Minggu, 09 November 2014

IDEOLOGI DAN AKSI PENDIDIKAN TAN MALAKA "Mewujudkan Pendidikan Berkarakter Keindonesiaan"





Oleh: Fridiyanto

ABSTRACT
Tan Malaka is not only a founding father but also an educator. According to Tan Malaka education  is a foundation for Indonesia Liberation. Therefore in many aspects of education must be designed nationalistic. Sarekat Islam School is one of manifestations Tan Malaka’s education concept.

Kata Kunci: Tan Malaka, Pendidikan, Keindonesiaan

A. PENDAHULUAN
Tan Malaka, seorang bapak bangsa yang menghabiskan  hidupnya untuk menuju Republik Indonesia. Republik yang dimaksud Tan Malaka adalah sebuah negara yang seratus persen mengatur diri sendiri, mengatur perekonomian sendiri, politik yang bebas menegakkan demokrasi, serta martabat bangsa sejajar dengan negara-negara lain.

Tan Malaka sebagai ahli propaganda, politikus, dan sebagai seorang pendidik rakyat sangat ditakuti oleh pemerintah Hindia Belanda, dikarenakan proses penyadaran progresif revolusioner dilakukan terus menerus untuk memperkuat kesadaran rakyat.

Tan Malaka merupakan ancaman berbahaya bagi pemerintahan kolonial, karena Tan Malaka dianggap menganggu ketertiban umum dengan berbagai kegiatan politik dan kegiatan pendidikan untuk rakyat.  Pendidikan harus sebagai proses mewujudkan peserta didik menjadi orang baik dan bajik yang  akan memberi kekuatan kepada peserta didik. Karena itulah pendidikan akhlak harus menjadi tujuan utama selain pendidikan keterampilan hidup, pergaulan sosial, dan tanggung jawab sosial. Rakyat Indonesia belajar memberi nilai yang tepat pada moral mereka dan bersumbangsih bagi  peradaban  bangsa Indonesia.
      Jauh sebelum pendidikan keterampilan belum dikembangkan di Nusantara, Tan Malaka sangat menekankan bahwa pendidikan anak-anak tidak hanya sebatas kognitif, seperti mempelajari Sejarah, Ilmu bumi, dan Ilmu hitung yang sangat ditekankan di sekolah-sekolah Eropa pada masa itu. Tan Malaka memandang bahwa sebuah kewajiban untuk menanamkan etos kerja, dan keterampilan praktis yang akan menimbulkan rasa mencintai kerja kepada pribumi, dan seharusnyalah pendidikan memberikan nilai tambah.
      Berbicara konsep pendidikan kritis, emansipatoris, dan praksis biasanya lebih dikenal sosok Paulo Freire. ”Pendidikan Kaum Tertindas” dan ”Gerakan Kebudayaan untuk Kemerdekaan”, ”Politik Pendidikan”, adalah buku karangan Paulo Freire yang terus dipelajari peminat dan penggerak pendidikan emansipatoris. Ketika berbicara tentang sejarah pendidikan di Indonesia, Ki Hajar Dewantara selalu menjadi tokoh utama. Namun, tidak banyak yang mengetahui bahwa Tan Malaka juga aktif dalam memperjuangkan pendidikan di Indonesia, dan telah lebih dulu memiliki  konsep pendidikan kritis, emansipatoris, dan praksis. Tan Malaka tidak hanya terjebak dalam filsafat dan teori-teori pendidikannya, tetapi terlibat aktif dalam memperjuangkan pendidikan rakyat sebagai media penyadaran pembebasan dari penindasan kolonialisme.
      Tan Malaka lebih dikenal dari sisi aktifitas politik, sebenarnya Tan Malaka memiliki latar belakang pendidikan seorang guru di kweekschool di Bukit Tinggi dan melanjutkan pendidikan guru di Haarlem Belanda. Tan Malaka masuk ke pergerakan perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia melalui jalur pendidikan. Bagi Tan Malaka, pendidikan akan dapat mewujudkan karakter bangsa Indonesia yang kokoh dan mandiri. Olehkarena itu penulis membahas pemikiran dan aksi pendidikan Tan Malaka yang dapat menambah khasanah sejarah pendidikan di Indonesia dan sebagai upaya restorasi nilai-nilai keindonesiaan.


BIOGRAFI SINGKAT
Tan Malaka, atau Ibrahim Datuk Tan Malaka1 memiliki pertalian keluarga dengan dua pemimpin desa Pandan Gadang: Datuk Tan Malaka dan Datuk Mahurun Basa. Tanggal kelahiran Tan Malaka tidak tercatat pasti karena pada masa itu belum ada pencatatan bagi penduduk Indonesia. Namun Harry A. Poeze menyampaikan beberapa kemungkinan tahun kelahiran Tan Malaka: 1893, 1894, 1895, 2 Juni 1896, 2 Juni 1897, dan 1899. Poeze  lebih cendrung memilih kelahiran Tan Malaka pada tahun 1894 dengan fakta bahwa pada tahun 1903 Tan Malaka mengikuti pendidikan di sekolah rendah. Maka dapat ditarik kesimpulan pada masa itu Tan Malaka berumur lebih kurang 6 tahun. Tan Malaka dalam bukunya “dari Penjara ke Penjara” menjelaskan bahwa dia mempunyai adik bernama Kamaruddin enam tahun lebih muda, dan tidak memiliki adik atau kakak perempuan.
      Tan Malaka dilahirkan dalam sebuah keluarga pemeluk Islam yang taat, ayah dan ibu Tan Malaka sangat alim dan menjalankan perintah agama Islam. Dalam buku Madilog Tan Malaka menulis bagaimana ibunya ketika menjelang ajal membaca Surat Yasin berkali-kali karena ibunya hampir sebagian hafal Al-Qur’an. Tan Malaka ketika kecil sering diceritakan tentang nabi-nabi, seperti kisah Adam dan Hawa, Nabi Yusuf, dan Nabi Muhammad. Ayah dan Ibu Tan Malaka sangat peduli tehadap akhlak anaknya, sehingga  tidak hanya menyekolahkan anaknya di Sekolah Rakyat, tetapi juga menyuruhnya belajar ngaji di surau.  Ayah Tan Malaka adalah penganut tarekat. Menurut Tan Malaka ketika masih kecil dia sudah bisa menafsirkan Al-Qur’an dan sudah dijadikan sebagai Guru Muda. Tan Malaka menguasai bahasa Belanda, Jerman, Perancis, Inggris, China, dan Bahasa Arab. Tan Malaka sangat mengagumi Bahasa Arab yang indah dan mulia.   
      Masa kecilnya, Tan Malaka adalah seorang anak yang pemberani, nakal dan keras kepala. Alam Minang kabau yang asri penuh pemandangan alam; gunung bebukitan dan sungai, menjadi “guru” bagi Tan Malaka untuk menempa mental dan fisiknya. Alam takambang jadi guru merupakan ungkapan filosofis Minang kabau yang bermakna dialektis bahwa seseorang harus dapat membaca alam sekitar, orang sekitar,dan  belajar dari apa yang mereka tampakkan, dimanapun berada kita dapat menjadikannya pelajaran dalam memaknai dan mejalankan kehidupan.
      Menurut Rudolf Mrazek, falsafah Minangkabau pada dasarnya telah membentuk cara berpikir Barat rasional, logis, dan dialektis. Tan Malaka yang dibesarkan dalam budaya Minang kabau telah membentuk struktur pengalaman dan visinya.2 Struktur pengalaman menurut Mrazek yaitu totalitas pola-pola kebudayaan yang terkumpul dalam diri seseorang, melalui mana ia menghayati atau memahami apa-apa yang terjadi disekitarnya. Struktur pengalaman tersebut akan mempengaruhi visi tertentu bagi seseorang dalam mengartikan apa-apa yang berlaku. Struktur pengalaman Tan Malaka menurut Mrazek tidak terlepas dari budaya masyakat Minang yang memiliki dinamisme yang tinggi.3
      Peni Chalid menjelaskan Tiga Epistemologi Tan malaka (petani, pedagang, pejuang) yang merupakan manifestasi dari tanah lahirnya Minang kabau. Epistemologi masyarakat agraris, kehidupan manusia sangat tergantung pada dialektika alam.  Epistemologi pedagang lebih bersifat rasional dan memakai pola transaksional dengan berbagai kepentingan. Sedangkan epistemologi pejuang, merupakan pola pikir ideologis dan visioner seseorang untuk kepentingan bangsa, berjuang demi keyakinan yang dianggapnya kebenaran. Menurut Peni Chalid Tan Malaka mengalami proses pengembangan pemikiran terhadap masyarakat dengan transisi epistemologi pedagang ke epistemologi pejuang (dari real-materialistik ke kritis-revolusioner). Keyakinan Tan Malaka tersebut termanifestasi dalam dua bukunya yang tergolong sebagai filsafat, yaitu Pandangan Hidup, dan Madilog.
      Pemikiran dan tindakan Tan Malaka yang selalu berseberangan, tidak hanya membuat gerah pemerintah kolonial tetapi juga para penguasa ketika  Indonesia telah mencapai kemerdekaan, yang  membuat Bapak Republik Indonesia ini wafat tragis ditembak anak bangsa sendiri di Sungai Brantas di Kediri.4
PENDIDIKAN ALAT MENUJU REPUBLIK INDONESIA
Tan Malaka sangat mencintai dunia pendidikan, karena dia sangat menyadari bahwa untuk menjadi bangsa merdeka, pendidikan adalah modal utama. Kecintaan Tan Malaka terhadap pengajaran digambarkan Hary Poeze, ketika Tan Malaka harus menjalani praktek mengajar di sekolah ekstern dia menampakkan bakat luar biasa dalam pedagogi, anak-anak sangat merasa sedih ketika Tan malaka harus meninggalkan mereka. Ketika mengajar Tan Malaka selalu meluangkan waktu untuk melatih baris berbaris yang sangat disukai mereka.
Bagi Tan Malaka untuk masa depan bangsa Indonesia yang maju, harus dicapai melalui pendidikan. Karena pendidikan merupakan perkakas membebaskan rakyat dari keterbelakangan dan kebodohan, karena itu sekolah-sekolah harus didirikan untuk rakyat. Pendidikan untuk rakyat Indonesia harus berakar kepada budaya Indonesia yang terus digali dan disampaikan dengan bahasa Indonesia.5
Prinsip kerakyatan adalah landasan filosofis dalam praksis pendidikan. Pendidikan tidak dapat terpisah dalam mempelajari hakekat realita yang merupakan pusat dari setiap konsep pendidikan. Pentingnya hal tersebut  mengingat program pendidikan sekolah didasarkan atas fakta dan realita, bukan atas keinginan menjadi kaum pemodal dengan proses pendidikan yang didasarkan kemodalan. Berikut adalah Tiga tujuan pendidikan Tan Malaka yang menjadi dasar perjuangan pendidikanya:
  1. Memberi senjata cukup, buat pencarian penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu).
  2. Memberi hak murid-murid dalam kehidupan sosial, dengan jalan pergaulan (verenigging).
  3. Menunjukkan kewajiban kelak, terhadap berjuta-juta Kaum Kromo (rakyat kecil).6
Pemikiran pembangunan bangsa melalui pendidikan telah dipikirkan dan akan dilaksanakan Tan Malaka dalam Tujuh Minimum Program. Pendidikan yang harus dibangun menurut Tan Malaka, yaitu:
1.      Wajib belajar bagi anak-anak semua warga negara Indonesia dengan Cuma-Cuma sampai umur 17 tahun dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dan bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang terutama.
2.      Menghapuskan sistem pelajaran sekarang dan menyusun sistem yang langsung berdasarkan atas kepentingan-kepentingan Indonesia yang sudah ada dan yang akan dibangun.
3.      Memperbaiki dan memperbanyak jumlah sekolah-sekolah kejuruan, pertanian, perdagangan. Memperbaiki dan memperbanyak jumlah sekolah-sekolah bagi pegawai-pegawai tinggi di lapangan teknik dan administrasi.7
Menghapuskan pembelajaran berbau feodalis merupakan langkah revolusioner Tan Malaka untuk memutus keterbelakangan dan mental kuli bagi pribumi. Jika masa penjajahan mendidik pribumi hanya didasarkan kepentingan imprealis sendiri, dalam artian dipekerjakan sebagai pegawai rendahan mereka. Tan Malaka ingin pendidikan semestinya mendahulukan kearifan lokal, agar masyarakat memperoleh bekal bagi penghidupannya. Oleh karena itu pendidikan kejuruan seperti: pertanian, perdagangan, teknik, dan administrasi harus dibenahi kualitasnya.
Pendidikan praxis Tan Malaka diwujudkannya di sekolah Sarekat Islam. Sekolah SI berprinsip bahwa hawa (geest) harus lebih sehat dan memiliki karakter keindonesiaan yang membedakan dengan sekolah Eropa. Anak-anak didik dituntut keras mencari kepandaian membaca, menulis dan berhitung sebagai modal penghidupan. Konsep pendidikan Tan  Malaka yang sangat sederhana  tersebut  merupakan hal luar biasa pada masa Tan Malaka merintis sekolah SI. 
KAUM INTELEKTUAL DAN KEMERDEKAAN
Kaum intelektual menurut pandangan Tan Malaka pada masa itu jauh dari kehidupan dan penderitaan rakyat. Tidak adanya semangat pengorbanan dan pengabdian dikarenakan kebingungan posisinya antara rakyat dan pemerintah kolonial. Kaum ientelektual yang terasing dari kehidupan rakyat tersebut dikarenakan exclusivisme Budi Utomo dan National Indische Party  yang pada masa itu dianggap Tan Malaka masih sangat lambat dan masih berdiri jauh dari kehidupan rakyat serta  keaktifan politik. Permasalahan intelektualisme yang ibarat menara gading tidak akan banyak berdampak bagi rakyat tetapi butuh perbuatan dan bukti-bukti, salah satunya adalah keaktifan dalam pergerakan dan politik. 
Pandangan Tan malaka, apabila kaum intelek tidak terlibat revolusi mereka tidak akan terlepas dari penderitaan pada masa berikutnya, dimana pemikiran dan tenaga mereka akan dipakai oleh penjajah yang selanjutnya akan dicampakkan seperti kaum proletar, hal ini  terjadi di India, Inggris, dan Jepang. Kaum intelektual harus tanggap terhadap gerakan perubahan, dimana barisan rakyat sedang merebut kemerdekaan, jangan tutup mata dan tidak perduli terhadap keadaan.
Kaum intelektual tidak bisa hanya menjadi penonton yang berpangku tangan, sementara mereka juga akan menikmati perjuangan kemerdekaan. Kaum intelektual harus berbesar hati melepaskan baju intelektual yang dirasanya lebih terhormat, dan  harus ikut berkeringat bersama rakyat. Dengan terlibat dalam revolusi, kaum intelektual dapat mengabdikan moral dan intelektualitas mereka guna memperlancar revolusi, disitulah mereka akan rasakan manisnya kerja sosial. Sangat berbeda apabila mereka menjadi kaum individualis, mereka akan terperangkap dalam kesunyian kapitalisme. Dengan keterlibatan kaum intelektual dalam barisan rakyat, makin kokohlah barisan perjuangan. Ilmu pengetahuan akan lebih baik jika  digunakan bangsa sendiri, bukan untuk membantu raksasa imperialis dalam eksploitasi. Keterlibatan kaum intelektual akan membantu proses perwujudan kebangkitan ekonomi, sosial, intelektual dan kebudayaan.
      Sekolah yang menciptakan kaum intelektual, harus tidak terpisah terhadap cita-cita politik bangsa. Kaum terdidik dari berbagai bidang keahlian harus terlibat menjadi tenaga perjuangan kemerdekaan. Karena intelektualitas dan kemampuan organisasinya memang terlatih. Sebuah surat terbuka yang dimuat De Tribune di Moskow tanggal 19 Agustus 1923, Tan Malaka menyampaikan pemandangan tentang mahasiswa  dan cendikiawan Indonesia yang masih terbelenggu dan terpisah tembok dengan kaum proletar, hingga sedikit sekali kaum intelektual yang terlibat aktif dalam pergerakan kemerdekaan.8 Seruan Tan Malaka kepada kaum intelektual tidak menjanjikan imbalan apa-apa kecuali satu, kemerdekaan bagi Indonesia. Bagi Tan Malaka perjuangan bangsa-bangsa yang tertindas di Timur hanya akan berhasil menggempur imperialisme apabila kaum buruh, kaum tani dan cendikiawan bersatu padu.
      Sikap Tan Malaka sangat tegas, kemerdekaan harus direbut, jangan pernah mengharap belas kasihan dari pihak penguasa kolonial. Kaum terpelajar harus bergabung memperkuat revolusi, dan merasakan perjuangan bersama rakyat. Tan Malaka merupakan sosok cerdas yang tegas menyatakan Hindia terlepas dari Belanda. Tan Malaka bergerak dari segala sudut kehidupan masyarakat, yang membuat dia terus mendapat tekanan dan pembuangan.
IMPERIALIS ANTI PENDIDIKAN
Soal pendidikan dengan sengaja diabaikan oleh Belanda, sehingga kaum intelektual menjadi terbatas.9 Kalau penjajahan Belanda selama 300 tahun itu tidak membatasi pendidikan bagi pribumi, tentunya  pada masa pejajahan derajat kaum intelektual Indonesia jauh berbeda. Akan banyak posisi strategis yang akan diisi oleh pribumi, seperti saudagar, tuan tanah, dan pegawai bumiputera.
      Indonesia tidak mempunyai faktor-faktor ekonomi, sosial ataupun intelektual buat melepaskan diri dari perbudakan ekonomi dan politik di dalam lingkungan imperialisme Belanda. Indonesia dapat menaikkan ekonominya jika kekuasaan politik ada ditangan rakyat. Indonesia akan mendapat kekuasaan politik tidak dengan apapun, kecuali dengan aksi politik yang revolusioner lagi teratur, dan tidak mau tunduk. Tentulah perangkat revolusi tersebut adalah pendidikan rakyat.      
Belanda ingin memformat pedidikan yang ada harus meniru pendidikan di Belanda secara utuh, karena bagi Belanda, lembaga pendidikan khususnya universitas yang ada di Belanda adalah yang terbaik dari universitas manapun. Hal ini tanpa memperhatikan karakter dan budaya Indonesia. Akibat politik pendidikan Belanda tersebut, Perguruan Rendah, Menengah, dan Tinggi masa penjajahan tidak cukup untuk rakyat yang berjumlah 55 juta.10
Tahun 1921 kaum revolusioner memperbaiki keteledoran pemerintah kolonial  dalam pendidikan dengan mendirikan  sekolah. Walau menempuh berbagai kesulitan: teknis, kepegawaian, keuangan, dan politik. Namun  akhirnya  di seluruh Jawa dapat didirikan 52 buah sekolah dengan kira-kira 50.000 murid.
Pemerintah kolonial menekan perkembangan pendidikan kaum revolusioner tersebut dengan kekerasan. Guru-guru dilarang mengajar, dan orangtua murid ditakut-takuti. Peran penting pemberangusan gerakan pendidikan rakyat tersebut dimainkan oleh organisasi Serikat Hijau11 mereka diperintah untuk membakar sekolah, menakut-nakuti, menganiaya murid dan guru.
Politik pendidikan pemerintah kolonial  dalam soal pengajaran dapat diungkapkan dengan: ”Bangsa Indonesia, harus tetap bodoh supaya ketentraman dan keamanan umum terpelihara.” Pergerakan pendidikan  dan pemimpin rakyat yang dipercayai rakyat dicap dan diperlakukan seperti penghasut dan bandit, mereka dimasukkan ke penjara.
 Petani kebanyakan buta huruf dan bodoh, mereka ditekan dalam satu kontrak yang diakui oleh pemerintah. Dalam kontrak disebutkan mereka tidak boleh berorganisasi dan mogok. Agar dapat mengadakan pemerasan atas kelas buruh yang jumlahnya lebih besar, kelas kapitalis yang jumlahnya lebih kecil mempergunakan pendidikan untuk melemahkan perjuangan buruh.
Kalaupun pendidikan diberikan kepada rakyat, Belanda tetap menanam kepentingan kapitalistis. Rakyat diajar melupakan pertentangan kebangsaan, melupakan adat budaya, dan jati diri sebagai bangsa. Sehingga menyerahkan hidup nya kepada kemodalan kolonialis. Bangsa Hindia yang terpelajar telah ”berdamai” dengan Belanda dan melupakan bangsanya sendiri. Inilah politik etis Belanda, memberikan pendidikan kepada kaum tertindas tetapi tetap berimbas kepada penindas dengan menjadi alat industri.

PENDIDIKAN BARAT
Menurut Tan Malaka apabila mempelajari dunia Barat, Eropa dan Amerika, maka terdapat tiga garis pokok kebudayaan yaitu agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan empirik. Sementara cabang kebudayaan yang lain akan bersandar pada tiga garis kebudayaan tersebut.12 Dari tahun 500 SM  sampai 1500 M, agama memperoleh kedudukan tertinggi, filsafat masih mengabdi kepada agama. Dari 1500 sampai 1850 M, filsafat mendapat kedudukan tertinggi dalam masyarakat Barat. Tahun 1850 sampai sekarang ilmu empiris memperoleh nilai dan kedudukan tertinggi di Eropa dan Amerika.
Pandangan Tan Malaka, Indonesia yang maju harus terlepas dari logika mistis, lepas dari kekuatan-kekuatan gaib dan mulai mempergunakan ilmu pengetahuan. 13Sebagai patokan sains dan teknik maka Barat adalah acuan. Menurut  Franz Magnis Suseno, Tan Malaka  tidak malu mengakui bahwa dia adalah murid Barat, karena di zaman modern Baratlah dirintis pemikiran materialistis, dialektik, dan logika.
Indonesia harus  merdeka berpikir dan berikhtiar, sudah saatnya berdiri atau berubah dengan mengerahkan daya upaya dengan kecakapan, perasaan dan kemauan. Manusia sebagai individu  atau bangsa harus mempergunakan pemikiran dan tenaga buat memajukan kebudayaan manusia. Tan Malaka secara keras menyatakan bahwa manusia ataupun bangsa yang tidak menggunakan pemikiran dan tenaga bagi kemanusiaan maka tidak layak menjadi seorang manusia atau bangsa dan pada hakikatnya tidak ada perbedaan dengan binatang.
Tan Malaka menganjurkan untuk mempelajari pengetahuan Barat. Rakyat pribumi jangan terjebak romantisme sejarah  bahwa kebudayaan dan pengetahuan Timur lebih tua dan lebih mulia daripada Barat. Kondisi yang masih percaya kepada mitos dan mistis sungguh tidak layak untuk dianggap lebih agung dan pintar daripada Barat. Budaya tahayul harus dihapus dan diganti dengan pemikiran ilmiah, setidaknya ini adalah langkah awal bagi pribumi untuk menjadi murid bagi Barat.
      Tidak perlu malu dan bimbang dalam upaya merampas kemerdekaan dengan menjadi murid Barat. Kekuatan keinginan untuk merdeka dan belajar sendiri adalah modal utama dalam rangka menjadi murid Barat tersebut. Pribumi  tidak boleh kalah oleh orang Barat dalam hal pemikiran, penyelidikan, kejujuran, kegembiraan, kerelaan dalam segala rupa pengorbanan. Mengakui  dengan tulus, bahwa kita sanggup dan harus belajar dari orang Barat, tentunya tanpa harus menjadi peniru total dari Barat melainkan harus cerdas, suka mengikuti dialektika alam, dan harus melampaui kelebihan Barat.
      Pengagungan Tan Malaka terhadap ilmu pengetahuan Barat dalam konteks masa kolonial, tentu tidak dapat disalahkan. Karena kondisi masa itu, pribumi nusantara benar-benar dalam kondisi kritis, jauh dari sikap ilmiah dan rasional. Sehingga belajar ke Barat menjadi solusi untuk membangun kesadaran merdeka dan bangsa bermartabat, bukan bangsa yang terjebak tahayul. Kritik Tan Malaka terhadap tidak berkembangnya sikap ilmiah dikalangan pribumi, ditulisnya secara detail dalam buku Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika).
PERAN NEGARA DALAM PENDIDIKAN
Konsep pendidikan gratis dan subsidi, sudah pernah dipikirkan dan diimplementasikan oleh Tan Malaka. Bagi Tan Malaka pendidikan harus diberikan kepada seluruh rakyat Indonesia sampai berumur 17 tahun secara gratis. Konsep tersebut menjadi bahan perdebatan Tan Malaka di Belanda dengan seorang tokoh Belanda bernama Fabius yang berperan penting dalam kebijakan pendidikan. Menurut Tan Malaka pendidikan tidak hanya berada di bawah negara tetapi negara juga harus membiayai pendidikan rakyat.
      Pemikiran Tan Malaka tentang peran negara dalam pendidikan mendapat tentangan keras dari Fabius. Menurut Fabius, politik pendidikan yang dianjurkan Tan Malaka akan menambah banyak lulusan pendidikan namun akan mengurangi nilai intelektual. Kebijakan pendidikan yang memberi akses luas kepada rakyat akan menambah banyak jumlah pengangguran dikalangan intelek.
      Namun argumentasi Fabius tersebut mendapat pertentangan dari Tan Malaka, pandangannya di suatu masyarakat dimana produksi dijalankan menurut rencana, bersamaan dengan itu adanya pendidikan yang terencana, pengangguran tidak mungkin ada. Kalaupun tetap ada pengangguran, hal itu tidak akan berlangsung lama, karena pendidikan telah dicocokkan  dengan kebutuhan produksi masyarakat.
      Pada masa perdebatan Tan Malaka dan Fabius ini terjadi, kebijakan pendidikan masih berdasarkan supply and demand dimana kaum kapitalis berbuat semaunya. Sementara untuk menentang tentang intelektualitas yang akan berkurang, menurut Tan Malaka kecerdasan tidak akan menurun, karena murid yang melanjutkan studi tidak lagi didasarkan finansial keluarga, melainkan kecerdasan otak. Kondisi saat itu, banyak anak cerdas tidak dapat melanjutkan studi karena ketidakmampuan finansial. Sementara anak yang mempunyai uang namun tidak memiliki kemampuan bisa memperoleh titel.
AKTIFITAS PENDIDIKAN TAN MALAKA
Foreign Language School  di  Tiongkok. Selama di Tiongkok, Tan Malaka tidak ingin menyia-nyiakan waktu, dia memanfaatkannya dengan mendirikan sebuah sekolah bahasa asing. Pada perkembangannya foreign language school tidak hanya semata-mata belajar bahasa asing tapi berkembang pada diskusi tentang Politik, Ekonomi, dan Filsafat. Pelajaran tambahan tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi pemuda Tiongkok untuk belajar disana. Tan Malaka juga menambahkan materi pelajaran dengan jurnalisme, book keeping, untuk itu dia membutuhkan guru pembantu sehingga dibukalah penerimaan guru. Karena Tan Malaka memiliki misi politik, maka foreign language school pun harus ditinggalkan. Menurut Tan Malaka ketika foreign language school ditinggalkannya untuk melawat ke Singapura, sekolah tersebut tetap diminati para murid.
      Menjadi Guru di  Singapura. Di Singapura, Tan Malaka menjadi guru bahasa Inggris sekaligus sebagai kepala sekolah. Selama di Singapura proses belajar mengajar terganggu karena serangan pesawat tempur Jepang. Membuat para guru mempunyai tugas ekstra, yaitu melindungi murid dari serangan bom. Tentara sukarela dibentuk di sekolah Tionghoa tempat Tan Malaka mengajar, dan banyak murid yang terlibat, terutama dalam penyadaran politik. Sekolah ditutup dan  beralih fungsi menjadi tempat pelatihan tentara sukarela dan sebagai asrama. Tan Malaka tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang sekolah di Singapura tersebut.
      Menjadi Guru Kaum Kuli di Medan. Tan Malaka Menjadi guru kaum kuli di Tanah Deli Medan, dikarenakan tawaran Dr. Jansen.14 Kesepakatan Tan Malaka dengan Dr. Jansen adalah memberikan pendidikan yang dibutuhkan anak-anak kuli. Tugas yang akan diembannya adalah sebagai pembantu pengawas semua sekolah bagi kaum kuli di Senembah Mij.15 Perkembangan berikutnya, penindasan, penderitaan, dan pembodohan sistematis yang diamati dan dirasakan Tan Malaka, membuat Tan Malaka banyak bertentangan dengan pemerintah kolonial. Pengalaman selama menjadi guru kaum kuli di Tanah Deli sangat mempengaruhi corak pemikirannya dalam berbagai bidang. Visi pendidikan Tan Malaka tentang kaum kuli menjadi landasan setiap aktifitas pendidikannya, mulai dari menjadi guru di Deli sampai ketika dia mendirikan sekolah Sarekat Islam.     
      Menurut Harry A.Poeze, Dr. Jansen sebelumnya telah  merumuskan pendidikan kaum kuli dengan tetap mengikat mereka kepada perkebunan, karena kurikulum dan kegiatan di sekolah selalu berorientasi perkebunan. Dalam aktifitas sekolah, pada pagi hari waktu satu jam dihabiskan untuk bekerja di kebun sekolah, anak-anak diajar merawat kebun dengan rapi, dan di sore hari anak-anak bekerja di perkebunan dengan mendapat bayaran sekaligus meningkatkan keahlian mereka dalam berkebun. Strategi ini dibuat agar kelak anak-anak mempunyai cita-cita bekerja di perkebunan. Fokus pembelajaran yang dirancang Dr. Jansen adalah adat, tertib, disiplin, dan kerapian. Guru juga dituntut untuk mengurangi kebiasaan buruk kaum kuli, seperti berjudi, sehingga pembelajaran moral juga menjadi perhatian. Rumusan pendidikan kaum kuli Dr. Jansen dan Tan Malaka tidak jauh berbeda dengan rumusan awal, yaitu membiasakan pekerjaan tangan kepada murid.
      Kekhawatiran Tan Malaka tentang kaum kuli yang akan meninggalkan kegiatan fisiknya, setelah merasakan nikmatnya kegiatan otak ini terus disampaikannya dalam setiap kesempatan. Bahwa antara kognitif dan motorik harus diseimbangkan, pribumi yang mengenyam pendidikan jangan sampai memandang rendah kegiatan fisik orang tua mereka, kaum tani, kaum buruh. Tan Malaka juga menjelaskan bahwa disekolahnya pekerjaan tangan sangat diberi penghargaan, karena pekerjaan tangan sama mulianya dengan kerja otak, atau orang yang bekerja dengan pena.16 Tan Malaka mengkritik keras orang Barat ataupun orang pribumi yang kebarat-baratan yang merasa lebih dihormati dan disegani karena intelektualitas mereka serta menghina orang yang bekerja tangan.17
      Pada tahun 1921 mulai didirikan sekolah untuk guru pembantu, 10  murid terbaik dari 15 murid,  dilatih di sebuah asrama di Tanjung Morawa. Tahun 1922 sudah berdiri dua belas sekolah perkebunan dengan jumlah murid 581.18 Perjuangan Tan Malaka untuk pendidikan kaum kuli sangatlah berat, dia harus berhadapan dengan orang-orang Belanda yang sangat anti pendidikan diberikan kepada kaum kuli. Bagi mereka pendidikan yang diberikan kepada anak-anak kuli selain membuang uang dan waktu, juga akan membuat mereka menjadi liar, dan brutal. Tentu keliaran dan kebrutalan yang dimaksudkan orang Belanda disini bukanlah anarkisme fisik, tapi kecerdasan dan kesadaran mereka akan arti kemerdekaan dan kemanusiaanlah yang paling ditakuti. Untuk itulah orang Belanda yang anti pendidikan selalu menganjurkan bahwa tidak perlu pendidikan rendah selama 5 tahun.
      Dr. Jansen adalah mitra sejati Tan Malaka dalam menjalankan pendidikan untuk anak-anak kuli, sehingga ketika Dr. Jansen kembali ke Nederland, Tan Malaka sangat terguncang, karena dia harus berjuang sendiri menghadapi orang Belanda yang sangat anti dengan dia dikarenakan haluan politik, dan pekerjaannya sebagai guru. Kebimbangan Tan Malaka tersebut memunculkan sebuah keputusan pengunduran diri dari sekolah tersebut.
      Namun pengunduran diri Tan Malaka di sekolah kuli bukan semata-mata perginya Dr. Jansen, tetapi juga karena alasan politis orang Belada masa itu. Karena di Deli Tan Malaka tidak hanya aktif kegiatan pendidikan tetapi juga aktif dalam pergerakan kaum proletar. Bahkan Tan Malaka berada di balik pemogokan-pemogokan kaum buruh dan juga aktif menulis yang dipublikasikan melalui surat kabar sehingga membangkitkan kesadaran dan sikap kritis masyarakat. Aktifitas politik Tan Malaka tersebut mengkhawatirkan pihak Belanda, sehingga ancaman terus ditujukan kepada Tan Malaka. Kondisi politik yang tidak kondusif tersebut membuat Tan Malaka harus merubah strategi perjuanganjuang, salah satunya dia memilih hijrah ke Jawa, tujuannya adalah Semarang.
SEKOLAH SAREKAT ISLAM
Di Yogyakarta Tan Malaka menemui Sutopo mantan pemimpin Surat Kabar Budi Utomo. Sutopo mengajak Tan Malaka berkeliling dalam usaha mendirikan sekolah yang akan Tan Malaka pimpin. Salah satu tokoh yang dikenalnya adalah Tjokroaminoto, dalam pertemuan tersebut Tojkroaminoto berkata pada Tan Malaka ”Pintu Sarekat Islam terbuka untuk saudara.” Pertemuan dengan tokoh-tokoh politik terus bergulir, Tan Malaka berkenalan dengan Darsono, dan Semaun.
      Pertemuan Tan Malaka dengan semaun telah membuat kesepakatan bahwa dia akan mengajak Tan Malaka ke Semarang guna memimpin sebuah perguruan. Kepergian Tan Malaka ke Semarang membuat harus berpisah dengan Sutopo yang sedang berusaha mendirikan sekolah untuk Tan Malaka di Yogyakarta.  Semaun mengadakan rapat istimewa buat anggota Sarekat Islam yang membahas agenda rapat utama mendirikan  perguruan.
      Usul pendirian sekolah Sarekat Islam mendapat sambutan dan dukungan sangat baik, pada hari itu juga sidang menyetujui didirikan Sekolah Sarekat Islam. Permasalahan fasilitas tidak begitu menjadi masalah, karena Sarekat Islam memiliki gedung yang bisa dijadikan tempat sementara untuk belajar. Sedangkan perangkat tulis menulis dengan cepat bisa diperoleh, hanya dalam waktu dua hari saja, Tan Malaka sudah memperoleh murid sebanyak 50 orang. Pemikiran dan visi misi sekolah Sarekat Islam dijabarkan Tan Malaka dalam sebuah brosur kecil berjudul ”S.I. Semarang dan Oderwijs”. Prinsip sekolah sarekat Islam, sebenarnya merupakan kelanjutan gagasan Tan Malaka, Dr, Jansen, dan De Way ketika masih di sekolah kuli di Deli Sumatera Utara.
      Sekolah Sarekat Islam didirikan bukan untuk mencetak juru tulis bagi kepentingan pemerintah kolonial, tetapi sebagai bekal hidup mereka dan keterlibatan aktif bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dasar yang dipakai Tan Malaka adalah dasar kerakyatan dalam masa penjajahan. Sekolah Sarekat Islam yang didirikan Tan Malaka bukan bermaksud mencari keuntungan, seperti sekolah-sekolah partikulir. Program sekolah rakyat ini memungut biaya ringan bahkan gratis. Prinsip yang dianut dan diterapkan si sekolah sarekat Islam yaitu:
  1. Memberi senjata cukup, buat pencarian penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dan sebagainya)
  2. Memberi hak murid dalam kehidupannya dengan jalan pergaulan (verenniging).
  3. Menunjukkan kewajibannya kelak terhadap berjuta-juta kaum kromo (rakyat jelata).
Pemikiran anti kolonialisme dan anti kapitalisme menjadi landasan pemikiran Tan Malaka yang mewarnai sekolah SI. Anak-anak memang didik menjadi manusia merdeka. Pengalaman selama 2 tahun di Tanah Deli, menjadi bekal utama bagi Tan Malaka dalam mengintegrasikan kurikulum pembebasan nasional, kecakapan hidup, dan intelektualisme. Pemikiran politik Tan Malaka sangat kental terasa di sekolah SI, bahwa kaum  terdidik setelah melewati bangku pendidikan mereka jangan lupa terhadap perjuangan rakyat tertindas yang hidup dalam kemelaratan. Banyak pribumi yang melupakan rakyat kecil setelah mereka selesai pendidikan di sekolah pemerintah kolonial.
Disekolah SI budaya  Timur menjadi geest  (hawa) yang dirasakan peserta didik, tidak seperti yang diterapkan di sekolah partikulir atau HIS Gouvernment. Peserta didik di sekolah SI dituntut suka bekerja keras mencari ilmu, karena itulah bekal bagi kehidupan mereka. Tan Malaka yang memang mendalami ilmu pendidikan sadar betul bahwa anak-anak didik tidak boleh tercerabut dalam masa yang seharusnya mereka alami, yaitu kesukaan bergaul sebagai anak-anak.
Belanda sangat khawatir dengan perkembangan sekolah yang mereka sebut sebagai ”Sekolah Model Tan Malaka”  yang dianggap Belanda menganut komunis internasional, akan membahayakan pemerintah kolonial karena melahirkan kader pergerakan kemerdekaan. Pada saat itu permintaan pendirian sekolah SI datang dari pelosok Malang, namun tetap Semarang sebagai pusat.
Menurut R. Kern, seorang penasehat pemerintah kolonial dalam masalah-masalah pribumi, Kesuksesan sekolah Sarekat Islam tersebut dikarenakan hal berikut: (1) Kurangnya tempat bagi pribumi untuk belajar di HIS. (2) Bakat Tan Malaka dalam mengorganisir. (3) Penguasaan Tan Malaka dalam bidang pendidikan. (4) Bakat improvisasi Tan Malaka dalam mengatasi permasalahan penyelenggaraan pendidikan. (5) Biaya pendidikan rendah bahkan gratis. (6) Berideologi anti kolonialisme.
      Pada perkembangan sekolah SI, Bandung adalah daerah kedua berdirinya Sekolah Sarekat Islam. Pada masa ini terdapat 300 orang murid, yang membuat Tan Malaka mengerahkan tenaga guru baru ke Bandung. Setelah Tan Malaka ditangkap dan dibuang ke Eropa, sekolah SI tidak hanya mendapat pemboikotan dari pemerintah kolonial, tetapi juga perpecahan internal. Kepentingan politik kelompok ideologis  secara perlahan menghacurkan sekolah yang didirikan Tan malaka tersebut.
PENDIDIKAN BERKARAKTER KEINDONESIAAN
Belanda, Inggris, dan Jepang, mengatakan bahwa Tan Malaka adalah seorang pengacau besar karena gerakan penyadaran makna kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia melalui pendidikan. Pemikiran pendidikan kritis emansipatoris yang digagas dan diimplementasikan Tan Malaka pada masa pra kemerdekaan selayaknya menjadi inspirasi dan landasan pembangunan pendidikan nasional yang berkarakter keindonesiaan.
      Sekolah adalah tempat mendidik anak-anak bangsa agar berjiwa merdeka. Peserta didik tidak bisa dianggap sebagai robot dalam proses pendidikan dan menjadi mesin kapitalis ketika menyelesaikan pendidikan. Pendidik harus internalisasikan nilai-nilai perjuangan dan kemandirian kepada peserta didik yang akan berdampak kepada kemandirian bangsa sehingga  tidak bergantung kepada negara lain. Di abad kapitalisme, out put pendidikan cendrung hanya dijadikan alat produktifitas kapitalisme. Keadaan ketergantungan kepada pemodal dan bermental sebagai tenaga kerja ini menjadikan mental budak di dalam masyarakat yang tingkat ketergantungan sangat tinggi kepada pemodal.
      Guna mencapai tujuan pendidikan maka seorang guru haruslah menguasai prinsip-prinsip pengajaran. Proses pembelajaran di sekolah seharusnya tidak mencerabut siswa dari akar budaya. Olehkarena itu guru harus menggali kearifan lokal dimana dia memberikan pengajaran. Sehingga proses internalisasi informasi memang benar berdasarkan kondisi kehidupan masyarakat, tentunya tanpa mengabaikan perkembangan dunia.
      Bagaimana nilai-nilai pergaulan sosial ditanamkan kepada anak-anak di sekolah-sekolah di Indonesia sekarang? Perlu penelitian untuk menjawab pertanyaan sederhana tersebut. Namun sistem pendidikan telah memerangkap peserta didik dalam tekanan hanya fokus pada pelajaran. Banyak kebijakan pendidikan nasional yang tidak memperhatikan peserta didik sebagai mahluk sosial. Kelas akselerasi, kelas standar internasional, kelas excellent dan berbagai istilah lainnya membuat siswa sibuk dari pagi sampai sore dengan pelajaran-pelajaran. Tidak hanya sampai disitu, beban belajar berbentuk tugas-tugas masih mereka bawa ke rumah, hingga malamnya mereka disibukan lagi dengan materi pelajaran. Tidak hanya itu, program-program sekolah unggulan dengan memakai konsep sekolah terintegrasi, dengan waktu yang padat sampai sore telah merampas waktu anak-anak untuk sekedar bersantai, bermain, dan memperluas pergaulan mereka. Sehingga mereka tidak memilki kecerdasan sosial dan menjadi sosok individualis.
      Aspek tanggung jawab sosial mendapat perhatian penting dalam pemikiran pendidikan Tan Malaka. Kekhawatiran eksklusivisme kaum intelektual, yang seakan menjadi kasta tersendiri telah diantisipasi oleh Tan Malaka. Pada masanya superioritas kaum terpelajar memang terasa mencolok, terutama yang memperoleh pendidikan Eropa. Dalam ceramah dan tulisan, Tan Malaka tidak henti-henti mengkritisi kaum intelektual yang hidup dalam menara gading. Tentang alienasi kaum intelektual tersebut masih terasa saat ini. Kaum intelektual masih banyak terpenjara di kampus dalam idealisme dan teori-teori. Kehidupan kaum intelektual yang seakan bertembok dengan rakyat tersebut masih tetap terasa walaupun sebenarnya perguruan tinggi memiliki prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi. Perguruan tinggi sebagai wadah kaum intelektual belum bisa diandalkan sebagai agen perubahan ketika secara individu mereka masih berpikir bahwa kelas mereka lebih tinggi daripada masyarakat banyak yang bergelut dengan kerasnya kehidupan sekedar mempertahankan hidup. 
      Kaum intelektual dan kaum teknokrat selayaknya tidak terasing dalam pergulatan kehidupan masyarakat, karena pekerjaan fisik masyarakat tidaklah lebih rendah dari kerja intelektual. Kerja tangan dan fisik merekalah yang membangun bangsa ini. Tan Malaka pernah ingin menguji mana yang lebih penting pekerjaan kaum proletar atau kaum intelektual, dengan mengajak mogok kerja kaum buruh dimana segala produksi akan terhenti, disinilah disadari bahwa antara intelektual dan kaum pekerja adalah suatu kesatuan yang bergerak menuju satu tujuan bangsa berdaulat, dan masyarakat sejahtera.
      Pendidikan di Indonesia diselenggarakan bukan untuk mempersiapkan sumber daya manusia handal yang  dipergunakan bagi Neo Imperialisme global. Para stakeholder harus menyadari bahwa pendidikan yang diselenggarakan untuk rakyat adalah sebagai pondasi untuk menjadi bangsa merdeka dalam berbagai bidang: Politik, Budaya, Ekonomi, Militer, Teknologi. Globalisasi sebagai realitas seharusnya menjadi tantangan agar Indonesia tidak menjadi bangsa yang membebek, dan terjebak dalam pendidikan untuk menciptakan tenaga ahli dan intelektual yang hanya menghamba kepada kepentingan kapitalisme, dengan apologi globalisasi dan kepentingan ekonomi.
      Anthony Giddens mendefinisikan globalisasi sebagai peningkatan interdependensi masyarakat dunia, dimana tidak ada lagi batas sosial politik di antara negara. Ada enam komponen  globalisasi yang disampaikan oleh Cohen dan Kennedy: pertama, perubahan konsep ruang dan waktu. Kedua, peningkatan interaksi budaya. Ketiga, permasalahan sama yang dihadapi masyarakat. Keempat, pertumbuhan interkoneksi dan interdependensi. Kelima, meningkatnya jaringan kekuatan transnasional aktor-aktor dan organisasi-organisasi. Keenam, sinkronisasi seluruh dimensi yang meliputi globalisasi. Sedangkan Gunawan Wiradi memahami globalisasi sebagai gerakan internasional yang dilandasi neo liberalisme, yang meyakini prinsip pasar bebas, sebebas-bebasnya, mencakup perdagangan bebas, gerak tenaga kerja bebas, investasi bebas, dan gerak modal bebas. Guna melanggengkan liberalisasi tersebut menurut Wiradi maka peran negara harus diminimalkan sekecil mungkin dalam berbagai aspek demi kepentingan kapitalisme.
      Globalisasi sebagai keniscayaan dengan motif utamanya adalah pasar bebas bukan berarti bangsa Indonesia tidak memiliki karakter bangsa karena terbawa godaan mimpi-mimpi indah yang ditawarkan kapitalisme. Neo kolonial dengan muka barunya Globalisasi tidak lagi dengan membawa armada perang. Senjata modal neo kolonial dari negara-negara maju perlahan merampas kekayaan Indonesia, sehingga negara ini ada hanya di atas kertas. Secara fakta, modal-modal dan lahan telah dikuasai kapitalisme. Korporasi-korporasi besar menancapkan kukunya ditanah air mencari tenaga kerja ahli namun murah. Kaum buruh yang semakin tergilas teknologi dan peraturan pabrik yang menindas dihantui kehilangan pekerjaan. Kaum tani tidak lagi memiliki lahan, penyerobotan-penyerobotan tanah perusahaan asing semakin menyengsarakan. Lapangan kerja semakin sempit, impor tenaga kerja ahli dari luar telah menyingkirkan tenaga-tenaga domestik. Para sarjana berebut menjadi tenaga kerja dengan sistem outsourcing dimana tidak ada jaminan kesejahteraan, asuransi kesehatan, namun dengan tuntutan kerja di bawah tekanan dan dibawah ancaman pemecatan yang tanpa uang tolak karena tidak mencapai target.
      Globalisasi dengan senjata kapital semakin mengancam kehidupan masyarakat Indonesia. Selama masih ditemukan penindasan layaknya kerja rodi yang penulis gambarkan tersebut, wajarlah kalau muncul pertanyaan, apakah Indonesia sudah merdeka. Dengan wajah barunya, neo kolonial mengeksplorasi kekayaan alam maupun memanfaatkan tenaga rakyat demi kepentingan industri dan berbagai bidang bisnis mereka. Bangsa Indonesia tidak dapat berbuat banyak selain menjadi penonton.
      Apabila pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia hanya berdasarkan pemenuhan kebutuhan industrialisme Barat, lalu apa bedanya kondisi saat ini dengan masa penjajahan Belanda. Pemerintah kolonial hanya memberikan akses pendidikan kepada pribumi sebagai strategi memenuhi kebutuhan mereka terhadap kerja-kerja klerikal, buruh, dan mandor-mandor perkebunan. Masa kolonial akses pendidikan yang dibatasi dan selalu dipersulit, semata-mata untuk terus memerangkap Indonesia dalam jurang kebodohan. Dengan kebodohan abadi tersebut, Imperialisme semakin mencengkramkan kekuasaan mengeksploitasi Indonesia.
      Kebodohan yang masih menjajah Indonesia tersebut dapat dilihat dari data bahwa kekayaan Indonesia hanya dikuasai 0,2% oleh penduduk.17 Fakta kemiskinan dalam aspek penguasan kekayaan Indonesia ini mencerminkan bahwa bangsa Indonesia belum merdeka, karena masih dikuasai oleh pihak asing. Pertanyaan yang muncul, mengapa ini bisa terjadi? Apakah pendidikan yang dibangun selama ini tidak cukup membangun bangsa yang mandiri dan berdaulat dinegeri sendiri? Apakah sedemikian bodohnya bangsa Indonesia sehingga tidak dapat mengeksplorasi kekayaan dan mengelola kekayaannya sendiri?
      Pendidikan sebagai social capital yang akan menggerakkan roda pembangunan harus dipandang sebagai kebutuhan pokok. Namun pendidikan yang diberikan jangan mengabaikan prinsip-prinsip nasionalisme dan humanisme. Fenomena melunturnya nasionalisme dapat dijadikan sebuah premis bahwa penanaman pemikiran kebangsaan, keindonesiaan belum terselenggara dengan baik. Betapa mengerikan kondisi Indonesia di masa beberapa tahun mendatang, ditengah arus informasi teknologi dan budaya pop hedonisme, generasi muda terjebak dalam perangkap ketidakpastian.
      Sehingga kalaupun muncul ilmuwan handal, teknokrat ahli, birokrat, maupun pekerja yang tidak menyadari posisinya sebagai warga dunia namun merupakan entitas  bangsa Indonesia. Ketika arus dunia tanpa batas ini menghilangkan jati diri dan karakter nasionalisme dan keindonesiaan, tidaklah aneh apabila dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat Indonesia akan menjadi chaos. Korupsi akan semakin merajalela karena nilai-nilai dasar sebagai warga negera yang baik tidak terinternalisasi. Ketika konsep nilai-nilai adi luhung pada masa pergerakan kemerdekaan terus digali, diinternalisasi dalam level pendidikan tertinggi, minimal perilaku bobrok dalam pengelolaan negara akan dapat dikurangi.
      Guru merupakan  agen pembebasan  terpenting untuk menuju Indonesia merdeka seratus persen. Sebagaimana yang telah diterapkan Tan Malaka dalam berbagai kegiatan pendidikannya. Tan Malaka selalu menekankan bahwa guru yang dilatih dan dilibatkan dalam proyek pendidikannya selalu dituntut memiliki kompetensi. Bisa dikatakan empat kompetensi (pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian) yang termaktub dalam Undang-undang Guru dan Dosen No 15 tahun 2005  yang menjadi acuan perbaikan kualitas pendidikan saat ini sebenarnya telah diterapkan Tan Malaka. Bahkan empat kompetensi tersebut pada masa Tan Malaka sebenarnya bisa ditambahkan dengan kompetensi ketabahan dan keikhlasan demi bangsa dan negara. Nilai patriotisme inilah yang luntur dalam proses pendidikan saat ini.
      Jika direfleksikan pengabdian guru pada masa Tan Malaka, disatu sisi mereka dituntut memiliki kompetensi yang diperoleh melalui proses pendidikan guru yang berat dengan standar pemerintah kolonial. Ketika mereka mengaplikasikan ilmu, ternyata bukan hanya bermotif kesejahteraan. Jika dilihat dari penghasilan yang diperoleh sangatlah tidak berimbang. Seperti yang diperoleh Tan Malaka ketika mengajar di Deli, maupun ketika di sekolah Sarekat Islam, yang bisa dikatakan tidak dibayar. Motif utama mereka adalah pengabdian kepada negara dengan memanusiakan anak bangsa agar dapat melihat dunia, merenungkan posisi mereka yang tertindas, dengan mengajarkan mereka aksara, berhitung, dan keterampilan tangan.
      Guru sebagai penjaga karakter bangsa Indonesia merupakan profesi yang memiliki peran sosial tinggi sebagai model manusia ideal. Pendidikan karakter yang digaungkan akhir-akhir ini tidak akan mencapai hasil maksimal jika guru sebagai pionir perubahan tidak menginternalisasikan karakter ideal kepada peserta didik.

KESIMPULAN
Pemikiran dan aksi pendidikan Tan Malaka meliputi: Pedagogi, Manajemen dan Kebijakan Pendidikan, Kurikulum. Tinjauan pedagogi, seorang guru harus menyadari perannya sebagai pendidik dan pelatih masyarakat yang terperangkap dalam kebodohan. Melalui pendidikan yang diberikan dengan memperhatikan aspek psikologis, sosial, maupun budaya peserta didik maka seorang guru telah berusaha untuk memanusiakan manusia dan memerdekakan bangsa dari ketergantungan terhadap kapitalisme.
      Tentang kurikulum, terdapat tiga poin penting, yaitu: Pendidikan sebagai bekal hidup, Pendidikan dan pergaulan sosial, Pendidikan dan tanggung jawab sosial.
      Pendidikan nasional masih memandang ilmu dan budaya yang datang dari luar selalu dianggap baik dan terbaik. Seharusnya pendidikan  dapat menggali khasanah ilmu, dan budaya bangsa Indonesia. Bangsa yang berkarakter unggul adalah ketika mampu berdiri sama tinggi dengan peradaban luar, barat khususnya, dengan memperlihatkan keunggulan pengetahuan, teknologi dan budaya yang digali dan diciptakan sendiri.
      Masyarakat dididik bukan untuk menjadi kelompok intelektual ataupun teknokrat yang ekslusif. Kaum intelektual dan teknokrat dengan senjata pikiran dan teknologi bukan berarti membangun tembok dari kehidupan masyarakat banyak. Sebaliknya kaum terdidik harus melebur dalam sebuah interaksi yang saling mendukung.
Fridiyanto. Alumni PPs IAIN Sulthan Thaha Syaifuddin Jambi. Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara.

KEPUSTAKAAN
Alfian. Tan Malaka Ideolog Kesepian. Dalam buku “Manusia dalam Kemelut Sejarah”. Editor Syafii Maarif, Jakarta: LP3ES
Giddens, Anthony. Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Jakarta: Gramedia, 2003
Kompas, 13 Oktober 2010
Malaka, Tan . SI semarang dan Onderwijs, 1987
_________, Naar de Republiek Indonesia, 1925
_________, Aksi Massa, Jakarta: Narasi, 2008
_________, Madilog: Materialsme, Dialektika, Logika, Jakarta: LPPM, 2000
Poeze, A. Harry. Pergulatan Menuju Republik 1897-1925. Jakarta: Grafiti, 2000

































1 Nama lengkap yang merupakan sekaligus gelar adat yang diperoleh Tan Malaka  untuk melanjutkan kepemimpinan Adat di Minang kabau. Sesuai adat masa itu, setiap anak yang dilahirkan akan diberi nama kecil dengan nama Islam, baru kemudian mendapat nama atau gelar menurut adat, maka Ibrahim adalah nama Islam yang melekat pada Tan Malaka


2 Alfian. Tan Malaka Ideolog Kesepian. Dalam buku “Manusia dalam Kemelut Sejarah”. Editor Syafii Maarif
3 Dinamisme yang dimaksud Mrazek adalah masyarakat memandang konflik dengan kacamata dialektika merupakan esensi untuk mencapai integrasi masyarakat, sehingga masyarakat Minang kabau terbuka terhadap nilai-nilai baru yang masuk yang dianggap memperkuat dan memperkaya, alam atau adat Minang kabau mempunyai sistem nilai sendiri untuk meyeleksi hal-hal baru

4 Berdasarkan hasil penelitian Harry A. Poeze, ditemukan makam Tan Malaka di Selo Panggung, Kediri dan makam tersebut  telah dibongkar untuk dites DNA. Namun sampai saat ini belum dilaporkan hasil tes DNA apakah benar jenasah Tan Malaka yang diperiksa tersebut.
5 Pada masa pra kemerdekaan tentulah bahasa Indonesia sangat diperlukan sebagai pemersatu dan identitas diri, karena Belanda mewajibkan dalam proses belajar mengajar menggunakan bahasa Belanda. Olehkarena itu Tan Malaka memprioritaskan penggunaan bahasa Indonesia, namun bahasa Belanda dan Inggris tetap diajarkan.


6 Tan Malaka. SI semarang dan Onderwijs, 1987
7 Tan Malaka, Naar de Republiek Indonesia, 1925 hal.17
8 Tan Malaka, Een Open Brief, Tan Malaka aan de Indonesische studenten en intellectueelen” (Surat terbuka. Dari Tan Malaka kepada mahasiswa dan cendikiawan Indonesia), De Tribune, 29-8- dan 31-8-1923, dalam Poeze, Menuju Repuplik Indonesia, hal. 340

9 Tan Malaka, Aksi Massa . Jakarta: Narasi, 2008. hal 7
10 Ibid. Hal. 61
11 Sebuah kumpulan penyamun yang dikerahkan, diupah dan dipimpin oleh pemerintah kolonial

12 Tan Malaka. Pandangan Hidup
13 Frans Magnis Suseno. Op.Cit., 212
14 Dr. Jansen telah terlebih dahulu merintis dan meletakan prinsip dasar di sekolah kaum kuli di Tanah Deli. Dr. Jansen mendapatkan gelar Dr nya di sebuah universitas di Jerman, dengan disertasi tentang adat istiadat di Tanah Batak, dia seorang peminat budaya Batak
15 Tan Malaka. Dari Penjara ke Penjara I. hal. 43
16 Poeze., Op.Cit., hal. 216
17 Pidato Tan Malaka dalam rapat Buruh di semarang tanggal 22 Januari dimuat Sinar hindia, 23-31-1-1922, di IPO 1922, no.5. sebagaimana dikutip oleh Poeze, Ibid., hal. 216)
18 Data ini dikutip Harry A. Poeze dari sekolah Senembah, Medan, Rencana Pelajaran untuk sekolah-sekolah perusahaan senembah Medan, 1921

17 Kompas, 13 Oktober 2010

Tidak ada komentar :

Posting Komentar