Kontributor: Diketik oleh Abdul,
ejaan diedit oleh Ted Sprague (Maret 2008)
Kesekian kalinya soal Indonesia Belanda di perundingkan, sekarang di
Kaliurang. Disini delegasi Indonesia berhadapan muka dengan Delegasi Belanda,
ialah Kadir dan Husein, yang dimandori oleh Dr. Van Vresdenburgh.
Soal yang akan dipapar diperundingan, kita sekalian dari sudut-mata
borjuis-kecil buat kapitalis imperialis Belanda.
Dan buat orang di pihak ketiga, lebih dari pada setahun lampau soal itu
sebenarnya sudah selesai.
Lupakah kita kepada perkataan “WASIT” Sir Archibald Clark Karr, yang
berpisah dengan soal Indonesia-Belanda dengan perkataan: It is not a difficult
one but a slow one”! (Tidak sukar, tetapi lambat)!?? Bahwa sesunggunya, maka
dengan maklumat Wakil Presiden pada tanggal 1 November 1945, yang berjanji akan
mengembalikan HAK-MILIK-ASING (Musuh atau sahabat, ceroboh atau pendamai) dan
membayar “HUTANG-HINDIA-BELANDA”, maka soal Indonesia-Belanda dalam pokok
besarnya sudah beres.
Perjanjian Linggarjati sudah memastikan pengembalian HAK-MILIK-ASING dan
pembayaran HUTANG “HINDIA BELANDA” itu, hitam di atas putih, menurut fasal 14,
“Renville Principles” pun tidak lagi akan merundingkan pokok dasar pengembalian dan pembayaran itu. Paling
banyaknya cuma buat menentukan garis kecil yang mengenai pelaksanaan pencarian
hidup Belanda atas pengakuan Hak-Milik dan Perusahaannya itu. Dengan perkataan
lain, dengan kebun, pabrik tambang, pengangkutan, toko, bank-asuransi dan
gedung yang dikembalikan kepadanya itu, bagaimana menjamin supaya Belanda terus
mendapatkan tanah, air dan tenaga buruh serta kuli dengan tak ada kesukaran.
Bagaimana undang-undang negara dapat menjamin supaya orang Belanda jangan
mendapat gangguan dari pihak “KAUM EXTREMIS”, kalau dia keluar masuk pabrik,
kebun dan tambangnya, kalau dia dengan nyonya dan nonanya pulang pergi dari
desa ke kota, masuk bioskop restoran dan kamar dansa?
Jangan hendaknya tidurnya diganggu oleh letusan granat atau oleh Momok
Bambu Runcingnya kaum extrimis.
“Rechts-en bedrijfs-zakerheid”, Kepastian Hukum dan Pencarian, itulah yang
masih diperundingkan setelah HAK MILIKNYA Belanda dikembalikan dan hutang
“Hindia Belanda” dijanjikan oleh Moh. Hatta dan para Delegasi akan dibayar oleh
Rakyat Indonesia.
Syahdan dipandang dari sudut mata Borjuis-Kecil Indonesia, maka soal
pengembalian HAK MILIK dan pembayaran Hutang itu, adalah soal yang semestinya
jadinya perkara kecil saja, itulah menurut filsafat “hutang dibayar dan piutang
diterima”.
Tetapi soal “menduduki kursi” dalam pemerintahan Indonesia dimana borjuis kecil di Indonesia akan “kerja sama” dengan pemeras Belanda, yang dengan Bangsa
Asing lainnya memiliki 99,9 % sumber perekonomian modern, adalah perkara yang
paling penting buat borjuis kecil kita.
Dalam hati kecilnya maka borjuis kecil juga insyaf, bahwa tak semua kursi
(dalam BIS-pun) boleh didudukinya, dia mengakui HAK-MILIK-ASING yang menguasai
99,9 % dari sumber perekonomian modern itu. Tetapi “voor dan schijn” pada
lahirnya, berhubung dengan Proklamasi 17 Agustus dan pengorbanan Rakyat/pemuda,
maka mereka terhadap Rakyat/pemuda mau memperhatikan, bahwa bangsa Indonesialah
yang memegang kunci-pemerintahan BIS itu.
Biarlah 99,9 % sumber perekonomian modern itu dimiliki dan dikuasai oleh
orang asing, asal saja mereka yang duduk dalam pemerintahan itu adalah semua
orang yang berkulit coklat. Kalau belum semua kursi itu boleh diduduki oleh warna coklat, baiklah sebagian besar saja dahulu.
Soal “Berapa orang” berkulit coklat kelak diizinkan oleh Kapitalist, Imperialist Belanda
menduduki NIS, itulah yang dipapar diperundingan oleh kedua Delegasi selama
lebih kurang dua tahun berdiplomasi ini. Buat borjuis kecil Indonesia, soal
ini, walaupun buat “schijn” saja, adalah soal yang paling penting.
Tetapi buat Belanda soal demikian adalah soal remeh, bukan soal HAK-MILIK
dan HUTANG-PIUTANG. Tetapi penting pula buat Belanda soal KEAMANAN dalam
pencahariannya. Berhubung dengan itu, maka soal PERBANDINGAN BANYAK, antara yang berkulit coklat dengan yang berkulit-putih,
yang patut menduduki kursi dalam pemerintahan NIS adalah soal yang tak boleh
diabaikannya saja. Banyak sentimen borjuis kecil yang harus dilintasi atau
ditutupi lebih dahulu.
Memangnya kalau Rakyat/pemuda Indonesia mau menerima saja pemerintahan
Indonesia di “QUISLING-KAN”, di "Henry-puji"kan atau di
“Wang-Chi-Wei”kan, Belanda tak akan menghadapi soal yang ruwet. Tetapi
rakyat/pemuda Indonesia sudah 3 ½ tahun mengalami sendiri pembonekaan Jepang.
Sesungguhnya dengan hitung-menghitung-jari menurut filsafat kruidenier
saja, Belanda dengan “nuchter realiteitnya” sudah lebih dahulu dapat menentukan“PERBANDINGAN
BANYAK” yang akan menduduki kursi-pemerintahan
itu. Karena 99,9 % sumber pencaharian modern berada di tangan asing, maka
menurut filsafat dengan ahli warung, 99,9 % pulalah bangsa asing harus
mengendali politik pemerintahan Indonesia. Tetapi memang sentiment “kebangsaan”
dan "question of face" (soal muka) adalah penting buat Asia umumnya
dan bangsa Indonesia khususnya. Perundingan Indonesia-Belanda kesekian kali ini
ialah mencari satu “face saving method”, satu cara buat menutup “muka malu”
para pemimpin Indonesia.
Janganlah hendaknya para pemimpin Indonesia malu kelak menghadapi kaum
oposisi yang akan menteriakkan “kalah bertekuk lutut” kalau terlampau banyak
kursi diserahkan kepada Belanda. Pun Belanda sendiri tahu, walaupun semangatnya
adalah semangat kruindenier, bahwa satu “stable doverment”, een “ordelyke
regering” yang sangat di butuhkan itu tak akan diperoleh, kalau di mata rakyat
Indonesia, para pemimpinnya menduduki “terlampau sedikit kursi” atau cuma
memegang kekuasaan yang tiada penting saja. “Face-saving methode” ini
(sebenarnya perkara remeh saja) belum juga didapatkan sampai dua tahun lebih
ini. Dulu dengan Linggarjati soal “menutup muka” itu hampir tercapai. Dalam
lima perkara yang dikemukakan dalam perundingan maka borjuis kecil Indonesia
sehabisnya perang lidah dan perang pena yang hebat dahsyat, sudah menerima 4
perkara. Kandas pada “gendarmeris-bersama”.
Seandainya kruidenier dari Roterdam dan makelar dari Amsterdam bours,
sedikit berpandangan jauh dan berhati lapang dan undurkan saja buat sementara
waktu “gendarmerie-bersama” itu dan buat menutup malu “para pemimpin dan
diplomat” Indonesia, biarkan saja Republik menjaga keamanan, maka linggarjati
sudah dapat dilaksanakan. Belanda akan dapat pinjaman uang dari Wall Street New
York; pabrik, toko dan pelabuhan dapat dibuka dengan lebih leluasa; Belanda
akan dapat kesempatan memperbaiki perekonomian sendiri.
Dengan begitu, maka pemeras-penindas Belanda mendapat kesempatan yang lebih
luas buat meninabobokan semangat BAMBU RUNCING dengan kemerdekaan dan kemakmuran palsu.
Kalau dalam hal itu BAMBU RUNCING TOH MELAYANG maka Belanda bisa berteriak-teriak. Dalam hal itu Wall Street tentu akan
datang membantu dan menggerakkan UNO dan “public-opinion” di dunia buat
membusukkan ketentraman di dalam Republik. Ikut serta dengan Belanda
menteriakkan keempat penjuru alam, bahwa Republik tak bisa memegang “stable
government”.
Dalam keadaan demikian, tentulah borjuis kecil Indonesia akan “kehilangan muka”, karena pemerintahannya “tidak stable”. Memang tidak ada yang lebih
ditakuti oleh borjuis kecil dari pada “kritik” internasionaaaaaaaaaaaaaaaaaal !
! !
Tetapi Belanda sebagai ahli warung pegang teguh kecurigaannya, dengan
kecurigaan tukang warung, dia terus mendesak mengadakan “gendarmerie bersama”,
walaupun dengan pengakuan “MAHKOTA BELANDA” itu dalam hakekatnya urusan
ketentraman dalam Republik itu sudah di bawah pengawasan (supervision) pemerintah
Agung di negeri BELANDA.
Rupanya Belanda sudah merasa dekat yang disetujuinya ialah :
1.
Semua Hak-Milik akan kembali dan hutang-piutang “Hindia Belanda akan
dibayar oleh NIS.”
2.
Di “Batavia” akan berada pusat pemerintahan-boneka (NIS) yang pegang rol penting
dalam sandiwaranya enam atau tujuh Negara Boneka kecil-kecil yang satu sama
lainnya boleh diadu dombakan dan di Nederland akan duduklah Raja Belanda dengan
para menterinya (UNI) yang mengendalikan para Boneka di Indonesia ini.
3.
Sekurangnya Urusan Luar Negeri, kemiliteran dan keuangan supaya diserahkan
kepada UNI-Nederland-Indonesia, ialah kepada kapitalis-imperialis-Belanda,
dengan segelintir atau dua gelintir inlanders-Alat.
Semua tuntutan ini sebenarnya sudah terdapat pada Linggarjati. Dengan kosongnya
“kantong” di Jawa dan Sumatra dan dengan “perjanjian” plebisit, yang boleh
diinjak-injak, diputar-balikkan atau dibatalkan sama sekali; dengan pertolongan
KTN ialah para Tengkulaknya Marshall-Plan, maka rupanya Belanda sudah percaya
bahwa di Kaliurang Kapal Renville akan membawa Belanda dan Indonesia ke bawah
haribaannya kapitalis Amerika Cs yang sedang menantang Sosialis-Rusia dan
negara sahabatnya.
Tetapi para wakil dari “Kroon” dihina, diejek dan diludahi oleh Rakyat di
stasiun Yogya ketika mereka menuju Kaliurang.
Sekali lagi menunjukkan instink (naluri) Rakyat yang tepat dalam hal
diplomasi-pun. Rakyat menunjukkan pelayanan semacam itu bukan kepada bangsa
Asing, walaupun dia insyaf sungguh akan maksudnya semua bangsa asing itu.
Rakyat Murba menunjukkan penghinaan itu kepada bangsanya sendiri, ialah mereka
yang meninggalkan barisan-Rakyat-berjuang membela kemerdekaannya dan memihak
kepada barisan yang memperkosa kemerdekaan itu. Dalam perkataan tegas, Rakyat
melayani bangsanya sendiri yang dengan terang-terangan sudah BERKHIANAT. Belum tentu bangsa lain yang lebih sadar dan kurang sabar dari pada “het
zachtstevolk der aarde” ini melayani pengkhianatannya seperti Rakyat Indonesia
Yogya. Dan belum tentu pula bangsa Belanda sendiri, teristimewa pula anggota
KTN sendiri memandang Kolonel Abdul Kadir Widjaya Atmadja dan Prof. Hussein
Djajadiningrat lebih tinggi dari pada pandangan Rakyat Indonesia sendiri
terhadap mereka.
Tetapi di samping itu memangnya Belanda tiada pernah banyak mengacuhkan
penghinaan batin itu. Tak perlulah kita kupas sejarahnya pedagang Belanda di
Jepang dan Tiongkok kurang lebih 300 tahun lampau. Masih segar pula peringatan
kita tentang sikap “Tuan & Nyonya Besar” Belanda selama 3 ½ tahun di bawah
bendera Jepang. Lebih mementingkan kehormatan diri dari pada keuntungan dagang
adalah bertentangan sangat dengan “kruindeniers-geest”, semangat tukang warung.
Tetapi pelayanan Abdul Kadir dan Hussein itu memangnya pula boleh dipakai
untuk mendapatkan keuntungan diplomasi. Inilah maka Belanda berteriak-teriak
setinggi langit dan memprotes sekeras-kerasnya terhadap pelayanan yang di masa
Jepang akan di terimanya dengan senyuman seorang “beer, die kiespijn hooft”.
Hilanglah sebenarnya amarah dan ketakutan Belanda terhadap Murba di stasiun
Tugu itu, karena pelayanan para bonekanya, apabila autonya Belanda
mendengung-dengung melalui desa dan sawah dikiri-kanan, ketika menuju
Kaliurang. Teristimewa apabila dia sampai di salah satu gedung besar yang
bersih dalam suasana yang sejuk segar di Kaliurang seolah-olah di negerinya
sendiri untuk menghentikan lelahnya. Dari Kaliurang di pinggang Gunung Merapi
yang menyanjung ke angkasa dengan segala kemegahannya ketika memandang ke bawah
ke lembah yang luas, subur, digarisi oleh kali yang mengairi sawah dan ladang;
lembah yang ditaburi oleh desa, penuh sesak dengan tenaga murah, patut taat
…..en , c, zoe treus aan hun meesters en hun werk ! ………….hasil dari kebudayaan
feodal yang “cemerlang”, maka timbullah kembali hasratnya: Akh, sekali lagi
kami bangsa Belanda akan menguasai tanah, tenaga dan kekayaan Alam dari swarga
Loka ini.
Bangkitlah dia kembali dan berjalan menuju ke medan perundingan dengan
kartu baru dikantongnya. Memakai peristiwa Stasiun Tugu sebagai zet buat lebih keras lagi mendesakkan
“gendarmerie bersama” untuk bersama-sama menjaga ketentraman di dalam daerah
Republik. Kalau diterima oleh Delegasi Indonesia maka jatuhlah semua kekuasaan
ekonomi, militer, keuangan, politik dan diplomasi ke tangan Belanda.
Kalau ditolak, maka dapatlah Belanda suatu sebab lagi, buat mengadakan
“aksi polisionil” baru dengan alasan yang mungkin akan diterima oleh KTN dengan
maksud merobohkan lima atau enam daerah-minus yang masih berada di bawah
Republik.
Dengan persitiwa Stasiun Tugu sebagai Kartu Tinggi dengan Kadir-Hussein,
sebagai umpan; dengan KTN sebagai MOMOK internasional, maka Belanda akan
memusatkan pembicaraannya kepada gendarmerie-bersama disamping pelucutan senjata sebagian besar dari Tentara Republik; penghapusan uang ORI danPembatalan pengakuan Negara Arab atas
Republik dan akhirnya menyodorkan pembentukan NIS
dan UNI seperti yang sudah lama disediakan oleh kepitalis-imperialis Belanda,
dimana 99,9 % kekuasaan yang sebenarnya jatuh ke tangan Kapitalis-Imperialis
Asing.
Tawar menawar tentang banyaknya kursi dan besarnya kekuasaan yang akan
terus dipegang oleh Belanda dan tawar menawar tentang banyak dan sifatnya Kursi
yang akan diserahkan kepada borjuis kecil Indonesia di dalam NIS dan UNI itulah
sekarang dilakukan di Kaliurang.
Tetapi yang menjadi sasaran dan taruhan dalam hal tawar-menawar ini, yang
menjadi SAPI-PERAHAN, kelak, kalau KUHANDEL itu berhasil ialah MURBA, buruh-tani dan Rakyat-Jembel juga.
Sampailah pula perjuangan kemerdekaan Indonesia ini kepada tingkat, dimana MURBA dengan FILSAFAT, ORGANISASI, TAKTIK-STRATEGI,
yang dilakukan oleh Borjuis Kecil Indonesia dengan Kapitalis-Imperialis Asing,
di atas punggungnya MURBA Indonesia ini, yakni kalau MURBA Indonesia tiada
ingin kembali menjadi SAPI-PERAHAN Kapitalis-imperialis itu. Sebaliknya pula MURBA harus membatalkan semua
akibatnya kegagalan atau pembatalan perundingan Kaliurang itu dengan segala
PERSIAPAN-MURBA yang dijalankan dengan teratur, ketenangan, kebijaksanaan,
serta dengan PERSATUAN ORGANISASI, PERSATUAN MAKSUD dan PERSATUAN TEKAD MURBA!
16/04/1948.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar