Minggu, 09 November 2014

Biografi Ir. Soekarno

Ir. Soekarno lahir di Blitar pada 6 Juni 1901. Ayahnya Raden Sukemi Sosrohadihardjo, adalah seorang priyayi rendahan yang bekerja sebagai Guru sekolah Dasar. Ibunya Nyoman Rai berdarah biru dari Bali dan beragama Hindu. Pertemuan mereka terjadi ketika Raden Sukemi, yang sehabis menyelesaikan studi di Sekolah Pendidikan Guru Pertama di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, ditempatkan di Sekolah Dasar Pribumi di Singaraja, Bali. Di sanalah mereka bertemu, saling menjalin kasih dan jatuh cinta, lalu berakhir dengan pernikahan. Namun, pernikahan mereka tidak berjalan mulus akibat tidak mendapat restu dari pihak perempuan yang menganggap tindakan yang mereka berdua lakukan melanggar adat. Akhirnya, dengan pemikiran yang matang kedua pasangan baru ini pun meninggalkan Bali dan menetap di Surabaya setelah kelahiran anak pertama mereka yang bernama Soekarmini.
Dalam biografi Bung Karno diceritakan bahwa pada mulanya ibu Soekarno yang bernama Ida Nyoman Rai adalah seorang gadis pura yang tugasnya membersihkan rumah ibadah setiap pagi dan petang. Sedangkan Bapaknya yang bekerja sebagai guru sekolah rendahan milik pemerintah Kolonial Belanda di Singaraja dan setelah selesai mengajar sering pergi ke Pura tempat ibunya bekerja untuk mencari ketenangan. Pada suatu hari ia melihat ibunya Soekarno. Dari sanalah pertemuan ini terus berlanjut dan berbuah cinta. Hubungan ini terus berlanjut hingga Sukemi mendatangi orang tua dari Ida Nyoman Rai untuk memohon doa restu dan melamar. Tetapi, ia ditolak karena dianggap dari jawa dan Islam. Namun, mereka tetap nekat untuk menikah. Akibatnya, harus menanggung konsekuensi untuk diasingkan dari adat dan keluarga masyarakat Bali.
Di kota Buaya inilah tempat mereka berdua mengadu nasib setelah merasa terasingkan oleh pihak sanak keluarga yang ada di pulau Dewata. Selama di Surabaya, Raden Sukemi kembali melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang guru. Tidak lama berselang setelah kepindahannya, Soekarno akhirnya lahir. Awalnya ia diberi nama Kusno, tetapi karena sering sakit dan berdasarkan mimpi yang dialami oleh ayahnya setelah melakukan tirakat. Ayahnya mengubah nama Kusno menjadi Soekarno pada usia lima tahun. Nama Soekarno secara etimologis berasal dari nama seorang ksatria, Karna, seorang panglima perang dalam kisah Bhrata Yudha yang berpihak kepada Kurawa melawan Pandawa. Walaupun Karna sadar bahwa ia berada pada pihak yang salah, tetapi ia rela berkorban demi kesetiaannya kepada Kurawa. Karena itu, menurut Frans (1982) tidak sedikit dari orang Jawa yang mengagumi figur ksatria ini.
Dalam usia kanak-kanak, Soekarno tinggal dan diasuh oleh kakeknya yang bernama Raden Hardjokromo di Tulungagung, Jawa Timur. Kakeknya adalah seorang pedagang batik, yang secara tidak langsung membantu penghidupan dari kedua orang tua Soekarno yang pada waktu itu tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk menghidupi dirinya dan kakaknya. Kecintaan Soekarno terhadap wayang kulit, mulai tumbuh selama tinggal bersama kakeknya. Iasering kali menonton wayang kulit sampai larut malam. Kesenangannya menonton wayang membuatnya terkesan dengan tokoh Bima dibandingkan dengan tokoh lain.
Tokoh Bima juga memiliki pengaruh yang besar dalam sikap dan pandangan politiknya kelak. Sikap nonkooperasi terhadap musuh-musuhnya, kaum imperialis maupun kaum kapitalis, serta kesediaannya dalam waktu bersamaan berkompromi dengan sesama rekan perjuangannya meskipun berpeda pandangan praktis dapat dikatakan berasal dari Bima.
Di Tulungagung, ia pertama kali masuk sekolah. Tetapi ia kurang mempergunakan kesempatan sebaik mungkin untuk belajar. Hal ini disebabkan ia lebih sering melamun tentang kisah Perang Bharata Yudha. Namun, sisi keingintahuan yang besar dan minatnya terhadap pengetahuan sudah mulai tumbuh pada saat ini. Berkat sifat keingintahuan yang dimiliki olehnya, Soekarno memiliki wawasan yang lebih luas daripada teman-teman sebayanya.
Tidak lama kemudian, setelah kedua orang tuanya pindah ke Sidoarjo dan mendapat jabatan sebagai kepala Eerste Klasse School di Mojokerto. Di sini, kepandaiannya mulai terlihat dengan jelas. Mungkin ini disebabkan oleh profesi ayahnya yang juga seorang guru sehingga dapat mengawasi kegiatan belajar mengajar anaknya secara langsung. Kemudian, Raden Sukemi memasukkan Soekarno ke Europeesche Lagere School (E.L.S). Sekolah tersebut didirikan guna memenuhi kebutuhan anak-anak pekerja di pabrik gula.
Selama bersekolah di sini. Soekarno merasakan adanya diskriminasi yang diberlakukan kepada kaumnya. Hanya Bumiputera tertentu yang mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan hak istimewa itu. Mereka yang bukan anak pejabat hanya bisa masuk ketika ada izin khusus dari residen dan memenuhi syarat-syarat tertentu. Sebelum ia menginjakkan kaki di tempat tersebut, pada tahun 1913, Soekarno harus mengorbankan waktunya untuk memperdalam bahasa Belanda pada Juffrow M.P de la Riviera, guru bahasa Belanda di ELS. Selama bersekolah di ELS Soekarno juga mengalami cinta pertama kepada seorang gadis Belanda yang bernama, Rika Meelhuysen. Tetapi, hubungan mereka berdua ditentang oleh ayah sang gadis karena melihat kedudukan Soekarno yang hanya merupakan pribumi. Meskipun, akhirnya hubungan itu putus dan Soekarno dihina. Ia tidak marah karena menganggap hal itu adalah biasa karena merupakan cinta monyet.
Pribadi Soekarno, selain banyak mendapatkan pendidikan di ELS. Ia juga mendapatkan pendidikan dari ayahnya dengan keras, penuh disiplin, tetapi di sisi lain mengajarkan untuk mencintai makhluk tak berdaya. Sedangkan dari ibunya, Idayu, ia mendapatkan pengaruh mistik dari pemikiran Hindu dan sifat yang lemah lembut serta kasih sayang. Dari pembantunya Sarinah, sebagaimana diungkapkan oleh Soekarno sendiri, ia memperoleh pengaruh kemanusiaan dan sikap emansipasif. Ia amat terkesan dan mengagumi sikap perempuan tersebut. Meskipun ia hanya seorang pembantu, di mata Soekarno ia adalah perempuan bijaksana dan berbudi luhur.
Setelah menyelesaikan ELS di Mojokerto, pada tahun 1915, Sukarno ingin melanjutkan pelajarannya di Hogere Burger School (HBS). Agar Soekarno diterima sebagai siswa HBS, ayahnya menggunakan pengaruh kawannya untuk memasukkan ke sekolah tertinggi yang ada di Jawa Timur tersebut. Melalui jasa baik, H.O.S Tjokrominoto, Soekarno akhirnya diterima di sana.
Selama berada di Surabaya, Soekarno banyak mendapatkan pengaruh pemikiran Barat yang modern. Perpisahan dengan orang tua dan lingkungan desanya juga memberikan pengaruh postitif bagi dirinya. Soekarno berada di Surabaya selama lima tahun. Selama itu ia tinggal di rumah Tjokrominoto. Di tempat itulah pendidikan politik Soekarno dimulai dengan interaksi dengan berbagai pemahaman pemikiran yang ada disana. Soekarno juga berkenalan dengan orang-orang beraliran sosialis kiri, seperti Alimin, Muso, dan Dharsono yang juga mendapat kedudukan penting dalam kepengurusan Sarekat Islam maupun di dalam keanggotaan Indische School Democratische Vereeniging (ISDV).
Sebagai remaja yang gelisah, ia menyalurkan aspirasinya melalui suratkabar milik Sarekat Islam, Oetoesan Hindia. Ia menuangkan pemikiran dengan nama samaran ‘Bima”. Menurut pengakuannya, penggunaan nama samaran itu dimaksudkan agar ia tidak dimarahi oleh ayahnya. Sebab ayahnya akan marah apabila mengetahui anaknya membahayakan masa depannya sendiri. Memang kata-kata yang digunakan Soekarno cukup tajam seperti “Hancurkan segera kapitalisme yang dibantu oleh budaknya, imperialisme. Dengan kekuatan Islam, Insya Allah itu segera dilaksanakan.” Di samping itu, Soekarno juga aktif dan melibatkan dirinya dalam organisasi pemuda Tri Koro Darmo cabang Surabaya, yang dibentuk pada 1915 sebagai bagian dari organisasi Budi Oetomo. Kemudian berganti nama menjadi Jong Java pada 1918.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di HBS pada 10 Juni 1921. Soekarno beserta istrinya, Siti Oetari Tjokrominoto, puteri Tjokrominoto yang dinikahi olehnya pada 1920 atau 1921, meninggalkan Surabaya menuju Bandung. Disana ia bersama istrinya berdiam di kediaman Haji Sanusi, anggota Sarekat Islam dan juga kawan akrab Tjokrominoto. Di tempat itu pula Soekarno pertama kali bertemu dengan Inggit Garnasih, Isteri Haji Sanusi. Kota Bandung mempunyai iklim ideologis yang khas jika dibandingkan dengan kota-kota lain. Jika Sarekat Islam berpusat di Surabaya, maka Semarang dikenal sebagai pusat pemikiran Marxisme. Kedua kota ini saling mempengaruhi dan saling berebut pengaruh.
Tetapi Bandung justru Bandung menampilkan watak yang berlainan dengan kedua kedua kota di atas. Sebab di kota Bandung telah berkembang sebuah pemikiran bahwa tujuan pergerakan adalah kemerdekaan penuh bagi Indonesia. Gagasan-gagasan ini dikembangkan oleh para pemimpin Indische Partij yang akhirnya mempengaruhi pemikiran-pemikiran selanjutnya. Akhirnya kota Bandung menampilkan diri sebagai pusat pemikiran nasionalis Sekuler.
Di kota ini, Soekarno berkenalan dengan tokoh-tokoh nasionalis sekuler, seperti, E.F.E Douwes Dekker, Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara. Perkenalan ini telah membawa nuansa baru dalam berpikir Soekarno. Seperti halnya dalam pendekatan yang diperkenalkan oleh Douwes Dekker dalam mendekati situasi Hindia Belanda dan bagaimana cara mengubahnya amat menarik perhatian Soekarno. Pemikiran yang diperkenalkan tersebut terlihat berbeda dari pemikiran sebelumnya didapat dari tokoh-tokoh yang ditemuinya.
Dengan bertemunya berbagai tokoh yang memiliki berbagai aliran pemikiran tentunya membuat pikiran Soekarno semakin tersusun secara teratur. Di samping itu kesaksiaannya terlihat di depan matanya. Soekarno melihat di lingkungan Tjokrominoto senantiasa timbul pertentangan antara golongan kanan (Tjokrominoto) dengan golongan kiri (Semaun-Darsono) dalam sentral Serikat Islam yang berkedudukan di Surabaya. Pertikaian yang memuncak tersebut berakhir dengan terpecahnya Sarekat Islam menjadi dua bagian, yakni Sarekat Islam Putih dan Merah. Sarekat Islam Merah, akhirnya merubah dirinya menjadi Sarekat Rakyat.
Jiwa patriotisme Soekarno tidak hanya dibentuk melalui figur seorang Tjokrominoto. Dari timbulnya jiwa patriotism inilah interaksi antara Soekarno dan para pengikut aliran Marxis seperti Muso, Alimin, dan Semaun. Juga para orang-orang Sosialisme Radikal Belanda, seperti Coos Hartogh, Henk Sneevliet, dan Aser Baars. Memang jika penulis pahami, pengaruh Nasionalisme, Islam, dan Marxisme-Sosialisme sudah memiliki andil yang besar pada diri Soekarno bahkan pada saat dia muda. Secara jelas, ini dibentuk dari keberadaan Soekarno yang pada mulanya mendapatkan pendidikan politik di Surabaya.
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung. Organisasi ini merupakan cikal bakal dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan olehnya pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkan dirinya ditangkap oleh Belanda pada bulan Desember 1929, dan memunculkan pledoi atau pembelaannya yang fenomenal dengan judul Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.
Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI. Akibatnya, Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Disini, Soekarno hampir hilang dan terlupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun, semangat dan api perjuangan yang tidak pernah padam senantiasa membuat Soekarno tetap tegar dalam menghadapi hambatan dalam perjuangan. Ini terbukti melalui suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hassan.
Selama menjadi Presiden, Soekarno banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan Presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung dan menghasilkan Dasa Sila Bandung. Tujuan dari KAA adalah untuk menentang tindakan imperialisme dan kolonialisme yang terjadi di dunia yang notabenenya banyak dilakukan oleh negara-negara Barat.

Daftar Pustaka
http://bujangpolitik.blogspot.com
            Budiarjo, Miriam, 2008. Dasar - Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka

Tidak ada komentar :

Posting Komentar