BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bioteknologi adalah cabang ilmu yang mempelajari
pemanfaatan makhluk hidup maupun produk makhluk hidup seperti enzim dalam
proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa. Biteknologi secara
sederhana sudah dikenal sejak dahulu kala, dibidang peternakan adalah pemuliaan
dan reproduksi hewan. Dewasa ini bioteknologi berkembang dengan pesat terutama
di negara maju. Kemajuan ini ditandai dengan adaya rekayasa genetika, kultur
jaringan, DNA rekombinan, kloning dan pembuatan semen beku IB dengan tujuan
menghasilkan ternak dengan produk yang berkualitas.
Teknologi Inseminasi Buatan (IB) merupakan teknologi yang
sering digunakandalam oleh para peternak untuk memperbanyak ternak tanpa
menggunakan pejantan langsung. Teknik ini adalah dengan mendeposisikan semen yang
berisi spermatozoa kedalam alat reproduksi betina sehingga akan terjadi
fertilisasi antara spermatozoa dengansel telur yang ada dalam alat reproduksi
betina dan menghasilkan kebuntingan. Faktor utama yang mempengaruhi
keberhasilan IB ialah mutu semen beku. Oleh sebab itu untuk terjaminnya mutu
semen beku sapi yang beredar, perlu ditetapkan standar semen beku sapi. Mutu
semen beku sapi yang memenuhi standar harus didukung oleh penanganan yang baik
dan benar agar mutu semen beku sapi dapat dipertahankan hingga siap untuk
diinseminasikan. Kualitas semen yang digunakan untuk inseminasi buatan harus
memenuhi persyaratan evaluasi semen. Persyaratan tersebut seperti volume,
warna, pH, konsistensi, motilitas, konsentrasi, dan morfologi sperma untuk
mempertahankan kualitas semen dan pengujian tentang semen beku. Pengujian semen
beku meliputi uji motilitas, abnormalitas, life and dead, membran plasma
utuh.
Keberhasilan IB juga dipengaruhi oleh reproduksi ternak
betina dan keterampilan petugasnya, ketepatan dan pelaporan deteksi berahi,
serta pemeliharaan ternak betina. Ketepatan pengamatan terhadap fase estrus
perlu diamati secara khusus. Fase estrus biasanya hanya berlangsung dalam waktu
singkat, oleh karenanya pemahaman mengenai siklus estrus pada suatu hewan perlu
dilakukan melalui pengamatan yang cermat selama waktu tertentu. Sapi memiliki
siklus yang mudah diamati, daur estrusnya terdiri dari lima fase yaitu
proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus.
Fase-fase ini mudah dikenal dengan mengamati sel-sel penyusun vagina
yaitu mukosa vagina, untuk mempelajarinya maka diadakanya mata kuliah
bioteknologi yang disertai praktikum agar mempermudah pemahaman.
B. Tujuan
Praktikum
Tujuan praktikum Bioteknologi Peternakan adalah :
1. Agar mahasiswa
dapat mengetahui evaluasi semen beku pada ternak.
2. Agar mahasiswa
dapat mengetahui cara mengetahui motilitas, abnormalitas, life and dead dan
vaginal smear.
3. Agar mahasiswa
dapat mengetahui cara thawing yang benar.
4. Agar mahasiswa
dapat mengidentifikasi fase estrus pada ternak betina.
C. Manfaat
Praktikum
Manfaat praktikum Bioteknologi Peternakan adalah :
1. Mahasiswa
dapat mengetahui evaluasi semen beku pada ternak.
2. Mahasiswa
dapat mengetahui cara mengetahui motilitas, abnormalitas, life and dead dan
vaginal smear.
3. Mahasiswa
dapat mengetahui cara thawing yang benar.
4. Mahasiswa
dapat mengidentifikasi fase estrus pada ternak betina.
BAB II. TINJAUAN
PUSTAKA
A. Spermatozoa
Spermatozoa
adalah sel gamet jantan yang merupakan sel yang sangat terdeferensiasi, satu-satunya
sel yang memilki jumlah sitoplasma yang terperas dan nyaris habis. Strukturnya
sangat khusus untuk mengakomodasikan fungsinya. Fungsi spermatozoa ada dua,
yaitu mengantarkan material genetis jantan ke betina dan fungsi kedua adalah
mengaktifkan program perkembangan telur. Analisa sperma merupakan salah
satu pemeriksaan awal yang dilakukan pada kasus infertilitas (susah dapat
anak). Saat dilakukan analisa pada sperma terdapat 2 hal yang perlu diperiksa :
volume, waktu mencairnya, jumlah sel sperma per mililiter, gerakan sperma, PH,
jumlah sel darah putih dan kadar fruktosanya (gula). Hasil anlisa sperma bisa
menetukan apakah : ada masalah reproduksi (infertilitas), vasektomi
berhasil dan apakah reversal (menyambung kembali) vasektomi berhasil (Mitchell dan Bruce, 2005).
Sperma straw memiliki pH netral karena telah dicampur dengan larutan
pengencer sehingga pH menjadi netral oleh larutan
pengencer.Namun, penggunaan pH paper tidak memiliki tingkat ketelitian yang
tinggi sehingga hanya bisa menunjukkan bahwa pHnya berkisar antara 7-8.Hal ini
bisa dikatakan bahwa sperma tersebut normal (Wahyudin, 2009).
Sperma
afkir merupakan sperma sisa dari semen straw.Sperma tersebut ditampung di dalam
termos yang berisi nitrogen cair sebagai bahan pendingin dengan teknik
pendinginan kriogenik.Semen dapat disimpan pada suhu5°C (cooler) untuk
menjaga fisiologis sperma sebelum dianalisa.pH juga mempengaruhi kualitas
sperma untuk bertahan hidup
lama, misalnya dilakukan penambahan berbagai unsur ke dalam semen tersebut
(Murtidjo, 1993).
Ciri
dari spermatozoon yang memiliki bentuk normal adalah memiliki struktur yang
lengkap untuk melindungi muatan genetis yang dibawanya. Pada
dasarnya, sperma memiliki bagian-bagian yang masing-masing memiliki fungsi yang
mendukung proses fertilisasi dapat berlangsung. Bagian-bagian tersebut terbagi
atas 3 bagian utama, yaitu: kepala, leher dan ekor. Kepala sperma pada kambing
lebih panjang daripada sperma yang ada pada manusia (Siciliano, 2008).
Sperma
merupakan kromosom genetic jantan yang bersifat lemah sehingga hidupnya sangat
tergantung dari cadangan makanan. Dalam proses inseminasi buatan, daya tahan
sperma harus benar-benar diperhatikan. Langkah yang dapat diambil untuk
meningkatkan daya tahan sperma adalah vagina buatan harus memenuhi persyaratan,
baik kehangatan, kelicinan maupun tekanannya. Sperma juga harus terlindung dari
sinar matahari supaya gerakannya tidak terlalu aktif, serta pejantan yang
diambil spermanya harus memenuhi persyaratan genetic dan kesehatannya dengan
frekuensi pengambilan 2-3 kali seminggu (Sugeng, 1985).
B. Evaluasi Sperma
Menurut
Chenoweth (2005),
untuk memperoleh informasi tentang kesuburan, memperkirakan kemampuan produksi
semen seekor pejantan maka evaluasi semen penting dilakukan, karena kualitas
semen memiliki korelasi yang tinggi terhadap fertilitas seekor pejantan.
Evaluasi semen meliputi pengamatan secara umum, yaitu gambaran keseluruhan
semen (makroskopis), volume, warna, dan konsistensi. Selain itu perlu dilakukan
pemeriksaan lebih mendetail (mikroskopis), meliputi morfologi sel sperma,
konsentrasi, motilitas, dan prosentase sperma hidup (Salisbury et al.,
1978).
Penilaian secara makroskopis meliputi volume, warna,
konsistensi (kekentalan) dan pH. Volume semen kambing PE berkisar antara
0,8±1,2 cc (Suwarso, 1999), volume ini tergolong tinggi dibandingkan hasil
penelitian Devendra (1982) yang melaporkan bahwa volume semen kambing PE
rata-rata perejakulasi 0,81 cc. Warna dan konsistensi (kekentalan) semen
dipengaruhi oleh konsentrasi spermatozoa, dimana semakin tinggi konsentrasi
spermatozoa maka warna semen akan semakin keruh dan akan semakin kental.
Derajat keasaman (pH) sangat mempengaruhi daya tahan hidup spermatozoa.
Perubahan pH disebabkan oleh metabolisme spermatozoa dalam keadaan anaerob yang
menghasilkan asam laktat yang semakin meningkat. Semen yang berkualitas baik
mempunyai pH sedikit asam (Bearden dan Fuquay, 1984), yaitu lebih kecil dari
7,0 dengan rata-rata 6,7.
Penilaian semen secara mikroskopis meliputi gerakan masa,
gerakan individu (motilitas), konsentrasi dan abnormalitas spermatozoa.
Gerakan masa semen kambing nampak lebih cepat, tebal dan hitam dibandingkan
dengan gerakan masa semen sapi maupun domba. Semen yang bagus, pada pengamatan di bawah mikroskop,
akan memberikan tampilan kumpulan sperma bergerak bergerombol dalam jumlah
besar sehingga membentuk gelombang atau awan yang bergerak. Memberikan gambaran
tentang kualitas semen dalam empat kategori (Toelihere, 1993).
Gerakan masa semen kambing PE terlihat gelombang besar,
hitam dan cepat memiliki skor 3+ (sangat baik) (Suwarso, 1999).
C. Motilitas Sperma
Motilitas
merupakan salah satu ciri yang mencolok pada sperma, dan dijadikan patokan atau
cara paling sederhana dalam penilaian semen untuk inseminasi. Motilitas sperma
mempunyai korelasi yang tinggi dengan tigkat fertilitas dan sangat penting
artinya pada saat pembuahan (White, 1974 dan Toelihere, 1993).
Motilitas merupakan salah satu kriteria penentu kualitas
semen yang dilihat dari banyaknya spermatozoa yang motil progresif dibandingkan
dengan seluruh spermatozoa yang ada dalam satu pandang mikroskop. Menurut Evans
dan Maxwell (1987) terdapat tiga tipe pergerakan spermatozoa yaitu
pergerakan progresif (maju ke depan), pergerakan rotasi (gerakan berputar) dan
osilator atau konvulsif tanpa pergerakan ke depan atau perpindahan
posisi. Skala prosentase pergerakan dari 0 sampai 100 atau 0 sampai 10
merupakan penilaian standar untuk mencapai tujuan bersama.
Penentuan kualitas semen berdasarkan motilitas
spermatozoa dengan nilai 0 sampai 5 yakni: (0) spermatozoa imotil atau tidak
bergerak; (1) gerakan berputar ditempat; (2) gerakan berayun atau melingkar,
kurang dari 50% bergerak progresif; (3) antara 50 - 80% spermatozoa bergerak
progresif; (4) pergerakan progresif yang gesit dengan 90% sperma motil dan nilai (5) gerakan sangat progresif
menunjukkan 100% motil aktif (Toelihere, 1993).
Pemeriksaan motilitas sperma merupakan satu-satunya cara penentuan
kualitas semen sesudah pengenceran. Motilitas sperma kambing pada umumnya
berkisar antara 75% sampai dengan 85%, tetapi kisaran tersebut tidak
menjadi patokan karena beberapa jenis kambing mempunyai motilitas sperma di
bawah kisaran tersebut. Meskipun
demikian kambing tersebut masih dapat digolongkan ke dalam jenis kambing yang
mempunyai motilitas sperma cukup baik. Motilitas sperma kambing kacang 84,91%
(Soeparna, 1994) dan kambing PE 78,13%
(Suwarso, 1999). Faktor - faktor yang mempengaruhi motilitas sperma adalah
metode penampungan semen, lingkungan, penanganan dan perawatan semen sesudah
penampungan, interval antara penampungan dan evaluasi semen, variasi pejantan
serta variasi musim (Evans dan Maxwell, 1987).
D. Abnormalitas
Sperma
Proses
pembentukan spermatozoa disebut spermatogenesis. Proses ini mencakup pembelahan
mitosis sel spermatogenik, yang menghasilkan sel induk pengganti dan sel
spermatogenik lain yang akhirnya menghasilkan spermatosit primer dan
spermatosit sekunder. Baik spermatosit primer maupun sekunder mengalami
pembelahan meiosis yang mengurangi jumlah kromosom dan DNA. Pembelahan
spermatosit sekunder menghasilkan sel yaitu spermatid yang mengandung 23
kromosom tunggal (22+X
dan 22+Y). Spermatid tidak mengalami pembelahan lebih lanjut, tetapi berubah
menjadi sperma melalui suatu proses yang disebut spermiogenesis (Eroschenko, 2010).
Spermatozoa
terbagi atas bagian kepala yang di lindungi akrosome, leher, dan ekor yang
berdaya gerak tetapi tidak mampu membelah diri. Bagian ekor spermatozoa sangat
menunjang pergerakan spermatozoa. Pada bagian ini di jumpai banyak mitokondria
yang berperan sebagai sumber energi untuk pergerakan. Energi yang dibutuhkan
dalam bentuk ATP. Energi yang dikeluarkan menyebabkan terjadinya 2 macam
gerakan. Pertama gerakan bergelombang ke ujung ekor( makin ke ekor semakin
lemah). Kedua gerakan yang bersifat sirkuler tetapi arahnya melingkari batang
tubuh bagian tengah terus ke ujung ekor. Kedua gerakan ini menyebabkan
spermatozoa dapat bergerak ke depan (Tim fisiologi veteriner I FKH Unsyiah, 2014).
Spermatozoid/sel
sperma/ spermatozoa berarti benih dan makhluk hidup atau sel dari sistem reproduksi jantan. Sperma lazimnya berwarna putih keabuan agak
keruh, atu sedikit kekuningan. Ph nya 7,2 sampai 7,7 karena sperma bersifat
basa (Sularto, 2009). McPake dan Pennington (2009),
mengelompokkan abnormalitas dalam dua katagori, yaitu primer (yang meliputi
abnormalitas kepala dan bentuk midpiece, abnormalitas midpiece dan tightly
coiled tails) dan sekunder (kepala normal yang terputus, droplet dan ekor yang
membengkok).
Menurut
Chenoweth (2005), abnormalitas spermatozoa terbagi dalam dua katagori, yakni berdasarkan
sekuen proses pembentukan spermatozoa (primer dan sekunder) dan berdasarkan
dampaknya bagi fertilitas. Katagori kerusakan spermatozoa bersifat primer
adalah yang terjadi pada saat spermatogenesis, sedangkan sekunder jika
kejadiannya setelah spermiasi. Pengelompokkan kelainan mayor dan minor
didasarkan pada dampaknya terhadap fertilitas jantan tersebut. Kelainan mayor akan berdampak besar pada
fertilitas, sebaliknya kelainan yang bersifat minor dampaknya kecil pada
fertilitas.
E. Life and Dead
Peningkatan
kualitas sperma beku sangat ditentukan oleh pemrosesan spermatozoa dari saat
penampungan, pengenceran sampaidengan dibekukan. Bahan pengencer spermatozoa
berfungsi untuk memperbanyak volume, melindungi spermatozoa terhadap cold
shock, sumber nutrisi, mencegah pertumbuhan kuman serta mempertahankan tekanan
osmotik dan keseimbangan elektrolit (Partodiharjo, 1992).
Daya
tahan hidup spermatozoa dalam semen yang diencerkan diantaranya dipengaruhi
oleh jenis pengencer yang terdiri atas pengencer anorganik (bahan kimia seperti
Tris, Na-Sitrat, Na-fosfat dan lain-lain) dan pengencer organik (bahan alami
seperti air susu, santan kelapa, dan air kelapa) (Hawk, 1965).
Dasar
pembedaan sperma hidup dan mati adalah permeabilitas membran. Dijelaskan lebih
lanjaut bahwa sperma mati mempunyai permeabilitas membran lipoprotein pada
kepala sperma lebih tinggi daripada lebih tinggi daripada sperma hidup,
sehingga sperma mati mudah menyerap zat pewarna. Zat pewarna eosin memberikan
warna merah pada sperma mati, sedangkan zat pewarna nigrosin akan memberikan
latar belakang biru hitam ( Hafez, 1985).
Pengamatan
hidup mati spermatozoa atau viabilitas dapat dilakukan dengan metode pewarnaan
diferensial menggunakan zat warna eosin saja ataudengan kombinasi
eosin-nigrosin. Eosin adalah zat warna khusus untuk spermatozoa, sedangkan
nigrosin hanya dipakai untuk pewarnaan dasar untuk memudahkan melihat perbedaan
antara spermatozoa yang berwarna dan tidak berwarna. Prinsip metode pewarnaan
eosin-nigrosin adalah terjadinya penyerapan 15 zat warna eosin pada spermatozoa
yang mati pada saat pewarnaan tersebutdilakukan. Hal ini terjadi karena membran
pada spermatozoa yang mati tidak permeabel terhadap zat warna atau memiliki
afinitas yang rendah sehingga menyebabkan spermatozoa yang mati berwarna merah
(Toelihere, 1993).
F. Vaginal Smear
Vagina merupakan saluran terdepan sistem
pembiakan betina, antara vestibule genitalia luar dan cervix. Dinding
terdiri dari 3 lapis, yaitu mukosa, otot polos, dan jaringan ikat (adventitia).
Lapisan mukosa terdiri dari epitel dan lamina propia. Sel epitel beberapa lapis
dan terluar menggepeng, dalam keadaan normal lapisan epitel ini tak menanduk
pada Primata, tapi menanduk pada Rodentia. Pada Rodentia sel-sel epitel
menanduk ini dijumpai waktu dilakukan usapan vagina. Vagina tidak memiliki
kelenjar sehingga yang membasahi vagina berasal dari lendir cervix, hanya di vestibule
genitalia luar terdapat kelenjar. Lamina propia kaya akan pembuluh darah,
rangsangan sex waktu coitus darah ini sumber cairan yang membasahi vagina
(Yatim, 1982).
Metode vaginal smear menggunakan sel epitel
dan sel lukosit sebagai bahan identifikasi. Sel epitel merupakan sel yang
terletak di permukan vagina, sehingga apabila terjadi perubahan kadar estrogen
maka sel epitel merupakan sel yang paling awal terkena akibat dari perubahan
tersebut. Sel leukosit merupakan sel antibodi yang terdapat di seluruh bagian
individu. Sel leukosit di vagina berfungsi membunuh bakteri dan kuman yang
dapat merusak ovum. Sel epitel berbentuk oval atau polygonal, sedangkan sel
leukosit berbentuk bulat berinti (Nalbandov, 1990).
Pengaturan estrus dipengaruhi oleh hormon
gonadotropin yang kemudian mempengaruhi produksi hormon estrogen dan
progesteron berdasarkan aktifitas ovarium. Estradiol yang diproduksi dari
aktifitas gelombang folikel ovarium selama fase luteal siklus estrus. Efek
estrogen pada poros hipotalamus- hipofisa dalam ketidakhadiran progesterone
meningkatkan sekresi LH ke dalam peredaran darah menyebabkan ovulasi (Gordon,
1994). Hormon progestron mulai meningkat setelah ovulasi dengan terbentuknya
corpus luteum (CL), dimana hal tersebut menandakan bahwa hewan berada dalam
fase luteal. Fluktuasi hormon akan berpengaruh terhadap gambaran sel epitel
vagina. Pada fase luteal (pengaruh hormon progesteron), hewan tidak estrus
terdapat sel parabasal, sedangkan memasuki fase estrus (pengaruh hormone
estrogen) sel epitel berubah menjadi sel superfisial dan kornifikasi yang
menandakan hewan dalam keadaan puncak estrus (Boume, 1990).
Pengamatan histologi sel epitel dinding
vagina merupakan parameter yang akurat untuk mendeteksi estrus pada ternak.
Perubahan morfologi sel epitel dinding vagina dipengaruhi oleh hormon. Pada
fase luteal, sel epitel dari dinding vagina akan didominasi oleh sel parabasal,
sedangkan memasuki fase estrus sel epitel berubah menjadi sel superfisial dan
sel tanduk yang menandakan hewan dalam keadaan puncak estrus (Nalley et al.,
2011). Pada fase estrus, hormon estrogen akan meningkatkan keaktifan dinding
uterus, menyebabkan hipersekresi dan keratinisasi sel-sel epitel uterus dan
vagina sehingga sel yang terikut dalam ulasan adalah sel-sel superfisial
(Najamudin et al., 2010).
Sel epitel pada saat estrus didominasi oleh
sel-sel superfisial yang memiliki bentuk poligonal atau tidak beraturan, ukuran
nukleus yang besar secara perlahan-lahan akan mengecil tetapi terdapat
kornifikasi pada hasil preparat. Selama fase proestrus kornifikasi naik 10% per
hari sampai memasuki fase estrus kornifikasi mencapai puncak yakni 100%,
sementara sel parabasal dan intermediate tidak ditemukan. Pada fase
metestrus leukosit berada di sekitar lumen dan terdapat sedikit kornifikasi
yang turun hingga 50% setelah fase estrus (Ola et al., 2005). Johnston
dan Olson et al. (2001) melaporkan bahwa, pada fase metestrus sel-sel
intermediate memiliki sitoplasma di sudut bahkan tidak berinti. Histologi dari
smear vagina menampakkan suatu fenomena kehadiran sel-sel yang bergeser dari
sel-sel parabasal ke sel-sel superfisial. Sel intermediate adalah tipe
sel vagina yang paling tua dari sel parabasal tetapi lebih muda dari sel
superficial. Fase diestrus sel epitel vaginanya didominasi oleh sel parabasal.
Sel parabasal ini berbentuk bundar dan oval, mempunyai bagian nukleus
yang lebih besar daripada sitoplasma yang biasanya tampak tebal. Sel epitel ini
banyak dijumpai saat ternak berada dalam fase diestrus dan awal anestrus dan
tidak ditemukan pada awal proestrus serta tidak terdapat selama masa estrus.
BAB
III. MATERI DAN METODE
A. Motilitas Sperma
1. Materi
a. Straw jenis sapi Limousin
b. Mikroskop
c. Objekglass
d. Decglass
e. Gunting
f. Nampan
g. Air
2. Metode
a. Mengambil straw di dalam tabung nitrogen
b. Memasukkan straw ke dalam nampan yang berisi
air (menetralkan sesuia suhu tubuh).
c. Menggunting ke dua ujung straw dan meneteskan
sperma di atas objekglass yang kemudian menutupnya dengan decglass.
d. Mengamati di bawah mikroskop dan menulis
hasilnya.
B. Abnormalitas Sperma
1. Materi
a. Straw jenis sapi Limousin
b. Mikroskop
c. Objekglass
d. Decglass
e. Gunting
f. Nampan
g. Air
2. Metode
a. Mengambil semen (straw) dari tabung Container.
b. Memasukkan semen ke dalam wadah air kemudian
menggunting ujung semen (straw) lalu bagian ujung ditutup dengan jari.
c. Semen dikeluarkan kemudian di tampung di atas objek
glass.
d. Mengamati di mikroskop dan menghitung
persentase Sperma Normal Dan Abnormal.
C. Life and Dead
1. Materi
a. Straw jenis
sapi Limousin
b. Mikroskop
c. Objekglass
d. Decglass
e. Gunting
f. Nampan
g. Air
2. Metode
a. Mengambil semen (straw) dari tabung Container.
b. Memasukkan semen ke dalam wadah air kemudian
menggunting ujung semen (straw) lalu bagian ujung ditutup dengan jari.
c. Semen dikeluarkan kemudian di tampung di atas objek
glass.
d. Mengamati di mikroskop dan menghitung
persentase Sperma hidup dan
sperma mati.
D. Vaginal Smear
1. Materi
a. Mikroskop cahaya
b. Gelas objek
c. Gelas penutup
d. Cotton bud
e. Sel epitel vagina sapi betina
f. Larutan Giemsa
g. Methanol
h. Aquadest
2. Metode
a. Sampel usapan vagina diambil pada lokasi
kira-kira 2 cm dari vulva menggunakan kapas steril (cotton bud).
b. Hasil usapan kemudian diletakkan di atas object
glass dan diapus.
c. Melakukan pengecatan dengan cara memasukkannya
ke dalam larutan Giemsa selama 20 menit, preparat dimasukkan ke dalam Methanol
I dan Methanol II, masing-masing selama dua menit, dicuci beberapa saat
dengan aquadest.
d. Setelah preparat selesai dibuat, preparat sel
epitel vagina ternak sapi tersebut diamati dengan menggunakan mikroskop
pembesaran obyektif 40 kali.
BAB IV. HASIL DAN
PEMBAHASAN
----------------------
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
-----------------------
DAFTAR PUSTAKA
----------------------
Karena
terlalu banyak isi nya, untuk mendapatkan Laporan BIOTEKNOLOGI ini secara
lengkap silahkan download link di bawah ini, GRATISS kok
Baca Selengkapnya disini : http://thoms212.blogspot.com/2014/10/laporan-bioteknologi-peternakan.html#ixzz3IcUhezVe
Tidak ada komentar :
Posting Komentar