Ir.
Soekarno lahir di Blitar pada 6 Juni 1901. Ayahnya Raden Sukemi
Sosrohadihardjo, adalah seorang priyayi rendahan yang bekerja sebagai
Guru sekolah Dasar. Ibunya Nyoman Rai berdarah biru dari Bali dan
beragama Hindu. Pertemuan mereka terjadi ketika Raden Sukemi, yang
sehabis menyelesaikan studi di Sekolah Pendidikan Guru Pertama di
Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, ditempatkan di Sekolah Dasar Pribumi
di Singaraja, Bali. Di sanalah mereka bertemu, saling menjalin kasih dan
jatuh cinta, lalu berakhir dengan pernikahan. Namun, pernikahan mereka
tidak berjalan mulus akibat tidak mendapat restu dari pihak perempuan
yang menganggap tindakan yang mereka berdua lakukan melanggar adat.
Akhirnya, dengan pemikiran yang matang kedua pasangan baru ini pun
meninggalkan Bali dan menetap di Surabaya setelah kelahiran anak pertama
mereka yang bernama Soekarmini.
Dalam
biografi Bung Karno diceritakan bahwa pada mulanya ibu Soekarno yang
bernama Ida Nyoman Rai adalah seorang gadis pura yang tugasnya
membersihkan rumah ibadah setiap pagi dan petang. Sedangkan Bapaknya
yang bekerja sebagai guru sekolah rendahan milik pemerintah Kolonial
Belanda di Singaraja dan setelah selesai mengajar sering pergi ke Pura
tempat ibunya bekerja untuk mencari ketenangan. Pada suatu hari ia
melihat ibunya Soekarno. Dari sanalah pertemuan ini terus berlanjut dan
berbuah cinta. Hubungan ini terus berlanjut hingga Sukemi mendatangi
orang tua dari Ida Nyoman Rai untuk memohon doa restu dan melamar.
Tetapi, ia ditolak karena dianggap dari jawa dan Islam. Namun, mereka
tetap nekat untuk menikah. Akibatnya, harus menanggung konsekuensi untuk
diasingkan dari adat dan keluarga masyarakat Bali.
Di
kota Buaya inilah tempat mereka berdua mengadu nasib setelah merasa
terasingkan oleh pihak sanak keluarga yang ada di pulau Dewata. Selama
di Surabaya, Raden Sukemi kembali melanjutkan pekerjaannya sebagai
seorang guru. Tidak lama berselang setelah kepindahannya, Soekarno
akhirnya lahir. Awalnya ia diberi nama Kusno, tetapi karena sering sakit
dan berdasarkan mimpi yang dialami oleh ayahnya setelah melakukan
tirakat. Ayahnya mengubah nama Kusno menjadi Soekarno pada usia lima
tahun. Nama Soekarno secara etimologis berasal dari nama seorang
ksatria, Karna, seorang panglima perang dalam kisah Bhrata Yudha yang
berpihak kepada Kurawa melawan Pandawa. Walaupun Karna sadar bahwa ia
berada pada pihak yang salah, tetapi ia rela berkorban demi kesetiaannya
kepada Kurawa. Karena itu, menurut Frans (1982) tidak sedikit dari
orang Jawa yang mengagumi figur ksatria ini.
Dalam
usia kanak-kanak, Soekarno tinggal dan diasuh oleh kakeknya yang
bernama Raden Hardjokromo di Tulungagung, Jawa Timur. Kakeknya adalah
seorang pedagang batik, yang secara tidak langsung membantu penghidupan
dari kedua orang tua Soekarno yang pada waktu itu tidak memiliki
penghasilan yang cukup untuk menghidupi dirinya dan kakaknya. Kecintaan
Soekarno terhadap wayang kulit, mulai tumbuh selama tinggal bersama
kakeknya. Iasering kali menonton wayang kulit sampai larut malam.
Kesenangannya menonton wayang membuatnya terkesan dengan tokoh Bima
dibandingkan dengan tokoh lain.
Tokoh
Bima juga memiliki pengaruh yang besar dalam sikap dan pandangan
politiknya kelak. Sikap nonkooperasi terhadap musuh-musuhnya, kaum
imperialis maupun kaum kapitalis, serta kesediaannya dalam waktu
bersamaan berkompromi dengan sesama rekan perjuangannya meskipun berpeda
pandangan praktis dapat dikatakan berasal dari Bima.
Di
Tulungagung, ia pertama kali masuk sekolah. Tetapi ia kurang
mempergunakan kesempatan sebaik mungkin untuk belajar. Hal ini
disebabkan ia lebih sering melamun tentang kisah Perang Bharata Yudha.
Namun, sisi keingintahuan yang besar dan minatnya terhadap pengetahuan
sudah mulai tumbuh pada saat ini. Berkat sifat keingintahuan yang
dimiliki olehnya, Soekarno memiliki wawasan yang lebih luas daripada
teman-teman sebayanya.
Tidak lama kemudian, setelah kedua orang tuanya pindah ke Sidoarjo dan mendapat jabatan sebagai kepala Eerste Klasse School di
Mojokerto. Di sini, kepandaiannya mulai terlihat dengan jelas. Mungkin
ini disebabkan oleh profesi ayahnya yang juga seorang guru sehingga
dapat mengawasi kegiatan belajar mengajar anaknya secara langsung.
Kemudian, Raden Sukemi memasukkan Soekarno ke Europeesche Lagere School (E.L.S). Sekolah tersebut didirikan guna memenuhi kebutuhan anak-anak pekerja di pabrik gula.
Selama
bersekolah di sini. Soekarno merasakan adanya diskriminasi yang
diberlakukan kepada kaumnya. Hanya Bumiputera tertentu yang mendapatkan
kesempatan untuk mendapatkan hak istimewa itu. Mereka yang bukan anak
pejabat hanya bisa masuk ketika ada izin khusus dari residen dan
memenuhi syarat-syarat tertentu. Sebelum ia menginjakkan kaki di tempat
tersebut, pada tahun 1913, Soekarno harus mengorbankan waktunya untuk
memperdalam bahasa Belanda pada Juffrow M.P de la Riviera, guru bahasa
Belanda di ELS. Selama bersekolah di ELS Soekarno juga mengalami cinta
pertama kepada seorang gadis Belanda yang bernama, Rika Meelhuysen.
Tetapi, hubungan mereka berdua ditentang oleh ayah sang gadis karena
melihat kedudukan Soekarno yang hanya merupakan pribumi. Meskipun,
akhirnya hubungan itu putus dan Soekarno dihina. Ia tidak marah karena
menganggap hal itu adalah biasa karena merupakan cinta monyet.
Pribadi
Soekarno, selain banyak mendapatkan pendidikan di ELS. Ia juga
mendapatkan pendidikan dari ayahnya dengan keras, penuh disiplin, tetapi
di sisi lain mengajarkan untuk mencintai makhluk tak berdaya. Sedangkan
dari ibunya, Idayu, ia mendapatkan pengaruh mistik dari pemikiran Hindu
dan sifat yang lemah lembut serta kasih sayang. Dari pembantunya
Sarinah, sebagaimana diungkapkan oleh Soekarno sendiri, ia memperoleh
pengaruh kemanusiaan dan sikap emansipasif. Ia amat terkesan dan
mengagumi sikap perempuan tersebut. Meskipun ia hanya seorang pembantu,
di mata Soekarno ia adalah perempuan bijaksana dan berbudi luhur.
Setelah menyelesaikan ELS di Mojokerto, pada tahun 1915, Sukarno ingin melanjutkan pelajarannya di Hogere Burger School (HBS).
Agar Soekarno diterima sebagai siswa HBS, ayahnya menggunakan pengaruh
kawannya untuk memasukkan ke sekolah tertinggi yang ada di Jawa Timur
tersebut. Melalui jasa baik, H.O.S Tjokrominoto, Soekarno akhirnya
diterima di sana.
Selama
berada di Surabaya, Soekarno banyak mendapatkan pengaruh pemikiran
Barat yang modern. Perpisahan dengan orang tua dan lingkungan desanya
juga memberikan pengaruh postitif bagi dirinya. Soekarno berada di
Surabaya selama lima tahun. Selama itu ia tinggal di rumah Tjokrominoto.
Di tempat itulah pendidikan politik Soekarno dimulai dengan interaksi
dengan berbagai pemahaman pemikiran yang ada disana. Soekarno juga
berkenalan dengan orang-orang beraliran sosialis kiri, seperti Alimin,
Muso, dan Dharsono yang juga mendapat kedudukan penting dalam
kepengurusan Sarekat Islam maupun di dalam keanggotaan Indische School Democratische Vereeniging (ISDV).
Sebagai remaja yang gelisah, ia menyalurkan aspirasinya melalui suratkabar milik Sarekat Islam, Oetoesan Hindia. Ia
menuangkan pemikiran dengan nama samaran ‘Bima”. Menurut pengakuannya,
penggunaan nama samaran itu dimaksudkan agar ia tidak dimarahi oleh
ayahnya. Sebab ayahnya akan marah apabila mengetahui anaknya
membahayakan masa depannya sendiri. Memang kata-kata yang digunakan
Soekarno cukup tajam seperti “Hancurkan segera kapitalisme yang
dibantu oleh budaknya, imperialisme. Dengan kekuatan Islam, Insya Allah
itu segera dilaksanakan.” Di samping itu, Soekarno juga aktif dan melibatkan dirinya dalam organisasi pemuda Tri Koro Darmo cabang Surabaya, yang dibentuk pada 1915 sebagai bagian dari organisasi Budi Oetomo. Kemudian berganti nama menjadi Jong Java pada 1918.
Setelah
menyelesaikan pendidikannya di HBS pada 10 Juni 1921. Soekarno beserta
istrinya, Siti Oetari Tjokrominoto, puteri Tjokrominoto yang dinikahi
olehnya pada 1920 atau 1921, meninggalkan Surabaya menuju Bandung.
Disana ia bersama istrinya berdiam di kediaman Haji Sanusi, anggota
Sarekat Islam dan juga kawan akrab Tjokrominoto. Di tempat itu pula
Soekarno pertama kali bertemu dengan Inggit Garnasih, Isteri Haji
Sanusi. Kota Bandung mempunyai iklim ideologis yang khas jika
dibandingkan dengan kota-kota lain. Jika Sarekat Islam berpusat di
Surabaya, maka Semarang dikenal sebagai pusat pemikiran Marxisme. Kedua
kota ini saling mempengaruhi dan saling berebut pengaruh.
Tetapi
Bandung justru Bandung menampilkan watak yang berlainan dengan kedua
kedua kota di atas. Sebab di kota Bandung telah berkembang sebuah
pemikiran bahwa tujuan pergerakan adalah kemerdekaan penuh bagi
Indonesia. Gagasan-gagasan ini dikembangkan oleh para pemimpin Indische Partij yang
akhirnya mempengaruhi pemikiran-pemikiran selanjutnya. Akhirnya kota
Bandung menampilkan diri sebagai pusat pemikiran nasionalis Sekuler.
Di
kota ini, Soekarno berkenalan dengan tokoh-tokoh nasionalis sekuler,
seperti, E.F.E Douwes Dekker, Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar
Dewantara. Perkenalan ini telah membawa nuansa baru dalam berpikir
Soekarno. Seperti halnya dalam pendekatan yang diperkenalkan oleh Douwes
Dekker dalam mendekati situasi Hindia Belanda dan bagaimana cara
mengubahnya amat menarik perhatian Soekarno. Pemikiran yang
diperkenalkan tersebut terlihat berbeda dari pemikiran sebelumnya
didapat dari tokoh-tokoh yang ditemuinya.
Dengan
bertemunya berbagai tokoh yang memiliki berbagai aliran pemikiran
tentunya membuat pikiran Soekarno semakin tersusun secara teratur. Di
samping itu kesaksiaannya terlihat di depan matanya. Soekarno melihat di
lingkungan Tjokrominoto senantiasa timbul pertentangan antara golongan
kanan (Tjokrominoto) dengan golongan kiri (Semaun-Darsono) dalam sentral
Serikat Islam yang berkedudukan di Surabaya. Pertikaian yang memuncak
tersebut berakhir dengan terpecahnya Sarekat Islam menjadi dua bagian,
yakni Sarekat Islam Putih dan Merah. Sarekat Islam Merah, akhirnya
merubah dirinya menjadi Sarekat Rakyat.
Jiwa
patriotisme Soekarno tidak hanya dibentuk melalui figur seorang
Tjokrominoto. Dari timbulnya jiwa patriotism inilah interaksi antara
Soekarno dan para pengikut aliran Marxis seperti Muso, Alimin, dan
Semaun. Juga para orang-orang Sosialisme Radikal Belanda, seperti Coos
Hartogh, Henk Sneevliet, dan Aser Baars. Memang jika penulis pahami,
pengaruh Nasionalisme, Islam, dan Marxisme-Sosialisme sudah memiliki
andil yang besar pada diri Soekarno bahkan pada saat dia muda. Secara
jelas, ini dibentuk dari keberadaan Soekarno yang pada mulanya
mendapatkan pendidikan politik di Surabaya.
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di
Bandung. Organisasi ini merupakan cikal bakal dari Partai Nasional
Indonesia (PNI) yang didirikan olehnya pada tahun 1927. Aktivitas
Soekarno di PNI menyebabkan dirinya ditangkap oleh Belanda pada bulan
Desember 1929, dan memunculkan pledoi atau pembelaannya yang fenomenal
dengan judul Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan kembali pada tanggal
31 Desember 1931.
Pada
bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo),
yang merupakan pecahan dari PNI. Akibatnya, Soekarno kembali ditangkap
pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Disini, Soekarno
hampir hilang dan terlupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun, semangat
dan api perjuangan yang tidak pernah padam senantiasa membuat Soekarno
tetap tegar dalam menghadapi hambatan dalam perjuangan. Ini terbukti
melalui suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad
Hassan.
Selama
menjadi Presiden, Soekarno banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia
Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih
belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri,
menyebabkan Presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif
untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung dan menghasilkan Dasa
Sila Bandung. Tujuan dari KAA adalah untuk menentang tindakan
imperialisme dan kolonialisme yang terjadi di dunia yang notabenenya
banyak dilakukan oleh negara-negara Barat.
Daftar Pustaka
http://bujangpolitik.blogspot.com
Budiarjo, Miriam, 2008. Dasar - Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Tidak ada komentar :
Posting Komentar