Oleh:
Fridiyanto
ABSTRACT
Tan Malaka is not only a founding father but also
an educator. According to Tan Malaka education
is a foundation for Indonesia Liberation. Therefore in many aspects of
education must be designed nationalistic. Sarekat Islam School is one of
manifestations Tan Malaka’s education concept.
Kata Kunci: Tan
Malaka, Pendidikan, Keindonesiaan
A. PENDAHULUAN
Tan Malaka, seorang bapak bangsa yang menghabiskan
hidupnya untuk menuju Republik Indonesia.
Republik yang dimaksud Tan Malaka adalah sebuah negara yang seratus persen
mengatur diri sendiri, mengatur perekonomian sendiri, politik yang bebas
menegakkan demokrasi, serta martabat bangsa sejajar dengan negara-negara lain.
Tan Malaka sebagai ahli propaganda, politikus, dan sebagai seorang pendidik rakyat sangat ditakuti oleh pemerintah Hindia Belanda, dikarenakan proses penyadaran progresif revolusioner dilakukan terus menerus untuk memperkuat kesadaran rakyat.
Tan Malaka merupakan ancaman
berbahaya bagi pemerintahan kolonial, karena Tan Malaka dianggap menganggu
ketertiban umum dengan berbagai kegiatan politik dan kegiatan pendidikan untuk
rakyat. Pendidikan harus sebagai proses
mewujudkan peserta didik menjadi orang baik dan bajik yang akan memberi kekuatan kepada peserta didik.
Karena itulah pendidikan akhlak harus menjadi tujuan utama selain pendidikan
keterampilan hidup, pergaulan sosial, dan tanggung jawab sosial. Rakyat
Indonesia belajar memberi nilai yang tepat pada moral mereka dan bersumbangsih
bagi peradaban bangsa Indonesia.
Jauh sebelum pendidikan keterampilan belum dikembangkan di
Nusantara, Tan Malaka sangat menekankan bahwa pendidikan anak-anak tidak hanya
sebatas kognitif, seperti mempelajari Sejarah, Ilmu bumi, dan Ilmu hitung yang
sangat ditekankan di sekolah-sekolah Eropa pada masa itu. Tan Malaka memandang
bahwa sebuah kewajiban untuk menanamkan etos kerja, dan keterampilan praktis
yang akan menimbulkan rasa mencintai kerja kepada pribumi, dan seharusnyalah
pendidikan memberikan nilai tambah.
Berbicara konsep pendidikan kritis, emansipatoris, dan praksis
biasanya lebih dikenal sosok Paulo Freire. ”Pendidikan Kaum Tertindas” dan
”Gerakan Kebudayaan untuk Kemerdekaan”, ”Politik Pendidikan”, adalah buku
karangan Paulo Freire yang terus dipelajari peminat dan penggerak pendidikan
emansipatoris. Ketika berbicara tentang sejarah pendidikan di Indonesia, Ki
Hajar Dewantara selalu menjadi tokoh utama. Namun, tidak banyak yang mengetahui
bahwa Tan Malaka juga aktif dalam memperjuangkan pendidikan di Indonesia, dan
telah lebih dulu memiliki konsep
pendidikan kritis, emansipatoris, dan praksis. Tan Malaka tidak hanya terjebak
dalam filsafat dan teori-teori pendidikannya, tetapi terlibat aktif dalam
memperjuangkan pendidikan rakyat sebagai media penyadaran pembebasan dari penindasan
kolonialisme.
Tan Malaka lebih dikenal dari sisi aktifitas politik, sebenarnya
Tan Malaka memiliki latar belakang pendidikan seorang guru di kweekschool di Bukit Tinggi dan melanjutkan
pendidikan guru di Haarlem Belanda. Tan Malaka masuk ke pergerakan perjuangan
kemerdekaan Republik Indonesia melalui jalur pendidikan. Bagi Tan Malaka,
pendidikan akan dapat mewujudkan karakter bangsa Indonesia yang kokoh dan mandiri.
Olehkarena itu penulis membahas pemikiran dan aksi pendidikan Tan Malaka yang
dapat menambah khasanah sejarah pendidikan di Indonesia dan sebagai upaya
restorasi nilai-nilai keindonesiaan.
BIOGRAFI SINGKAT
Tan Malaka, atau Ibrahim Datuk Tan Malaka1 memiliki pertalian keluarga dengan dua
pemimpin desa Pandan Gadang: Datuk Tan Malaka dan Datuk Mahurun Basa. Tanggal
kelahiran Tan Malaka tidak tercatat pasti karena pada masa itu belum ada
pencatatan bagi penduduk Indonesia. Namun Harry A. Poeze menyampaikan beberapa
kemungkinan tahun kelahiran Tan Malaka: 1893, 1894, 1895, 2 Juni 1896, 2 Juni
1897, dan 1899. Poeze lebih cendrung
memilih kelahiran Tan Malaka pada tahun 1894 dengan fakta bahwa pada tahun 1903
Tan Malaka mengikuti pendidikan di sekolah rendah. Maka dapat ditarik
kesimpulan pada masa itu Tan Malaka berumur lebih kurang 6 tahun. Tan Malaka dalam bukunya “dari Penjara ke Penjara” menjelaskan bahwa
dia mempunyai adik bernama Kamaruddin enam tahun lebih muda, dan tidak memiliki
adik atau kakak perempuan.
Tan Malaka dilahirkan
dalam sebuah keluarga pemeluk Islam yang taat, ayah dan ibu Tan Malaka sangat
alim dan menjalankan perintah agama Islam. Dalam buku Madilog Tan Malaka
menulis bagaimana ibunya ketika menjelang ajal membaca Surat Yasin berkali-kali
karena ibunya hampir sebagian hafal Al-Qur’an. Tan Malaka ketika kecil sering
diceritakan tentang nabi-nabi, seperti kisah Adam dan Hawa, Nabi Yusuf, dan
Nabi Muhammad. Ayah dan Ibu Tan Malaka sangat peduli tehadap akhlak anaknya,
sehingga tidak hanya menyekolahkan
anaknya di Sekolah Rakyat, tetapi juga menyuruhnya belajar ngaji di surau. Ayah Tan Malaka adalah penganut tarekat.
Menurut Tan Malaka ketika masih kecil dia sudah bisa menafsirkan Al-Qur’an dan
sudah dijadikan sebagai Guru Muda. Tan Malaka menguasai bahasa Belanda, Jerman,
Perancis, Inggris, China, dan Bahasa Arab. Tan Malaka
sangat mengagumi Bahasa Arab yang indah dan mulia.
Masa kecilnya, Tan Malaka
adalah seorang anak yang pemberani, nakal dan keras kepala. Alam Minang kabau
yang asri penuh pemandangan alam; gunung bebukitan dan sungai, menjadi “guru”
bagi Tan Malaka untuk menempa mental dan fisiknya. Alam takambang jadi guru merupakan ungkapan filosofis Minang kabau
yang bermakna dialektis bahwa seseorang harus dapat membaca alam sekitar, orang
sekitar,dan belajar dari apa yang mereka
tampakkan, dimanapun berada kita dapat menjadikannya pelajaran dalam memaknai
dan mejalankan kehidupan.
Menurut
Rudolf Mrazek, falsafah Minangkabau pada dasarnya telah membentuk cara berpikir
Barat rasional, logis, dan dialektis. Tan Malaka yang dibesarkan dalam budaya Minang
kabau telah membentuk struktur pengalaman dan visinya.2 Struktur pengalaman menurut Mrazek
yaitu totalitas pola-pola kebudayaan yang terkumpul dalam diri seseorang,
melalui mana ia menghayati atau memahami apa-apa yang terjadi disekitarnya.
Struktur pengalaman tersebut akan mempengaruhi visi tertentu bagi seseorang
dalam mengartikan apa-apa yang berlaku. Struktur pengalaman Tan Malaka menurut
Mrazek tidak terlepas dari budaya masyakat Minang yang memiliki dinamisme yang
tinggi.3
Peni Chalid menjelaskan Tiga Epistemologi Tan
malaka (petani, pedagang, pejuang) yang merupakan manifestasi dari tanah
lahirnya Minang kabau. Epistemologi masyarakat agraris, kehidupan manusia
sangat tergantung pada dialektika alam.
Epistemologi pedagang lebih bersifat rasional dan memakai pola
transaksional dengan berbagai kepentingan. Sedangkan epistemologi pejuang,
merupakan pola pikir ideologis dan visioner seseorang untuk kepentingan bangsa,
berjuang demi keyakinan yang dianggapnya kebenaran. Menurut Peni Chalid Tan
Malaka mengalami proses pengembangan pemikiran terhadap masyarakat dengan
transisi epistemologi pedagang ke epistemologi pejuang (dari real-materialistik
ke kritis-revolusioner). Keyakinan Tan Malaka tersebut termanifestasi dalam dua
bukunya yang tergolong sebagai filsafat, yaitu Pandangan Hidup, dan Madilog.
Pemikiran
dan tindakan Tan Malaka yang selalu berseberangan, tidak hanya membuat gerah
pemerintah kolonial tetapi juga para penguasa ketika Indonesia telah mencapai kemerdekaan, yang membuat Bapak Republik Indonesia ini wafat
tragis ditembak anak bangsa sendiri di Sungai Brantas di Kediri.4
PENDIDIKAN ALAT MENUJU REPUBLIK INDONESIA
Tan Malaka sangat mencintai dunia pendidikan,
karena dia sangat menyadari bahwa untuk menjadi bangsa merdeka, pendidikan
adalah modal utama. Kecintaan Tan Malaka terhadap pengajaran digambarkan Hary
Poeze, ketika Tan Malaka harus menjalani praktek mengajar di sekolah ekstern
dia menampakkan bakat luar biasa dalam pedagogi, anak-anak sangat merasa sedih
ketika Tan malaka harus meninggalkan mereka. Ketika mengajar Tan Malaka selalu
meluangkan waktu untuk melatih baris berbaris yang sangat disukai mereka.
Bagi Tan Malaka untuk masa
depan bangsa Indonesia yang maju, harus dicapai melalui pendidikan. Karena
pendidikan merupakan perkakas membebaskan rakyat dari keterbelakangan dan
kebodohan, karena itu sekolah-sekolah harus didirikan untuk rakyat. Pendidikan
untuk rakyat Indonesia harus berakar kepada budaya Indonesia yang terus digali
dan disampaikan dengan bahasa Indonesia.5
Prinsip
kerakyatan adalah landasan filosofis dalam praksis pendidikan. Pendidikan tidak
dapat terpisah dalam mempelajari hakekat realita yang merupakan pusat dari
setiap konsep pendidikan. Pentingnya hal tersebut mengingat program pendidikan sekolah
didasarkan atas fakta dan realita, bukan atas keinginan menjadi kaum pemodal
dengan proses pendidikan yang didasarkan kemodalan. Berikut adalah Tiga tujuan
pendidikan Tan Malaka yang menjadi dasar perjuangan pendidikanya:
- Memberi senjata cukup, buat pencarian penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu).
- Memberi hak murid-murid dalam kehidupan sosial, dengan jalan pergaulan (verenigging).
- Menunjukkan kewajiban kelak, terhadap berjuta-juta Kaum Kromo (rakyat kecil).6
Pemikiran pembangunan bangsa
melalui pendidikan telah dipikirkan dan akan dilaksanakan Tan Malaka dalam
Tujuh Minimum Program. Pendidikan yang harus dibangun menurut Tan Malaka, yaitu:
1. Wajib belajar bagi anak-anak semua warga
negara Indonesia dengan Cuma-Cuma sampai umur 17 tahun dengan bahasa Indonesia
sebagai bahasa pengantar dan bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang terutama.
2. Menghapuskan sistem pelajaran sekarang dan
menyusun sistem yang langsung berdasarkan atas kepentingan-kepentingan
Indonesia yang sudah ada dan yang akan dibangun.
3. Memperbaiki dan memperbanyak jumlah
sekolah-sekolah kejuruan, pertanian, perdagangan. Memperbaiki dan memperbanyak
jumlah sekolah-sekolah bagi pegawai-pegawai tinggi di lapangan teknik dan
administrasi.7
Menghapuskan pembelajaran
berbau feodalis merupakan langkah revolusioner Tan Malaka untuk memutus keterbelakangan
dan mental kuli bagi pribumi. Jika masa penjajahan mendidik pribumi hanya
didasarkan kepentingan imprealis sendiri, dalam artian dipekerjakan sebagai
pegawai rendahan mereka. Tan Malaka ingin pendidikan semestinya mendahulukan
kearifan lokal, agar masyarakat memperoleh bekal bagi penghidupannya. Oleh karena
itu pendidikan kejuruan seperti: pertanian, perdagangan, teknik, dan
administrasi harus dibenahi kualitasnya.
Pendidikan praxis Tan Malaka
diwujudkannya di sekolah Sarekat Islam. Sekolah SI berprinsip bahwa hawa (geest) harus lebih sehat dan memiliki
karakter keindonesiaan yang membedakan dengan sekolah Eropa. Anak-anak didik
dituntut keras mencari kepandaian membaca, menulis dan berhitung sebagai modal
penghidupan. Konsep pendidikan Tan
Malaka yang sangat sederhana
tersebut merupakan hal luar biasa
pada masa Tan Malaka merintis sekolah SI.
KAUM INTELEKTUAL DAN KEMERDEKAAN
Kaum intelektual menurut pandangan Tan
Malaka pada masa itu jauh dari kehidupan dan penderitaan rakyat. Tidak adanya
semangat pengorbanan dan pengabdian dikarenakan kebingungan posisinya antara
rakyat dan pemerintah kolonial. Kaum ientelektual yang terasing dari kehidupan
rakyat tersebut dikarenakan exclusivisme
Budi Utomo dan National Indische Party yang pada masa itu dianggap Tan Malaka masih
sangat lambat dan masih berdiri jauh dari kehidupan rakyat serta keaktifan politik. Permasalahan
intelektualisme yang ibarat menara gading tidak akan banyak berdampak bagi
rakyat tetapi butuh perbuatan dan bukti-bukti, salah satunya adalah keaktifan
dalam pergerakan dan politik.
Pandangan Tan
malaka, apabila kaum intelek tidak terlibat revolusi mereka tidak akan terlepas
dari penderitaan pada masa berikutnya, dimana pemikiran dan tenaga mereka akan
dipakai oleh penjajah yang selanjutnya akan dicampakkan seperti kaum proletar,
hal ini terjadi di India, Inggris, dan
Jepang. Kaum intelektual harus tanggap terhadap gerakan perubahan, dimana
barisan rakyat sedang merebut kemerdekaan, jangan tutup mata dan tidak perduli
terhadap keadaan.
Kaum intelektual tidak bisa
hanya menjadi penonton yang berpangku tangan, sementara mereka juga akan
menikmati perjuangan kemerdekaan. Kaum intelektual harus berbesar hati
melepaskan baju intelektual yang dirasanya lebih terhormat, dan harus ikut berkeringat bersama rakyat. Dengan
terlibat dalam revolusi, kaum intelektual dapat mengabdikan moral dan
intelektualitas mereka guna memperlancar revolusi, disitulah mereka akan
rasakan manisnya kerja sosial. Sangat berbeda apabila mereka menjadi kaum
individualis, mereka akan terperangkap dalam kesunyian kapitalisme. Dengan
keterlibatan kaum intelektual dalam barisan rakyat, makin kokohlah barisan
perjuangan. Ilmu pengetahuan akan lebih baik jika digunakan bangsa sendiri, bukan untuk membantu
raksasa imperialis dalam eksploitasi. Keterlibatan kaum intelektual akan
membantu proses perwujudan kebangkitan ekonomi, sosial, intelektual dan
kebudayaan.
Sekolah
yang menciptakan kaum intelektual, harus tidak terpisah terhadap cita-cita
politik bangsa. Kaum terdidik dari berbagai bidang keahlian harus terlibat
menjadi tenaga perjuangan kemerdekaan. Karena intelektualitas dan kemampuan
organisasinya memang terlatih. Sebuah surat terbuka yang dimuat De Tribune di Moskow tanggal 19 Agustus
1923, Tan Malaka menyampaikan pemandangan tentang mahasiswa dan cendikiawan Indonesia yang masih
terbelenggu dan terpisah tembok dengan kaum proletar, hingga sedikit sekali
kaum intelektual yang terlibat aktif dalam pergerakan kemerdekaan.8 Seruan Tan Malaka kepada kaum
intelektual tidak menjanjikan imbalan apa-apa kecuali satu, kemerdekaan bagi
Indonesia. Bagi Tan Malaka perjuangan bangsa-bangsa yang tertindas di Timur
hanya akan berhasil menggempur imperialisme apabila kaum buruh, kaum tani dan
cendikiawan bersatu padu.
Sikap
Tan Malaka sangat tegas, kemerdekaan harus direbut, jangan pernah mengharap
belas kasihan dari pihak penguasa kolonial. Kaum terpelajar harus bergabung
memperkuat revolusi, dan merasakan perjuangan bersama rakyat. Tan Malaka
merupakan sosok cerdas yang tegas menyatakan Hindia terlepas dari Belanda. Tan
Malaka bergerak dari segala sudut kehidupan masyarakat, yang membuat dia terus
mendapat tekanan dan pembuangan.
IMPERIALIS ANTI PENDIDIKAN
Soal pendidikan dengan sengaja diabaikan oleh
Belanda, sehingga kaum intelektual menjadi terbatas.9
Kalau penjajahan Belanda selama 300 tahun itu tidak membatasi pendidikan bagi
pribumi, tentunya pada masa pejajahan
derajat kaum intelektual Indonesia jauh berbeda. Akan banyak posisi strategis
yang akan diisi oleh pribumi, seperti saudagar, tuan tanah, dan pegawai
bumiputera.
Indonesia
tidak mempunyai faktor-faktor ekonomi, sosial ataupun intelektual buat
melepaskan diri dari perbudakan ekonomi dan politik di dalam lingkungan
imperialisme Belanda. Indonesia dapat menaikkan ekonominya jika kekuasaan
politik ada ditangan rakyat. Indonesia akan mendapat kekuasaan politik tidak
dengan apapun, kecuali dengan aksi politik yang revolusioner lagi teratur, dan
tidak mau tunduk. Tentulah perangkat revolusi tersebut adalah pendidikan
rakyat.
Belanda ingin
memformat pedidikan yang ada harus meniru pendidikan di Belanda secara utuh, karena
bagi Belanda, lembaga pendidikan khususnya universitas yang ada di Belanda
adalah yang terbaik dari universitas manapun. Hal ini tanpa memperhatikan
karakter dan budaya Indonesia. Akibat politik pendidikan Belanda tersebut,
Perguruan Rendah, Menengah, dan Tinggi masa penjajahan tidak cukup untuk rakyat
yang berjumlah 55 juta.10
Tahun 1921 kaum revolusioner
memperbaiki keteledoran pemerintah kolonial
dalam pendidikan dengan mendirikan
sekolah. Walau menempuh berbagai kesulitan: teknis, kepegawaian,
keuangan, dan politik. Namun
akhirnya di seluruh Jawa dapat
didirikan 52 buah sekolah dengan kira-kira 50.000 murid.
Pemerintah kolonial menekan
perkembangan pendidikan kaum revolusioner tersebut dengan kekerasan. Guru-guru
dilarang mengajar, dan orangtua murid ditakut-takuti. Peran penting
pemberangusan gerakan pendidikan rakyat tersebut dimainkan oleh organisasi
Serikat Hijau11 mereka diperintah untuk
membakar sekolah, menakut-nakuti, menganiaya murid dan guru.
Politik pendidikan pemerintah
kolonial dalam soal pengajaran dapat
diungkapkan dengan: ”Bangsa Indonesia, harus tetap bodoh supaya ketentraman dan
keamanan umum terpelihara.” Pergerakan pendidikan dan pemimpin rakyat yang dipercayai rakyat
dicap dan diperlakukan seperti penghasut dan bandit, mereka dimasukkan ke
penjara.
Petani kebanyakan buta huruf dan bodoh, mereka
ditekan dalam satu kontrak yang diakui oleh pemerintah. Dalam kontrak disebutkan
mereka tidak boleh berorganisasi dan mogok. Agar dapat mengadakan pemerasan
atas kelas buruh yang jumlahnya lebih besar, kelas kapitalis yang jumlahnya
lebih kecil mempergunakan pendidikan untuk melemahkan perjuangan buruh.
Kalaupun pendidikan diberikan
kepada rakyat, Belanda tetap menanam kepentingan kapitalistis. Rakyat diajar melupakan
pertentangan kebangsaan, melupakan adat budaya, dan jati diri sebagai bangsa.
Sehingga menyerahkan hidup nya kepada kemodalan kolonialis. Bangsa Hindia yang
terpelajar telah ”berdamai” dengan Belanda dan melupakan bangsanya sendiri.
Inilah politik etis Belanda, memberikan pendidikan kepada kaum tertindas tetapi
tetap berimbas kepada penindas dengan menjadi alat industri.
PENDIDIKAN BARAT
Menurut Tan Malaka apabila mempelajari dunia
Barat, Eropa dan Amerika, maka terdapat tiga garis pokok kebudayaan yaitu
agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan empirik. Sementara cabang kebudayaan yang
lain akan bersandar pada tiga garis kebudayaan tersebut.12 Dari tahun 500 SM sampai 1500 M, agama memperoleh kedudukan
tertinggi, filsafat masih mengabdi kepada agama. Dari 1500 sampai 1850 M,
filsafat mendapat kedudukan tertinggi dalam masyarakat Barat. Tahun 1850 sampai
sekarang ilmu empiris memperoleh nilai dan kedudukan tertinggi di Eropa dan
Amerika.
Pandangan Tan Malaka,
Indonesia yang maju harus terlepas dari logika mistis, lepas dari
kekuatan-kekuatan gaib dan mulai mempergunakan ilmu pengetahuan. 13Sebagai patokan sains dan teknik maka
Barat adalah acuan. Menurut Franz Magnis
Suseno, Tan Malaka tidak malu mengakui
bahwa dia adalah murid Barat, karena di zaman modern Baratlah dirintis
pemikiran materialistis, dialektik, dan logika.
Indonesia harus merdeka berpikir dan berikhtiar, sudah
saatnya berdiri atau berubah dengan mengerahkan daya upaya dengan kecakapan,
perasaan dan kemauan. Manusia sebagai individu
atau bangsa harus mempergunakan pemikiran dan tenaga buat memajukan
kebudayaan manusia. Tan Malaka secara keras menyatakan bahwa manusia ataupun
bangsa yang tidak menggunakan pemikiran dan tenaga bagi kemanusiaan maka tidak
layak menjadi seorang manusia atau bangsa dan pada hakikatnya tidak ada
perbedaan dengan binatang.
Tan Malaka menganjurkan untuk
mempelajari pengetahuan Barat. Rakyat pribumi jangan terjebak romantisme
sejarah bahwa kebudayaan dan pengetahuan
Timur lebih tua dan lebih mulia daripada Barat. Kondisi yang masih percaya
kepada mitos dan mistis sungguh tidak layak untuk dianggap lebih agung dan
pintar daripada Barat. Budaya tahayul harus dihapus dan diganti dengan
pemikiran ilmiah, setidaknya ini adalah langkah awal bagi pribumi untuk menjadi
murid bagi Barat.
Tidak
perlu malu dan bimbang dalam upaya merampas kemerdekaan dengan menjadi murid
Barat. Kekuatan keinginan untuk merdeka dan belajar sendiri adalah modal utama
dalam rangka menjadi murid Barat tersebut. Pribumi tidak boleh kalah oleh orang Barat dalam hal
pemikiran, penyelidikan, kejujuran, kegembiraan, kerelaan dalam segala rupa
pengorbanan. Mengakui dengan tulus,
bahwa kita sanggup dan harus belajar dari orang Barat, tentunya tanpa harus
menjadi peniru total dari Barat melainkan harus cerdas, suka mengikuti
dialektika alam, dan harus melampaui kelebihan Barat.
Pengagungan
Tan Malaka terhadap ilmu pengetahuan Barat dalam konteks masa kolonial, tentu
tidak dapat disalahkan. Karena kondisi masa itu, pribumi nusantara benar-benar
dalam kondisi kritis, jauh dari sikap ilmiah dan rasional. Sehingga belajar ke
Barat menjadi solusi untuk membangun kesadaran merdeka dan bangsa bermartabat,
bukan bangsa yang terjebak tahayul. Kritik Tan Malaka terhadap tidak
berkembangnya sikap ilmiah dikalangan pribumi, ditulisnya secara detail dalam
buku Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika).
PERAN NEGARA DALAM PENDIDIKAN
Konsep pendidikan gratis dan subsidi,
sudah pernah dipikirkan dan diimplementasikan oleh Tan Malaka. Bagi Tan Malaka
pendidikan harus diberikan kepada seluruh rakyat Indonesia sampai berumur 17
tahun secara gratis. Konsep tersebut menjadi bahan perdebatan Tan Malaka di
Belanda dengan seorang tokoh Belanda bernama Fabius yang berperan penting dalam
kebijakan pendidikan. Menurut Tan Malaka pendidikan tidak hanya berada di bawah
negara tetapi negara juga harus membiayai pendidikan rakyat.
Pemikiran Tan Malaka tentang peran negara dalam
pendidikan mendapat tentangan keras dari Fabius. Menurut Fabius, politik
pendidikan yang dianjurkan Tan Malaka akan menambah banyak lulusan pendidikan namun
akan mengurangi nilai intelektual. Kebijakan pendidikan yang memberi akses luas
kepada rakyat akan menambah banyak jumlah pengangguran dikalangan intelek.
Namun
argumentasi Fabius tersebut mendapat pertentangan dari Tan Malaka, pandangannya
di suatu masyarakat dimana produksi dijalankan menurut rencana, bersamaan
dengan itu adanya pendidikan yang terencana, pengangguran tidak mungkin ada.
Kalaupun tetap ada pengangguran, hal itu tidak akan berlangsung lama, karena
pendidikan telah dicocokkan dengan
kebutuhan produksi masyarakat.
Pada
masa perdebatan Tan Malaka dan Fabius ini terjadi, kebijakan pendidikan masih
berdasarkan supply and demand dimana
kaum kapitalis berbuat semaunya. Sementara untuk menentang tentang
intelektualitas yang akan berkurang, menurut Tan Malaka kecerdasan tidak akan
menurun, karena murid yang melanjutkan studi tidak lagi didasarkan finansial
keluarga, melainkan kecerdasan otak. Kondisi saat itu, banyak anak cerdas tidak
dapat melanjutkan studi karena ketidakmampuan finansial. Sementara anak yang
mempunyai uang namun tidak memiliki kemampuan bisa memperoleh titel.
AKTIFITAS PENDIDIKAN TAN
MALAKA
Foreign Language School di
Tiongkok. Selama di Tiongkok, Tan Malaka tidak ingin
menyia-nyiakan waktu, dia memanfaatkannya dengan mendirikan sebuah sekolah
bahasa asing. Pada perkembangannya foreign language school tidak hanya
semata-mata belajar bahasa asing tapi berkembang pada diskusi tentang Politik, Ekonomi,
dan Filsafat. Pelajaran tambahan tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi
pemuda Tiongkok untuk belajar disana. Tan Malaka juga menambahkan materi
pelajaran dengan jurnalisme, book keeping,
untuk itu dia membutuhkan guru pembantu sehingga dibukalah penerimaan guru. Karena
Tan Malaka memiliki misi politik, maka foreign
language school pun harus ditinggalkan. Menurut Tan Malaka ketika foreign language school ditinggalkannya
untuk melawat ke Singapura, sekolah tersebut tetap diminati para murid.
Menjadi Guru di Singapura. Di Singapura, Tan Malaka menjadi guru bahasa
Inggris sekaligus sebagai kepala sekolah.
Selama di Singapura proses belajar mengajar terganggu karena serangan
pesawat tempur Jepang. Membuat para guru mempunyai tugas ekstra, yaitu
melindungi murid dari serangan bom. Tentara sukarela dibentuk di sekolah
Tionghoa tempat Tan Malaka mengajar, dan banyak murid yang terlibat, terutama
dalam penyadaran politik. Sekolah ditutup dan
beralih fungsi menjadi tempat pelatihan tentara sukarela dan sebagai
asrama. Tan Malaka tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang sekolah di
Singapura tersebut.
Menjadi Guru Kaum Kuli di Medan. Tan
Malaka Menjadi guru kaum kuli di Tanah Deli Medan, dikarenakan tawaran Dr.
Jansen.14 Kesepakatan Tan Malaka dengan Dr.
Jansen adalah memberikan pendidikan yang dibutuhkan anak-anak kuli. Tugas yang
akan diembannya adalah sebagai pembantu pengawas semua sekolah bagi kaum kuli
di Senembah Mij.15 Perkembangan berikutnya, penindasan,
penderitaan, dan pembodohan sistematis yang diamati dan dirasakan Tan Malaka, membuat
Tan Malaka banyak bertentangan dengan pemerintah kolonial. Pengalaman selama
menjadi guru kaum kuli di Tanah Deli sangat mempengaruhi corak pemikirannya
dalam berbagai bidang. Visi pendidikan Tan Malaka tentang kaum kuli menjadi
landasan setiap aktifitas pendidikannya, mulai dari menjadi guru di Deli sampai
ketika dia mendirikan sekolah Sarekat Islam.
Menurut
Harry A.Poeze, Dr. Jansen sebelumnya telah merumuskan pendidikan kaum kuli dengan tetap
mengikat mereka kepada perkebunan, karena kurikulum dan kegiatan di sekolah
selalu berorientasi perkebunan. Dalam aktifitas sekolah, pada pagi hari waktu
satu jam dihabiskan untuk bekerja di kebun sekolah, anak-anak diajar merawat
kebun dengan rapi, dan di sore hari anak-anak bekerja di perkebunan dengan
mendapat bayaran sekaligus meningkatkan keahlian mereka dalam berkebun.
Strategi ini dibuat agar kelak anak-anak mempunyai cita-cita bekerja di
perkebunan. Fokus pembelajaran yang dirancang Dr. Jansen adalah adat, tertib,
disiplin, dan kerapian. Guru juga dituntut untuk mengurangi kebiasaan buruk
kaum kuli, seperti berjudi, sehingga pembelajaran moral juga menjadi perhatian.
Rumusan pendidikan kaum kuli Dr. Jansen dan Tan Malaka tidak jauh berbeda
dengan rumusan awal, yaitu membiasakan pekerjaan tangan kepada murid.
Kekhawatiran
Tan Malaka tentang kaum kuli yang akan meninggalkan kegiatan fisiknya, setelah
merasakan nikmatnya kegiatan otak ini terus disampaikannya dalam setiap
kesempatan. Bahwa antara kognitif dan motorik harus diseimbangkan, pribumi yang
mengenyam pendidikan jangan sampai memandang rendah kegiatan fisik orang tua
mereka, kaum tani, kaum buruh. Tan Malaka juga menjelaskan bahwa disekolahnya
pekerjaan tangan sangat diberi penghargaan, karena pekerjaan tangan sama
mulianya dengan kerja otak, atau orang yang bekerja dengan pena.16 Tan Malaka mengkritik keras orang
Barat ataupun orang pribumi yang kebarat-baratan yang merasa lebih dihormati
dan disegani karena intelektualitas mereka serta menghina orang yang bekerja
tangan.17
Pada tahun 1921 mulai didirikan sekolah untuk guru
pembantu, 10 murid terbaik dari 15 murid, dilatih di sebuah asrama di Tanjung Morawa.
Tahun 1922 sudah berdiri dua belas sekolah perkebunan dengan jumlah murid 581.18 Perjuangan Tan Malaka untuk pendidikan
kaum kuli sangatlah berat, dia harus berhadapan dengan orang-orang Belanda yang
sangat anti pendidikan diberikan kepada kaum kuli. Bagi mereka pendidikan yang
diberikan kepada anak-anak kuli selain membuang uang dan waktu, juga akan
membuat mereka menjadi liar, dan brutal. Tentu keliaran dan kebrutalan yang
dimaksudkan orang Belanda disini bukanlah anarkisme fisik, tapi kecerdasan dan
kesadaran mereka akan arti kemerdekaan dan kemanusiaanlah yang paling ditakuti.
Untuk itulah orang Belanda yang anti pendidikan selalu menganjurkan bahwa tidak
perlu pendidikan rendah selama 5 tahun.
Dr.
Jansen adalah mitra sejati Tan Malaka dalam menjalankan pendidikan untuk
anak-anak kuli, sehingga ketika Dr. Jansen kembali ke Nederland, Tan Malaka
sangat terguncang, karena dia harus berjuang sendiri menghadapi orang Belanda
yang sangat anti dengan dia dikarenakan haluan politik, dan pekerjaannya
sebagai guru. Kebimbangan Tan Malaka tersebut memunculkan sebuah keputusan
pengunduran diri dari sekolah tersebut.
Namun
pengunduran diri Tan Malaka di sekolah kuli bukan semata-mata perginya Dr.
Jansen, tetapi juga karena alasan politis orang Belada masa itu. Karena di Deli
Tan Malaka tidak hanya aktif kegiatan pendidikan tetapi juga aktif dalam
pergerakan kaum proletar. Bahkan Tan Malaka berada di balik pemogokan-pemogokan
kaum buruh dan juga aktif menulis yang dipublikasikan melalui surat kabar sehingga
membangkitkan kesadaran dan sikap kritis masyarakat. Aktifitas politik Tan
Malaka tersebut mengkhawatirkan pihak Belanda, sehingga ancaman terus ditujukan
kepada Tan Malaka. Kondisi politik yang tidak kondusif tersebut membuat Tan
Malaka harus merubah strategi perjuanganjuang, salah satunya dia memilih hijrah
ke Jawa, tujuannya adalah Semarang.
SEKOLAH SAREKAT ISLAM
Di Yogyakarta Tan Malaka menemui Sutopo
mantan pemimpin Surat Kabar Budi Utomo. Sutopo mengajak Tan Malaka berkeliling
dalam usaha mendirikan sekolah yang akan Tan Malaka pimpin. Salah satu tokoh
yang dikenalnya adalah Tjokroaminoto, dalam pertemuan tersebut Tojkroaminoto
berkata pada Tan Malaka ”Pintu Sarekat Islam terbuka untuk saudara.” Pertemuan
dengan tokoh-tokoh politik terus bergulir, Tan Malaka berkenalan dengan
Darsono, dan Semaun.
Pertemuan
Tan Malaka dengan semaun telah membuat kesepakatan bahwa dia akan mengajak Tan
Malaka ke Semarang guna memimpin sebuah perguruan. Kepergian Tan Malaka ke Semarang
membuat harus berpisah dengan Sutopo yang sedang berusaha mendirikan sekolah
untuk Tan Malaka di Yogyakarta. Semaun
mengadakan rapat istimewa buat anggota Sarekat Islam yang membahas agenda rapat
utama mendirikan perguruan.
Usul
pendirian sekolah Sarekat Islam mendapat sambutan dan dukungan sangat baik,
pada hari itu juga sidang menyetujui didirikan Sekolah Sarekat Islam.
Permasalahan fasilitas tidak begitu menjadi masalah, karena Sarekat Islam memiliki
gedung yang bisa dijadikan tempat sementara untuk belajar. Sedangkan perangkat
tulis menulis dengan cepat bisa diperoleh, hanya dalam waktu dua hari saja, Tan
Malaka sudah memperoleh murid sebanyak 50 orang. Pemikiran dan visi misi
sekolah Sarekat Islam dijabarkan Tan Malaka dalam sebuah brosur kecil berjudul
”S.I. Semarang dan Oderwijs”. Prinsip
sekolah sarekat Islam, sebenarnya merupakan kelanjutan gagasan Tan Malaka, Dr,
Jansen, dan De Way ketika masih di sekolah kuli di Deli Sumatera Utara.
Sekolah
Sarekat Islam didirikan bukan untuk mencetak juru tulis bagi kepentingan
pemerintah kolonial, tetapi sebagai bekal hidup mereka dan keterlibatan aktif
bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dasar yang dipakai Tan Malaka adalah
dasar kerakyatan dalam masa penjajahan. Sekolah Sarekat Islam yang didirikan
Tan Malaka bukan bermaksud mencari keuntungan, seperti sekolah-sekolah
partikulir. Program sekolah rakyat ini memungut biaya ringan bahkan gratis.
Prinsip yang dianut dan diterapkan si sekolah sarekat Islam yaitu:
- Memberi senjata cukup, buat pencarian penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dan sebagainya)
- Memberi hak murid dalam kehidupannya dengan jalan pergaulan (verenniging).
- Menunjukkan kewajibannya kelak terhadap berjuta-juta kaum kromo (rakyat jelata).
Pemikiran anti kolonialisme
dan anti kapitalisme menjadi landasan pemikiran Tan Malaka yang mewarnai
sekolah SI. Anak-anak memang didik menjadi manusia merdeka. Pengalaman selama 2
tahun di Tanah Deli, menjadi bekal utama bagi Tan Malaka dalam mengintegrasikan
kurikulum pembebasan nasional, kecakapan hidup, dan intelektualisme. Pemikiran
politik Tan Malaka sangat kental terasa di sekolah SI, bahwa kaum terdidik setelah melewati bangku pendidikan
mereka jangan lupa terhadap perjuangan rakyat tertindas yang hidup dalam
kemelaratan. Banyak pribumi yang melupakan rakyat kecil setelah mereka selesai
pendidikan di sekolah pemerintah kolonial.
Disekolah SI budaya Timur menjadi geest (hawa) yang dirasakan
peserta didik, tidak seperti yang diterapkan di sekolah partikulir atau HIS Gouvernment. Peserta didik di sekolah SI
dituntut suka bekerja keras mencari ilmu, karena itulah bekal bagi kehidupan
mereka. Tan Malaka yang memang mendalami ilmu pendidikan sadar betul bahwa
anak-anak didik tidak boleh tercerabut dalam masa yang seharusnya mereka alami,
yaitu kesukaan bergaul sebagai anak-anak.
Belanda sangat khawatir dengan
perkembangan sekolah yang mereka sebut sebagai ”Sekolah Model Tan Malaka” yang dianggap Belanda menganut komunis
internasional, akan membahayakan pemerintah kolonial karena melahirkan kader
pergerakan kemerdekaan. Pada saat itu permintaan pendirian sekolah SI datang
dari pelosok Malang, namun tetap Semarang sebagai pusat.
Menurut R. Kern, seorang
penasehat pemerintah kolonial dalam masalah-masalah pribumi, Kesuksesan sekolah
Sarekat Islam tersebut dikarenakan hal berikut: (1) Kurangnya tempat bagi
pribumi untuk belajar di HIS. (2) Bakat Tan Malaka dalam mengorganisir. (3) Penguasaan
Tan Malaka dalam bidang pendidikan. (4) Bakat improvisasi Tan Malaka dalam
mengatasi permasalahan penyelenggaraan pendidikan. (5) Biaya pendidikan rendah
bahkan gratis. (6) Berideologi anti kolonialisme.
Pada perkembangan sekolah SI,
Bandung adalah daerah kedua berdirinya Sekolah Sarekat Islam. Pada masa ini
terdapat 300 orang murid, yang membuat Tan Malaka mengerahkan tenaga guru baru
ke Bandung. Setelah Tan Malaka ditangkap dan dibuang ke Eropa, sekolah SI tidak
hanya mendapat pemboikotan dari pemerintah kolonial, tetapi juga perpecahan
internal. Kepentingan politik kelompok ideologis secara perlahan menghacurkan sekolah yang
didirikan Tan malaka tersebut.
PENDIDIKAN BERKARAKTER KEINDONESIAAN
Belanda, Inggris, dan Jepang, mengatakan bahwa Tan Malaka adalah seorang
pengacau besar karena gerakan penyadaran makna kemerdekaan bagi Bangsa
Indonesia melalui pendidikan. Pemikiran pendidikan kritis emansipatoris yang
digagas dan diimplementasikan Tan Malaka pada masa pra kemerdekaan selayaknya
menjadi inspirasi dan landasan pembangunan pendidikan nasional yang berkarakter
keindonesiaan.
Sekolah
adalah tempat mendidik anak-anak bangsa agar berjiwa merdeka. Peserta didik
tidak bisa dianggap sebagai robot dalam proses pendidikan dan menjadi mesin
kapitalis ketika menyelesaikan pendidikan. Pendidik harus internalisasikan nilai-nilai
perjuangan dan kemandirian kepada peserta didik yang akan berdampak kepada
kemandirian bangsa sehingga tidak
bergantung kepada negara lain. Di abad kapitalisme, out put pendidikan cendrung hanya dijadikan alat produktifitas
kapitalisme. Keadaan ketergantungan kepada pemodal dan bermental sebagai tenaga
kerja ini menjadikan mental budak di dalam masyarakat yang tingkat
ketergantungan sangat tinggi kepada pemodal.
Guna
mencapai tujuan pendidikan maka seorang guru haruslah menguasai prinsip-prinsip
pengajaran. Proses pembelajaran di sekolah seharusnya tidak mencerabut siswa
dari akar budaya. Olehkarena itu guru harus menggali kearifan lokal dimana dia
memberikan pengajaran. Sehingga proses internalisasi informasi memang benar
berdasarkan kondisi kehidupan masyarakat, tentunya tanpa mengabaikan
perkembangan dunia.
Bagaimana
nilai-nilai pergaulan sosial ditanamkan kepada anak-anak di sekolah-sekolah di
Indonesia sekarang? Perlu penelitian untuk menjawab pertanyaan sederhana
tersebut. Namun sistem pendidikan telah memerangkap peserta didik dalam tekanan
hanya fokus pada pelajaran. Banyak kebijakan pendidikan nasional yang tidak
memperhatikan peserta didik sebagai mahluk sosial. Kelas akselerasi, kelas
standar internasional, kelas excellent dan
berbagai istilah lainnya membuat siswa sibuk dari pagi sampai sore dengan
pelajaran-pelajaran. Tidak hanya sampai disitu, beban belajar berbentuk
tugas-tugas masih mereka bawa ke rumah, hingga malamnya mereka disibukan lagi
dengan materi pelajaran. Tidak hanya itu, program-program sekolah unggulan
dengan memakai konsep sekolah terintegrasi, dengan waktu yang padat sampai sore
telah merampas waktu anak-anak untuk sekedar bersantai, bermain, dan memperluas
pergaulan mereka. Sehingga mereka tidak memilki kecerdasan sosial dan menjadi
sosok individualis.
Aspek
tanggung jawab sosial mendapat perhatian penting dalam pemikiran pendidikan Tan
Malaka. Kekhawatiran eksklusivisme kaum intelektual, yang seakan menjadi kasta
tersendiri telah diantisipasi oleh Tan Malaka. Pada masanya superioritas kaum
terpelajar memang terasa mencolok, terutama yang memperoleh pendidikan Eropa. Dalam
ceramah dan tulisan, Tan Malaka tidak henti-henti mengkritisi kaum intelektual
yang hidup dalam menara gading. Tentang alienasi kaum intelektual tersebut
masih terasa saat ini. Kaum intelektual masih banyak terpenjara di kampus dalam
idealisme dan teori-teori. Kehidupan kaum intelektual yang seakan bertembok
dengan rakyat tersebut masih tetap terasa walaupun sebenarnya perguruan tinggi
memiliki prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi. Perguruan tinggi sebagai wadah
kaum intelektual belum bisa diandalkan sebagai agen perubahan ketika secara
individu mereka masih berpikir bahwa kelas mereka lebih tinggi daripada masyarakat
banyak yang bergelut dengan kerasnya kehidupan sekedar mempertahankan hidup.
Kaum
intelektual dan kaum teknokrat selayaknya tidak terasing dalam pergulatan
kehidupan masyarakat, karena pekerjaan fisik masyarakat tidaklah lebih rendah
dari kerja intelektual. Kerja tangan dan fisik merekalah yang membangun bangsa
ini. Tan Malaka pernah ingin menguji mana yang lebih penting pekerjaan kaum
proletar atau kaum intelektual, dengan mengajak mogok kerja kaum buruh dimana
segala produksi akan terhenti, disinilah disadari bahwa antara intelektual dan kaum
pekerja adalah suatu kesatuan yang bergerak menuju satu tujuan bangsa
berdaulat, dan masyarakat sejahtera.
Pendidikan
di Indonesia diselenggarakan bukan untuk mempersiapkan sumber daya manusia
handal yang dipergunakan bagi Neo Imperialisme
global. Para stakeholder harus
menyadari bahwa pendidikan yang diselenggarakan untuk rakyat adalah sebagai
pondasi untuk menjadi bangsa merdeka dalam berbagai bidang: Politik, Budaya,
Ekonomi, Militer, Teknologi. Globalisasi sebagai realitas seharusnya menjadi
tantangan agar Indonesia tidak menjadi bangsa yang membebek, dan terjebak dalam
pendidikan untuk menciptakan tenaga ahli dan intelektual yang hanya menghamba
kepada kepentingan kapitalisme, dengan apologi globalisasi dan kepentingan
ekonomi.
Anthony
Giddens mendefinisikan globalisasi sebagai peningkatan interdependensi
masyarakat dunia, dimana tidak ada lagi batas sosial politik di antara negara.
Ada enam komponen globalisasi yang
disampaikan oleh Cohen dan Kennedy: pertama, perubahan konsep ruang dan waktu.
Kedua, peningkatan interaksi budaya. Ketiga, permasalahan sama yang dihadapi
masyarakat. Keempat, pertumbuhan interkoneksi dan interdependensi. Kelima,
meningkatnya jaringan kekuatan transnasional aktor-aktor dan
organisasi-organisasi. Keenam, sinkronisasi seluruh dimensi yang meliputi
globalisasi. Sedangkan Gunawan Wiradi memahami globalisasi sebagai gerakan
internasional yang dilandasi neo liberalisme, yang meyakini prinsip pasar
bebas, sebebas-bebasnya, mencakup perdagangan bebas, gerak tenaga kerja bebas,
investasi bebas, dan gerak modal bebas. Guna melanggengkan liberalisasi
tersebut menurut Wiradi maka peran negara harus diminimalkan sekecil mungkin
dalam berbagai aspek demi kepentingan kapitalisme.
Globalisasi
sebagai keniscayaan dengan motif utamanya adalah pasar bebas bukan berarti
bangsa Indonesia tidak memiliki karakter bangsa karena terbawa godaan
mimpi-mimpi indah yang ditawarkan kapitalisme. Neo kolonial dengan muka barunya
Globalisasi tidak lagi dengan membawa armada perang. Senjata modal neo kolonial
dari negara-negara maju perlahan merampas kekayaan Indonesia, sehingga negara
ini ada hanya di atas kertas. Secara fakta, modal-modal dan lahan telah
dikuasai kapitalisme. Korporasi-korporasi besar menancapkan kukunya ditanah air
mencari tenaga kerja ahli namun murah. Kaum buruh yang semakin tergilas
teknologi dan peraturan pabrik yang menindas dihantui kehilangan pekerjaan.
Kaum tani tidak lagi memiliki lahan, penyerobotan-penyerobotan tanah perusahaan
asing semakin menyengsarakan. Lapangan kerja semakin sempit, impor tenaga kerja
ahli dari luar telah menyingkirkan tenaga-tenaga domestik. Para sarjana berebut
menjadi tenaga kerja dengan sistem outsourcing
dimana tidak ada jaminan kesejahteraan, asuransi kesehatan, namun dengan
tuntutan kerja di bawah tekanan dan dibawah ancaman pemecatan yang tanpa uang
tolak karena tidak mencapai target.
Globalisasi
dengan senjata kapital semakin mengancam kehidupan masyarakat Indonesia. Selama
masih ditemukan penindasan layaknya kerja rodi yang penulis gambarkan tersebut,
wajarlah kalau muncul pertanyaan, apakah Indonesia sudah merdeka. Dengan wajah
barunya, neo kolonial mengeksplorasi kekayaan alam maupun memanfaatkan tenaga
rakyat demi kepentingan industri dan berbagai bidang bisnis mereka. Bangsa
Indonesia tidak dapat berbuat banyak selain menjadi penonton.
Apabila
pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia hanya berdasarkan pemenuhan
kebutuhan industrialisme Barat, lalu apa bedanya kondisi saat ini dengan masa
penjajahan Belanda. Pemerintah kolonial hanya memberikan akses pendidikan
kepada pribumi sebagai strategi memenuhi kebutuhan mereka terhadap kerja-kerja
klerikal, buruh, dan mandor-mandor perkebunan. Masa kolonial akses pendidikan
yang dibatasi dan selalu dipersulit, semata-mata untuk terus memerangkap
Indonesia dalam jurang kebodohan. Dengan kebodohan abadi tersebut, Imperialisme
semakin mencengkramkan kekuasaan mengeksploitasi Indonesia.
Kebodohan
yang masih menjajah Indonesia tersebut dapat dilihat dari data bahwa kekayaan
Indonesia hanya dikuasai 0,2% oleh penduduk.17
Fakta kemiskinan dalam aspek penguasan kekayaan Indonesia ini mencerminkan
bahwa bangsa Indonesia belum merdeka, karena masih dikuasai oleh pihak asing.
Pertanyaan yang muncul, mengapa ini bisa terjadi? Apakah pendidikan yang
dibangun selama ini tidak cukup membangun bangsa yang mandiri dan berdaulat
dinegeri sendiri? Apakah sedemikian bodohnya bangsa Indonesia sehingga tidak
dapat mengeksplorasi kekayaan dan mengelola kekayaannya sendiri?
Pendidikan
sebagai social capital yang akan
menggerakkan roda pembangunan harus dipandang sebagai kebutuhan pokok. Namun
pendidikan yang diberikan jangan mengabaikan prinsip-prinsip nasionalisme dan
humanisme. Fenomena melunturnya nasionalisme dapat dijadikan sebuah premis
bahwa penanaman pemikiran kebangsaan, keindonesiaan belum terselenggara dengan
baik. Betapa mengerikan kondisi Indonesia di masa beberapa tahun mendatang,
ditengah arus informasi teknologi dan budaya pop hedonisme, generasi muda
terjebak dalam perangkap ketidakpastian.
Sehingga
kalaupun muncul ilmuwan handal, teknokrat ahli, birokrat, maupun pekerja yang
tidak menyadari posisinya sebagai warga dunia namun merupakan entitas bangsa Indonesia. Ketika arus dunia tanpa
batas ini menghilangkan jati diri dan karakter nasionalisme dan keindonesiaan,
tidaklah aneh apabila dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat Indonesia akan
menjadi chaos. Korupsi akan semakin
merajalela karena nilai-nilai dasar sebagai warga negera yang baik tidak
terinternalisasi. Ketika konsep nilai-nilai adi luhung pada masa pergerakan
kemerdekaan terus digali, diinternalisasi dalam level pendidikan tertinggi,
minimal perilaku bobrok dalam pengelolaan negara akan dapat dikurangi.
Guru
merupakan agen pembebasan terpenting untuk menuju Indonesia merdeka seratus
persen. Sebagaimana yang telah diterapkan Tan Malaka dalam berbagai kegiatan
pendidikannya. Tan Malaka selalu menekankan bahwa guru yang dilatih dan
dilibatkan dalam proyek pendidikannya selalu dituntut memiliki kompetensi. Bisa
dikatakan empat kompetensi (pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian)
yang termaktub dalam Undang-undang Guru dan Dosen No 15 tahun 2005 yang menjadi acuan perbaikan kualitas pendidikan
saat ini sebenarnya telah diterapkan Tan Malaka. Bahkan empat kompetensi
tersebut pada masa Tan Malaka sebenarnya bisa ditambahkan dengan kompetensi
ketabahan dan keikhlasan demi bangsa dan negara. Nilai patriotisme inilah yang
luntur dalam proses pendidikan saat ini.
Jika
direfleksikan pengabdian guru pada masa Tan Malaka, disatu sisi mereka dituntut
memiliki kompetensi yang diperoleh melalui proses pendidikan guru yang berat
dengan standar pemerintah kolonial. Ketika mereka mengaplikasikan ilmu,
ternyata bukan hanya bermotif kesejahteraan. Jika dilihat dari penghasilan yang
diperoleh sangatlah tidak berimbang. Seperti yang diperoleh Tan Malaka ketika
mengajar di Deli, maupun ketika di sekolah Sarekat Islam, yang bisa dikatakan
tidak dibayar. Motif utama mereka adalah pengabdian kepada negara dengan
memanusiakan anak bangsa agar dapat melihat dunia, merenungkan posisi mereka
yang tertindas, dengan mengajarkan mereka aksara, berhitung, dan keterampilan
tangan.
Guru
sebagai penjaga karakter bangsa Indonesia merupakan profesi yang memiliki peran
sosial tinggi sebagai model manusia ideal. Pendidikan karakter yang digaungkan
akhir-akhir ini tidak akan mencapai hasil maksimal jika guru sebagai pionir
perubahan tidak menginternalisasikan karakter ideal kepada peserta didik.
KESIMPULAN
Pemikiran dan aksi pendidikan Tan Malaka
meliputi: Pedagogi, Manajemen dan Kebijakan Pendidikan, Kurikulum. Tinjauan
pedagogi, seorang guru harus menyadari perannya sebagai pendidik dan pelatih masyarakat
yang terperangkap dalam kebodohan. Melalui pendidikan yang diberikan dengan
memperhatikan aspek psikologis, sosial, maupun budaya peserta didik maka
seorang guru telah berusaha untuk memanusiakan manusia dan memerdekakan bangsa
dari ketergantungan terhadap kapitalisme.
Tentang
kurikulum, terdapat tiga poin penting, yaitu: Pendidikan sebagai bekal hidup,
Pendidikan dan pergaulan sosial, Pendidikan dan tanggung jawab sosial.
Pendidikan
nasional masih memandang ilmu dan budaya yang datang dari luar selalu dianggap
baik dan terbaik. Seharusnya pendidikan
dapat menggali khasanah ilmu, dan budaya bangsa Indonesia. Bangsa yang
berkarakter unggul adalah ketika mampu berdiri sama tinggi dengan peradaban
luar, barat khususnya, dengan memperlihatkan keunggulan pengetahuan, teknologi
dan budaya yang digali dan diciptakan sendiri.
Masyarakat
dididik bukan untuk menjadi kelompok intelektual ataupun teknokrat yang
ekslusif. Kaum intelektual dan teknokrat dengan senjata pikiran dan teknologi
bukan berarti membangun tembok dari kehidupan masyarakat banyak. Sebaliknya
kaum terdidik harus melebur dalam sebuah interaksi yang saling mendukung.
Fridiyanto. Alumni PPs IAIN Sulthan Thaha Syaifuddin Jambi. Dosen Fakultas
Tarbiyah IAIN Sumatera Utara.
KEPUSTAKAAN
Alfian. Tan Malaka Ideolog Kesepian. Dalam buku “Manusia dalam Kemelut Sejarah”. Editor
Syafii Maarif, Jakarta:
LP3ES
Giddens, Anthony. Runaway World: Bagaimana Globalisasi
Merombak Kehidupan Kita, Jakarta:
Gramedia, 2003
Kompas, 13 Oktober
2010
Malaka, Tan . SI
semarang dan Onderwijs, 1987
_________, Naar de Republiek
Indonesia, 1925
_________, Aksi Massa, Jakarta: Narasi, 2008
_________, Madilog: Materialsme,
Dialektika, Logika, Jakarta:
LPPM, 2000
Poeze, A. Harry. Pergulatan Menuju
Republik 1897-1925. Jakarta: Grafiti, 2000
1 Nama lengkap yang merupakan
sekaligus gelar adat yang diperoleh Tan Malaka
untuk melanjutkan kepemimpinan Adat di Minang kabau. Sesuai adat masa itu, setiap anak yang dilahirkan akan diberi nama
kecil dengan nama Islam, baru kemudian mendapat nama atau gelar menurut adat,
maka Ibrahim adalah nama Islam yang melekat pada Tan Malaka
2 Alfian. Tan Malaka Ideolog Kesepian. Dalam buku “Manusia dalam Kemelut
Sejarah”. Editor Syafii Maarif
3 Dinamisme yang dimaksud Mrazek adalah masyarakat memandang konflik dengan
kacamata dialektika merupakan esensi untuk mencapai integrasi masyarakat,
sehingga masyarakat Minang kabau terbuka terhadap nilai-nilai baru yang masuk
yang dianggap memperkuat dan memperkaya, alam atau adat Minang kabau mempunyai
sistem nilai sendiri untuk meyeleksi hal-hal baru
4 Berdasarkan hasil penelitian
Harry A. Poeze, ditemukan makam Tan Malaka di Selo Panggung, Kediri dan makam tersebut telah dibongkar untuk dites DNA. Namun sampai
saat ini belum dilaporkan hasil tes DNA apakah benar jenasah Tan Malaka yang
diperiksa tersebut.
5 Pada masa pra kemerdekaan
tentulah bahasa Indonesia sangat diperlukan sebagai pemersatu dan identitas
diri, karena Belanda mewajibkan dalam proses belajar mengajar menggunakan
bahasa Belanda. Olehkarena itu Tan Malaka memprioritaskan penggunaan bahasa
Indonesia, namun bahasa Belanda dan Inggris tetap diajarkan.
8 Tan Malaka, Een Open Brief, Tan Malaka aan de Indonesische studenten en intellectueelen”
(Surat terbuka. Dari Tan Malaka kepada mahasiswa dan cendikiawan
Indonesia), De Tribune, 29-8- dan
31-8-1923, dalam Poeze, Menuju Repuplik Indonesia, hal. 340
9 Tan Malaka, Aksi Massa . Jakarta: Narasi, 2008.
hal 7
10 Ibid. Hal. 61
12 Tan Malaka. Pandangan Hidup
13 Frans Magnis Suseno. Op.Cit.,
212
14 Dr. Jansen telah terlebih dahulu merintis dan meletakan
prinsip dasar di sekolah kaum kuli di Tanah Deli. Dr. Jansen mendapatkan gelar
Dr nya di sebuah universitas di Jerman, dengan disertasi tentang adat istiadat
di Tanah Batak, dia seorang peminat budaya Batak
15 Tan Malaka. Dari Penjara ke
Penjara I. hal. 43
16 Poeze., Op.Cit., hal. 216
17 Pidato Tan Malaka dalam rapat Buruh di semarang
tanggal 22 Januari dimuat Sinar hindia, 23-31-1-1922, di IPO 1922, no.5.
sebagaimana dikutip oleh Poeze, Ibid., hal.
216)
18 Data ini dikutip Harry A. Poeze dari sekolah Senembah, Medan, Rencana
Pelajaran untuk sekolah-sekolah perusahaan senembah Medan, 1921
17 Kompas, 13 Oktober 2010
Tidak ada komentar :
Posting Komentar