.R yang
mayoritas atau terbanyak ialah pemimpin Komunis. Dengan jalan begitu, kita
menjaga supaya pergerakan Indonesia tinggal proletaris dan tak menjadi
oportunistis atau reformistis, yakni lembek seperti S. I. dan N. I. P.
Demikianlah Sentral Pimpinan Revolusioner di Indonesia, yang mengikat semua
Seksi P.K.I & S. R, semua Serikat Buruh, Koperasi, dan mengikat JOI dan
Rakyat-Scholen, yang menaruh semangat proletaris dan revolusioner, menunggu
datangnya saat, dimana ia dengan Massa-Aksi kelak akan merebut hak ekonomi dan
politik.
Oleh karena Massa-Aksi itu cuma bisa dijalankan dengan Massa, yakni
beramai-ramai, maka haruslah P.K.I yakni pemuka Kaum Buruh dan S.R yakni
pasukan Muka Kaum Non-Proletar menambah anggotanya dengan berlipat ganda. Kalau
S.I pada waktu baiknya bisa mengumpulkan sampai 1 atau 2 juta anggota (betul
belum seperti anggota sekarang), dan menurut laporan pemerintah sendiri sampai
5 atau 6 juta simpatisan, yakni yang mufakat dengan S.I, maka kalau Taktik,
Program dan Agitasi kita benar dalam waktu di muka ini sekurangnya kita mesti
dapat laskar buat PKI 10.000 dan buat S.R 500.000. Juga anggota dari Serikat
Buruh yang terutama seperti V.S.T.P, S.P.P.L, S.P.L.I dan S.G.B haruslah
berlipat ganda banyaknya. Di Jambi, Palembang, Banjarmasin, Aceh d.s.g mesti
ada koperasi-koperasi yang kuat. Demikianlah pula JOI harus memperbanyak
anggota dan Seksinya. Di Betawi, Semarang dan Surabaya bersamping dengan P.K.I
yang bisa mempunyai 1000-2000 anggota S.R bisa mendapat 10-20.000 anggota.
Kalau sudah bisa kita mengadakan Tentara Nasional sebesar ini tidak saja
Imperialisme Belanda segenap waktu bisa hancur, tetapi juga imperialisme Asing
tak akan gampang menentang Tentara yang sebesar itu.
V.
REVOLUSI.
1. Peperangan dan Revolusi.
Sebermula maka kemajuan Pergaulan itu diatur oleh hukum yang juga menguasai
seluruh alam (hewan dan tumbuh-tumbuhan), yang dinamai Hukum Evolusi dan
Revolusi. Kedua hukum ini sebetulnya satu, karena tak ada bedanya dalam sifat,
melainkan berbeda cepatnya bekerja.
Seperti suatu sungai harus mengalir ke lautan, demikianlah juga pergaulan
hidup kita ini menuju ke zaman persamaan, kesentosaan dan peradaban. Seperti
sungai itu mengalirnya di tempat yang datar dengan tenang, demikianlah
pergaulan hidup kita, kalau tak kuat kasta yang menghambat maju dengan sentosa.
Berhubung dengan itu, maka kekayaan, kepandaian dan peradaban maju dengan tiada
di rasa.
Tetapi seperti sungai yang terhambat majunya oleh gunung akan menebus
gunung itu, demikianlah pula Pergaulan Hidup, yang terhambat majunya oleh satu
Kasta atau Bangsa yang menindas, akan memecahkan Kasta dan Bangsa itu.
Baik dengan damai atau perkosa, Evolusi atau Revolusi Pergaulan Hidup kita
tetap maju.
Sebagian dari kemajuan itu terjadi dengan peperangan. Satu Bangsa memerangi
yang lain, dan menghimpit bangsa yang lain itu dengan alat senjata peperangan.
Kemudian, maka bangsa yang menang itu bertambah kaya, bertambah kuasa dan
bertambah pandai, sedangkan yang kalah bertambah miskin, serta bertambah bodoh.
Nietsche, seorang filsuf atau Pemikir Jerman, menjunjung tinggi Uebermensch,
atau Dewa dalam bukunya "Also Sprach Zarathustra" (Begitulah sabdanya
Nabi Zoroaster) dan dalam "Die Willie Zur Macht (Nafsu merebut Kekuasaan),
dimana ia menggambarkan dengan giat sifat-sifat yang perlu dipakai oleh seorang
panglima perang dan pembesar negeri. Buku-buku itu dibaca oleh Kasta Opsir di
Jerman di medan peperangan yang baru lalu ini dalam asap meriam dan hujan pelor
dengan segala keyakinan.
Nietsche, ialah Nabi-Imperialisme, yang menyangka, bahwa peradaban itu
mesti terbawa oleh kemenangan suatu bangsa atas bangsa yang lain. Inilah
filosofi imperialisme, yakni Kultur Paksaan, Peradaban Militerisme &
Peperangan, serta Peradaban bunuh membunuh sesama manusia dengan maksud hendak
menindas dan memeras bangsa yang lemah. Nietsche ialah Zenith atau puncak
Peradaban, yang tergambar oleh Arjuno, Iskandar Zulkarnain, Napoleon dan Wilhem
II.
Selamanya ada tindasan, selamanya itulah pula ada rasa kemerdekaan.
Cacingpun, yang diinjak bergerak kiri kanan, lebih-lebih manusia yang terinjak
itu akan berusaha melepaskan dirinya dari injakan itu. Si Bengis Nero,
menguatkan majunya Kaum Kristen. George III mengadakan Washington, yang
melepaskan Amerika dari tindasan Inggris. Tsarisme di Rusia mengadakan Bolshevisme.
Inggris di India melahirkan Pergerakan Boikot dan Swaray, demikianlah tak akan
putus putusnya.
Peperangan buat Kemerdekaan tiadalah untuk menindas bangsa lain, melainkan
buat melepaskan tindasan. Satria Kemerdekaan-Bangsa, tiadalah seorang Penindas,
seperti Caesar, Napoleon dan Wilhem II, melainkan manusia yang berhati suci,
berfikiran jernih dan yang setia kepada yang tertindas. Phoseon di Griek
L'Ouverture pemimpin budak Negro, Garibaldi di Italia dan Rizal di Filipina,
semuanya Satria, laksana gambaran Kemerdekan, Kesucian, Keberanian serta
Kecintaan hati. Laskar Kemerdekaan, walaupun biasanya miskin dan tiada
bersenjata, lebih kuat dari pada Laskar Imperialisme, karena dasar dan makudnya
lebih tinggi. Disiplin laskar Kemerdekaan tiadalah pula perbudakan, seperti
pada Laskar Imperialisme, melainkan kegiatan yang suci.
Tindasan feodalisme di Prancis, melahirkan pemikir baru, yang wujudnya mau
melepaskan tindisan satu kasta dari kasta yang lain.
Voltaire dan Rousseau, dengan pena yang maha tajam memecahkan Feodalisme
itu dan melahirkan fikiran baru, buat zaman yang baru pula, yakni:
"Kemerdekaan, Persamaan dan Persaudaraan."
Kaum Satria baru lahir pula, yakni buat menjalankan buah pena pemikir tadi.
Mirabeau, Madame Roland, Danton, Robespierre dan Marat, ialah satria zaman
baru, zaman mana kita masuki dengan banyak darah dan air mata mengalir. Satria
Prancis tadi belumlah insaf, bahwa Kemerdekaan, Persamaan dan Persaudaraan itu
sekarang diperkosa oleh Kapitalisme.
Pemikir baru mesti berdiri pula. Marx dan Engels, melahirkan pikiran dan
pertandingan baru: "Kaum Proletar seluruh dunia bersatulah" Tidak
lagi satu kasta dalam satu negeri, melainkan Kasta Hartawan diseluruh dunia
haruslah dihancurkan oleh Kasta Proletar seluruh dunia, supaya datang
Kemerdekaan dan Komunisme.
Lenin, Trotsky, dll sejawatnya di Rusia sudah memperlihatkan, bagaimana
besar kekuatan Kaum Proletar itu. Sekarang di seluruh dunia Kaum Proletar
sedang mengatur kekuatan buat perkelahian yang lama, sukar dan bengis itu.
Imperialisme boleh bersiap mengadakan kapal perang, meriam, kapal terbang,
kapal selam, bom dan gas beracun. Bangsa jajahan di Timur dan Kasta Buruh di
dunia boleh sementara dihisap dan ditindas, dan tiada apa kalau miskin dan tak
bersenjata. Bangsa jajahan dan kasta Proletar ada mempunyai senjata yang lebih
tajam dari pada peluru dan bom, yakni kerukunan.
Kalau Bangsa di jajahan dan Kaum Proletar mengerti, serukun dan mau, maka
tentara imperialisme itu akan pecah dari dalam sendirinya karena yang memegang
sekalian senjata itu ialah Kaum Proletar juga.
Inilah senjata kita Kaum Revolusioner yang terutama sekali: Otak, Pena dan
Mulut.
Serdadu Revolusi, ialah serdadu yang mengerti serta yakin, dan kalau
saatnya sudah sampai, maka dengan perkataan dan tangan saja ia bisa menjatuhkan
musuh berapapun besarnya.
Revolusi bukanlah peperangan imperialisme, yang dilakukan buat bunuh
membunuh dan rampas merampas. Revolusi ialah satu pertarungan lahir dan batin,
dimana satu Bangsa Tertindas atau Kasta Tertindas, melahirkan dan mengumpulkan sifat-sifat
manusia yang termulia untuk maksud yang tersuci.
2. Revolusi di Indonesia.
Objektifnya, yakni hal keadaan negeri di Indonesia sudahlah lama masak buat
Revolusi. Lepasan-Kerja (pemecatan - catatan editor) terjadi hari-hari, dan
tentara Kaum Buruh yang tak kerja (werkeloozen) belum pernah sebesar sekarang.
Gaji Kaum Buruh banyak dikurangkan, walaupun harga barang-barang masih tetap
tinggi. Pajak sudah lama melewati kekuatan Rakyat kita.
Walaupun ekonomi dan politik dalam krisis, tetapi Rakyat belum lagi matang
revolusioner, artinya itu belum sempurna siap dan bergerak sendirinya merebut
dan memegang urusan ekonomi dan politik Negeri. Kesadaran Rakyat kita dalam hal
politik, sungguhpun sangat cepat majunya, baru dalam permulaan, sebab itu masih
satu persoalan besar, apakah ia cukup kuat dan giat buat menentang musuh di
dalam dan di luar negeri (Inggris, Amerika dan Jepang) pada pertarungan yang
tentu hebat dan lama sekali. Rakyat Indonesia, yang belum pernah sedikitpun
mempunyai hak politik, karena, dari dulunya terhimpit oleh despotisme dan
imperialisme, tentulah tiada bisa dibangun kan dalam dua tiga tahun saja.
Perkumpulan politik kita mesti dilipat ganda banyak dan kualitas anggotanya
pada masa ini juga. Berhubung dengan itu agitasi mesti lebih dalam dari pada
yang sudah-sudah. Pun Serikat Buruh belum lagi cukup mempunyai banyak dan
kualitasnya anggota, buat merebut ekonomi dan politik Negeri dan kelak
menguruskan hasil dan pembagian hasil itu (produksi dan distribusi) serta
mempertahankan negeri terhadap musuh di dalam dan di luar negeri.
Wataknya kelak Revolusi di Indonesia bolehlah sekarang kira-kira kita
gambarkan. Tiadalah akan seperti di Marokko umpamanya, dimana ekonomi masih
sangat mundur sekali. Oleh sebab disana pencarian hidup teutama pertanian kecil
(bukanondernimingen) dan bergembala, maka tiadalah ada keberatan Abdul Karim
buat menarik Tani dan Gembala itu lari ke gununggunung, buat meneruskan
peperangan dengan Prancis dan Spanyol. Sebab negeri sangat besar dan penduduk
sangat sedikit (luas Marokko saja, yang terletak ditepi gurun Pasir itu ada 4
1/2 Jawa, tetapi penduduk cuma 1/6 dari Jawa, sehingga Jawa ada 27 kali serapat
Marokko dan kalau Jawa sekarang penduduknya serapat Marokko isinya tidak 36
juta melainkan 1 1/3 juta) dan pencarian hidup gampang sekali, maka perang
gerilya, yakni perang lari-larian bisa diteruskan bertahun-tahun. Tetapi Jawa
yang mempunyai isi negeri yang nomor satu rapatnya di dunia itu, dimana tak ada
tempat lagi buat berlindung seperti Abdul Karim, dimana industri sudah sampai
ke Trust dan Syndikaat, dimana hasil sama sekali tergantung pada pasar di luar
negeri, dimana tiap-tiap tahun mesti masuk beras seharga F.75.000.000, jadi
dimana ekonomi negeri sudah sama sekali berdasar kapitalistis dan
internasional, tentulah tak setahun bisa menjalankan Karim-isme atau Dipo
Negoro-isme. (Pada masa DipoNegoro penduduk Jawa baru 5 juta).
Oleh karena di India ada Kasta Hartawan bumi putera yang kuat, maka juga
pergerakan politik selamanya ini bisa nasionalistis tulen. Artinya
itu, cuma buat mengusir pemerintah Inggris dan mengisi pemerintah itu dengan
Wakil dari Hartawan bumi putera. hak Milik akan tinggal tetap, dan berhubung
dengan itu perusahaan yang besar-besar tiada akan jatuh di tangan Buruh
industri. Buat Rakyat Kemerdekaan di India itu tak akan berapa menambah hak
ekonomi dan politik. Dalam perkelahian menentang Imperialisme Inggris,
politiknya Kaum Nasionalis India semata-mata buat memakai Rakyat dan Buruh
sabagai serdadu buat maksud Kaum Hartawan. Oleh karena senjata mogok, buat
dilawankan kepada Inggris, juga berbahaya buat kapital nasional sendiri, maka
Ghandi melarang Kaum Buruh mogok. Senjata yang bisa dipakai oleh Kaum
Nasionalis di India ialah Boikot saja, karena boikot itu mengenai perusahaan
dan perniagaan Inggris dan membesarkan perusahaan dan oerniagaan Hartawan Bumi
Putera.
Tetapi di Indonesia senjata mogok itu bisa dipakai seluas-lusnya, karena
tak ada kapital nasional yang bisa dikenai. Mogok umum di Indonesia bisa dan
mesti disertai oleh demonstrasi umum, karena pergerakan politik kita bukan
untuk satu golongan kecil, yakni dari hartawan saja, melainkan untuk rakyat
melarat yang terbanyak itu. Rakyat Indonesia, kalau sudah merebut kekuasaan
politik, bisa mengubah nasibnya dengan lekas dan bisa menasionalisi sekalian
perusahaan yang besar-besar (kebon, pabrik, tambang, kereta, kapal, dan bank)
yang sekarang di tangan hartawan Belanda. Bersama dengan ini, maka kelak nasib
buruh dan Rakyat akan segera bisa menjadi baik.
Berhubung dengan hal diatas, maka Revolusi Indonesia kelak akan berbeda
betul dengan pemberontakan Marokko dan pergerakan di India (Non-Cooperation
clan Swaray). Revolusi Indonesia tiadalah akan semata-mata untuk menukar
kekuasaan Belanda dengan kuasaan bumi putera (Peperangan Kemerdekaan bangsa),
tetapi juga untuk menukar kekusaan hartawan Belanda dengan Buruh Indonesia
(putaran-sosial).
Jadi pergerakan kita sekarang, ialah nasionalis sosial, dan berpadanan
dengan itu perkakas bertarung ialah perkakas militer (Karim-isme) bercampur
dengan perkakas ekonomi dan politik, yakni mogok, boikot dan demonstrasi.
Mana kelak yang lebih kuat diantara perkakas militer dan perkakas ekonomi
dan politik itu, buat seluruh Indonesia, yang mempunyai pulau-pulau yang tiada
sama kemajuannya, tiadalah bisa kita putuskan dengan sepatah perkataan saja.
Di Jawa, sebagai sentral ekonomi Indonesia tentulah Karim-isme cuma
sebagian bisa dilakukan, yakni kalau perkakas mogok, boikot dan demonstrasi
sudah segenap waktu bisa dipakai. Artinya itu, kalau perkumpulan politik (P.K.I
& S.R) dan Serikat Buruh sudah siap betul. Sungguhpun begitu, Kaum Serdadu
tak sekejap boleh dilupakan. Karena, kalau kelak buruh dan Rakyat bisa merebut
semua kota-kota di pesisir, tetapi benteng-benteng Bandung, Ambarawa dan Malang
masih setia pada pemerintah, maka Belanda bisa lekas mendatangkan pertolongan
dari luar Indonesia (Negeri Belanda, Inggris dan Amerika). Seperti dulu
Spanyol, sesudah 3/4 di usir oleh Filipina, tiba-tiba menjual Filipina kepada
Amerika, begitu juga kelak Belanda, kalau sudah 3/4 terusir, akan mencari akal
busuk. Sebab itu benteng-benteng di Jawa, dimana kelak Belanda lari berlindung,
mesti kita persatukan dengan Rakyat merah. Dan kelak kita tak boleh menjatuhkan
palu terakhir dan menjalankan Karim-isme (kekuatan militer) sebelum kumpulan
politik dan buruh matang betul dan kaum serdadu mengerti betul akan maksud
kita.
Di luar Jawa, dimana industri masih mundur Karim-isme bisa dilakukan.
Tetapi kita mesti jaga lebih dahulu supaya Jawa sudah siap dengan senjatanya,
yakni mogok, boikot dan demonstrasi. Kalau belum siap dan Karim-isme diluar
Jawa dijalankan, maka pergerakan kita semacan itu akan sia-sia dan bisa lama
memundurkan aksi.
Meskipun begitu, kalau sekiranya Karim-isme itu di Sumatra, Borneo, Celebes
atau Ternate bisa dijalankan dengan lama dan kuat sekali, maka Belanda mesti
akan dapat kesusahan besar. Tentu ia segera akan memukul pergerakan politik dan
Serikat Buruh di Jawa, tetapi sebab ia terpaksa menaikkan pajak, semangat
revolusioner akan tetap naik di seluruh Indonesia.
Kita tahu, bahwa Anarkisme di mana-mana, sebab kapitalisme sudah sangat
teratur, tak bisa menang. Anarkisme di India sudah masyur bertahun-tahun,
tetapi tetap tinggal kalah. Di Mesir sangat memukul pergerakan yakni sebagai
provokasi, yang memberi senjata pada Inggris buat melarang sama sekail
pergerakan politik (sesudah pembunuhan Sir Lee Stac). Pergerakan Anarkisme
malah sangat mengacaukan dan melemahkan pergerakan Buruh di Jepang. Tetapi
walaupun kita sama sekali tak mempunyai pengharapan akan mendapat Kemerdekaan
Indonesia dengan jalan Anarkisme, berhubung dengan sikap pemerintah, Anarkisme
di Indonesia bisa timbul. Selama Rakyat masih bisa mendengar pembicaraan
nasibnya, protes dan maksud kita, selamanya itu mereka bisa ditahan sampai ke
Aksi Teratur. Tetapi kalau pemerintah menutup Kawah Pergerakan, maka api
revolusioner itu akan meletus di lain tempat: "Umpamanya gula akan habis
terbakar. jembatan akan runtuh, Lokomotif terguling dan Belanda terbunuh
dimana-mana." Bukan karena kemauan P.K.I, melainkan kemauan Rakyat yang
sudah putus asa, dan lari dari organisasi kita.
Walaupun pemberontakan Indonesia ada mengandung watak kebangsaan, tetapi,
sebab ekonominya Jawa dan sebagian dari Sumatra sudah sangat maju kapitalistis
dan internasional, maka Revolusi kita akan berwatak nasionalis-sosial, yakni
campuran pergerakan kebangsaan dan kekastaan.
Berhubung dengan wataknya Revolusi di Indonesia itu, maka walaupun
Karim-isme atau perang gerilya dan Anarkisme (sebab kapitalisme masih muda)
kelak menjadi "aanvulling" (tambahan - catatan editor) atau tempelan
dari pergerakan revolusioner, tetapi kemerdekaan Indonesia terletak terutama
pada massa aksi yang teratur: "mogok, boikot dan demonstrasi."
Walaupun berapa juga verleidelijk atau menggodanya Karim-isme dan Anarchisme
(lebih-lebih kalau reaksi mengamuk!) kita tidak boleh diprovokasi dan
menyimpang dari jalan yang betul, melainkan tetap mendidik sampai Rakyat bisa
memegang senjata Massa aksi yang maha tajam itu.
3. Taktik di Indonesia.
Dalam daya upaja memecahkan imperialisme Belanda ini tak perlu kita
berpusing kepada memikirkan Sosial Demokrasi, seperti Partai kita di Eropa dan
Amerika. Stokvis c.s di negeri kita tak berani berhubung dengan rakyat, seperti
juga di lain-lain negeri jajahan Kaum Sosial Democrat sama sekali jadi ekornya
imperialisme.
Cuma kita mesti menjaga, supaya di dalam partai kita, semangat kelembekan
Sosial Demokrat tak bisa masuk.
Taktik kita terhadap kepada revolusioner kebangsaan dan agama ialah menarik
mereka kedalam S.R Tiadalah ada salahnya, kalau kita kelak mengadaan
Nasional-Platform, yakni Barisan Revolusioner yang memeluk sekalian Partai
revolusioner besar kecil yang ada sekarang ini dan memimpin Barisan itu
menjatuhkan imperialisme Belanda.
Taktik kita ke dalam negeri, terutama menarik sekalian golongan yang tiada
bersenang hati di bawah Belanda. Kita mesti berusaha keras mengatur buruh dan
tani gula yang banyaknya barangkali lebih dari 1.000.000 itu. Buruh Kereta yang
80.000, buruh dan tani teh, kopi, coklat, jati, getah yang tentu tak kurang
dari 1.000.000 pula, buruh minyak tanah yang kira-kira 40.000, tambang arang,
emas, timah yang lebih dari 50.000 itu, buruh pelabuhan yang kira-kira 100.000
dan kuli kontrak yang 300.000 itu. Juga tiada boleh dilupakan Kaum Student yang
di sekalian jajahan jadi pasukan-muka pergerakan. Di Jambi, Palembang, Padang,
Banjarmasin bumi putera yang berada itu, perlu koperasi buat mempertahankan
diri terhadap kepada kapitalis besar. Penduduk kota nomor satu dan kota nomor
dua dan desa-desa harus semua ditarik ke dalam S.R. atau P.K.I. Disebabkan oleh
bermacam-macam hal, maka masih sangat sedikit dari semua golongan yang di atas
terikat oleh organisasi kita. Kita percaya, berapa pun besarnya reaksi dengan
segala kecakapan pada waktu di muka ini kita akan bisa melipat ganda anggota
P.K.I & S.R, Serikat Buruh, JOI d.s.g. Sedangkan Ternate suatu pulau kecil
saja ada kalanya bisa menarik anggota 13.000 dan berkontribusi beratus rupiah.
Kita sama sekali tak akan heran, kalau dijalankan betul, Jawa, Sumatra, Borneo,
Celebes, Ambon dan Bali besok atau lusa akan memeluk beratus ribu anggota, yang
bisa membayar cukup dan tetap.
Kalau kita tidak bisa mengadakan organisasi yang bisa memeluk sekalian
Kasta dan sekalian pulau terberai-berai itu, maka pekerjaan melemparkan
Imperialisme itu adalah satu percobaan yang sangat sia-sia. Belanda bisa lari
dari satu tempat ke tempat yang lain buat berlindung dan mencari kawan. Jawa
akan bisa di adu dengan Sumatra, Menado dan Ambon sama Rakyat Islam d.s.g.
Sebab itu taktik kita yang terpenting sekali ialah mempersatukan semua pulau
dan Kasta dengan Program Minimum, yang dirasa oleh semua penduduk Indonesia.
Kalau kita bisa mempersatukan seluruh Indonesia dan mengadakan disiplin
yang keras, barulah kita bisa memikirkan merebut kemerdekaan dan barulah bisa
mempertahankan kemerdekaan itu terhadap kepada Inggeris dan Amerika.
Inggris tentu tak suka Indonesia akan menang. Pusat armada di Singapura
(satu negeri di Indonesia juga), gunanya buat mempertahankan dan melebarkan
jajahan Inggris di Asia. Dalam waktu peperangan, maka Singapura mudah
diperhubungkan dengan Australia, India dan HongKong. Kalau di Indonesia pecah
revolusi, maka perhubungan dengan Australia akan terancam. Inilah hal yang bisa
dijadikan alasan oleh Inggris buat menolong Belanda dan memakai Volkenbond buat
membetulkan politik Inggris. Lagi pula berjuta-juta ada Kapital Inggris di
kebon getah, teh dan terutama di Minyak Tanah, sehingga Koninkelijke Petroleum
Maatschappij itu bolehlah dikatakan perusahaan Inggris. Akhirnya kemerdekaan
Indonesia akan sangat disukai oleh Tanah Malakka dan India dan dengan lekas
akan menggoncangkan seluruh jajahan Inggris, lebih berbahaya dari segala macam
pergerakan revolusioner di Eropa.
Kita tahu bahwa ketika Amerika memikir-mikir mau memberikan kemerdekaan
pada Filipina, yang sudah lama matang buat Zelfbestuur (managemen swadaya -
catatan editor) itu ia dapat tegoran dari Prancis, Inggris, Jepang dan Belanda.
Alasan negeri-negeri imperialis, itu akan menyebabkan semua jajahan akan lebih
keras menuntut kemerdekaannya dan akhirnya kekuasaan bangsa putih di Asia akan
jatuh. Sebab itu terhadap kepada kemerdekaan Indonesia semua Imperialis mesti
akan bersatu.
Walaupun Amerika menamai dirinya demokratis, buat kita tak kurang
bahayanya. Pada tahun yang sudah dia terpaksa membeli getah dari luar negeri
F.1.500.000.000. Harga ini F.1000.000.000 lebih mahal dari 2 tahun terlampau.
Sebabnya ialah karena Inggris yang menguasai 70%. dari semua getah di dunia
bisa dengan sekehendak hatinya menaikan harga itu, sehingga Amerika mesti
membayar berlipat ganda. Supaya ia lepas dari monopoli Inggris, maka Amerika
berdamai dengan Belanda. Boleh jadi pada waktu paling di muka ini berjuta-juta
modal Amerika akan masuk ke Indonesia buat menambah kebun getah.
Jadi ringkasnya Inggris dan Amerika (juga Jepang) semuanya cinta pada
Indonesia dan semuanya mau menduduki. Kalau kita merdeka, tetapi tak cukup
bersatu, maka seperti Tiongkok, kaum perampok itu akan mudah adu-mengadu kita
sama kita. Negeri kita akan cerai-berai, diperintahi atau dipengaruhi oleh
beberapa imperialis. Dengan segera kita yang tiada mempunyai armada ini, kalau
pikiran dan maksud tak satu akan hancur.
Sebaliknya kita tak boleh ngeri, asal mengerti, bahwa diantara satu
imperialis dan yang lainnya, yang semuanya mengancam kita itu ada pertentangan
keperluan. Politik kita kelak haruslah arif bijaksana mengenal pertentangan itu
sewaktu-waktu dan memperdalam pertentangan itu supaya satu sama lainnya si
perampok itu berkelahi dan kita terpelihara.
Kalau saatnya itu kelak sudah sampai, dan kita betul bersatu, maka nakoda
kapal kemerdekaan itu, wajiblah dengan segala keyakinan, keberanian, ketetapan
hati dan kepintaran menentang ribut topan di dalam dan di luar negeri, serta
awas akan batu karang yang tersembunyi yang setiap waktu bisa menghancurkan
kapal kemerdekaan itu.
4. Massa Aksi di Indonesia..
Apabila kira-kira 30 tahun yang lalu Bonifacio mendapat jawab dari Rizal,
bahwa Filipina tak bisa membuat Revolusi, karena tak mempunyai kapal dan bedil,
maka Bonifacio dengan marah berkata: "Bliksem (petus!). Dimana dia
baca?"
Dr. Jose Rizal, ialah seorang intelektual, yang dibuang oleh Spanyol ke
sebuah pulau kecil. Ketika Dr. Rizal akan ditembak, sesudah diadakan tuduhan
yang palsu, maka Bonifacio, yang memimpin Katipunan, yakni satu perkumpulan
rahasia, mengirim wakil dengan rahasia sekali menemui Dr. Rizal, meminta,
apakah ia mau lari dari penjara dan apakah ia mau memimpin Katipunan dalam
revolusi kepada Spanyol. Dr. Rizal menjawab seperti diatas. Mendengar jawab itu
Bonifacio menyindir dengan marah, bahwa tak ada buku sejarah, yang mengatakan,
bahwa bangsa yang miskin dan tertindas itu mesti lebih dahulu menyiapkan kapal
dan bedil buat revolusi.
Bonifacio ialah seorang Proletar tulen. Tetapi sebab sangat rajin belajar
sendiri, ia cukup mengetahui revolusi di Eropa dan Amerika. Oleh sebab
keberanian, kesucian serta ketetapan hati ia mendapat pengaruh dalam rahasia di
seluruh Filipina luar biasa sekali. Sudah lama ia bercerai dari La Liga
Filipina (Persatuan Filipina) yang didirikan oleh Dr. Rizal, karena perkumpulan
ini sudah terang kompromis dan lembek sekali. Tetapi sebab Rizal guru dari
Bonifacio dan tinggal diseganinya sebagai pemikir dan satria yang luar biasa,
ia sudi menyerahkan pimpinan Katipunan yang dibikinnya itu kepada Dr. Rizal.
Apabila akhirnya Dr. Rizal dengan tuduhan palsu ditembak, maka seluruh
rakyat Filipina meratap dan berniat membalas dendam. "Kalau Rizal seorang
yang begitu besar, sehingga sangat disegani oleh Profesor di Eropa, yang tiada
bersalah apa-apa ditembak lagi, siapakah yang bisa bekerja buat kemerdekaan
Filipina?" Inilah pertanyaan yang lahir dalam pikiran Bumi Putera lelaki
dan perempuan.
Sekaranglah datangnya saat buat Bonifacio akan memperlihatkan
kepercayaannya atas massa atau Rakyat Filipina. Di Balintawak dekat dalam
rahasia sekali Bonifacio mengumpulkan anggotanya dan dengan "bolo"
(pedang) sekerat saja mereka menyerang tentara Spanyol yang teratur dan kuat
itu. Beribu-ribu Rakyat mengikut panggilan Katipunan dengan bolo atau tanpa
bolo. Dalam beberapa pertemuan dengan serdadu Spanyol, Rakyat Filipina, yang
tak bersenjata itu merebut dengan tangan saja senapan serdadu Spanyol. Pada
tiap-tiap medan peperangan berpuluh dan beratus senapan direbut, sehingga
akhirnya cukup Rakyat mempunyai senjata api buat melawan Spanyol.
Tiada lama antaranya, maka bendera Rakyat yang karena miskinnya dibuat dari
kain robek-robek saja terkibar di sebagian besar dari kepulauan Filipina.
Hanyalah benteng Manila saja yang belum jatuh.
Banyak lagi contohnya massa aksi, yakni aksi Rakyat, kalau betul sudah
matang revolusioner, baik di Eropa ataupun Asia, walaupun tiada bersenjata
apa-apa bisa menundukan laskar yang teratur.
Umpamanya L'Ouverture, seorang budak Negro di Haiti (Amerika Tengah), yang
memimpin budak miskin pula, bisa menaklukan Inggris, Spanyol dan serdadu
Napoleon berikut-ikut. Di Revolusi Besar Prancis (1789) Rakyat yang paling
miskin dan kurus kelaparan itu, sesudah kena propaganda revolusioner
bertahun-tahun, akhirnya dengan tangan dan batu juga mengalahkan Laskar Raja
dan Bangsawannya. Juga buruh di Rusia, yang miskin itu, baik pada revolusi 1905
ataupun 1917, tiada lebih dahulu memesan "kapal terbang" sebelum ia
menyerang tentara Kaum Hartawan dan bangsawan di Rusia.
Senjatanya Rakyat yang betul revolusioner itu, hanyalah pena, mulut dan
tangan saja. Kalau semangat revolusioner sudah betul menjadi darah daging
Rakyat melarat, maka semua kepandaian dan senjata itu akan timbul sendirinya.
Senapan bisa direbut dengan tangan dan juga seperti di Filipina tukang rumput
bisa jadi jenderal. Inilah kemuliaan Revolusi dan kesucian si Revolusioner.
Kita diatas mengambil contoh terutama dari Filipina, sebab penduduknya lebih
dekat kepada kita dari penduduk negeri lain.
Orang tak bisa bantah, "O, ya, mereka tinggal di negeri sejuk sebab
itu kuat." Atau "mereka berkulit putih atau berasal ini atau
itu." Rakyat Filipina juga bangsa Melayu dan diamnya juga di Khatulistiwa.
Sebaliknya, walaupun sifat dan asal kita bersamaan, dalam hal lain-lain
Rakyat Filipina lebih dalam kecelakaan dari pada kita.
Ketika mereka memberontak kepada Spanyol dan kemudian kepada Amerika, serta
3 tahun mendirikan Republik, jumlah jiwa cuma 8 juta. Spanyol kira kira 25
juta, dan satu imperialisme terbesar di dunia seperti Inggris. Amerika yang
50.000 terbunuh oleh bolo itu terkaya, dan mempunyai 100.000.000 jiwa.
Sedangkan Indonesia sekarang mempunyai 55.000.000 jiwa, dan menentang Belanda
yang cuma 6 1/2 juta saja.
Kita sekarang ada mempunyai perkakas mogok, tetapi Rakyat Filipina, sebab
waktu revolusi industri belum maju, terpaksa langsung bertanding di medan
peperangan, yang menuntut korban 100.000 jiwa mereka.
Kita lebih besar membayar pajak dari Filipina di bawah Spanyol, yang
sekarang lebih besar dari bangsa apapun juga di dunia.
Kita masih bisa dan tetap akan bisa menaburkan benih revolusi, karena kita
cukup mempunyai propagandisten dan surat kabar yang dibantu oleh kereta dan
kapal. Sedangkan di Filipina Rizal yang memimpin La Liga Filipina yang sejinak
B.O itu ditembak, dan propaganda terutama harus dijalankan dari luar negeri,
Banifacio harus menjalankan propagandanya di Filipina dengan sangat rahasia
sekali serta dengan kaki atau sampan kecil saja. Buku-buku dan surat kabar
revolusioner, karangan Rizal, Del Pilar, d.s.g. yang dimasukan dengan rahasia
sekali dari Spanyol, Hong-Kong dan Singapore, dibacakan oleh pasukan bacaan,
yang membacakan pada Rakyat yang tak pandai membaca itu dalam rahasia sekali,
karena pemerintah menghukum dan menyiksa keras si pembaca atau si punya buku
dan surat kabar itu.
Walaupun Rakyat Filipina lebih dalam kecelakaan dari pada kita, ia toh bisa
dan berani menentang Spanyol dan Amerika lamanya 3 tahun dan acap kali
mengalahkan tentara kedua negeri yang sangat teratur itu.
Kita satu menitpun tak ada syak (keraguan) dan waham (ketidakpercayaan),
bahwa kalau Rakyat Indonesia cukup sadar dalam hal politik (politik bewust) dan
sudah tunggang mau merebut haknya baik ekonomi ataupun politik, juga dengan
tangan dan batu saja bisa mengusir Belanda yang dua tiga biji itu dan menolak
semua musuh dari luar negeri.
Disini tiada tempatnya buat membicarakan perkakas kita yang baik kita
pakai, kalau Mogok dan demonstrasi kelak sudah melewati batas perdamaian dan
sampai sendirinya ke tingkat perkelahian senjata. Memang kita di negeri semacam
Indonesia cukup menyimpan senjata, yang segera akan kelihatan, apabila Rakyat
yang 55.000.000 juta itu betul-betul sadar politik dan sama sekali keputusan
jalan damai. Ringkasnya, kalau semuanya Buruh, Tani, Saudagar, Student,
Penduduk kota, Jongos, Shauffeur, Serdadu, Matros, Tukang Cukur, Koki
d.s.g mau merebut kemerdekaan dan rela mengorbankan jiwa seperti Rakyat
Filipina tempo hari, maka kemerdekaan kita letaknya di ujung pena saja:
"Besok Republik Indonesia bisa ditabalkan (diproklamasikan)."
5. Rapat Rakyat Indonesia.
Saat kita buat Massa Aksi itu sewaktu-waktu bisa datang. Krisis ekonomi dan
politik yang sekarang sudah begitu dalam akan bertambah dalam lagi, kalau
umpamanya datang bahaya kelaparan dan bahaya penyakit. Juga sikap reaksioner
dari pemerintah sekarang ini sangat memperdalam permusuhan antara Belanda dan
Rakyat.
Kalau Rakyat sempurna sadar akan haknya sebagai manusia, maka semua
pembuangan dan tutupan yang sewenang-wenang itu kelak segera akan dibalas oleh
Rakyat sendirinya. Kalau umpamanya Pimpinan melarang perbuatan semacam itu,
maka Pimpinan itu sendiri akan dilemparkan oleh Rakyat dan akan diganti oleh
Rakyat sendiri dengan pimpinan baru.
Kalau pemerintah melarang membuat pertemuan, demonstrasi & mogok, maka
ia tiada akan memperdulikan perintah itu lagi, melainkan terus keluar
memperlihatkan tiada senangnya dengan peraturan yang ada.
Kalau pemerintah mengirim Polisi dan Serdadu, maka Rakyat yang betul betul
sadar itu sendirinya akan mendekati Serdadu dan Polisi itu. Kalau mereka itu
tak mau memihak kepada Rakyat, maka Rakyat akan mengadakan Pasukan-Merah
sendiri, mencari senjata sendiri dan bekerja sendiri buat mempertahankan Mogok,
Pertemuan, dan demonstrasi.
Kalau Pemerintah terus memakai "Tangan Besi" dan tiada menimbang
permintaan Rakyat (yang mengisi perutnya hamba-hamba Pemerintah itu), tetapi
Rakyat belum berani melawan berterang-terangan, maka ia akan sendirinya
berjalan gelap-gelap. Seperti di Mesir, India dan Irlandia juga di Indonesia
akan kejadian sabotase, racun-meracun dan bunuh-membunuh dengan rahasia sekali.
Semangat revolusi itu, kalau sudah menjadi darah daging Rakyat melarat
tiadalah bisa dibunuh dengan hukum atau peluru lagi. Kalau semangat revolusi
itu sudah masuk di semua kasta dan sekalian pulau, maka datanglah saatnya buat
memanggil Rapat Rakyat Indonesia.
Proletar, Tani, Student, Saudagar dan Serdadu haruslah dengan atau tanpa
izin Pemerintah, memilih dan mengirimkan Wakil ke suatu tempat di Indonesia
buat Rapat atau Pertemuan.
Rapat Rakyat ini akan membuat Hukum untuk Rakyat Indonesia, dan kalau
pemerintah Belanda tak suka menjalankan atau mengaku hukum itu dan tak suka
pergi (sudah tentu is tak suka!!), maka Rapat Rakyat itu mesti sendirinya
menjalankan. Kalau Pemerintah mengirim laskarnya, maka Rakyat mesti sudah bisa
menjawab kiriman pemerintah itu dengan sepatutnya (baik dengan propaganda dalam
laskar itu sendiri, baikpun dengan Tentara Merah).
Memanggil Rapat Rakyat itu artinya mengirim ultimatum atau menentang
Pemerintah sekarang, yang kita sudah yakin tak bisa mengurus terus ekonomi dan
politik negeri dan tak disukai lagi oleh Rakyat. Panggilan kita itu haruslah
dikeraskan oleh kemauan dan perbuatan Rakyat, yang sudah terbukti pada Mogok
Umum dan demonstrasi, yang tak memperdulikan korban lagi dan dimana seluruh
Rakyat melarat memperlihatkan ketetapan hati dan kegiatan. Dalam hal ini Rapat
Rakyat itu, seolah-olah mahkotanya aksi kita dalam politik.
Tentulah Rapat Rakyat itu baru bisa dipanggil kalau sudah lahir alamat dan
tanda-tanda, bahwa Rakyat melarat sudah matang revolusioner::
"Umpamanya kalau mogok, pertemuan dan demonstrasi, walaupun dilarang
bisa diteruskan (tentulah kalau pimpinan merasa perlu...). Kalau tuntutan
ekonomi dan politik dalam mogok dan demonstrasi sudah kelihatan terasa dan
termakan betul oleh seluruh Rakyat. Misalnya buruh tetap menuntut tambah gaji,
sebagian dari untung, merdeka bergerak, dan disana sini sudah mendirikan dewan
buruh atau rapat buruh buat menguruskan hasil serta sudah merebut pabrik atau
kebun terutama di SOLO-VALLEY, atau Daerah Kali Solo, yakni pusatnya ekonomi
Indonesia. Kalau berhari dan berbulan (seperti di Mesir, India, Tiongkok,
Jerman dan Rusia) Rakyat Indonesia berdemonstrasi menuntut di hapuskan pajak,
menuntut Algemeen Kiesrech (hak umum untuk memilih - catatan editor),
Rapat-Rakyat, Kemerdekaan dan tuntutan politik dll. Kalau Rakyat yang 55 juta
itu, lebih suka mati dari pada hidup seperti budak dan ketawa melihat kuda dan
karet polisi. Kalau bui dibongkar dan pemimpin dikeluarkan. Kalau buruh kereta
dan kapal mungkir membawa pemimpinnya ke tempat buangan. Kalau kaum serdadu
mungkir menindas pergerakan dan mungkir menembak Rakyat yang tak bersenjata dan
tak bersalah itu. Kalau Belanda tidur dengan pistol di tangannya, dan tak
berani makan, kalau makanannya tidak diperiksa oleh dokter lebih
dahulu..."
Inilah semuanya tanda dan alamat, bahwa semangat revolusi itu sudah berurat
dalam dan menjalar kemana-mana, serta tiada bisa diobat lagi, kecuali dengan
kemerdekaan.
Barulah datang saatnya buat pimpinan revolusioner itu menimbang kekuatan
kawan dan lawan, mengumpulkan Tentara Nasional dan mengerahkan tentara itu
terhadap kepada musuh di dalam dan di luar negeri.
Sebelumnya saat buat bertanding habis-habisan itu datang, maka pekerjaan
kita yang terutama terus: "Pertama Agitasi, kedua Agitasi dan ketiga
Agitasi."
Kalau Bonifacio, seorang proletar tulen, dengan jiwa selalu terancam dan
dimana perkakas buat propaganda dan agitasi belum secukup di Indonesia bisa
mengadakan Nasional Organisasi pada beratus-ratus kepulauan Filipina, maka kita
di Indonesia Selatan dengan jiwa 55 juta dan perkakas lahir batin lebih dari
cukup, tak boleh lekas putus asa dan tak boleh lekas menyimpang dari jalan yang
betul.
Kita, sebagai Kaum Marxis, mesti tinggal bersandar pada keperluan, kemauan
dan kekuatan massa, yakni Rakyat melarat dan kalau mereka belum
masak-revolusioner dan belum siap menentang musuh dalam dan luar negeri yang
sangat teratur itu, maka kita tak boleh diprovokasi oleh musuh, yakni tertipu
bertarung pada tempat dan saat yang tidak kita kehendaki.
Semua pemberontakan Indonesia, kalau Rakyat belum matang revolusioner akan
sia-sia belaka. Semua macam "putch" (pemberontakan tiba-tiba dari
satu golongan kecil) harus kita singkiri dan musuhi. Kalau pemberontakan
semacam itu sekiranya menang, maka Indonesia merdeka itu akan segera jatuh di
tangan seorang militer. Dalam hal ini tiadalah politik dan rakyat yang berkuasa
melainkan tangan besi seorang Militer. Hal ini terjadi di Tiongkok pada tahun
1911, dimana kekuasaan politik segera lepas dari Dr. Sun Yat Sen dan jatuh di
tangan Yuan Shi Kai & Co.
Aksi ekonomi dan politik yang menempuh Rapat Rakyat itulah buat kita jalan
yang tentu dan sentosa buat merebut kemerdekaan, menjatuhkan segala kekuasaan
negeri pada Kaum politik, dan menghindarkan diktaturnya dan tindasan Kaum
Militer dari bangsa Indonesia sendiri.
6. Revolusioner Komunis.
Pada suatu negeri yang banyak mengandung sisa feodalisme, serta bibit
kapitalisme, seperti Indonesia, sangatlah susah sekali buat menjadi komunis.
Sisa feodalisme membawa agama dan politik, yang walaupun bisa revolusioner
(seperti Dipo Negoro) tetapi sifatnya feodalistis. Demikianlah B.O & N.I.P
yang percaya, bahwa Kerajaan cara Majapahit bisa dibangunkan lagi atau S.I yang
dulunya percaya, bahwa Kerajaan Islam dan Kalifatullah yakni peraturan
feodalisme akan bisa dibangunkan lagi.
Kapitalisme jajahan yang masih muda di negeri kita itu, mengandung
bermacam-macam bibit pula. Ada yang bersifat kapitalistis, seperti juga terbawa
oleh 3 partai yang tersebut diatas tadi, yang menghendaki modal Indonesia.
Buruhnya yang masih muda itu ada pula mengandung anarkisme, yakni paham borjuis
kecil yang dikalahkan oleh Modal-Besar. Demikianlah Anarkis di Eropa, yang
hidup pada zaman yang lalu seperti Waffling, Proudon, Bakunin d.s.g mewakili
kasta borjuis kecil atau kasta buruh yang kemarinnya borjuis kecil. Sebab
borjuis kecil itu individualis (berdiri sendiri), karena ia si berpunya kecil,
maka perkakasnya bertarung juga individualistis (memakai bom) dan tak tahu
bersama-sama.
Tetapi buruh industri model baru, yang selalu kerja bersama-sama dan
berdisiplin (karena kapitalisme memaksa begitu), membawa wataknya bersama itu
menentang kapitalisme. Sebab itulah pada buruh industri, dan cuma pada buruh
industri saja terbawa "kerja bersama" dan "bertarung
bersama" dan dengan didikan lekas bisa hilang individualisme. Makin maju
kapitalisme makin hilang anakisme (seperti Inggris dan Jerman) dan makin maju
"kerja bersama" dan "aksi Bersama."
Jadi revolusioner agama, feodalistis, revolusioner hartawan dan anarkistis
cuma perkara yang lalu, yang besok kalau industri maju, akan hilang seperti abu
ditiup angin, dan berganti dengan revolusioner komunis.
Dasarnya revolusioner komunis, tiadalah perasaan, seperti pada revolusioner
yang lain-lain tadi, melainkan pengetahuan. Adanya revolusi kita percaya,
karena perbantahan kasta. Di Indonesia karena kasta modal Belanda tak bisa
kompromi dengan Rakyat Indonesia. Datangnya revolusi tidak tiba-tiba jatuh dari
langit, melainkan kalau Krisis ekonomi dan politik sudah cukup dalam dan Rakyat
sudah cukup sadar. Revolusi itu bisa berhasil, kalau banyak dan kualitas
anggota, dan pengaruhnya partai kita sudah mencukupi.
Kalau keadaan ekonomi dan politik sudah cukup matang-revolusioner, tetapi
Rakyat dan Partai kita belum siap, maka kita komunis mesti bisa menahan
perasaan kita sebagai individu, menyingkiri segala percobaan avonturisme atau
sia-sia dan menunggu bertarung sampai Rakyat dan Partai kita siap. Tiadalah
sekejap kita boleh ditarik perasaan, melainkan tetap berdiri atas pengetahuan.
Tentu kita menjunjung tinggi keberanian Partai kita, kalau disana atau sini
didorong oleh musuh.
Imperialis putih ialah, politik Amerika semacam itu akan atau Bangsawan
yang berarti banyaknya dan kekayaannya tetapi tidak seperti individu, melainkan
bersama dengan Massa dan buat Rakyat Melarat itu pula. Aksi dan keberanian
individual buat kita sangat sedikit harganya.
Kalau keadaan ekonomi & politik umpamanya sementara berubah baik, dan
Rakyat jadi sementara lembek, maka kita tak boleh jadi refomis, seperti Sosial
Demokrat atau jadi mata gelap seperti anarkis, melainkan tetap meneruskan Aksi
revolusioner yang sepadan dengan keadaan. Kita tahu, bahwa Kapitalisme tak bisa
mengatur negeri dan besoknya krisis mesti datang lagi.
Strategi kita tiadalah bersandar atas perasaan, seperti kebangsaan atau
keberanian sebagai individu (melemparkan bom), melainkan bersandar pada
pengetahuan tentangan ekonomi & politik Negeri dan pengetahuan yang dalam sekali
atas psikologi atau tabiat Rakyat kita, tabiat mana turun naik sepadan dengan
keadaan ekonomi. Bagaimana keadaan industri, pertanian dan perniagaan serta
sikapnya imperialisme Belanda haruslah kita ketahui betul, karena keadaan
inilah yang menurun naikkan semangat revolusionernya seluruh Rakyat melarat.
Kalau krisis dalam, rakyat melarat matang revolusioner. Partai kita
sempurna mempunyai kekuatan, disiplin dan pengaruh, serta musuh di dalam dan di
luar negeri kebingungan, maka barulah General Staff kita mengumpulkan segala
kekuatan yang ada dan mengorbankan tenaga dan jiwa buat kemerdekaan sebagai
bangsa dan sebagai kasta..
Hai Rakyat Melarat !!
Berapa lamakah lagi kamu mau menderita injakan dan tindasan semacam ini?
Tiadakah kamu tahu bahwa sangat besar kekuatan mu yang tersembunyi? Tiadakah
kamu insaf, bahwa kerukunanmu artinya kemerdekaan buat kamu dan keturunanmu?
Beranikah kamu terus hidup dalam perbudakan dan menyarankan anak cucumu juga
jadi budak ?
Hai Kawan-Kawan Separtai !!
Ketahuilah, bahwa Rakyat kita, yang beribu tahun diajar jongkok, yang belum
pernah mempunyai hak sebagai manusia itu tak mudah dididik. Janganlah kamu
putus asa, kalau daya upayamu tidak lekas memperlihatkan hasil yang nyata.
Teruskan pekerjaanmu yang maha-mulia itu, di tengah-tengah ratap tangis Rakyat
melarat. Teruskan pekerjaanmu, walaupun bui, buangan, tonggak gantungan selalu
mengancam. Ketahuilah, bahwa didikan itulah yang sangat ditakuti oleh musuh
kita. Karena tak ada bangsa atau kasta yang mengerti di dunia ini yang rela
ditindas dan dihisap...
Kawan-Kawan !!!
Janganlah segan belajar dan membaca! Pengetahuan itulah perkakasnya Kaum
Hartawan menindas kamu. Dengan pengetahuan itulah kelak kamu bisa merebut hakmu
dan hak Rakyat. Tuntutlah pelajaran dan asahlah otakmu dimana juga, dalam
pekerjaanmu, dalam bui ataupun buangan! Janganlah kamu sangka, bahwa kamu sudah
cukup pandai dan takabur mengira sudah kelebihan kepandaian buat memimpin dan
menyelamatkan 55 juta manusia, yang beribu-ribu tahun terhimpit itu. Insaflah bahwa
pengetahuan itu kekuasaan. Ada kalanya kelak dari kamu, Rakyat melarat itu akan
menuntut segala macam pengetahuan, seperti dari satu perigi yang tak boleh
kering. Bersiaplah !!
Kalau saatnya datang, berdirilah tegak di tengah-tengah Rakyat, menentang peluru
dan bayonetnya musuh. Jangan dilupakan ideal kita komunis: "Menang atau
mati dalam Massa Aksi."
Di tanganmu tergenggam Kemerdekaan-Indonesia, yakni Kekapaan, Keselamatan,
Kepandaian dan Peradaban...
Kamu Kaum Revolusioner !!
Kelak Rakyat keturunanmu dan Angin Kemerdekaan akan berbisik-bisik dengan
bunga-bungaan di atas kuburanmu: "Disini bersemayam Semangat
Revolusioner"
Tokyo, Januari 1926.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar