BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Kesejarahan minyak di Indonesia dimulai pada penjajahan Hindia Belanda
tahun 1871. Pada saat seorang pedagang Belanda di
Cirebon, Jan Reerink adalah orang pertama
melakukan eksplorasi minyak di Indonesia (dulu Hindia Belanda).
Tepatnya di sumur di Cibodas, sebuah desa dekat Majalengka dan Kadipaten, di
kaki gunung Cireme, namun upaya itu gagal. Kemudian ia
melakukan pengeboran di Desa Panais, Majalengka,
Cipinang dan Palimanan, dengan
mengunakan tenaga uap yang didatangkan dari Canada,
menghasilkan minyak yang sangat kental disertai dengan
air panas yang mancur setinggi 15 meter.
Ditempat
terpisah pada tahun 1880 Aeilko Jans Zijker,
seorang petani tembakau dari Belanda yang pindah
dari Jawa ke Sumatra menemukan minyak di Langkat. Minyak
tersebut merembes ke permukaan, kemudian minyak
yang sudah menguap tersebut dibawa ke Jakarta (dulu
Batavia) untuk dianalisis. Setelah dinyatakan potensial diproduksi, minyak
tersebut kemudian dieksplotasi dan dilakukan penyulingan hingga ahirnya minyak
tersebut 59 persennya digunakan untuk penerangan. [1]
Dalam
perjalanannya, pengelolaan kontrak minyak dan gas Indonesia secara substasi
dapat digolongkan kedalam dua bentuk, yaitu kontrak konsesi dan kontrak bagi
hasil atau lebih dikenal dengan Production Sharing Contract (PSC). Bentuk
kontrak yang pertama atau kontrak konsesi terjadi sejak jaman sebelum
kemerdekaan RI hingga tahun 1960. Kemudian pada tahun 1960 hingga 1966
pemerintah sempat memberlakukan sistem kontrak karya. Tetapi sejak tahun 1966
kontrak kerjasama migas yang berlaku hingga sekarang adalah kontrak bagi hasil
atau dikenal sebagai Production Sharing Contract (PSC). Dan dalam
perkembangannya nanti kontrak PSC ini mengalami beberapa perubahan atau
penyesuaian; terutama terkait dengan biaya operasi (Cost Recovery), Fiscal Term
dan paket insentif.
Kesejarahan
minyak dan gas Indonesia mengalami perubahan sejak Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi disahkan pada tanggal 23 Nopember 2001. Dengan
berlakunya UU No. 22 tahun 2001 tersebut, sejumlah peraturan perundang-undangan
dinyatakan tidak berlaku. Undang-undang tersebut misalkan, UU No. 44 Tahun 1960
tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, UU No. 15 Tahun 1962 tentang
Penetapan PERPU No. 2 Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak
Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri, UU No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara, berikut segala perubahannya, terakhir
dengan UU No. 10 Tahun 1974. [2]
Meski sudah melakukan
perombakan manajemen pengelolaan industri perminyakan Indonesia, namun
kenyataanya saat ini masih mengalami ujian yang sangat berat. Produksi
crude oil nasional mengalami penurunan
cukup tajam. Hal ini bisa berdampak
negatif pada kinerja ekonomi Indonesia secara
keseluruhan, dimana 23,6% pendapatan negara ditopang
sektor perminyakan ini. Tahun 2001-2003
produksi crude oil Indonesia berkisar 1,42
– 1,25 juta barel per hari. Sedangkan
saat ini, menurut data terbaru dari BP Migas,
sampai Juli 2005, angkanya tinggal 1,065 juta
barel per hari. Itu berarti mengalami penurunan sekitar 350 ribu sampai 200
ribu barel per hari. Angka tersebut
jauh lebih kecil dibanding batas produksi
sebagai anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak
(OPEC) yang mencapai 1,4 juta barel per hari.
Saat ini Indonesia terpaksa mengimpor minyak mentah
dan bahan bakar minyak (BBM) sampai ratusan
ribu barel per hari. Impor tersebut
tak lain untuk menutup kesenjangan produksi
dengan konsumsi dalam negeri yang terus
meningkat mencapai 1,3 juta barel per hari. Dibanding dengan produksi
saat ini berdasar data BP Migas, jelas terlihat produksi dalam negeri tak
lagi mampu memenuhi konsumsi dalam negeri.
Gambaran suram perminyakan negeri ini
jadi semakin nyata jika menyimak data Asosiasi
Perminyakan Indonesia (Indonesia Petroleum
Association, IPA). Data itu menyebutkan potensi cadangan minyak
Indonesia sekitar 9 miliar barel, yang sekitar 50 persen atau 4,5 miliar
barel sudah dieksplorasi dan diproduksi. Dengan jumlah cadangan
minyak yang tinggal 4,5 miliar barel,
diperkirakan cadangan minyak itu akan habis dalam kurun 10 tahun,
dengan asumsi tidak ada eksplorasi cadangan.
Setelah ditemukan dan siap diproduksinya
beberapa sumur di blok Cepu, khususnya di
lapangan Banyu Urip, Bojonegoro, kemungkinan untuk mendongkrak pruduksi
harian minyak mentah Indonesia kembali
terbuka. Seperti yang disampaikan oleh pemerintah
pusat, jika proses produksi lapangan Banyu
Urip sudah berjalan, diharapkan produksi harian
minyak mentah Indonesia mencapai kembali batas
diperbolehkannya masuk sebagai anggota OPEC,
yakni 1,4 juta bopd, dimana dari jumlah tersebut
150.000 hingga 185.000 bopd berasal dari Blok Cepu. [3]
Dipandang dari sisi teknologi, perlu
diingat bahwa pencapaian produksi harian sebesar
185.000 bopd memerlukan technical knowhow yang sangat besar.
Dilihat dari status jumlah cadangan terbukti
dan potensial yang ada di Blok Cepu (khususnya
lapangan Banyu Urip), jumlah ini merupakan
peak production rate (PPR) yang akan
dicapai 2-3 tahun pada saat awal
pekerjaan produksi dan pengembangan; untuk kemudian akan menurun
lagi dalam masa 4-5 tahun setelah terjadinya PPR. Laju
produksi seperti ini dikenal dalam dunia
industri hulu migas sebagai laju Hubbert, atau
kurva Hubbert. Oleh karena itu sudah
menjadi suatu kemestian bahwa pengelolaan sumber
daya migas mempertimbangkan aspek-aspek teknis, visi masa
depan dan analisa resiko.
Disatu sisi dalam pengelolaan migas di Indonesia, lebih khusus di Blok Cepu
sangat dibutuhkan keterbukaan dari pihak Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS)
Blok Cepu dan Pemerintah sebagai bagian kontrak kerjasama. Komitmen lain yang
tak kalah pentingnya adalah menjamin kegiatan eksploitasi tetap
mempertimbangkan pengelolaan lingkungan dan masyarakat sekitar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang tersebut diatas, batasan rumusan masalah yang hendak
dijawab oleh tulisan adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana bentuk hubungan hukum Kontrak Kerja Sama
(KKS) Blok Cepu ?
2.
Bagaimana hubungan Kontrak Kerja Sama (KKS) Blok Cepu
dengan kepentingan Pemerintah Indonesia ?
C.
Tujuan
Berdasarkan
rumusan permasalahan atas, dengan demikian tujuan kajian antara lain:
1.
Mengetahui lebih dalam tentang seluk‐beluk mekanisme
Kontrak Kerja Sama (KKS) Blok Cepu; dan
2.
Menggambarkan permasalahan Kontrak Kerja Sama (KKS)
Blok Cepu .
D.
Metode Kajian
Jenis kajian
yang dilakukan oleh studi ini adalah kajian yuridis normatif. Yaitu sebuah
studi dengan melakukan telaah untuk mendiskripkan sebuah gambaran fakta
normatif yang berkaitan dengan Kontrak Kerja Sama (KKS) Blok Cepu.
Metode
Pengumpulan Data
Sebagai
konsekuensi dari jenis kajian yuridis normatif, makapenggunaan jenis data dan
informasi adalah data sekunder. Jenis data‐informasi yang diperoleh dari data sekunder adalah
data yang telah diolah dan dibahas oleh pihak lain selain oleh penulis. Oleh
karena itu cara pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan.
Adapun data sekunder di dalam penelitian di antaranya meliputi :
1.
Bahan hukum primer: peraturan perundang‐undangan yang
berkaitan dengan persoalan Kontrak Kerja Sama (KKS) Blok Cepu, antara lain:
a.
KUH Perdata.
b.
Undang‐undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
c.
Undang-undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik.
d.
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
e.
Undang-undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
f.
Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 tentang
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
g.
Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2005 tentang
perubahan Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi.
2.
Bahan hukum sekunder: materi kepustakaan baik yang
bersifat teoritis maupun praktis berkenaan dengan analisis terhadap tema
penulisan, yaitu Kontrak Kerja Sama (KKS) Blok Cepu; dan
3.
Bahan hukum tersier: kamus yang relevan dengan istilah‐istilah yang
bermanfaat untuk memperjelas bahan hukum primer dan bahan sekunder.
Metode Analisis
Bentuk analisis
yang dilakukan dalam penulisan ini adalah deskriptif kualitatif.
BAB
II
TINJAUAN
KONTRAK BLOK CEPU
A. Tinjauan Sejarah Kontrak Blok Cepu
A.1.
Sejarah Kontrak Blok Cepu
Blok Cepu adalah wilayah kontrak minyak dan gas bumi yang
meliputi wilayah Kabupaten Bojonegoro - Jawa Timur, Kabupaten Blora - Jawa Tengah, dan Kabupaten
Tuban - Jawa Timur. Sebelum
penemuan cadangan minyak yang cukup besar di wilayah Cepu dan sekitarnya yaitu
di Kabupaten Bojonegoro dan Tuban, ladang minyak
Cepu hanya difungsikan sebagai wahana pendidikan bidang perminyakan yaitu
dengan adanya Akademi Migas di Cepu.
Mobil Cepu
Ltd. (MCL) dan Ampolex (Cepu) Pte. Ltd., keduanya
adalah anak perusahaan Exxon Mobil Corporation, adalah
kontraktor untuk Kontrak Kerjasama Cepu bersama dengan PT Pertamina
EP Cepu, anak perusahaan PT Pertamina dan 4 Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD), sebagaimana disyaratkan dalam
Kontrak Kerja Sama (KKS) tersebut.
Peraturan
Pemerintah No. 35 / 2004 menyebutkan bahwa prioritas dalam penawaran Penyertaan
Modal (Participating Interest – PI) harus diberikan kepada Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD) yang telah ditunjuk oleh Pemerintah Republik Indonesia Ke empat
(4) BUMD tersebut adalah PT Sarana Patra Hulu Cepu (Provinsi Jawa Tengah), PT Asri Dharma Sejahtera (Kabupaten Bojonegoro), PT Blora
Patragas Hulu (Kabupaten Blora), PT Petro Gas Jatum Utama Cendana (Provinsi Jawa Timur) Ke empat BUMD
ini bekerja dibawah satu konsorsium yang dinamakan Badan Kerja Sama (BKS).
Blok Cepu
diharapkan dapat memberikan peningkatan yang signifikan terutama dalam
pengganda bidang industri pendukung di pulau Jawa, yang dampaknya pada
peningkatan ekonomi, bertambahnya lapangan pekerjaan dan peningkatan dalam
program pengembangan masyarakat. Semua hal tersebut akan memberikan peningkatan
pada dampak positif proyek bagi masyarakat sekitar lokasi tambang.
A.2.
Milestone Kontrak Blok Cepu
Untuk
memudahkan membahas tentang pengelolaan sumber daya migas lebih terintegrasi
diperlukan pemahaman yang utuh tentang sejarah Blok Cepu. Berikut ini
disampaikan sejarah Blok Cepu.[4]
Waktu
|
Peristiwa
|
Sebelum
Perang Dunia
II
|
Daerah Blok
Cepu dikuasai Shell, yang menemukan lapangan gas Balun-Tobo.
|
Tahun 1965
|
Wilayah Blok
Cepu diambil alih oleh Lemigas.
|
Tahun 1980
|
Pertamina
Unit III mengambil alih Blok Cepu.
|
23 Januari
1990
|
Kontrak kerja
sama dalam bentuk technical assistance (TAC) antara Pertamina dan Humpuss
Patra Gas (HPG) ditandatangani. TAC berlaku selama 20 tahun, hingga 2010. HPG
menguasai 100 persen working interest (semacam saham, atau hak pengelolaan).
|
Tahun 1995
|
Ampolex Ltd
dari Australia resmi membeli 49% saham HPG, dengan syarat HPG tetap bertindak
sebagai operator. Tidak berapa lama Ampolex Ltd diakuisisi oleh MEPA (Mobil
Energy dan Petroleum Australia dan menunjuk MOI (Mobil Oil Indonesia) sebagai
representative menyangkut segala hak dan kewajibannya menyangkut kepemilikan
49% saham HPG.
|
12 Juni 1997
|
Karena kekurangan
dana, HPG menjual 49 persen working interestnya ke perusahaan Australia,
Ampolex. (Belakangan, perusahaan induk Ampolex diakuisisi oleh Mobil Oil.
Sementara, pada 1 Desember 1998, Mobil Oil merger dengan Exxon, membentuk
perusahaan baru, ExxonMobil Corp).
|
Tahun
1998-1999
|
Diadakan
perundingan untuk mengakuisisi 100% saham HPG oleh MOI. Dan bersamaan dengan
itu Mobil International sebagai induk MOI diakuisisi oleh Exxon di AS,
sehingga bergantilah nama MOI menjadi Exxon Mobil.
|
Tahun
1999-2002
|
MOI melakukan
pemboran 3 sumur eksplorasi yaitu: Tapen, Banyu Urip dan Cendana dengan objek
Formasi (batugamping di bawah Tawun) yang melampaui ketentuan status
sebagai TAC (ada unsur asing dalam kepemilikan saham). Sumur Banyu Urip
terbukti menemukan cadangan migas.
Guna
melegalkan pemboran yang melanggar ketentuan perjanjian TAC tersebut, maka
disusun dokumen perjanjian baru yang disebut ”TAC plus” antara HPG dan
Pertamina yang ditandatangani oleh Faisal Abda’oe dan disahkan oleh Mentamben
IB Sudjana.
|
10 November
2000
|
Dibuat head
of agreement (HOA) sebagai implementasi terhadap persetujuan penjualan
interest HPG kepada ExxonMobil.
|
Desember 2001
|
Plant of
Development (POD) lapangan Banyu Urip (bagian dari Blok Cepu), disetujui
untuk dikembangkan. ExxonMobil mengajukan perpanjangan kontrak hingga 2030.
|
25 Oktober
2002
|
ExxonMobil
mengusulkan tiga model kerja sama. Yaitu, model-1, TAC diperpanjang. Model-2,
TAC sampai 2010, selanjutnya dengan kontrak bagi hasil (PSC) 65/35.
Model-3, PSC 65/35 sejak 2003.
|
Oktober 2003
|
Disepakati
penggunaan KKS sejak awal. Pertamina minta kompensasi ke ExxonMobil.
|
6 April 2004
|
Dewan komisaris Pertamina menyarankan, KKS hanya itandatangani
Pertamina dan BP Migas. Kepentingan
ExxonMobil diakomodasi dalam joint operation agreement (JOA).
|
28 April 2004
|
JOA untuk
akomodasi kepentingan ExxonMobil disetujui Menneg BUMN. JOA akan
ditandatangani Pertamina dan ExxonMobil.
|
29 Juli 2004
|
Komisaris
menolak usulan HOA. Kerja sama dengan ExxonMobil sesuai existing kontrak
hingga 2010. Setelah 2010, akan dioperasikan oleh Pertamina, atau terbuka
kerja sama dengan pihak lain -- tak harus dengan ExxonMobil.
|
25 Juni 2005
|
Penandatanganan
nota kesepahaman (MoU) kerja sama pengelolaan Blok Cepu oleh Ketua Tim
Negosiasi, Martiono Hadianto dengan Vice President ExxonMobil Exploration
Company for South East Asia Pacific, Stephen Greenlee. Approval diberikan
oleh Menko Perekonomian Aburizal Bakrie, sebagai wakil pemerintah. Intinya,
participating interest (PI) antara Pertamina, ExxonMobil dan Pemda/BUMD
adalah 45 persen, 45 persen dan 10 persen.
|
30 Juni 2005
|
RUPS Pertamina di Kantor Kementerian Negara BUMN. Sejumlah butir
keputusan, di antaranya adalah menyetujui PI 55 persen untuk Pertamina dan
BUMD, 45 persen untuk ExxonMobil. Selain itu, direksi dan komisaris Pertamina
diminta segera menindaklanjuti hal-hal yang dianggap perlu untuk dimasukkan
dalam JOA, antara lain soal working areas, kompensasi, dan operatorship.
Direksi dan
komisaris Pertamina juga ditugaskan untuk menindaklanjuti
kesepakatankesepakatan lainnya, antara lain profit split, pembentukan anak
perusahaan Pertamina (yang akan mengelola Blok Cepu) serta mempelajari aspek
hokum perubahan dari TAC menjadi PSC. Keputusan lain, menugaskan direksi dan
komisaris Pertamina untuk menyelesaikan definitive agreement dalam waktu 90
hari, sejak penandatanganan MoU 25 Juni 2005.
|
29 Juli 2005
|
PT Surya
Energi Raya (SER) menyatakan siap mengelola Blok Cepu. SER khusus mengelola
dana partisipasi bernilai sekitar Rp 24 triliun. Dalam pengelolaan, SER akan
bermitra dengan BUMD Bojonegoro, PT Asri Dharma Sejahtera.
|
10 September
2005
|
Pemerintah
menerbitkan PP No 34/2005 tentang Perubahan PP No 35/2004 tentang Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
|
17 September
2005
|
Perpanjangan KKS Blok Cepu, antara Pertamina dan ExxonMobil
ditandatangani. Namun JOA
antara kedua pihak belum disepakati.
|
Dari sekian milestone
kesejarahan di Blok Cepu menunjukan tahap-tahap kesepakatan pengusaan yang
dilakukan dengan cara penguasaan pengelolaan Blok Cepu.
A. Tinjauan Dasar Hukum Kontrak Blok Cepu
Berdasarkan
Undang-undang (UU) Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi serta PP Nomor 34 tahun 2005 tentang perubahan PP Nomor 35
tahun 2004 menegaskan mengatur tentang kegiatan industri minyak dan gas bumi
(Migas). Sudah seharusnya, setiap kegiatan industry migas mengacu pada
ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam PP 35
tahun 2004 dan perubahannya PP 34 tahun 2005 menegaskan ketentuan-ketentuan
paling sedikit harus memasukkan dalam KONTRAK KERJA SAMA (KKS) meliputi,
penerimaan Negara, Wilayah Kerja dan pengembaliannya, kewajiban pengeluaran
dana, perpindahan kepemilikan hasil produksi atas Minyak dan Gas Bumi, jangka
waktu dan kondisi perpanjangan kontrak, penyelesaian perselisihan, kewajiban
pemasokan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri,
berakhirnya kontrak.
Selain itu juga
harus juga memuat tentang kewajiban pasca operasi pertambangan, keselamatan dan
kesehatan kerja, pengelolaan lingkungan hidup, pengalihan hak dan kewajiban,
pelaporan yang diperlukan, rencana pengembangan lapangan, pengutamaan
pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri, pengembangan masyarakat sekitarnya
dan jaminan hak-hak masyarakat adat, pengutamaan penggunaan tenaga kerja
Indonesia.
Dalam kontrak
kerja sama bagi hasil di Blok Cepu ini juga berlandaskan pada KUH Perdata pasal
1320 pada ketentuan umum perjanjian pada titel I, II, III, dan IV pada Buku III
KUH Perdata perihal sarat sahnya sebuah perjanjian.
BAB III
ANALISIS
KONTRAK KERJA SAMA BLOK CEPU
Blok Cepu telah ditandatangani oleh Badan Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS), PT PERTAMINA EP CEPU, MOBIL CEPU
LTD, dan AMPOLEX (CEPU) PTE.,LTD pada tanggal 17 September 2005. Dalam kontrak
tersebut mengatur kesepakatan para pihak terkait pengelolaan kegiatan migas di
Blok Cepu.
A.
Temuan Yuridis
A.1. Tinjauan KUHPerdata
Dalam KUHPerdata pasal 1320 sarat sahnya kontrak
mensyaratkan ketentuan adanya kesepakatan para pihak sama-sama menyetujui,
kecakapan melakukan perbuatan hukum, adanya obyek perjanjian dan adanya kausa
tidak bertentangan dengan hukum.
Setelah
diteliti secara seksama bagian per bagian, ditemukan ada beberapa ketentuan
yang dinilai ada kejanggalan dalam KKS Blok Cepu. Hal tersebut antara lain:
(1)
Tidak adanya unsur nama orang yang mewakili para pihak
dalam penandatanganan KKS Blok Cepu.
(2)
Tidak adanya unsur nama orang yang mewakili dari para
pihak dalam penandatanganan KKS, maka sulit juga menilai kecakapan orang yang
melakukan penandatanganan KKS Blok Cepu.
(3)
Tidak adanya unsur lokasi penandatanganan KKS Blok
Cepu.
A.2. Tinjauan KKS Blok Cepu dengan
PP No. 35 Tahun 2004 dan PP No. 34 Tahun 2005
Ada satu titik
temuan bahwa PP No. 35 Tahun 2004 dan PP No. 34 Tahun 2005 merupakan ketentuan
amanah dari Pemerintah Indonesia dalam hal kepentingannya dengan pembentukan
Kontrak Kerja Sama yang dilakukan dalam pengelolaan Kegiatan Perminyakan di
Indonesia.
Dalam Peraturan
Pemerintah (PP) No. 35 tahun 2004 dan perubahannya PP No. 34 tahun 2005
menegaskan ketentuan-ketentuan paling sedikit harus memasukkan dalam Kontrak
Kerja Sama (KKS) meliputi, penerimaan Negara, Wilayah Kerja dan
pengembaliannya, kewajiban pengeluaran dana, perpindahan kepemilikan hasil
produksi atas Minyak dan Gas Bumi, jangka waktu dan kondisi perpanjangan
kontrak, penyelesaian perselisihan, kewajiban pemasokan Minyak Bumi dan/atau
Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri, berakhirnya kontrak.
Selain itu juga
harus juga memuat tentang kewajiban pasca operasi pertambangan, keselamatan dan
kesehatan kerja, pengelolaan lingkungan hidup, pengalihan hak dan kewajiban,
pelaporan yang diperlukan, rencana pengembangan lapangan, pengutamaan
pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri, pengembangan masyarakat sekitarnya
dan jaminan hak-hak masyarakat adat, pengutamaan penggunaan tenaga kerja
Indonesia.
Dalam KKS
Bagian V tentang Hak dan Kewajiban Para Pihak point 5.1.5 sub c, dana cadangan
khusus kegiatan paska operasi ditransfer ke BP MIGAS.
Dalam PP 35
tahun 2004 pasal 26 menyebutkan, salah satu dari isi KKS adalah memuat dana
paska tambang. Dana tersebut diharapkan untuk menjamin kelestarian lingkungan
ketika proyek kegiatan migas selesai. Untuk itu kiranya KKS juga mencantumkan,
bahwa BP MIGAS dalam mengalokasikan juga melibatkan Pemerintah Daerah mengingat,
Pemerintah Daerah merupakan bagian stakeholder yang memiliki tanggungjawab
dalam kelestarian alam di daerahnya.
Dalam KKS
Bagian V tentang Hak dan Kewajiban Para Pihak point 5.1.5 sub a dan b
menyebutkan, sebagai upaya penyelamatan lingkungan kontraktor membuat ketentuan
dasar standar lingkungan. Selain itu melakukan tindakan pendahuluan yang
diperlukan untuk melindungan tersebut.
Dalam KKS
tersebut tidak dengan tegas mengamanatkan secara detail terkait penyelamatan
lingkungan kepada kontraktor. Oleh karena itu dalam menjalankan kegiatan
industry migasnya, kontraktor supaya membuat standar penanganan kebencanaan
terkait potensi yang bakal timbul akibat kegiatan industri Migas.
Ketertutupan
informasi dan ketidakdetailan dalam kontrak pada kegiatan industri migas akan
membuka celah bagi praktek-praktek korupsi yang berpotensi merugikan negara.
Oleh sebab itu, kekurangan dalam kontrak perlu kiranya segera dibenahi, untuk
meminimalisir potensi korupsi yang dapat menimbulkan kerugian Negara.
Selain itu,
ketidakdetailan dalam kontrak terkait penyelamatan lingkungan akan
mengakibatkan kerusakan lingkungan dan merugikan masyarakat daerah.
Dalam hal isu
kepentingan daerah, PP No. 35 Tahun 2004 dan PP No. 34 Tahun 2005 memberikan
peluang bagi Pemerintah Daerah untuk berperan serta dalam pengelolaan Migas di
daerahnya, dalam hal ini ada celah penawaran ke BUMD daerah penghasil untuk
mengelola Participating Interest (PI) bahkan sudah menyebut prosentase,
namun didapatkan bahwa dalam Kontrak Kerja Sama Blok Cepu ini, masih belum
mengakomodir keberadaan BUMD dalam mengelola PI.
B.
Temuan Faktual
B.1. Ketertupan
yang Berpotensi Merugikan Negara
B.1.1. Potensi
Kerugian Pusat
Kontrak Kerja
Sama (KKS) di Blok Cepu merupakan skema Production Sharing Contract(PSC)
yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam pengelolaan migas di wilayah
Indonesia. Karena menggunakan PSC, asumsinya bahwa Kontrak Bagi Hasil antara
BPMIGAS, PT PERTAMINA EP CEPU, MOBIL CEPU LTD. Dan AMPOLEX PTE., LTD masih
belum memenuhi asas keadilan bagi Negara Indonesia.
Mobil Cepu Ltd.
(MCL) sebagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS) dalam kegiatan migas di Blok
Cepu, hanyalah sebagai operator kegiatan. Sebagai operator, secara defakto
hanya melakukan penambangan migas dengan ketentuan jika menemukan migas
operator akan diberi kompensasi berupa bagi hasil atas migas yang diperoleh.
Dengan asumsi
diatas, keberadaan MCL sebagai kontraktor asing hanyalah sebagai
“penambang/tukang keduk”, mereka tidak memiliki kuasa atas wilayah penambangan.
Hak yang mereka peroleh hanyalah upah kerja berupa bagi hasi apabila ditemukan
migas. Dalam KKS ini, Pertamina selaku wakil Negara dalam kontrak ini
seharusnya menjadi pihak yang memperoleh keuntungan terbesar dalam hal
pertambangan ini jika nantinya telah terjadi produksi secara komersil.
Dibawah ini
adalah skema alur flow kegiatan industri migas di Blok Cepu[5] :
Pada bagan 1 terlihat, pendapatan Negara dalam
kegiatan migas sebesar 85 persen dari seluruh keuntungan kegiatan migas, dan
sisanya sebesar 15 persen diserahkan kepada KKKS. Jika dilihat kasat mata, dari
besarnya prosentase tersebut, Negara mendapatkan keuntungan sangat besar. Akan
tetapi jika mendasarkan pada klausula biaya operasi yang dikalimkan ke cost
recovery dapat menjadikan Negara mengalami pengurangan biaya yang sangat
besar. Sedangkan pihak operator tetap mendapat bagian sesuai dengan proporsi
yang telah ditentukan.
Sebab dalam
kontrak ini, variable untuk proporsi yang dimiliki oleh operator merupakan
variable tetap yang tidak dikurangi biaya‐biaya lain. Sedangkan variable yang dimiliki oleh
Negara merupakan variable yang nantinya masih harus dikurangi dengan biaya‐biaya yang
termasuk dalam cost recovery. Sehingga Negara akan menanggung seluruh
kegiatan migas di Blok Cepu.
a.
Dalam bagian definisi KKS Blok Cepu gambaran
ketidakberpihakan kontrak ini dalam mendapatkan keuntungan sebesar‐besarnya bagi
Negara terlihat dari luasnya batasan yang terdapat dalam biaya operasi yang
bisa dimintakan cost recovery tersebut. Menurut Section 1.2.16, “Operating
Costs adalah expenditures made and obligations incurred in carrying out
Petroleum Operations hereunder determined in accordance with the Accounting
Procedure attached hereto and made a part hereof as Exhibit “C”. Sedangkan
Exhibit C berisi penjelasan lebih lanjut dari Kontrak Utama (PSC) tentang
definisi Operating Cost dan bagaimana menghitung pengembalian (Recovery)
atas operating cost (biaya operasi), serta apa saja yang termasuk biaya
operasi.
Ketidakdetailan
item-item cost recovery dalam KKS Blok Cepu pada akhirnya dapat mengurangi
pendapatan yang akan diterima oleh Negara. Dengan adanya klausul biaya operasi
yang tidak detail tersebut, sebagian besar bahkan hampir secara keseluruhan
biaya yang dikeluarkan oleh operator ditanggun oleh Negara. Padahal, biaya
tersebut tidak termasuk secara langsung dalam ranah operasi migas—misalnya
biaya kepentingan pribadi karyawan seperti berlibur, biaya cuti, biaya sopir
pribadi hingga biaya untuk menjamu pejabat Negara, bahkan biaya untuk
pengelolaan kantor pusat di luar negeri—sehingga merugikan pendapatan yang
seharusnya diterima oleh Negara.
b.
Dalam Peraturan Menteri ESDM No 22 Tahun 2008
mengamanatkan jenis-jenis biaya kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang
tidak dapat dikembalikan kepada kontraktor KONTRAK KERJA SAMA meliputi :
1.
Pembebanan biaya yang berkaitan dengan kepentingan
pribadi pekerja Kontraktor Kontrak Kerja Sama antara lain personal income
tax, rugi penjualan rumah dan mobil pribadi.
2.
Pemberian insentif kepada karyawan Kontraktor Kontrak
Kerja Sama yang berupa Long Term Incentive Plan (LTIP) atau insentif
lain yang sejenis.
3.
Penggunaan tenaga kerja asing/expatriate tanpa
melalui prosedur Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) dan tidak
memiliki Izin Kerja Tenaga Asing (IKTA) bidang Migas dari BPMIGAS dan/atau
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Burni.
4.
Pembebanan biaya konsultan hukum yang tidak terkait
dengan operasi Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
5.
Pembebanan biaya konsultan pajak (tax consultant
fee)
6.
Pembebanan biaya pemasaran minyak dan gas bumi bagian
Kontraktor Kontrak Kerja Sarna dan biaya yang timbul akibat kesalahan yang
disengaja, terkait dengan pemasaran minyak dan gas bumi.
7.
Pembebanan biaya Public Relation tanpa batasan,
baik jenis maupun jumlahnya tanpa disertai dengan daftar nominatif penerima
mantaat sebagaimana diatur dalam ketentuan perpajakan, antara lain : biaya
golf, bowling, credit card, member fee, family gathering, farewell party, surnbangan
ke yayasan pendidikan Kontraktor Kontrak Kerja Sama, biaya ulang tahun
Kontraktor Kontrak Kerja Sama, sumbangan kepada persatuan istrl karyawan, exercise,
nutrition and fitnes.
8.
Pembebanan dana pengembangan Iingkungan dan masyarakat
setempat (Community Development) pada masa Eksploitasi.
9.
Pengelolaan dan Penyimpanan dana cadangan untuk abandonment
dan site restoration pada rekening Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
10. Pembebanan semua jenis technical training untuk
tenaga kerja asing/expatriate. Pencadangan biaya abandonment dan site
restoration wajib disimpan pada Bank Pemerintah dalam bentuk rekening bersama
antara Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu dengan Kontraktor Kontrak Kerja
Sama.
11. Pembebanan biaya yang terkait dengan merger dan akuisisi.
12. Pembebanan biaya bunga atas pinjaman untuk kegiatan
Petroleum Operation.
13. Pembebanan Pajak Pengl1asilan pihak ketiga.
14. Pengadaan barang dan jasa serta kegiatan lainnya yang
melampaui nilai persetujuan Otorisasi Pembelanjaan Finansial (Authorization
Financial Expenditure/AFE) di atas 10 % (sepuluh persen) dar; nilai AFE dan
tanpa justifikasi yang jelas.
15. Surplus material yang berlebihan akibat kesalahan
perencanaan dan pembelian.
16. Pembangunan dan pengoperasian projek/fasilitas yang
telah Place into Service (PIS) dan tidak dapat beroperasi sesuai dengan
umur ekonomis akibat kela/aian Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
17. Transaksi-transaksi dengan pihak-pihak yang menjadi
afiliasinya (affiliated parties) yang merugikan Pemerintah, tanpa tender
atau bertentangan dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan
Meski dalam
Peraturan menteri ESDM dengan jelas melarang memasukkan jenis-jenis cost
recovery, tetapi aturan tersebut seakan tidak pernah ada. Dalam
kenyataanya, terindikasi kuat sejumlah kegiatan yang dilakukan Mobil Cepu Ltd.
(MCL) berupa kegiatan pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat (Community
Development)masih menggunakan klausul cost recovery meski sudah
masuk tahapan eksploitasi. Dalam prakteknya perusahaan tidak lagi
menggunakan istilah Community Development melainkan sarana penunjang
produksi.
Konsep Community
Development telah banyak dirumuskan di dalam berbagai definisi.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikannya: ” as the process by which the
efforts of the people themselves are united with those of governmental
authorities to improve the economic, social and cultural conditions of
communities, to integrade these communities into the life of the nations, and
to enable them to contribute fully to national progress”. (Luz. A.
Einsiedel 1968:7).
Definisi ini
menekankan bahwa pembangunan masyarakat, merupakan suatu “proses” dimana
usaha-usaha atau potensi-potensi yang dimiliki masyarakat diintegrasikan dengan
sumber daya yang dimiliki pemerintah, untuk memperbaiki kondisi ekonomi,
sosial, dan kebudayaan, dan mengintegrasikan masyarakat di dalam konteks
kehidupan berbangsa, serta memberdayakan mereka agar mampu memberikan
kontribusi secara penuh untuk mencapai kemajuan pada level nasional.
US
International Cooperation Administration mendeskripsikan Community
Development itu sebagai ” a process of social action in which the people
of a community organized themselves for planning action; define their common
and individual needs and problems; make group and individual plans with a
maximum of reliance upon community resources; and supplement the resources when
necessary with service and material from government and non-government agencies
outside the community “. (The Community Development Guidlines of the
International Cooperation Administration, Community Development Review,
December,1996,p.3).
Definisi di
atas lebih menekankan bahwa konsep pembangunan masyarakat, merupakan suatu
proses “aksi sosial” dimana masyarakat mengorganiser diri mereka dalam
merencanakan yang akan dikerjakan; merumuskan masalah dan kebutuhan-kebutuhan
baik yang sifatnya untuk kepentingan individu maupun yang sifatnya untuk
kepentingan bersama; membuat rencana-rencana tersebut didasarkan atas
kepercayaan yang tinggi terhadap sumber-sumber yang dimiliki masyarakat, dan
bilamana perlu dapat melengkapi dengan bantuan teknis dan material dari
pemerintah dan badan-badan nonpemerintah di luar masyarakat.
B.1.2. Potensi
Kerugian Daerah
a.
Dalam KKS Bagian V tentang Hak dan Kewajiban Para
Pihak point 5.1.11 “ submit to GOI throught BP MIGAS copies of all such
original geological, geopihisysical, drilling, well, production resulting from
the petroleum operations conducted in the contract Area and other data and report
as it may compile during the term hereof” yang mengisyaratakan, salinan
laporan semua kegiatan operasi perminyakan di wilayah kontrak diserahkan
kepada Pemerintah Indonesia melalui BPMIGAS.
Mekanisme seperti diatas tidak menguntungkan bagi daerah. Karena, selama
ini daerah masih kesulitan untuk mengakses sejumlah dokumen yang berhubungan
dengan kepentingan daerah, misalkan tentang
Dana Bagi Hasil (DBH), Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), penyerapan tenaga
kerja lokal, partisipasi pengusaha lokal, dan keselamatan masyarakat lokal.
Kebijakan
selama ini, data yang disetor oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) kepada
BPMIGAS sulit untuk diakses oleh daerah. Sehingga daerah tidak memiliki posisi
tawar karena tidak mengetahui sejumlah data migas dari ketertutupan tersebut.
Selain itu daerah juga mengalami kesulitan untuk berpartisipasi dalam investasi
yang masuk di daerah tersebut.
Untuk itu
seharusnya dalam KKS, kontraktor diberi wewenang atau kewajiban untuk
memberikan tembusan laporan kegiatan migas kepada Pemerintah Daerah tempat
kontraktor bekerja. Selain itu, BPMIGAS selaku pihak yang mendapatkan laporan
kegiatan dari kontraktor harus menshare dan member kemudahan akses bagi
daerah.Dibawah ini adalah skema flow pembagian DBH yang berasal dari penerimaan
Negara, bersumber migas dari wilayah kabupaten/kota maupun provinsi setelah
dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya[6]:
Dari flow keuangan
kegiatan migas diatas, daerah tidak mungkin dapat mengetahui DBH secara pasti
jika tidak memiliki atau mengetahui data kegiatan migas tersebut. Dan yang
paling krusial adalah kegiatan rekonsiliasi yang diselenggarakan Pemerintah
Pusat yang melibatkan Pemerintah Daerah tidak pernah menshare dokumen-dokumen
kegiatan migas tersebut.
b.
Dalam KKS Bagian V tentang Hak dan Kewajiban Para
Pihak point 5.1.5 sub c “after the contract expiration or termination, or
relinquishment of part of the contract Area, or abandonment of any field,
remove all equipment and installations from the Area in manner acceptable to
BPMIGAS an GOI, and perform all necessary site restoration activities in
accordance with the applicable Government regulations to prevent hazards to
human life and property of others or environment, provided however, if third
party appointed by GOI takes over any Area or field prior to ist abandonment,
CONTRACTOR shal be released from its obligation to remove the equipment and
installations and perform the necessary site restoration activities of the
field in such area, in such event all th accumulated fund reserved for the
removal and restoration operations for such Contract Area shall be transferred
to BPMIGAS”.
Dalam klausul
ini, dana cadangan khusus kegiatan paska operasi yang ditransfer ke BPMIGAS
tidak dijelaskan pelibatan daerah dalam mengetahui jumlah dana dan
pengalokasian dana tersebut. Dalam hal ini, daerah wajib mengetahui upaya yang
dilakukan KKKS dan Pemerintah Pusat melalui BPMIGAS terkait upaya pelestarian
lingkungan paskatambang.
Pentingnya
daerah terlibat adalah, jika kegiatan migas tersebut sudah meninggalkan wilayah
operasinya, maka daerah lah yang bakal menanggung seluruh resiko lingkungan
dari kegiatan migas tersebut. Untuk itu, BPMIGAS harus terbuka dan melibatkan
daerah terkait dana cadangan khusus kegiatan paskaoperasi dan pengalokasiaanya.
c.
Dalam KKS di ketentuan umum di point 1.2.18
menyebutkan, “Participating interest means in relation to aparty comprising
CONTRACTOR the undivided interest which that party has at any particular time
in and to the total rights and obligations under the CONTRACT. Such undivided
interest includes the obligation to contribute to costs and the right to take
in kind petroleum in accordance with the provisions of this CONTRACT. As of the
effective date the participating interest of the parties comprising CONTRACTOR
are :
PERTAMINA EP
CEPU : 50.0%
MCL
: 25.5%
Ampolex
: 24.5%
Dalam klausul
KKS pembagian saham atau modal dibagi antara PERTAMINA, MCL, dan Ampolex.
Kemudian, berdasarkan PP 34 tahun 2005 sebagai perubahan PP 35 tahun 2004
mengatur ketentuan penawaran PI kepada BUMD sebesar 10 persen dari total saham
atau modal.
Dalam KKS
tersebut tidak mengakomodir PP 34 tahun 2005 terkait penawaran PI 10 persen
kepada BUMD. Indikator tidak diakomodirnya BUMD dalam KKS adalah, BUMD tidak
dilibatkan dalam penandatanganan KKS Blok Cepu tersebut. Padahal, PP 34 tahun
2005 disahkan pada tanggal 10 Sepetember 2005, sedangkan ditandatangani tanggal
17 September 2005.
Dalam KKS juga
tidak mengatur penawaran saham 10 persen yang ditawarkan kepada BUMD. Dalam hal
ini tidak ada kejelasan, apakah saham 10 persen itu diambilkan dari saham
PERTAMINA, MCL, atau Ampolex. Sehingga diperlukan adanya perubahan KKS yang
mengatur keterlibatan BUMD dalam pengelolaan PI dan pengambilan 10 persen untuk
PI.
d.
Dalam ketentuan KKS bagian V tentang hak dan
kewajiban para pihak untuk membuat dasar standar poin 5.1.5 sub a). “
conduct an environmental baseline assessment at the beginning of CONTRACTOR’s
activities”. b) “ take the necessary precautions for protection of
ecologca system, navigation and fishing and shall prevent extensive pollution
of the Area, sea or river and other as the direct result of operation
undertaken, under the Work Program”.
Dalam ketentuan
ini tidak ada pelibatan dari masyarakat dan Pemerintah Daerah dalam penyusunan
standar penanganan kebencanaan, dan dalam penyusunan ketentuan dasar standar
lingkungan. Pelibatan itu sangat penting mengingat masyarakat dan Pemerintah
adalah bagian yang secara langsung akan terkena dampak.
BAB IV
PENUTUP
Di dalam
konstitusi yaitu UUD’45 Pasal 33 (3) disebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar‐besarnya
kemakmuran rakyat. Sebagai hukum dasar, ketentuan tersebut secara tersurat dan
tersirat menyatakan bahwa semua kekayaan alam/sumberdaya alam yang ada dan
terkandung di bumi Indonesia memang seharusnya diperuntukkan bagi sebesar‐besarnya
kemakmuran rakyat.
Menurut
sifatnya, sumberdaya alam dapat diklasifikasikan sebagai yang bersifat
terbarukan (renewable) dan yang bersifat tidak dapat terbarukan (unrenewble).
Pada karakter sumberdaya alam yang bersifat terbarukan maka padanya melekat
daya restorasi secara alamiah, sehingga keberlanjutan ketersediannya dapat
bertahan dan berlanjut untuk jangka waktu yang sangat lama bahkan tak terbatas.
Sementara sumberdaya alam yang mempunyai karakter tidak dapat terbarukan,
adalah berlaku sebaliknya. Oleh karenanya, dalam rentang waktu tertentu,
praktek eksploitasi atas sumberdaya alam yang bersifat tidak terbarukan ini
akan membawa konsekuensi pada habisnya ketersediaan sumberdaya tersebut.
Sebagai salah
satu sumberdaya mineral yang unrenewable, minyak dan gas bumi (migas)
menempati posisi yang penting bagi pembangunan dan upaya mewujudkan
kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, adalah tugas Negara—yaitu
pemerintah—untuk mengawal pemanfaatan migas melalui instrumen kebijakan oleh
karena otoritasnya. Pada saat yang sama, melalui kebijakan—sebagai
instrumennya—pemerintah diposisikan sebagai pemegang kuasa pertambangan juga
dapat mengusahakan sendiri produksi migas.
Potensi sumber
daya Minyak dan Gas yang terkandung di Indonesia merupakan harapan yang dapat
mensejahterakan rakyatnya. Meski sudah melakukan perombakan manajemen
pengelolaan industri perminyakan Indonesia, namun kenyataanya harapan akan
potensi ini masih absurd bagi kepentingan pendapatan Pemerintah. Produksi
minyak cair nasional mengalami penurunan cukup
tajam. Suatu hal yang salah kaprah negeri yang kaya minyak
harus mengimpor Minyak dari Negara lai. Saat ini Indonesia terpaksa
mengimpor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM)
sampai ratusan ribu barel per hari.
Impor tersebut tak lain untuk menutup kesenjangan
produksi dengan konsumsi dalam negeri yang
terus meningkat. Dibanding dengan produksi saat ini berdasar data
BP Migas, jelas terlihat produksi dalam negeri tak lagi mampu memenuhi konsumsi
dalam negeri.
Setelah ditemukan dan siap diproduksinya
beberapa sumur di blok Cepu, khususnya di
lapangan Banyu Urip, Bojonegoro, kemungkinan untuk mendongkrak pruduksi
harian minyak mentah Indonesia menemukan ekspektasi
baru di dunia perminyakan Indonesia. Seperti yang disampaikan
oleh pemerintah pusat, jika proses produksi
lapangan Banyu Urip sudah berjalan, diharapkan
produksi harian minyak mentah Indonesia mencapai
kembali batas diperbolehkannya masuk sebagai
anggota OPEC, yakni 1,4 juta bopd, dimana dari
jumlah tersebut 150.000 hingga 185.000 bopd berasal dari Blok Cepu.
Disatu sisi dalam pengelolaan migas di Indonesia, lebih khusus di Blok Cepu
sangat dibutuhkan keterbukaan dari pihak Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS)
Blok Cepu dan Pemerintah sebagai bagian kontrak kerjasama.
Menilik kesejarahan Blok cepu, Dari beberapa rentetan fase penguasaan
pengelolaan Migas di Blok Cepu[7], merupakan potensi perminyakan yang sudah
lama tergarap semenjak zaman kolonial hingga pemerintah Indonesia, tapi dari
sekian rentetan kesejarahan itu belum memaksimalkan potensi minyak dan gas yang
terkandung di wilayah tersebut.
Pada fase
setelah terjadinya KKS (PSC) Blok Cepu, ada beberapa kajian yang menarik untuk
ditelaah lebih lanjut, menyangkut kepentingan Pemerintah Indonesia, baik dalam
sekala kepentingan Nasional maupun ekspektasi peningkatan kemajuan Daerah
(Pemerintah Daerah sebagai daerah penghasil).
Setelah
dilakukan beberapa kajian terkait kontrak kerja sama (KKS) Blok Cepu, ada
beberapa titik temuan, dari kajian yuridis didapati ada beberapa temuan :
Kontrak Belum
Mencerminkan Transparansi
a.
Dalam ketentuan umum KONTRAK KERJA SAMA (KKS),
PERTAMINA EP CEPU memiliki kewenangan penuh dalam mengelola Participating
Interest (PI).
Ketentuan
diatas tidak mencerminkan mekanisme pasar, padahal BUMD juga melakukan
investasi sebagaimana yang dilakukan kontrak di Blok Cepu. Dalam hal ini BUMD
sebagai penanam saham seakan berada dibawah kekuasaan PERTAMINA EP CEPU.
Padahal dalam PP 35 tahun 2004 pasal 34 dan PP 34 tahun 2005 pasal pasal 103A
ayat 1 sub a membuka penawaran kepada BUMD untuk terlibat dalam pengelolaan PI.
Dalam kedua PP
tersebut tidak mengatur kewenangan penuh bahwa PI tersebut berada di bawah
kewenangan PERTAMINA EP CEPU. Sehingga BUMD tidak bisa berdiri sejajar dengan
kontraktor lainnya. Dalam hal ini seharusnya BUMD memiliki hak sama dengan
kontraktor lainnya ikut dalam penandatanganan KKS.
Di satu sisi,
dengan ketentuan kontrak tersebut, BUMD sebagai kepanjangan dari Pemerintah
Daerah tidak dapat berbuat banyak. Padahal dalam hal ini daerah memiliki
kepentingan untuk mengakses kegiatan industri migas, terutama misalkan
berkaitan Dana Bagi Hasil (DBH) Migas, pelibatan tenaga kerja lokal dan
pelestarian lingkungan.
b.
Dalam KKS Bagian V tentang Hak dan Kewajiban Para
Pihak point 5.1.11 menyatakan, salinan laporan semua kegiatan operasi
perminyakan di WILAYAH KONTRAK diserahkan kepada Pemerintah Indonesia melalui
BP MIGAS.
Mekanisme
seperti diatas tidak menguntungkan bagi daerah penghasil. Karena, daerah akan
kesulitan untuk mengakses sejumlah dokumen yang berhubungan dengan kepentingan
daerah. Misalkan untuk mengakses item cost recovery, plan of
development (POD), dan sejumlah laporan kegiatan industri migas lainnya.
Sebab pengalaman selama ini, dokumen-dokumen tersebut oleh BP MIGAS tidak
ditembuskan ke daerah penghasil.
Untuk itu
seharusnya dalam kontrak, kontraktor diberi wewenang atau kewajiban untuk
memberikan tembusan laporan kepada Pemerintah Daerah tempat kontraktor bekerja.
Selain itu, BP MIGAS selaku pihak yang mendapatkan laporan kegiatan dari
kontraktor harus mepermudah akses bagi daerah.
c.
Dalam KKS Bagian V tentang Hak dan Kewajiban Para
Pihak point 5.1.5 sub c, dana cadangan khusus kegiatan paska operasi ditransfer
ke BP MIGAS.
Dalam PP 35
tahun 2004 pasal 26 menyebutkan, salah satu dari isi KKS adalah memuat dana
paska tambang. Dana tersebut diharapkan untuk menjamin kelestarian lingkungan
ketika proyek kegiatan migas selesai. Untuk itu kiranya KKS juga mencantumkan,
bahwa BP MIGAS dalam mengalokasikan juga melibatkan Pemerintah Daerah
mengingat, Pemerintah Daerah merupakan bagian stakeholder yang memiliki
tanggungjawab dalam kelestarian alam di daerahnya.
d.
Dalam KKS Bagian V tentang Hak dan Kewajiban Para
Pihak point 5.1.5 sub a dan b menyebutkan, sebagai upaya penyelamatan
lingkungan kontraktor membuat ketentuan dasar standar lingkungan. Selain itu
melakukan tindakan pendahuluan yang diperlukan untuk melindungan tersebut.
Dalam KKS
tersebut tidak dengan tegas mengamanatkan secara detail terkait penyelamatan
lingkungan kepada kontraktor. Oleh karena itu dalam menjalankan kegiatan
industry migasnya, kontraktor supaya membuat standar penanganan kebencanaan
terkait potensi yang bakal timbul akibat kegiatan industri Migas.
Ketertutupan
informasi dan ketidakdetailan dalam kontrak pada kegiatan industri migas akan
membuka celah bagi praktek-praktek korupsi yang berpotensi merugikan negara.
Oleh sebab itu, kekurangan dalam kontrak perlu kiranya segera dibenahi, untuk
meminimalisir potensi korupsi yang dapat menimbulkan kerugian Negara.
Selain itu,
ketidakdetailan dalam kontrak terkait penyelamatan lingkungan akan
mengakibatkan kerusakan lingkungan dan merugikan masyarakat daerah.
Mengikis
Potensi Kerugian Negara di Blok Cepu
Keberadaan
minyak di Blok Cepu kini menjadi daya tarik tersendiri, ibarat seorang wanita,
parasnya nan cantik berdandan seksi dengan senyuman memesona. Kehadirannya
menjadi daya tarik tersendiri bagi para investor untuk mendapatkan berkahnya,
baik mereka yang berkecimpung langsung dalam kegiatan eksplorasi-eksplotasi
maupun di bisnis turunannya.
Keberadaan Blok
Cepu diharapkan dapat memberikan peningkatan yang signifikan terutama dalam
pengganda bidang industri pendukung di pulau Jawa, yang dampaknya pada peningkatan
ekonomi, bertambahnya lapangan pekerjaan dan peningkatan dalam program
pengembangan masyarakat. Semua hal tersebut akan memberikan peningkatan pada
dampak positif proyek bagi masyarakat sekitar lokasi.
Berdasarkan
Perjanjian Operasi Bersama–Joint Operating Agreement (JOA) yang dirumuskan oleh
pihak Kontraktor, Mobil Cepu Ltd. (MCL) bertindak sebagai
operator dari KKS Cepu sebagai wakil dari para Kontraktor di Blok Cepu. Skema
di Blok Cepu adalah MCL dan Ampolex (Cepu) Pte. Ltd., keduanya adalah anak perusahaan Exxon Mobil Corporation, sebagai kontraktor untuk Kontrak Kerjasama Cepu
bersama dengan PT Pertamina EP Cepu, anak
perusahaan PT Pertamina, dimana keduanya antara Exxon Mobil Corporation dan Pertamina sama-sama menguasai saham sebesar 45 persen,
dan sisanya 10 persen dibagi kepada daerah penghasil.
Tetapi dibalik
kemolekannya itu, dengan berbekal pengalaman pengelolaan migas di Indonesia
selama ini, Blok Cepu dan blok-blok lainnya patut kiranya untuk diawasi secara
jeli. Sebab ruang ketertutupan kebijakan Pemerintah Pusat di sektor migas masih
sangat menggurita. Yang perlu kita sadari bersama adalah, dibalik keindahannya
(sebagai daerah penghasil migas) itu pula lah menyimpan teka-teki misterius
yang berpotensi dapat merugikan keuangan daerah.
Semula
keberadaan PI menjadi harapan besar bagi daerah penghasil migas untuk menjawab
‘hegemoni’ Pemerintah Pusat terhadap eksplotasi migas. Harapan itu ada seiring
sejalan dengan munculnya kebijakan Pemerintah Pusat melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2005
yang mengharuskan kepada Pertamina dan ExxonMobil untuk menawarkan sebesar 10
persen saham Blok Cepu kepada daerah penghasil.
Saham 10 persen
tersebut dibagi kepada 4 (empat) Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) meliputi PT Sarana Patra Hulu Cepu (Provinsi Jawa Tengah,
1.091009345 %), PT Asri Dharma Sejahtera (Kabupaten Bojonegoro,
4.484647960 %), PT Blora Patragas Hulu (Kabupaten Blora, 2.182018740 %), PT Petro Gas Jatum Utama Cendana (Provinsi Jawa Timur,
2.242323946 %). Ke-empat BUMD ini bekerja dibawah
satu konsorsium yang dinamakan Badan Kerja Sama (BKS). Selain itu pembagian
kepada daerah ini sebagai salah satu upaya untuk menjawab semangat otonomi
daerah melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Disisi yang
lain keberadaan BUMD (hingga kini, red) masih belum bisa menjadi alat
untuk menjawab persoalan migas yang dihadapi daerah. BUMD belum memiliki taring
yang kuat dalam membongkar ketertutupan bisnis migas untuk mendorong
keterbukaan membantu menjawab masalah klasik yang dihadapi daerah.
Masalah-maslah tersebut di antaranya meliputi ;
Pertama, terkait perencanaan pembagunan atau plan of
development (POD), Work Plan & Bugjet (WP&B) dan Authorization
for Expenditures (AFE). Jika detailnya POD dan WP&B tersebut di buka
termasuk besaran investasinya, dan data tersebut dapat diakses dengan mudah,
maka pengusaha lokal akan lebih mudah ikut berkompetisi atau terlibat dalam
menangkap investasi di Blok Cepu tersebut. Sehingga dengan keberadaan investasi
tersebut, pengusaha lokal dapat ikut berperan mengambil manfaatnya.
Kedua, jenis apa saja yang di-cost recovery-kan
(penggantian biaya operasi oleh Negara) dalam kegiatan migas. Selama ini daerah
tidak pernah memiliki akses untuk mengetahui jenis apa saja yang di-cost
recovery-kan dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi kegiatan migas.
Sehingga berapapun Dana Bagi Hasil (DBH) migas yang dibagi kepada daerah, maka
daerah akan mengamininya (menyetujui, red) karena tidak memiliki data
pembanding.
Kegiatan
rekonsiliasi lifting dan DBH yang diselenggarakan Pemerintah Pusat dan diikuti
oleh perwakilan Pemerintah daerah masih sebatas memberikan data glondongan
(tidak ada rincian per item jenis cost recovery, red). Sehingga daerah
masih tetap seperti ibarat orang yang matanya ditutup disuruh mengambil benda,
apapun yang didapat dan diyakini benar maka itulah benda tersebut (haknya).
Kondisi ini karena daerah tidak memiliki alat indikator pembenar terhadap
berapa DBH, pajak atau pun pendapatan lain yang diterimakan ke daerah.
Ketiga, terkait produksi dan penjualan. Dalam kegiatan
produksi dan penjualan juga memiliki potensial terjadinya
manipulasi-manipulasi. Titik rawannya di antara meliputi markdown produksi
dan penjualan (lifting), basis penghitungan penerimaan negara terkait produksi
dan lifting, transfer pricing dan penggelapan atau tunggakan pajak,
semuanya ini masih sangat terbuka terjadi.
Guna
menghindari penggelembungan cost recovery secara terus‐menerus, ke
depan perlu diperjelas mengenai bagaiamana kontrak kerjasama antara pemerintah
(BP‐Migas) dengan
kontraktor agar lebih mengkonkretkan batasan‐batasan cost recovery. Melalui gagasan, dengan
asumsi bahwa prosentase 85% untuk BP‐Migas seharusnya dapat direalisasikan dengan utuh
tanpa ada potongan cost recovery ataupun biaya lainnya, sesungguhnya
negara sudah dapat memperoleh keuntungan yang maksimal. Pada konteks ini,
kebijakan pemerintah Pakistan mungkin dapat dijadikan role model. Dalam
pola Offshore Production Sharing Agreement yang dibuat antara Government
Holdings Pakistans dengan Kontraktor, dalam artikel 2 PSC tersebut disebutkan
secara rigid bahwa kontraktor berkewajiban membayar semua cost
recovery dan tidak menerima ganti rugi atas jasanya atau pembayaran atas
segala biaya operasional minyak dan gas bumi
Dari sekian
potensi kebocoran migas tersebut, Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam
penelitiannya, selama kurun waktu tahun 2000-2007 menemukan selisih (kurang)
penerimaan negara dari sektor minyak mencapai Rp 194,095 triliun. Sedangkan
pada tahun yang sama, ICW juga mencatat adanya selisih (kurang) penerimaan
Negara dari sektor gas sebesar Rp 46,766 triliun. Kenapa ini semua harus
diwaspadahi, karena setiap tetes minyak jika tidak dilaporkan maka akan
menjadikan hak daerah akan terkurangi.[8]
BUMD untuk Menjawab Kebuntuan Kebijakan Migas
Kasus sengketa
hukum antara Lembaga Penelitian dan Aplikasi Wacana (LPAW) dan BUMD Kabupaten
Blora (PT Blora Patragas Hulu/BPH) terkait
permintaan perjanjian PT.
Sebenarnya,
jika BPMigas bisa lebih terbuka dalam data kegiatan sebagai pengawas industri
migas, maka BPMigas akan terbantu dalam memantau kontraktor-kontraktor migas
yang nakal. Karena dengan begitu, daerah juga bakal ikut melototi data-data
kegiatan migas tersebut. Kecuali jika semua pihak tidak bersedia membuka data
lantaran mereka terlibat BPH dengan investor PI Kabupaten Blora PT PT Anugrah
Bangun Sarana Jaya (ABSJ) merupakan salah satu indikator kalau BUMD masih belum
sepenuhnya berpihak terhadap kepentingan lokal.
Meskipun dalam
undang-undang 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) pasal 14
huruf h yang mengatur terkait BUMD mengatakan, pedoman pelaksanaan tata kelola
perusahaan yang baik berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas,
pertanggungjawaban, kemandirian, dan kewajaran. Dalam pasal penjelasan dari
kata “transparansi” sendiri adalah keterbukaan dalam melaksanakan proses
pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan
relevan mengenai perusahaan.
Disisi yang
lain, BUMD sebagai salah satu pemilik saham di Blok Cepu, harusnya juga
memiliki hak yang sejajar dengan Mobil Cepu Ltd. (MCL) dan PT Pertamina.
Artinya, BUMD juga harus memiliki sejumlah data yang menyangkut kegiatan migas
di Blok Cepu, dengan begitu BUMD juga harus ingat majikannya, yaitu Pemerintah
Daerah. Jika pemerintah daerah membutuhkan detail lifting, jenis item cost
recovery, harga minyak Indonesia, POD, dan dokumen kegiatan migas lainnya maka
seharusnnya BUMD menyediakan data itu semua.
Sebab dalam
kenyataanya, Pemkab dan DPRD Bojonegoro melalui surat pernah meminta sejumlah
data kegiatan Blok Cepu kepada MCL selaku kontraktor Blok Cepu dan BPMigas juga
tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Bahkan Wakil Ketua DPRD Bojonegoro
Abdul Wahid pernah mendatangi langsung ke BPMigas, tetapi yang didapat hanya
lah janji-janji kalau data kegiatan migas akan dikirim ke Bojonegoro, namun
setelah ditunggu-tunggu data itu tak kunjung jua.
Atas
ketertutupan tersebut, Pemerintah Daerah harusnya dapat menangkap peluang ini
(memiliki BUMD) dengan baik, karena disadari atau tidak, BUMD-lah satu-satunya
alat yang berada dibawah kewenangan Pemerintah Daerah. Dengan begitu, potensi
akurasi daerah untuk mendapatkan hak-nya sangat terbuka sekali. Momentum
pergantian jajaran pimpinan di PT ADS Bojonegoro dapat dipergunakan sebaik
mungkin untuk memilih orang-orang yang kridible dalam mengawal aset daerah
tersebutkenikmatan ketertutpan tersebut.